Anda di halaman 1dari 18

BERCAK MERAH PADA KULIT

Skenario 2 Seorang ibu rumah tangga berumur 30 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhankemerahan pada daerah dada yang dialami sejak 1 minggu lalu.

Kata Kunci 1. 2. 3. 4. Ibu rumah tangga Umur 30 tahun Kemerahan pada daerah dada Dialami sejak 1 minggu lalu

Pertanyaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jelaskan anatomi, histologi dan fisiologi kulit manusia? Bagaimana patomekanisme terjadinya bercak kemerahan? Sebutkan penyakit-penyakit yang menyebabkan kemerahan pada daerah dada? Sebutkan diferensial diagnosis dari scenario tersebut! Sebutkan etiologi dari diferensial diagnosis tersebut? Sebutkan gejala lain dan berbagai kelainan kulit yang juga ditemukan pada penyakit tersebut? 7. Bagaimana perubahan histopatologis jaringan kulit yang terjadi pada penyakit-penyakit tersebut? 8. Jelaskan langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis dari penyakit-penyakit tersebut? 9. Sebutkan penatalaksanaan dari penyakit-penyakit tersebut? 10.Jelaskan komplikasi dari penyakit-penyakit tersebut? 11.Bagaimana prognosis dari penyakit-penyakit tersebut?

JAWABAN

1.

anatomi, histologi dan fisiologi kulit manusia

Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena posisinya yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. a.Lapisan Epidermis (kutikel) Stratum Korneum (lapisan tanduk) => lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati, tidak berinti, protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk)

Stratum Lusidum => terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti, protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini lebih jelas tampak pada telapak tangan dan kaki. Stratum Granulosum (lapisan keratohialin) => merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer (lapisan akanta )=> terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, selnya akan semakin gepeng bila semakin dekat ke permukaan. Di antara stratum spinosum, terdapat jembatan antar sel (intercellular bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga terdapat pula sel Langerhans. Stratum Basalis=> terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Sel basal bermitosis dan berfungsi reproduktif. Sel kolumnar => protoplasma basofilik inti lonjong besar, di hubungkan oleh jembatan antar sel. Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell => sel berwarna muda, sitoplasma basofilik dan inti gelap, mengandung pigmen (melanosomes)

b. Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin) => terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa pada dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. a. Pars Papilare => bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. Pars Retikulare => bagian bawah yang menonjol ke subkutan. Terdiri dari serabut penunjang seperti kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, selanjutnya membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat elastin, seiring bertambahnya usia, menjadi kurang larut dan makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, dan mudah mengembang serta lebih elastis. Fisiologi Kulit a. Fungsi Proteksi. Kulit punya bantalan lemak, ketebalan, serabut jaringan penunjang yang dapat melindungi tubuh dari gangguan : fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan. kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat panas : radiasi, sengatan sinar UV infeksi luar : bakteri, jamur Beberapa macam perlindungan :

Melanosit => lindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan mengadakan tanning (penggelapan kulit) Stratum korneum impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air. Keasaman kulit kerna ekskresi keringat dan sebum => perlindungan kimiawo terhadap infeksi bakteri maupun jamur Proses keratinisasi => sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel mati melepaskan diri secara teratur. b. Fungsi Absorpsi => permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya bergantung pada ketebalan kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum. PEnyerapan dapat melalui celah antar sel, menembus sel epidermis, melalui muara saluran kelenjar. c.Fungsi Ekskresi => mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Pada fetus, kelenjar lemak dengan bantuan hormon androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya dari cairan amnion, pada waktu lahir ditemui sebagai Vernix Caseosa. d.Fungsi Persepsi => kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan subkutis. Saraf sensori lebih banyak jumlahnya pada daerah yang erotik. Badan Ruffini di dermis dan subkutis => peka rangsangan panas Badan Krause di dermis => peka rangsangan dingin Badan Taktik Meissner di papila dermis => peka rangsangan rabaan Badan Merkel Ranvier di epidermis => peka rangsangan rabaan Badan Paccini di epidemis => peka rangsangan tekanan e. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi) => dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah sehingga mendapat nutrisi yang baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi, dinding pembuluh darah belum sempurna sehingga terjadi ekstravasasi cairan dan membuat kulit bayi terlihat lebih edematosa (banyak mengandung air dan Na) f. Fungsi Pembentukan Pigmen => karena terdapat melanosit (sel pembentuk pigmen) yang terdiri dari butiran pigmen (melanosomes) g. Fungsi Keratinisasi => Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan, sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin ke atas sel makin menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti makin menghilang dan keratinosit menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung 14-21 hari dan memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik. h. Fungsi Pembentukan Vitamin D => kulit mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tapi kebutuhan vit D tubuh tidak hanya cukup dari hal tersebut. Pemberian vit D sistemik masih tetap diperlukan.

