JUDUL PERCOBAAN
1. Membuat Chitosan dari kulit udang sebagai bahan pengawet. 2. Memanfaatkan limbah kulit udang agar menjadi bahan yang bernilai ekonomis. 3. Mengetahui proses pembuatan Chitosan dari limbah kulit udang. III. DASAR TEORI Potensi perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata misalnya udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein (21%), lemak (0,2%), vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat kapur dan fosfor. Udang dapat diolah dengan beberapa cara seperti udang beku, udang kering, udang kaleng, dan lain-lain (Goligo, 2009). Sebagai penghasil udang dengan nilai ekspor yang tinggi Jawa Timur memproduksi udang beku sebesar 47.807,788 ton atau setara dengan US$ 368.644.445,41 pada tahun 2005 (Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, 2005). Dari proses pembekuan, 40% dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala). Di Indonesia udang mengalami proses cold storage yaitu bagian kepala, ekor, dan kulit dibuang sebagai limbah. Limbah udang ini dapat mencemari lingkungan di sekitar pabrik sehingga perlu dimanfaatkan. Selama ini kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kerupuk, terasi, dan suplemen bahan makanan ternak. Padahal 20-30% limbah tersebut mengandung senyawa chittin yang dapat diubah menjadi chitosan. Chitosan berasal dari limbah udang atau cangkang udang yang biasanya digunakan sebagai pakan ternak. Dahulu bahkan hingga saat ini masih ada yang
memanfaatkan limbah udang ini menjadi pakan ternak. Karena limbah ini jika dibuang begitu saja dapat menimbulkan bau yang amat sangat tidak enak. Oleh karena itu, biasanya limbah udang diolah menjadi pakan. Walaupun chitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (crustaceae) yang dipanen secara komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan chitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah hasil dari pembuatan udang. Limbah kulit udang dapat diolah untuk pembuatan chitin yang dapat diproses lebih lanjut menghasilkan chitosan yang memiliki banyak manfaat dalam bidang industri, antara lain adalah sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non-toxic) pengganti formalin. Chitosan adalah bahan alami yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai pengawet makanan karena tidak beracun dan aman bagi kesehatan. Aplikasi chitosan sudah dilakukan di berbagai bidang, mulai dari manajemen limbah, pembuatan makanan, obat-obatan dan bioteknologi. Dan chitosan juga dapat diaplikasikan pada industri farmasi dan kosmetika karena sifat biodegradability dan biocompability serta kemampuan toksik atau racun rendah. Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet makanan, karena chitosan memiliki polikation bermuatan positif sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan mampu berikatan dengan senyawasenyawa yang bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat, logam berat dan lain-lain. Selain itu, molekul chitosan memiliki gugus N yang mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan protein dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan chitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen. Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu: epikutikula, eksokutikula, endokutikula dan epidermis. Tebal tipisnya kutikula bervariasi, bergantung pada lokasinya, di daerah kepala tebalnya 75 mikron dan daerah lunak di bagian pangkal kaki hanya 5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7% zat anorganik yang mengandung 98,5% kalsium. Pada waktu moulting chitin dan protein dari kulit 9
yang lama lebih dulu diserap dan bahan anorganiknya tidak diserap. Sebelum moulting epikutikula dan eksokutikula terbentuk dan terpisah dengan kutikula yang lama, kemudian segera setelah terjadi moulting kalsium perlahan-lahan tertimbun ke dalam eksokutikula dan dalam waktu 5 jam penimbunan tersebut menjadi sempurna. Pertukaran kalsium antara cairan tubuh dengan air laut berjalan melalui insang, kira-kira 90% Ca diserap dan 79%. Secara umum, cangkang kulit udang yang keras mengandung 34,9% protein, 27,6% mineral kalsium karbonat (CaCO3), 18,1% chitin dan 19,4% komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan protein. Kulit udang juga mengandung karoten astaksantin 0,02%. Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan aktif untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah chitosan. Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin yaitu produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari total berat udang. Kadar chitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield 15-20%. Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta (1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil terhadap udara, panas dan sebagainya. 9
Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya. Dalam cangkang udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi) sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi. Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu chitosan. Reaksi Pembentukan Chitosan dari Chitin :
90-100C + NaOH +
Chitin
Chitosan
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan yaitu molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan sel bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer (lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Selain
telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih aman. 3.1. Udang Galah Populasi udang galah di Indonesia bersifat unik. Berdasarkan distribusi geografisnya dapat diprediksikan bahwa Indonesia menjadi centre of origin dari galah karena terdapat 19 spesies dari marga Macrobrachium (udang galah). Apabila ditinjau dari segi social ekonomi, eksistensi udang galah saat ini merupakan salah satu komoditas unggulan yang dapat diandalkan sebagai sumber penghasilan. Udang galah mempunyai pangsa pasar yang baik. Kecenderungan masyarakat yang menggemari sea food meningkatkan pangsa pasar udang galah. Peluang pasar udang galah tidak hanya di dalam negeri bahkan di mancanegara terbuka luas seperti Singapura, Malaysia, dan negara-negara Eropa. Pangsa pasar yang besar serta keunggulan komparatif yang dimiliki udang galah menjadikannya salah satu komoditi andalan dan mampu bersaing dengan produk dari negara lain. Untuk mencapai sasaran tersebut diadakan upaya pemulihan udang galah dan pengembangan industri udang beku, merupakan salah satu alternatif yang diambil. 3.1.1. Taksonomi Udang Galah Kedudukan udang galah dalam sistematika sebagai berikut : Filum Kelas Bangsa Suku Anak suku Marga Jenis : Arthropoda : Crustacea : Decapoda : Palaemonidae : Palaemoninae : Macrobrachium : Macrobrachium rosenbergii
3.1.2. Morfologi Udang Galah Badan udang terdiri atas kepala dan dada yang disebut Cephalothorax, badan (abdomen), serta ekor (uropoda). Udang galah mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan udang jenis lainnya, yakni kedua kakinya tumbuh dominan. 9
Cephalothorax dibungkus oleh kulit yang keras disebut carapace. Pada bagian kepala terdapat penonjolan carapace yang bergerigi dan disebut rostrum. Gigi terdapat pada rostrum dengan jumlah gigi pada rostrum atas 11-13 dan jumlah gigi pada rostrum bagian bawah 8-14. Udang galah mempunyai sepasang mata yang bertangkai yang terletak pada pangkal rostrum, jenis matanya temasuk jenis mata majemuk (facet). Udang galah jantan dan betina mempunyai perbedaan yang mencolok sehingga mudah untuk diketahui. Udang galah jantan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Dapat mencapai ukuran yang lebih besar dibandingkan udang galah betina. 2. Pasangan kaki jalan udang jantan yang kedua tumbuh sangat besar dan kuat. 3. Bagian perut lebih ramping. 4. Alat kelamin terletak pada baris pasanagan kaki jalan kelima, pada pasang kaki ini terlihat lebih rapat dan lunak. 5. Apendix masculina (petanda jantan) terletak pada pasangan kaki renang kedua yang merupakan cabang ketiga dari kaki renang tersebut. Adapun udang galah betina mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Ukuran badan lebih kecil dar udang galah jantan 2. Pasangan kaki jalan kedua tetap tumbuh besar, tetapi ukurannya tidak sebesar kaki udang jantan. 3. Bagian perut tumbuh melebar bersama-sama dengan kaki renang. Ruangan ini merupakan tempat pengereaman telur (brood chamber) sehngga tampak bentuk tubuhnya membesar pada bagaian perut. 4. Alat kelamin betina terletak pada pangkal pasangan kaki jalan ketiga yang merupakan lubang thelicum. 5. Jarak antara pasang kaki jalan kiri dan kanan setiap pasangan terlihat lebih besar yang memungkinkan terlur dapat berjalan ke kantong telur. 3.1.3. Habitat dan Penyebaran Udang Galah Apabila diperhatikan tingkah laku dan kebiasaan hidupnya, fase dewasa udang galah sebagian besar dijalani didasar perairan air tawar dan fase larva bersifat planktonik yang sangat memerlukan air payau. Udang galah mempunyai