2. 3.

Patomekanisme kemerahan pada daerah dada Penyakit yang bergejala Kemerahan pada kulit a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Ptyriasis Rosea Herpes Zooster Morbus Hansen Candidiasis Eritrasma Psoriasis Dermatitis Kontak Urtikaria Dermatitis atopi Miliaria k. l. Malaria Demam berdarah dengue

m. Eritroderma n. o. p. q. r. Scabies Fotosensitivitas Varicella Tinea corporis Impetigo bullosa

Bagaimana klasifikasi penyakit kulit berdasarkan ruam (efloresensi)-nya? Menurut Prakken (1966) yang disebut ruam primer adalah macula, papul, plak, urtika, nodus, nodulus, vesikel, bula, pustul, kista. Sedangkan yang dimaksud dengan ruam sekunder ialah skuama (jarang sebagai ruam primer), krusta erosi, ulkus, dan sikatriks. Morfologi ruam atau efloresensi dari suatu penyakit harus diketahui agar dapat membantu kita mendekatkan diagnosis. 4. Differensial Diagnosa herpes zoster tinea versicolor pityriasis rosea, morbus hansen.

PENJELASAN DD

Ptyriasis Rosea Definisi Pitiriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengna lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu. Epidemiologi Pitiriasis rosea didapati pada semua umur, terutama antara 15-40 tahun, pada wanita dan pria sama banyaknya. Etiologi Etiologinya belum diketahui, demikian pula cara infeksi. Ada yang mengemukakan hipotesis bahwa penyebabnya virus, karena penyakit ini merupakan penyakit swasima (self limiting disease), umumnya sembuh sendiri dalam waktu 3-8 minggu. Gejala Klinis Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Pitiriasis berarti skuama halus. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di badan, solitar, berbentuk oval, dan anular. Diameter kira-kira 3 cm. Ruam terdiri atas eritema dan skuama halus di pinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, memberi gambaran yang khas, sama dengan lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta, hingga menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau dalam beberapa hari. Tempat predileksi pada badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas, sehingga seperti pakaian renang wanita jaman dahulu. Kecuali bentuk yang lazim berupa eritroskuama, pitiriasis rosea dapat juga berbentuk urtika, vesikel, dan papul yang lebih sering terdapat pada anak-anak. Diagnosa Banding Penyakit ini sering disangka jamur oleh penderita, juga oleh dokter umum sering didiagnosis sebagai tinea korporis gambaran klinis mirip dengan tinea korporis karena terdapat eritema dan skuama di pinggir dan berbentuk anular. Perbedaannya pada pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis. Skuamanya halus sedangkan pada tinea korporis skuamanya kasar. Pada tinea sediaan KOH akan positif. Hendaknya dicari pula lesi inisial yang adakalanya masih ada. Jika telah tidak ada dapat ditanyakan kepada penderita tentang lesi inisial. Sering lesi inisial tersebut tidak seluruhnya eritematosa lagi, tetapi bentuk masih tampak oval sedangkan ditengahnya terlihat hipopigmentasi.

Pengobatan Pengobatan bersifat simtomatik, untuk gatalnya dapat diberikan sedativa, sedangkan sebagai obat topikal dapat diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi mentol 0,5-1%. Prognosis Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan biasanya dalam 3-8 minggu.

Herpes Zooster Definisi Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. Etiologi Herpes zoster disebabkan oleh Varicella Zoster Virus, kelompok virus Herpes, termasuk virus sedang berukuran 140 200 nm dan berinti DNA. Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik, panas dan lingkungan pH yang tinggi. Epidemiologi Herpes zoster hanya terjadi pada individu yang pernah mengalami infeksi virus varisela zoster primer. Penularan zoster dapat secara kontak langsung dengan lesi aktif penderita herpes zoster. Bila seluruh lesi sudah menjadi krusta pasien tidak lagi infeksius. Penularan melalui sekresi pernafasan mungkin terjadi pada individu imunokompromais dari pasien herpes zoster aktif. Pada seseorang yang tidak pernah mengalami infeksi VVZ primer atau imunokompromais akan rentan tertular virus tersebut dari seseorang dengan herpes zoster dan bermanifestasi sebagai varisela. Insiden pada pria dan wanita sama banyaknya. Penderita herpes zoster biasanya pada dewasa, kadang-kadang juga pada anak-anak. Penyakit ini terutama pada orang dewasa diatas 50 tahun, walau sekitar 5 10 % mengenai anak-anak. Insidensinya meningkat sesuai pertambahan usia. Menurunnya imunitas seluler karena usia lanjut merupakan faktor utama penyebab reaktivasi. Jumlah penderita herpes zoster di RSCM Jakarta selama tahun 2000 tercatat berjumlah 122 pasien, 40 pasien berumur 15 24, 48 pasien berumur 25 44, dan 34 pasien berumur 46 64. Keadaan ini tidak menunjukkan jumlah kasus dengan kecenderungan meningkat menurut usia, banyak faktor yang mempengaruhi, kemungkinan kunjungan usia produktif ke RSCM lebih banyak dibandingkan dengan para lanjut usia. Insiden herpes zoster tidak tergantung musim. Namun sebuah survei serologis di negeri beriklim tropis menunjukkan seroprevalensi yang lebih rendah dibandingkan dengan negeri yang memiliki iklim lebih dingin, kemungkinan karena cuaca panas menghambat penyebaran virus.

Patogenesis Selama terjadinya infeksi varisela, VZV meninggalkan lesi di kulit dan permukaan mukosa ke ujung serabut saraf sensorik. Kemudian virus ini dibawa melalui serabut saraf sensorik tersebut menuju ke ganglion saraf sensorik. Dalam ganglion ini, virus memasuki masa laten dan disini tidak infeksius dan tidak mengadakan multiplikasi lagi, namun tidak berarti ia kehilangan daya infeksiusnya. Bila daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan, akan terjadi reaktivasi virus. Virus mengalami multiplikasi dan menyebar di dalam ganglion, biasanya disertai neuralgia yang hebat. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik. Gejala Klinis Daerah yang paling sering terkena adalah daerah torakal, walaupun daerah-daerah lain tidak jarang. Sebelum timbul gejala kulit, terdapat gejala prodromal baik sistemik (demam, malese, pusing), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Lebih dari 80% biasanya diawali dengan gejala prodromal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit. Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan hampir selalu unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Erupsi mulai dengan makulopapula eritematus, 12 24 jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ke-3. Seminggu sampai 10 hari kemudian lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap selama 2 3 minggu. Mukosa dapat terjangkit dalam bentuk seperti sariawan, erosi datar dan ulkus. Menurut daerah penyerangannya dikenal : Herpes zoster oftalmika Herpes zoster servikalis Herpes zoster torakalis Herpes zoster lumbalis Herpes zoster sakralis Herpes zoster otikus : menyerang dahi dan sekitar mata : menyerang pundak dan lengan : menyerang dada dan perut : menyerang bokong dan paha : menyerang sekitar anus dan genitalia : menyerang telinga

Bentuk-bentuk lain herpes zoster : Herpes zoster hemoragik Vesikula-vesikulanya tampak berwarna merah kehitaman karena berisi darah Herpes zoster abortivum. Penyakit berlangsung ringan dalam waktu yang singkat dan erupsinya hanya berupa eritema dan papul kecil. Herpes zoster generalisata

Kelainan kulit yang unilateral dan segmental disertai kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikula dan umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah. Gangguan pada nervus fasialis dan otikus dapat menimbulkan Sindrom Ramsay-Hunt dengan gejala paralisis otot-otot muka (Bells palsy), tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea. Komplikasi Neuralgia pasca herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita diatas usia 40 tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Makin tua penderita makin tinggi persentasenya. Sepertiga kasus diatas usia 60 tahun dikatakan akan mengalami komplikasi ini, sedang pada usia muda hanya terjadi pada 10 % kasus. Infeksi sekunder oleh bakteri akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan dan akan meninggalkan bekas sebagai sikatriks. Vesikel sering menjadi ulkus dan jaringan nekrotik. Paralisis motorik dapat terjadi pada sebagian kecil penderita (1 5 % kasus), terutama bila virus juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis. Terjadinya biasanya 2 minggu setelah timbulnya erupsi. Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh spontan. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan sediaan apus secara Tzank dapat menemukan sel datia berinti banyak. Pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, dan tes serologik.