habitat diperairan umum, misalnya rawa, danau, dan muara sungai yang langsung berhubungan dengan laut. Sebagai hewan yang bersifat euryhaline mempunyai toleransi tinggi terhadap salinitas air, yaitu antara 0-20 per mil. Hal ini berhubungan erat dengan siklus hidupnya. Di alam, udang galah dewasa dapat memijah dan bertelur di daerah air tawar pada jarak maksimal 100 km dari muara. Sejak telur dibuahi hingga menetas diperlukan waktu 16-20 hari. Larva baru dapat menetas memerlukan air payau, lalu larvanya terbawa aliran sungai hingga ke laut. Larva yang menetas dari telur paling lambat 3-5 hari harus mendapat air payau. Larva berkembang dan memerlukan metamorfosis hingga mencapai pasca larva diperairan payau denan kadar garam berkisar antar 5-20%, setelah 45 hari udang dapat hidup diperairan tawar, secara alami udang akan berupaya ke perairan tawar. Daerah penyebaran udang galah adalah daerah Indo-Pasifik, yaitu dari bagian timur Benua Afrika sampai Semenanjung Malaka, termasuk Indonesia. Di Indonesia, udang galah terdapaat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian. 3.2. Chitin Chitin merupakan polisakarida struktural yang patut mendapatkan perhatian karena berlimpah ruah di alam. Chitin sama dengan selulosa. Chitin merupakan polisakarida hewan berkaki banyak. Diperkirakan 109 ton chitin dibiosintesis tiap tahun. Chitin tidak larut dalam air, asam encer, alkali encer/pekat dan pelarut organik lain, tetapi larut dalam larutan pekat asam sulfat, asam klorida, asam fosfat. Selain itu tahan terhadap hidrolisa menjadi komponen sakaridanya. Chitin pada umumnya sangat tahan terhadap hidrolisa, walau enzim kitinase dapat melakukannya dengan mudah. Chitin membentuk zat dasar yang tahan lama dari kulit spora lumut dan eksokerangka dari serangga, udang, dan kerang-kerangan. Chitin adalah polisakarida linier yang mengandung N-Asetil DGlukosamina terikat pada hidrolisa, chitin menghasilkan 2-Amino 2-Deoksin DGlukosa. Dalam alam chitin terikat pada protein dan lemak.
Chitin dapat dibentuk menjadi suatu bubuk (powder) apabila sudah dipisahkan dari zat yang tercampur dengannya. Akan tetapi tidak dapat larut dalam air. Reaksinya dalam asam-asam mineral dan alkali akan menghasilkan suatu zat yang menyerupai selulosa. Pelarutan chitin tergantung dari konsentrasi asam mineral dan temperatur. Di negara Jepang, chitin sudah lama dikomersialkan dengan cara memintalnya menjadi benang yang berfungsi sebagai penutup luka sehabis operasi, karena didukung oleh sifatnya yang non alergi dan juga menunjukkan aktivitas penyembuhan luka. Chittin pertama kali ditemukan oleh Odier pada tahun 1823 dan kemudian dikembangkan oleh PR Austin pada tahun 1981. Akan tetapi perkembangan chittin bergerak lamban dan kurang dimanfaatkan. Salah satu turunan chittin yang luas pemakaiannya adalah chitosan. Senyawa ini mudah didapat dari kitin dengan menambahkan NaOH dan pemanasan sekitar 120oC. Proses ini menyebabkan lepasnya gugus asetil yang melekat pada gugus amino dari molekul kitin dan selanjutnya akan membentuk chitosan. Kelebihan lain dari chitosan yaitu padatan yang dikoagulasinya dapat dimanfaatkan. Kekhawatiran terhadap kemungkinan chitosan mempuntai efek beracun terhadap manusia telah dimentahkan oleh beberapa peneliti dengan sejumlah bukti ilmiah. 3.3. Keuntungan Chitosan Apa saja keunggulan chitosan dibandingkan dengan formalin? chitosan memiliki fungsi ganda, yaitu tidak seperti formalin yang apabila digunakan akan bereaksi dengan produk, chitosan lebih pada fungsi melapisi, sehingga transfer rasa dan aroma dari produk dihalangi oleh lapisan tersebut, bahkan pengaruh dari luarpun dapat dihambat. Hal ini membuat rasa dan penampilan roduk yang menggunakan chitosan menjadi lebih baik, dibandingkan dengan produk yang menggunakan formalin, atau produk kontrol (tanpa formalin atau chitosan). Selain itu, chitosan memiliki gugus fungsi yang bermuatan, sehingga nantinya akan berikatan dengan mikroba perusak, hingga mikroba tersebut mati. Jadi, chitosan juga dapat berfungsi sebagai antibiotik.
Daya simpan chitosan tidak kalah dengan formalin. Ikan asin yang diberi chitosan dapat bertahan selama tiga bulan, hampir sama dengan yang menggunakan formalin. Dari segi harga, ternyata chitosan lebih ekonomis dibandingkan dengan formalin, apabila menggunakan formalin, untuk 100 Kg ikan diperlukan Rp 16.000, sedangkan dengan chitosan hanya perlu Rp 12.000, hal ini dapat menambah keuntungan nelayan dan pengusaha kecil ikan asin. Maka, kalau sudah ada yang ekonomis dan aman, kenapa harus memakai yang membahayakan? Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang," katanya merujuk riset (Allan dan Hadwiger, 1979 dalam El Grauth et al., 1991). 3.4. Kerugian Chitosan Namun, sebaik-baiknya produk buatan manusia, pasti masih ada kekurangannya. Menurut ibu Dr. Endang Sri Heruwati yang juga seorang peneliti dari FPIK-IPB, chitosan kurang efektif untuk mengawetkan ikan segar. Selain itu, chitosan tidak memiliki fungsi mengenyalkan, seperti yang dimiliki oleh formalin. Tapi tidak perlu berpikir untuk kembali pada formalin, karena masalah ini juga ada jalan keluar yang lebih aman dan ekonomis. Untuk mengawetkan ikan segar, sebaiknya digunakan buah picung. Dari hasil penelitian, buah picung dapat mengawetkan ikan segar selama enam hari tanpa mengurangi mutunya. Sedangkan untuk mengenyalkan, ada lagi produk bernama karagenan yang terbuat dari rumput laut, yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Maka, dapat disimpulkan bahwa chitosan merupakan bahan pengawet alami penolong bagi kelangsungan industri kecil di Indonesia, sekaligus bermanfaat untuk keamanan pangan Indonesia. Munculnya fenomena penggunaan pengawet mayat ini seharusnya membuat kita sama-sama sadar, inilah dampak dari kebobrokan ekonomi dan mental bangsa kita. Sekarang baru penggunaan formalin yang terkuak, padahal masih banyak penggunaan bahan berbahaya lainnya dalam makanan yang belum terungkap, seperti penggunaan pewarna, perasa, dan lain-lain.
IV. ALAT DAN BAHAN Alat 1. Water bath 2. Neraca analitis 3. Corong dan kertas saring 4. Beker gelas 5. pH meter 6. Pipet tetes 7. Oven 8. Spatula Bahan 1. Kulit udang 2. HCl 3. NaOH 4. Aquadest V. PROSEDUR PERCOBAAN 1. Pisahkan udang dan kulitnya kemudian cuci bersih dan keringkan. 2. Gerus sampai halus kulit udang yang telah dikeringkan tadi hingga menjadi bubuk atau powder. 3. Timbang bubuk kulit udang sebanyak 5 gr, dicampur dengan 300 ml aquadest. 4. Kemudian masukkan HCl sebanyak 3 tetes, selanjutnya larutan kulit udang tadi dipanaskan selama 2 menit, diamkan sebentar. 5. Larutan tadi disaring dengan kertas saring, slurry kulit udang dimasukkan dalam beker gelas kemudian dicuci serta disaring kembali. 6. Hasil saringan ini dicampur kembali dengan 300 aquadest, direbus selama 2 menit, kemudian saring kembali. 7. Hasil saringan ditetesi NaOH sebanyak 3 tetes, selanjutnya diukur pH dengan menggunakan pH meter. 8. Langkah terakhir larutan disaring kembali dan dikeringkan.
VI. HASIL PENGAMATAN Pada percobaan pembuatan chitosan ini, digunakan bahan baku berupa kulit udang yang berbentuk serbuk dan warnanya agak merah muda. Jumlah kulit udang halus yang digunakan sebanyak 5 gram lalu ditambah aquadest hingga jumlah totalnya 300 ml. Campuran ini dipanaskan, ditambahkan zat kimia seperti HCl dan NaOH untuk mengatur pH, lalu disaring yang dilakukan beberapa kali. Produk dari penyaringan terakhir dikeringkan dalam oven dan ditimbang berat keringnya. Berat chitosan yang diperoleh pada percobaan kali ini adalah sebanyak 2,837 gram. Berat awal sampel Berat kertas saring Berat akhir produk saring) = 4,717 gram 1,88 gram = 2,837 gram Warna produk Bau produk pH awal pH demineralisasi pH deproteinasi = orange pucat = aroma udang masih terasa = 8 (bersifat basa) = 5 (bersifat asam) = 10 (bersifat basa) = 5 gram kulit udang serbuk = 1,88 gram = (berat chitosan + berat kertas saring) (berat kertas
VII. PEMBAHASAN Percobaan ini menggunakan bahan baku utama kulit udang. Dipilih bagian kulit karena pada kulit udang ini terkandung chitin lebih banyak dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sedangkan chitosan sendiri adalah salah satu turunan chitin. Kulit ini dipisahkan dari udangnya, lalu dicuci bersih, dan dikeringkan. Lalu kulit udang ini dihancurkan hingga menjadi lebih halus. Tujuannya agar chitin yang terkandung dalam kulit udang dapat cepat bereaksi dengan zat kimia (HCl dan NaOH) dan lepas dari kandungan chitin tersebut. Kulit udang sebanyak 5 gram ditambahkan aquadest hingga jumlah totalnya menjadi 300 ml. Meskipun dicampurkan, kedua bahan ini tidak saling melarut. Pelarutan chitin sebenarnya tergantung dari konsentrasi asam mineral dan temperatur. Karena itulah, pada saat proses pemanasan temperaturnya tidak terlalu tinggi dan campuran tidak boleh diaduk terlalu sering karena dikhawatirkan akan membuat kandungan chitin terlarut dalam aquadest. Pemanasan pun hanya dilakukan selama 5 menit. Setelah dipanaskan, larutan ini disaring. Slurry kulit udang kemudian diukur pH-nya. Dari pengukuran pH slurry didapatlah pH sebesar 7. Slurry ini ditambah aqudest, dipanaskan lagi, dan disaring. Kemudian slurry kulit udang diukur pH-nya agar menjadi basa dengan ditambah NaOH hingga pH-nya menjadi 10. Lalu perlakuan selanjutnya sama dengan perlakuan sebelumnya. Terakhir, setelah disaring chitosan yang diperoleh dikeringkan dalam oven. Chitosan dalam bentuk powder telah diperoleh, namun apakah bubuk kering itu murni chitosan atau masih terkandung zat lainnya selain chitosan, hal itu masih diragukan. Karena dalam percobaan pembuatan chitosan ini tidak diketahui parameter kimia zat chitosan. Chitosan kering yang kami peroleh yaitu sebanyak 2,837 gram. Padahal bahan baku yang kami gunakan sebanyak 5 gram. Artinya, terdapat sebanyak 2,163 gram sampel awal yang telah hilang atau terbuang. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor seperti: adanya kulit udang yang larut dalam aquadest dan proses pencucian yang tidak bersih. Bisa juga dikarenakan banyak serbuk powder kulit udang yang terbawa pada saat pencucian maupun penyaringan menggunakan kertas saring. Hal ini bisa
dilihat pada kertas saring dimana masih begitu banyak slurry udang yang tak bisa diambil dan masih tertinggal. Sebagaimana kita ketahui, ada tiga rangkaian proses dalam pembuatan Chitosa dari Chitin. Yaitu de-mineralisasi, de-proteinasi dan terakhir adalah deasetilasi. Pembuatan Chitosan sendiri memerlukan bahan baku dari limbah industri pengolahan udang dan rajungan. yang diambil dapat berupa kulit, kepala, dan ekor yang tidak terpakai. Bahan-bahan tadi kemudian dihilangkan mineralnya (de-mineralisasi) dengan cara dimasak pada pH asam.. Untuk itulah pada praktikum ini kita tambahkan senyawa asam pekat berupa Asam Klorida (HCl). Karena Organisme laut itu sangat kaya akan mineral makanya harus dihilangkan terlebih dahulu kandungan mineralnya. Proses selanjutnya ialah dihilangkan proteinnya (de-proteinasi) dengan dimasak pada tempat yang sama pada pH basa (9-10). Untuk itulah pada praktikum ini kita tambahkan senyawa basa kuat berupa Natrium Hidroksida (NaOH). Hasilnya, diperoleh bahan yang disebut dengan chitin murni yang nanti akan dimanfaatkan untuk proses selanjutnya. Proses berikutnya (terakhir) adalah de-asetilasi. Proses ini diperlukan karena Di dalam struktur chitin, terdapat gugus asetil. Gugus ini harus dibuang dan digantikan dengan gugus NH2, juga pada proses basa, tapi jauh lebih kuat dari basa pada proses penghilangan protein. Setelah de-asetilasi, jadilah chitosan dalam bentuk bubur. Bubur ini tinggal dicuci dan dikeringkan, tahapan tahapan seperti inilah yang bisanya dilakukan dalam proses pengolahan chitosan. Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan.
VIII. KESIMPULAN
1. Untuk membuat chitosan, sebaiknya dipilih bahan baku yang banyak mengandung chitin seperti kulit udang. 2. Ada tiga proses utama pembuatan Chitosan dari Chitin, yaitu demineralisasi, deproteinasi dan terakhir deasetilasi 3. Selama proses pencampuran kulit udang dengan aquadest, perlu diperhatikan konsentrasi asam mineral yang digunakan serta temperature pemanasan. Hal ini penting agar kulit udang tidak larut dalam aquadest. 4. Sebaiknya pada saat pemanasan, larutan chitosan jangan terlalu lama diaduk Karena dikhawatirkan bisa melarutkan chitosan di dalam air sehingga mengurangi jumlah produk akhir. 5. Pada produk akhir warnanya sedikit berubah dari sampel awal. Yaitu dari warna orange agak terang berubah menjadi orange pucat. 6. Bau udang pada sampel awal tidak hilang seratus persen, tetapi hanya sedikit saja. Hal ini bisa dicium dari aroma udang yang masih tajam pada produk chitosan. 7. Pembuatan chitosan selanjutnya sebaiknya memperhatikan ukuran sampel awal (harus dalam bentuk powder), temperature pemanasan yang tidak lebih dari 100 oC, lama pemanasan yang tidak lebih dari 2 menit, banyaknya HCl dan NaOH yang ditambahkan, dan ketepatan dalam penyaringan dan pengeringan produk.
IX. DAFTAR PUSTAKA Dahlan, Hatta.2010.Penuntun Praktikum Teknologi Bioproses.Laboratorium Teknologi Bioproses Universitas Sriwijaya. Prentis, Steve.1990.Bioteknologi Suatu Revolusi Industri yang Baru.Erlangga: Jakarta. Prawirahartono, S.1991.Pelajaran SMA Biologi.Erlanga:Jakarta Ratna Djuita.1990.Penuntun parktikum Mikrobiologi.1990.Labolatorium
X. GAMBAR ALAT
NERACA ANALITIK
INKUBATOR
GELAS UKUR
BEKER GELAS
ERLENMEYER
HOT PLATE
SPATULA
PRODUK CHITOSAN