Penatalaksanaan Pasien diistirahatkan. Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik. Untuk nyerinya diberi analgetik, dapat pula ditambahkan neurotropik : vit B1, B6, B12. Penting segera mengeringkan vesikel. Usahakan supaya vesikel tidak pecah untuk menghindari infeksi sekunder, yaitu dengan bedak salisil 2%. Jika terjadi infeksi sekunder, dapat diberi antibiotik lokal, misal salep kloramfenikol 2%. Terapi triamsinolon atau prednison per oral pada pasien tua bisa menurunkan kemungkinan neuralgia pasca herpetik. Pemberian secara oral prednison 30 mg/hari atau triamsinolon 48 mg/hari akan memperpendek masa neuralgia pasca herpetik, terutama pada orang tua dan seyogianya sudah diberikan sejak awal timbulnya erupsi. Indikasi lain pemberian kortikosteroid ialah untuk Sindrom Ramsay-Hunt. Pemberian harus sedini-dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan adalah prednison dosis 3 x 20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap.

Indikasi pemberian asiklovir pada herpes zoster : Pasien 60 tahun dengan lesi muncul dalam 72 jam Pasien 60 tahun dengan lesi luas, akut dan dalam 72 jam Pasien dengan lesi oftalmikus, segala umur, lesi muncul dalam 72 jam Pasien dengan lesi aktif menyerang daerah leher, alat gerak dan perineum (lumbalsakral)

Antivirus juga diindikasikan untuk pasien dengan defisiensi imunitas mengingat komplikasinya, juga pada kasus yang berat. Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000 mg/hari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Antivirus paling lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul merupakan rejimen yang dianjurkan. Jika lesi baru masih tetap timbul, obat tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi. Prognosis Pada orang muda dan anak-anak umumnya baik. Pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan perawatan dini.

Morbus Hansen Definisi Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejalagejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yangmenemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit inidisebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialahMycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecualisusunan saraf pusat Etiologi Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A. Hansen adatahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asamdan alkohol, serta positif Gram. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam mediaartifisial. Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengankuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 2 5 tahun Patogenesis M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Ketidakseimbanganantara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda yangmenyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiriatau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejalaklinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada

intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadapkulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuhyang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis. M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasaldari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkankuman. Sayangnya, setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi selepiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadangkadang bersatu membentuk sel datia Langhans.Bila infeksi ini tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akanmenimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae .Sel Schwann memilikifungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.Sedangkan pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikianmakrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Dasar Diagnosis Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain adalah: dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis seboroika, psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi (Siregar, 2003). Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang

untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf: 1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawingkelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial 2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral 3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan 4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus. 5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis 6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal) 7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan bakterioskopik Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif). Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas. Sediaan dari

mukosa hidung jarang dilakukan karena: kemungkinan adanya M. Atipik dan M. leprae tidak pernah positif jika pada kulit negatif. M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada sediaan. Dibedakanbentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. 2. Pemeriksaan histopatologik Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan sistem imunitas selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jarinagnnya tidak patologik 3. Pemeriksaan serologik Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah: Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination) Uji ELISA ML dipstick (M. leprae dipstick) Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit yang sebenarnya kronik. Klasifikasi yang sering dipakai adalah: E.N.L (eritema nodusum leprosum) Reaksi reversal atau upgrading

E.N.L terutama timbul pada tipe lepramatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Secara imunopatologis E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibodi (IgM, Ig G) + komplemen kompleks imun. Kadar immunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi daripada tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepramatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, yang berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. Reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga disebut juga reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Umunya terjadi pada pengobatan bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak sehingga memerlukan pengobatan yang memadai. Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT atau LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi revesal, terjadi peningkatan SIS, hanya bedanya terjadi secara cepat dan mendadak. Isitilah downgrading untuk menunjukkan pergeseran ke arah lepromatosa. Gejala klinik reaksi reversal ialah umunya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang realtif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Kalau diperhatikan kembali reaksi E.N.L dan reversal secara klinis, E.N.L dengan lesi eritema nodusum sedangkan reversal tanpa nodus sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non nodular. Penatalaksanaan Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita (Kosasih, 2002). WHO mengklasifikasikan kusta menjadi 2 berdasarkan atas adanya kuman tahan pada pemeriksaan bakterioskopis untuk pemilihan rejimen MDT :

1. Kusta Pausibasilar (PB) Kusta dengan basil tahan asam (BTA) negatif pada sediaan hapus, yaitu : tipe I (Interminate), TT (Tuberculoid) dan BT (Borderline tuberculoid). 2. Kusta Multibasilar (MB) Kusta dengan BTA positf pada sediaan hapus, yaitu : BB (Borderline), BL (Borderline lepromatous) dan LL (Lepromatosa). Obat obat dalam rejimen MDT-WHO 1. Dapson Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan. Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak. Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim. 2. Rifampisin Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi. Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kirakira 99.9% dalam waktu beberapa hari. Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit. 3. Klofazimin Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta. Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan 2. Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus). 4. Etionamid dan Protionamid Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Obat ini bekerja bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya

mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan kusta. Obat Kusta Baru Pada pelaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu : adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada kusta MB. Pada penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai MDT. Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : Bersifat bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak anatagonis terhadap obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin. A. Ofloksasin Ofloksasin merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae, dibandingkan dengan siprofloksaisn dan pefloksasin. Kerjanya melalui hambatan pada enzim girase DNA mikobakterium. B. Minosiklin Minosiklin merupakan turunan tetrasiklin yang bersifat lipofilik sehingga mampu menembus dinding M. leprae. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis protein melakui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang lain. C. Klaritromisin Klaritromisin merupakan golongan makrolid yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan menghambat suntesis protein melalui mekanisme yang lain dari minosiklin. Skema Rejimen MDT-WHO WHO membuat klasifikasi program rejimen MDT-WHO karena fasilitas bakterioskopik tidak selalu tersedia sehingga klasifikasi untuk rejimen ini juga didasarkan lesi kulit dan jumlah saraf yang terkena. Klasifikasi kusta untuk kepentingan rejimen MDT oleh WHO (1997) terbagi dalam 3 grup : 1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah. Rejimen terdiri dari : Rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan. 2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah Rejimen terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.

3. Rejimen PB dengan lesi tunggal Rejimen terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan berat-badan ( lihat tabel). Penanganan Reaksi Kusta Prinsip penanganan reaksi kusta : 1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau kontraktur 2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan 3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas 4. Mengatasi rasa nyeri Pengobatan E.N.L: Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Seseuai dengan perbaikan reaksi, dosinya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Obat lain yang dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan kepada ibu hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi. Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama pada pemberian dosis tinggi. Pengobatan reaksi reversal : Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara perlahan. Anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah dipakai

Tinea Versikolor Tinea Versikolor adalah suatu infeksi jamur yang menyebabkan timbulnya bercak-bercak putih sampai coklat muda pada kulit. PENYEBAB Tinea versikolor atau yang sering disebut juga panu merupakan suatu infeksi yang cukup sering terjadi dan umumnya ditemukan pada usia dewasa muda. Tinea versikolor (panu) disebabkan oleh jamur Pytirosporum orbiculare danPityrosporum ovale yang merupakan flora normal pada kulit manusia. Adanya faktor-faktor tertentu menyebabkan jamur - jamur tersebut berubah menjadi bentuk infektif yang disebutMalassezia furfur. Jamur ini kemudian menyebabkan kelainan pada kulit yang disebut panu atau tinea versicolor. Bagian tubuh yang sering terkena adalah punggung, lengan atas, lengan bawah, dada dan leher. Lebih sering ditemukan di daerah beriklim panas dan berhubungan dengan meningkatnya pengeluaran keringat. GEJALA Tinea versikolor jarang menyebabkan nyeri atau gatal-gatal, tetapi menimbulkan bercak-bercak putih di kulit. Orang yang secara alami memiliki kulit yang gelap akan memiliki bercak-bercak terang/pucat, sedangkan orang yang secara alami memiliki kulit kuning langsat akan memiliki bercak yang lebih gelap. Bercak-bercak ini sering ditemukan di dada atau punggung dan bisa sedikit bersisik. Lama-lama beberapa bercak kecil akan bergabung membentuk bercak yang lebih besar. DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Infeksi bisa terlihat lebih jelas dengan menggunakan sinar ultraviolet atau dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap kerokan kulit yang terinfeksi. PENGOBATAN Biasanya digunakan sampo anti-ketombe, misalnya yang mengandung Selenium Sulfide 1%. Sampo ini dioleskan pada daerah yang terkena (termasuk kulit kepala) sebelum tidur dan dibiarkan semalaman, kemudian dibersihkan pada keesokan harinya. Pengobatan ini biasanya berlangsung selama 3-4 malam. Jika terjadi iritasi kulit, sebaiknya waktu pemakaian sampo dibatasi selama 20-

60 menit atau diganti dengan obat lainnya. Obat lainnya yang digunakan untuk mengatasi tinea versikolor adalah antijamur seperti Terbinafine, Clotrimazole, Ketoconazole,Ciclopirox, Butenafine, Naftifine, Econazole, Oxiconazole, Itraconazole, Griseofulvin,Sertaconazole PENCEGAHAN Seseorang yang pernah menderita tinea versikolor sebaiknya menghindari cuaca panas atau keringat yang berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai