Anda di halaman 1dari 39

Parang Pariaman Bagian 1 Giring-giring Perak akhirnya mendapatkan kenyataan-kenyataan yang amat tragis dan sekaligus membahagiakan dirinya

di goa Bukit Tambun Tulang. Kenyataan tragis pertama adalah terbunuhnya Puti Nuri. Gadis bangsawan dari Lima Kaum yang telah menatap sejak lama bersama orang tuanya Raja Tuo di Kampung Pisang. Tragedi kedua adalah ketika dia berhasil membunuh Harimau Tambun Tulang. Ternyata kepala penyamun Bukit Tambun Tulang yang namanya sudah amat tersohor itu tak lain tak bukan daripada gurunya sendiri! Guru yang amat menyayanginya. Yang membesarkan dan mengajarkan padanya segenap ilmu silat dan ilmu sirat. Guru yang mengajarkan padanya agar selalu berbuat kebaikan, membela yang benar dan menumpas kejahatan. Guru yang telah dianggapnya sebagai ayah dan ibunya. Tetapi ada dua hal pula yang membahagiakan dirinya. Pertama, dia bertemu di goa itu dengan ibu kandungnya. Perempuan tabah melahirkannya ke permukaan bumi. Yang ditawan dalam goa itu selama lebih dari dua puluh tahun. Dan kedua, Siti Nilam, gadis pengungsi dari Pariaman itu, yang diam-diam mereka saling mencintai, masih hidup meski telah terperangkap dalan goa itu sebelum dia tiba. Namun di saat terakhir mereka akan meninggalkan goa itu, goa tersebut runtuh. Kunci rahasia yang mampu meruntuhkan goa itu ternyata telah dicabut oleh Harimau Kumbang sesaat sebelum dia meninggal. Mereka terkurung dalam kamar serba biru yang selama belasan tahun dihuni oleh Puti Bergelang Emas, bangsawan dari Pagaruyung, ibu si Giring-giring Perak. Suara berderam gemuruh mengeletarkan seluruh goa. Si Giring-giring Perak yang tengah memangku tubuh ibunya yang kurus dan lemah, tertegak kaku. Demikian juga Tuanku Nan Renceh, Raja Tuo dan Datuk Sipasan. Siti Bilam tegak di dekat Giring-giring Perak. Mereka menatap langit-langit goa dimana mereka berada. Lantai goa itu bergoyang. Pintu keluar ke arah ruangan latihan besar itu runtuh dengan suara menegakkan bulu roma. Dan pintu ke sana tertutup rapat oleh jutaan ton bebatuan dan tanah. Debu memenuhi ruangan tersebut. Ya Allah, ya Akbar! Mereka membuat goa ini sebagai kuburan kita. Tuanku Nan Renceh terdengar berkata perlahan. Goncangan dan suara gemuruh berjatuhannya batu dan langit-langit goa masih terdengar. Dan tiba-tiba sebahagian langit-langit goa dimana mereka berada juga ikut runtuh. Kita terperangkap. terdengar Raja Tuo berseru. Ketiga lelaki itu, Tuanku Nan Renceh, Datuk Sipasan dan Raja Tuo segera berusaha mencari celah atau jalan keluar. Raja Tuo dengan masih tetap memangku mayat anaknya Puti Nuri, berusaha meneliti tiap senti dinding. Namun mereka sia-sia mencari jalan keluar. Giring-giring Perak sudah dua kali melompat menghindari runtuhnya langit-langit goa tersebut. Ini ada sedikit cahaya!! tiba-tiba terdengar suara Tuanku Nan Renceh.

Mereka mendekat ke tempat itu. Dan di antara reruntuhan bebatuan dan tanah, seberkas cahaya menembus masuk. Namun masih tetap tak bisa keluar. Cahaya itu jauh sekali di antara reruntuhan. Menghindarlah.. tiba-tiba si Giring-giring Perak terdengar bersuara. Dia ternyata telah meletakkan ibunya di lantai yang beralas permadani. Perempuan itu dipeluk oleh Siti Nilam. Ketiga lelaki itu mundur, si Giring-giring Perak berdiri sedepa dari berkas cahaya yang kelihatan itu. Mulutnya menggurimin membaca doa. Dan perlahan, semua yang ada dalam ruangan itu melihat betapa asap tipis mengepul dari kepala anak muda itu. Kemudian kedua belah tangannya menjadi merah. Mula-mula dari pangkal lengan. Cahaya merah seperti besi terbakar itu menjalar perlahan, ke lengan, lalu memenuhi seluruh jari jemari. Tuanku Nan Renceh dan kedua temannya benar-benar merasa takjub. Mereka sudah banyak mendengar dan bahkan belajar ilmu batin. Namun yang seperti ini, yaitu ilmu Al Kurdsi ini, baru kali ini mereka melihatnya. Sementara itu Giring-giring Perak membuat kuda-kuda dengan memajukan kaki kanannya ke depan. Tangannya yang kiri mengepal. Yang kanan terbuka dengan jari-jari rapat. Lalu yang kanan ditarik sejajar dengan tubuh. Dan. dengan menyebut Allahuakbar, tangan kanannya mendorong ke depan. Sepuputan tenaga yang amat dahsyat, menghantam bebatuan di depannya. Terdengar suara gemuruh, dan bebatuan itu melesak menghantam dinding. Kemudian hal yang tak termakan oleh akal itupun terjadilah. Dinding goa itu jebol, bebatuan yang tadi menghalang, terhempas dan terpukul jauh ke luar. Sebuah lobang sebesar drum kelihatan pada bekas kena hantam tenaga raksasa itu. Akibatnya goncangan bahagian yang lemah dari langit-langit runtuh. Reruntuhannya menghantam tempat ibunya berada bersama Siti Nilam. Tanpa memutar tegak, tangan kanannya mengibas ke arah batu langit-langit yang tengah meluncur turun dan hanya tinggal sehasta dari ubun-ubun Siti Nilam. Tuanku Nan Renceh, Raja Tuo dan Datuk Sipasan sampai berpeluh melihat runtuhnya batu itu. Mereka yakin kedua perempuan itu takkan tertolong. Namun di saat kritis itulah tenaga pukulan tangan Giring-giring Perak datang menghantam. Batu besar yang tengah meluncur turun itu terhantam. Tak ada suara, tak ada apa-apa. Hanya saja batu besar itu terhantam berobah arahnya, membentur dinding, dan.jatuh ke lantai dalam bentuk debu! Cepat keluarlah.duluan, saya menjaga di sini. Giring-giring Perak berkata. Dan ucapannya menyadarkan semua mereka, bahwa mereka harus keluar dari sana dengan segera. Tuanku Nan Renceh yakin anak muda ini akan mampu menolong ibunya. Karena itu dia segera bergerak cepat. Dalam beberapa gerakan saja, tubuhnya sudah berada di luar goa. Dan dalam waktu singkat, Raja Tuo dan Datuk Sipasan juga sampai di sana. Raja Tuo memangku mayat anaknya, Puti Nuri yang tubuhnya dipenuhi anak panah.

Dan tak lama setelah mereka berada di luar, Giring-giring Perak pun tiba sambil kedua tangannya memangku tubuh ibunya dan tubuh Siti Nilam. Suara berderam dan goncangan yang hebat terasa di tanah tak lama setelah mereka berada di luar. Pepohonan bergoyang, malah banyak yang rubuh. Tanah berbukit di depan mereka tiba-tiba seperti tersedot ke bawah. Kayu malang melintang. Debu tipis mengepul. Satwa yang ada di sana bertemperasan. Kemudian sepi! Parang Pariaman (bagian 2) Hal itu mereka buktikan ketika terjadi perang antara pengikut Tuanku Nan Renceh dengan Belanda di Kamang. Tanpa diduga, mereka datang membantu. Pasukan Tuanku Nan Renceh yang semula sudah terjepit, tiba-tiba mendapat bantuan. Belanda yang mengepung tiba-tiba ditikam dari belakang oleh pasukan bekas para penyamun ini. Belanda lari terbirit-birit meninggalkan banyak sekali korban. Mereka juga membantu orang Pariaman yang berperang melawan Inggeris di Pariaman. Mereka memang memilih jadi petani, nelayan atau pedagang. Namun setiap saat mereka siap terjun ke medan pertempuran melawan penjajah. Mereka memang orang yang terlatih dalam perang tradisional dalam rimba. Raja Tuo kembali ke kampung Pisang. Sementara si Giring-giring Perak menikah dengan Siti Nilam dan memutuskan untuk berdiam di kampung isterinya itu, di suatu desa tak jauh dari Pariaman. Begitulah kisah hancurnya penyamun di Bukit Tambun Tulang. Tapi itu bukan berarti berakhirnya kejahatan di berbagai tempat di Minangkabau saat itu. Itu bukan berarti berakhirnya penderitaan rakyat. Indonesia ternyata harus memperpanjang masa deritanya di bawah cengkeraman penjajah yang satu ke penjajah yang lain. Belanda, Inggeris, Portugis, datang silih berganti menjajah negeri ini. Dan di zaman Giring-giring Perak ini, Inggeris sempat membuat jejak berdarahnya di Minangkabau, terutama di bahagian pesisir pantai, PARIAMAN!. Penduduk Pariaman yang terkenal berdarah panas itu kali ini dihadapkan pada teror dari pasukan Inggeris yang baru saja didatangkan dari Eropah. Yaitu pasukan yang memenangkan perang melawan Napoleon dari Perancis. Pariaman di suatu hari sekitar tahun 1800. Saat itu, Minangkabau sudah berada di bawah kekuasaan Inggeris. Sebab tahun 1793 benua Eropah dijilat api peperangan. Napoleon yang tengah berkuasa di Perancis dan Belanda terlibat perang dengan kerajaan Inggeris. Perang di Eropah menyebabkan seluruh daerah jajahan ketiga bangsa itu juga berperang. Pimpinan Inggeris di Calcutta, India yang membawahi Benua Asia memerintahkan angkatan lautnya merebut wilayah Sumatera Barat yang kaya dengan emas dan rempah-rempah dari tangan Belanda. Tahun 1795 itu, angkatan perang Inggeris mendarat dan segera dapat merebut pos-pos Kompeni (V.O.C) di Padang tanpa perlawanan yang berarti. Dengan jatuhnya pos-pos Belanda di Padang, maka pos-pos mereka di daerah pesisir seperti di Salido, Painan, Pariaman dan Tiku juga menyerah pada Inggeris. Sejak tahun 1795 itu, bermulalah penjajahan Inggeris atas pesisir Minangkabau. Kekuasaan Inggeris ini kelak akan berakhir pada tahun 1819. Daerah ini dikembalikan kepada Belanda berdasarkan perjanjian London tahun 1814 antara Inggeris dan Belanda tentang daerah jajahannya di Hindia Belanda. Parang Pariaman (bagian 3) HARI alangkah panasnya. Dalam terik yang membakar itu, dua puluh pasukan yang menunggang kuda bergerak di bawah pohon kelapa. Mereka adalah pasukan berkuda tentara Inggeris. Dengan pedang di

pinggang, dan senjata api panjang tergantung di sisi pelana, pasukan berseragam baju merah, celana putih dan bertopi tinggi berjambul ini kelihatan seperti sesuatu yang asing di tengah kesederhanaan penduduk Pariaman. Penduduk menatap mereka dengan diam. Menatap tentara penjajah itu dengan tatapan yang mengandung misteri. Kedua puluh pasukan berkuda itu berjalan menyusur tepi pantai arah ke selatan. Di depan sekali, seorang perwira yang masih muda berpangkat letnan berjalan sendirian. Enam depa di belakangnya, barulah pasukannya yang dua puluh itu menyusul dalam barisan dua-dua. Tak begitu lama berkuda, mereka sampai di tempat yang dituju. Sebuah Perguruan. Perguruan itu cukup besar. Dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari kayu setinggi dua meter. Untuk masuk ke dalam ada dua pintu. Pintu pertama arah ke Timur, arah ke matahari terbit. Tepatnya arah ke darat. Sedangkan pintu satu lagi menghadap arah ke pantai. Di pintu arah ke pantai inilah kini kedua puluh serdadu berkuda itu tegak. Setiap orang tahu, bahwa perguruan yang dipagar dengan kayu setinggi dua meter itu adalah perguruan silat terbesar yang ada di Minangkabau saat itu. Itulah perguruan Silat Sunua. Yang melahirkan Silat Jantan dan Silat Betina. Di sini pulalah tempat asalnya Silat Ulu Ambek. Yaitu silat paripurna bagi yang telah masak dalam ilmu lahir dan bathin. Perguruan silat ini berada di bawah perguruan Islam yang dipimpin oleh murid-murid almarhum Syekh Burhanuddin. Syekh ini membuka perguruan Islam di Ulakan pada abad 17. Dan karena penyebaran Islam saat itu amat sulit, maka diperlukan mempelajari ilmu bela diri, maka Syekh itu mendirikan perguruan silat di Sunua. Saat peristiwa itu terjadi, Syekh itu sudah lama meninggal. Yang memimpin adalah muridnya yang bernama Anduang Ijuak. Dia seorang penganut Tarikat yang tersohor. Berilmu tinggi dan amat disegani lawan dan kawan. Kedatangan pasukan berkuda itu disambut oleh enam orang murid Anduang Ijuak. Keenam mereka, semua lelaki yang bertubuh biasa-biasa saja, tegak dengan berpeluk tangan di depan gerbang perguruan. Menatap dengan tenang pada pasukan berkuda yang kelihatannya mewah itu. Tatapan mereka biasa-biasa saja. Tak tergambar sama sekali bahwa mereka adalah orang jajahan. Atau tepatnya tak tergambar sedikitpun bahwa mereka takut menghadapi pasukan berkuda Inggeris itu. Namun demikian, pimpinan pasukan Inggeris itu, si Letnan yang barangkali usianya belum cukup 23 tahun, memajukan kudanya ke depan. Lima depa dari pintu gerbang di mana murid-murid perguruan Sunua itu tegak, dia menghentikan kudanya. Selamat siang. Letnan itu membuka pembicaraan. Tak ada yang menyahuti ucapannya. Bolehkah kami masuk menemui pimpinan kalian? Masih tak satupun yang menyahuti. Ke 20 anggota pasukan letnan itu menatap dengan diam. Meski mereka agak tersinggung karena ucapan komandan mereka tak disahuti, tapi sewaktu akan berangkat dari Loji tadi mereka telah diberi peringatan. Kapten Calaghan yang menjadi komandan mereka untuk Loji ( pos ) Pariaman dan Tiku memesankan benar agar mereka tak berlaku kasar pada murid-murid perguruan itu. Mereka dilarang untuk memancing kekeruhan. Dan peringatan itu diberikan karena jumlah mereka di Pariaman dan tiku hanya seratus orang. Ya, hanya seratus orang. Jumlah itu memang besar. Tapi kalau rakyat sempat membentuk kekuatan dengan jumlah dua atau tiga ratus, maka itu akan memayahkan Inggeris. Sementara itu, perasaan Letnan muda itu juga jadi tak sedap ketika tak seorangpun di antara yang berenam itu menyahuti ucapannya.

Apakah tak seorangpun di antara tuan-tuan yang mengerti apa yang saya ucapkan? katanya mulai meninggi. Tak seorangpun yang akan menyahuti tuan, selagi tuan bicara di atas punggung kuda itu. salah seorang murid perguruan Sunua itu menjawab dengan nada datar. Si letnan menatapnya. Lelaki yang menjawab itu bertubuh biasa-biasa saja. Rambutnya panjang dan diikat di belakang. Dijalin dua. Mode rambut yang saat itu sangat lazim bagi setiap lelaki. Saya harus turun? Letnan itu balik bertanya. Tidak harus. Tuan bisa tetap di atas punggung kuda tuan dan silahkan berangkat dari sini., murid perguruan itu menjawab lagi. Wajah Letnan itu jadi merah padam. Dia menoleh pada anak buahnya. Dan kedua puluh anak buahnya memang telah waspada. Hati-hati bicara. Tuan bisa saya seret ke Loji dan saya penjarakan di sana. desis letnan itu tajam. Betapapun dia diperingatkan oleh komandannya di Loji tadi untuk bersabar, namun menghadapi muridmurid Perguruan Silat ini Letnan yang masih muda itu tak dapat menahan emosi. Sebagai seorang perwira dia cukup ditakuti dalam pasukannya. Dan, kini, pribumi yang jelas berada di bawah jajahan Inggeris berlaku kurang sopan padanya. Bukankah itu keterlaluan? Murid perguruan silat Sunua itu tak menyahut. Ekspresi dan sinar mata mereka tetap seperti tadi. Tak merasa gentar dan tidak pula ada kesombongan. Yang mereka ucapkan adalah kebenaran semata. Mereka tahu dengan pasti, bahwa yang berada di hadapan mereka ini adalah pasukan berkuda kerajaan Inggeris. Pasukan dari suatu bangsa yang merajai lautan. Yang memiliki negeri jajahan paling luas di permukaan bumi. Mereka tahu hal itu dengan pasti. Namun itu bukan berarti mereka harus terbungkukbungkuk untuk menghormat dan harus merasa rendah diri. Betapapun jua, negeri ini adalah negeri tumpah darah mereka. Sebenarnya, penduduk Pariaman ini telah beberapa kali berperang dengan Inggeris, Belanda dan Portugis. Namun karena kurangnya persatuan, mereka selalu dikalahkan. Parang Pariaman (bagian 4) Letnan itu mulai memperlihatkan watak penjajah aslinya. Dia tertawa. Mula-mula hanya tertawa bergumam. Kemudian mulai terkekeh. Dan tiba-tiba dengan sebuah teriakan panjang, dia memacu kudanya. Kuda itu melejit ke depan. Menerjang keenam lelaki murid perguruan Sunua itu. Dan sepuluh orang diantara anak buahnya masuk pula dengan suara gemuruh. Keenam murid perguruan itu hanya memerlukan sedikit gerakan untuk menghindar dari kuda-kuda yang melejit di depan mereka. Pasukan berkuda Inggeris yang sepuluh lagi tetap berada di luar dinding perguruan itu. Duduk di atas punggung kudanya dengan bedil terhunus. Menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tak dingini. Dan penduduk yang berada di luar areal perguruan itu menatap dan menanti perkembangan dari kejauhan dengan diam. Kesebelas pasukan berkuda Inggeris itu segera berada dalam areal perguruan. Dan mereka segera terhenti. Di dalam areal itu, ada sekitar tiga puluh orang, lelaki dan perempuan, yang tengah berlatih silat. Ada yang latihan tangan kosong. Ada yang latihan mempergunakan keris, tombak dan panah. Semua mereka terhenti berlatih. Letnan Inggeris itu menatap mereka dengan diam. Kemudian menjalankan kudanya ke arah sebuah rumah sederhana tak jauh dari tempat latihan itu.

Ada pimpinan kalian di sini? kembali dia bertanya. Kalau yang tuan maksudkan Anduang Ijuak, dia tak ada di sini. Sebuah suara memecah dari antara orang banyak yang berhenti latihan itu. Letnan itu Perguruan itu kini sepi. Tak seorangpun yang bergerak dari tempatnya. Beberapa orang di antara mereka melirik pada plakat yang tadi ditempelkan di dinding rumah Anduang Ijuak. Mereka hanya melirik dari kejauhan. Tak seorangpun yang berminat untuk mendekat mem bacanya. Sebab bagi mereka sudah jelas maksud plakat itu. Asyar. salah seorang di antara mereka bergumam perlahan. Yang lain seperti diingatkan pada waktu solat yang telah tiba. Mereka segera bersibak. Lelaki pergi ke barak lelaki, yang perempuan kembali ke baraknya pula. Barak mereka dipisahkan oleh pagar. Hanya waktu berlatih saja mereka bergabung di sasaran ini. Sebuah sasaran lebar berlantai pasir putih di bawah batang-batang kelapa dan pohon asam jawa. Mereka mengambil udhuk. Kemudian sembahyang berjamaah. Dan saat itulah, lelaki yang bernama Anduang Ijuak itu memasuki perguruannya. Lelaki ini berambut kasar dan lurus. Berkumis tebal kasar. Tak diketahui dengan pasti apakah karena rambut dan kumisnya yang kasar seperti ijuk itu makanya dia dinamakan Anduang Ijuak. Dan dia segera melihat plakat yang ditempelkan di dinding rumahnya. Ketika berada di Ulakan tadi, hatinya memang sudah berdetak bahwa ada apa-apa di perguruannya ini. Mereka, para pimpinan dalam perguruan Ulakan dan Sunua yang berada di bawah pimpinan Syekh Malik Muhammad, yaitu murid kesekian di bawah Syekh Burhanuddin yang telah almarhum itu, memang sudah dua kali mendapat peringatan dari Inggeris untuk menghentikan latihan silat. Tuan-tuan boleh melanjutkan perguruan agama tuan-tuan di Ulakan. Tapi tidak perguruan silat di Sunua. Begitu dua kali peringatan yang pernah disampaikan Kapten Calaghan pada Syekh Malik Muhammad tiga bulan yang lalu. Mereka mengetahui dengan pasti apa alasan larangan itu. Mereka memang melatih silat untuk menghimpun kekuatan. Ada dua maksud utama yang ingin mereka capai dengan latihan silat itu. Pertama mereka akan menghimpun tenaga untuk mengusir penjajah dari Minangkabau. Untuk itu dibutuhkan ilmu perang dan ilmu beladiri. Kedua, mereka memang tak mudah menyebarkan Agama Islam di tengah masyarakat yang telah terbiasa dengan berbagai perbuatan maksiat. Makanya mereka lalu mempersiapkan diri dengan ilmu silat. Ada beberapa tingkat pelajaran yang harus dilalui oleh murid-murid perguruan di Ulakan. Pada tingkat pertama mereka harus menuntut ilmu agama. Setelah mencapai tingkat tertentu, baru masuk ke Sunua untuk belajar dasar-dasar silat. Kemudian kembali ke Ulakan untuk memperdalam agama. Dan kembali lagi ke Sunua untuk memasuki taraf lebih lanjut dari silat. Jika lolos, maka kembali lagi ke Ulakan. Di sini mereka belajar Tarikat. Dan jika lulus dari sini, untuk kali ketiga kembali lagi ke Sunua menjadi murid-murid senior yang diberi pelajaran silat Ulu Ambek yang terkenal itu. Sejenis silat yang mempergunakan tenaga batin. Silat yang tak memerlukan saling bersentuhan fisik untuk membunuh. Mulai dari Portugis, Belanda dan kini Inggeris, mencium bahaya yang tersimpan di balik perguruan ini. Jika dibiarkan orang-orang ini bisa menjadi pasukan yang tangguh. Dan itu sudah pasti berbahaya bagi

yang menjajah. Dalam sejarah, perguruan ini sejak seratus tahun terakhir memang menjadi pusat pergerakan menentang kaum penjajah. Itulah sebabnya Inggeris melarang mereka melanjutkan latihannya. Anduang Ijuak masih tertegak di luar rumahnya. Membaca maklumat yang ditempelkan oleh tentara Inggeris tadi. Kemudian dia menoleh ke lapangan pasir di bawah pohon kelapa dan pohon asam di mana murid-muridnya selama ini berlatih. Ada jejak telapak kuda mencekam pasir lembut itu. Dia segera tahu, pasukan berkuda itu telah menerobos kemari. Dan dia bersyukur, murid-muridnya dapat menahan emosi untuk tidak melibatkan diri dalam perkelahian dengan pasukan itu. Sebab dalam perundingannya dengan Syekh Malik Muhammmad, pimpinan tertinggi perguruan Ulakan dan Sunua saat itu, didapat kesimpulan bahwa mereka belum saatnya untuk mulai menyerang Inggeris. Belum saatnya, karena mereka belum terkoordinir. Kekalahan yang dialami ketika berperang dengan Belanda beberapa tahun dahulu masih berbekas. Banyak anggota dan pendekar-pendekar Ulakan yang gugur. Mereka, pimpinan perguruan di Ulakan dan Sunua itu, juga telah menghubungi seorang lelaki yang tinggal di kampung kecil bernama Ambun Pagi di Puncak Lawang. Sebuah kampung yasng berada di pucuk bukit terjal yang mengelilingi danau Maninjau. Dari tempat tinggalnya, juga dari sawah dan ladangnya, pemandangan ke danau Maninjau luar biasa indahnya. Amat luar biasa indah. Pagi maupun sore, kabut dan embun seperti mengapung di desa berudara sejuk itu. Dari celah-celah embun dan kabut itu danau Maninjau kelihatan seperti beludru. Kicau burung dan elang seperti suara salung dan bansi. Di tebing-tebing kelok terjal menuju Maninjau kelihatan pucuk-pucuk cengkeh seperti permadani ke merah-merahan. Mereka datang kerumah lelaki muda yang memiliki isteri amat cantik itu bersama Syekh Malik Muhammad, Anduang Ijuak dan dua orang pemuka Pariaman Lainnya. Saat mereka datang kedua suami isteri itu tengah menanam jagung tak jauh dari rumahnya. Mereka berhenti bekerja begitu melihat ada serombongan orang menunggang kuda yang datang. Assalamualaikum.. Syekh Malik Muhammad membuka perjumpaan itu, sesaat setelah mereka menambatlan kudanya di depan rumah. Waalaikum salam jawab lelaki muda tersebut sambil meletakkan tajaknya. Lelaki muda itu agak terkejut melihat kehadiran orang-orang perguruan Ulakan dan Sunua ini. Dia sudah akan melangkah dan menyilahkan tamunya ke rumah, tapi Syekh Malik Muhammad mencegahnya. Tak usah merepotkan anda. Kami ingin bertemu sebentar saja. Ya, tapi mari naik.. kata lelaki muda itu. Apakah tuan keberatan kita bicara di bawah pohon itu? Syekh itu menunjuk ke pohon jambu yang rindang. Parang Pariaman (bagian 5) Syekh itu terdiam. Yang lain juga terdiam. Lelaki muda yang sejak tadi terus memperhatikan si Syekh, kini melemparkan pandangannya ke danau jauh di bawah sana. Kemudian dia menunduk. Keheningannya itu dipecahkan oleh kehadiran isteri petani itu. Dia datang membawa air kelapa muda dalam gelas dari alumanium. Aha, ini air kelapa muda. Mari silahkan bapak-bapak minum.. kata lelaki muda itu sambil menolong isterinya membagi-bagikan gelas alumanium tersebut.

Sekali lagi, maafkan kami mengganggu ketenanganmu nak. Syekh Malik Muhammad bicara lagi pada isteri lelaki tersebut. Perempuan cantik itu tersenyum. Setelah gelas itu dia bagikan, dia mengundurkan dirinya ke rumah. Mereka lalu meneguk minuman itu. Kemudian sama-sama terdiam. Bagaimana.? Syekh itu kembali bertanya. Anak muda itu menarik nafas panjang. Kemudian berkata perlahan : Saya benar-benar merasa malu hati atas perhatian tuan Syekh dan tuan-tuan pimpinan Ulakan dan Sunua. Saya tak tahu apa yang harus saya sumbangkan untuk maksud sebesar itu. Saya khawatir saya akan membuat kecewa tuanku Syekh, maafkan saya. Dia berhenti. Syekh itu dan teman-temannya terdiam. Maafkan jika penilaian saya salah. Setahu saya, di manapun saat ini, apakah di Pariaman atau di Tiku, apakah di Inderapuro atau di Bukittinggi, apakah di Padang Panjang atau di Batusangkar, belum satupun yang tepat saatnya untuk memulai perlawanan kepada Inggeris.Di Pariaman ini saja misalnya, saya tak sangsi atas ketinggian ilmu perguruan yang tuan Syekh pimpin. Tapi dengan perguruan Syekh saja, tanpa mengikut sertakan perguruan dan rakyat lainnya, perjuangan itu hanya berupa bunuh diri. Nah, di Pariaman, maafkan saya, saya dengar antara perguruan silat yang satu dengan perguruan silat yang lain terjadi pertentangan-pertentangan yang tajam. Saya justru khawatir, di saat satu pihak menyerang Inggeris, maka pihak lain akan menikam dari belakang. Jumlah seratus pasukan berkuda yang dimiliki Inggeris adalah jumlah yang besar. Besar selain karena mereka memiliki bedil yang tak satupun kita miliki, mereka juga pasukan yang sudah terlatih dari banyak perang di Eropah. Begitu yang saya dengar. Syekh itu menarik nafas panjang. Memang begitulah yang sebenarnya anak muda. Saya juga sependapat denganmu. Bahwa tanpa mengikutsertakan seluruh lapisan rakyat untuk berjuang, maka perjuangan itu sama dengan bunuh diri. Apa-lagi Inggeris memakai senjata api sesuatu yang sulit kita hadapi. Saya memang sudah menduga, bahwa engkau akan menolak.. Tapi.. Saya mengerti maksudmu, kami datang hanya untuk menghilangkan was-was. Inggeris memang terlalu kuat saat ini. Pendapatmu sekaligus berguna bagi kami sebagai saran. Kami akan coba menghimpun sebanyak mungkin tenaga. Dan jika saatnya tiba, saya harap engkau bersedia membantu. Jika saatnya tiba, adalah kewajiban saya sebagai anak Minang untuk berjuang mengusir penjajah. Dengan tulang delapan kerat, saya akan menggabungkan diri dengan Tuan Syekh, anak muda itu berkata pasti. Syekh Malik Muhammad berdiri. Diikuti oleh ketiga rekannya. Dia mengulurkan tangan. Menyalami lelaki muda itu. Giring-giring Perak. Nama besarmu akan menambah semangat kami. Saya bahagia dapat bertemu dengan tuan. kata Syekh itu. Petani itu, yang memang si Giring-giring Perak, tersenyum tipis. Saya mendapat kehormatan yang besar sekali atas kunjugan tuan Syekh dan para pemimpin perguruan Ulakan ini. Maafkan kami tak dapat menyambut dengan cara yang layak.. Sampaikan pada Siti Nilam, isterimu yang bahagia itu, bahwa kami tak sempat minta diri. Kami bergegas benar Keempat pimpinan perguruan Ulakan itupun menaiki kudanya. Dalam waktu yang singkat ke empatnya

lenyap dibalik tikungan. Giring-giring Perak arif bahwa keempat lelaki yang barusan berkunjung ke rumahnya ini adalah ulamaulama yang berilmu tinggi. Baik ilmu agamanya, maupun ilmu silat dan ilmu bathinnya. Dan sebentar ini, mereka mempergunakan ilmu Siringan-ringan untuk mempercepat jalan mereka. Itulah kenapa dalam waktu yang singkat, mereka telah hilang dari pandangannya. Mereka telah pergi.? tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara isterinya. Dia menoleh, Siti Nilam kelihatan turun dari tangga rumahnya menuju ke bawah batang jambu di mana dia tegak membawa baki. Dia memperhatikan isterinya. Perempuan cantik itu tetap saja cantik meski dalam pakaian yang amat sederhana. Mereka sudah pergi..?, kembali perempuan cantik itu bertanya. Dan suaminya seperti terjaga dari sebuah lamunan. Ya, mereka telah pergi, katanya perlahan. Mengajak berperang? Giring-giring Perak tertegun. Dia tatap isterinya. Engkau tahu? Siti Nilam tersenyum. Bagaimana saya takkan tahu, kalau melihat orang-orang yang datang adalah para pendekar, dan kedatangan mereka nampaknya amat rahasia? Lagi pula, setiap isteri, pasti dapat merasakan apa yang tengah dipikirkan suaminya.Mereka adalah pimpinan perguruan Ulakan, bukan? Ya, mereka pimpinan Ulakan. Engkau cukup arif dan berpengamatan tajam, Nilam.Dan mereka memang mengajak untuk bersatu melawan Inggeris. Inggeris? Ya, melawan Inggeris. Mereka merasa sudah tiba waktunya untuk berbuat demikian Melawan Inggeris yang punya lebih dari delapan puluh pasukan berkuda? Tepatnya sekitar seratus pasukan berkuda. Dan lengkap dengan senjata api... Ya. Lengkap dengan senjata api... Apakah itu mungkin? Penyerangan itu bisa saja mungkin. Ya. Serangannya pasti mungkin. Tapi bagaimana dengan hasilnya? Itulah yang saya lihat tak mungkin. Tak mungkin untuk menang. Siti Nilam menarik nafas panjang. Dia duduk di depan suaminya. Dia adalah wanita yang selain amat mencintai suaminya, juga amat mengaguminya. Lalu bagaimana putusan uda tadi? Saya rasa belum saatnya saya untuk ikut. Karenanya saya kembalikan saja persoalan itu pada mereka. Saya janjikan bahwa saya akan ikut kalau telah tersusun kekuatan dari berbagai lapisan penduduk Pariaman. o0o Anduang Ijuak, salah seorang pimpinan Ulakan yang datang ke rumah si Giring-giring Perak itu bersama Syekh Malik Muhammad, kini tertegak di depan rumahnya dalam komplek perguruan Silat Sunua yang dia pimpin. Melihat plakat yang di tempelkan oleh pasukan Inggeris ketika dia tengah mengadakan pertemuan di Ulakan. Dia menghela nafas.

Kemudian berbalik akan melangkah ke rumah. Namun langkahnya terhenti. Dia menatap keliling. Dan di sekelilingnya, telah berdiri murid-muridnya yang lelaki. Tegak dengan diam. Mereka membentuk setengah ligkaran. Jumlah mereka sekitar 20 orang. Jumlah kita terlalu sedikit dibanding dengan pasukan Inggeris. masih terngiang olehnya ucapan si Giring-giring Perak tiga hari yang lalu ketika mereka datang ke rumah anak muda itu. Dan kini dia tatap murid-murid persilatan Sunua yang dia pimpin itu. Hanya sekitar 20 orang. Berdatangan dari berbagai daerah. Mulai dari Luhak Nan Tigo, yaitu Tanah Datar, Agam dan 50 Kota. Sampai dari Riau dan jambi. Bahkan ada yang datang dari Aceh. Hanya dua puluh. Dan dari jumlah itu, hanya empat atau lima orang saja yang memiliki silat Ulu Ambek. Silat yang paling atas dalam perguruan mereka. Selebihnya hanyalah silat Jantan dan Betina. Ya, kita terlalu sedikit, kata guru Gadang ini dalam hatinya sambil menarik nafas panjang. Anduang salah seorang muridnya buka suara. Anduang Ijuak mengangkat kepala. Meski hatinya gundah namun dia tersenyum. Kalian sudah sholat? Sudah, Anduang kata mereka serentak. Syukurlah. Ada yang akan kami sampaikan pada Anduang Apakah saya kalian izinkan sembahyang dahulu? Saya belum sholat Asyar. Maafkan kami. Silahkan Anduang sholat. Anduang Ijuak, lelaki bertubuh kekar dengan rambut kasar dan kulit berwarna hitam itu, tersenyum. Secara keseluruhan lelaki ini adalah orang perkasa. Dengan tubuhnya yang besar itu, dia patut untuk ditakuti. Namun siapapun yang melihat wajahnya, takkan ada kesan menyeramkan dari wajahnya. Wajahnya bersih. Selalu tersenyum lembut. Dia melangkah menuju langgar kecil dalam pekarangan sasaran Sunua itu. Dia memang berusaha untuk tak segera berdiskusi dengan murid-muridnya ini. Bukan rahasia lagi baginya, para murid ini ingin segera menyerang Loji Inggeris di Pariaman dan Tiku. Dan bukan jadi rahasia pula, bahwa sejak lama ada permusuhan antara perguruannya di Sunua ini dengan perguruan silat Harimau Kumbang di Pariaman. Perkumpulan silat Harimau Kumbang itu mempunyai murid lebih dari 30 orang. Bermacam-macam golongan kumpul di sana. Ada penghulu, ada ninik mamak, ada pemuda, ada nelayan, ada perampok. Ada yang Islam, ada yang tidak. Dan bukannya rahasia lagi, perguruan itu selalu menimbulkan huru-hara di daerah Tiku sampai ke Pariaman. Pimpinan perguruan itu adalah seorang lelaki gemuk, tinggi besar dan selalu memakai gelang akar bahar di lengannya, bernama Uwak Sanga. Dia dinamakan Uwak Sanga karena memang tak ada soal yang beres baginya. Setiap soal, jika dihadapkan padanya ujungnya pasti tak beres. Dan ujung ketidakberesan itu adalah bicaranya kaki dan tangannya. Sikapnya yang kasar dan mudah naik darah, membuat orang menggelarinya Uwak Sanga. Dan meski demikian dia cukup ditakuti. Baik oleh kawan maupun lawan. Dan terus terang saja perguruan Syekh Burhanuddin yang kini dipimpin oleh Syekh Malik Muhammad merasa segan pada Uwak ini.

Uwak itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Kabarnya dia pernah menuntut di Pagaruyung dan ke Aceh. Ilmu silatnya mirip ilmu silat harimau di darat sana. Tak diketahui dengan pasti, apakah karena itu makanya perguruannya di namakan dengan Harimau Kumbang. Uwak ini beragama islam. Itu pasti. Sebab tak seorangpun di antara murid-murid yang pernah belajar ke Aceh yang tak beragama Islam. Namun, sudah puluhan tahun lamanya Uwak itu tak kelihatan sembahyang. Dan dia membiarkan pula murid-muridnya berjudi, menyabung, mabuk-mabuk dan menodai anak isteri orang. Sejak lama, perguruan itu saling intai mengintai langkah dengan perguruan Ulakan. Pihak Ulakan tak pernah mau memulai pertikaian. Sebab mereka memang dididik dengan aturan-aturan agama yang keras. Sementara perguruan Harimau Kumbang juga tak berani secara terang-terangan memusuhi perguruan Ulakan. Kendati demikian, perkelahian antara murid-murid Ulakan dengan murid-murid Harimau Kumbang sudah beberapa kali terjadi. Meski tidak sempat melibatkan perguruan secara menyeluruh, namun sudah ada tanda-tanda bakal terjadinya kebakaran antara kedua perguruan tersebut. Pihak Harimau Kumbang juga menaruh segan pada Ulakan. Bukan rahasia lagi, bahwa perguruan itu memiliki pendekar-pendekar aliran Ulu Ambek yang tangguh. Bagi pihak Ulakan sendiri, ada hal yang membuat mereka menaruh perasaan tak sedap pada perguruan Harimau Kumbang. Perguruan yang dipimpin Uwak Sanga itu diketahui sangat rapat dengan Inggeris. Dulu dia rapat dengan Belanda. Kini ketika Inggeris menggantikan Belanda, dia rapat dengan Inggeris. Itulah soalnya. Dan esoknya, Anduang Ijuak memang datang ke Loji Ingeris yang terletak dekat lapangan lebar di pusat kota. Dia datang ke sana setelah bermufakat dengan Syekh Malik Muhammad di Ulakan. Datang bersama seorang wakilnya bernama Sidi Marhaban. Kedatangannya disambut oleh Letnan yang kemaren datang memimpin pasukan berkuda ke sasarannya. Aha.akhirnya tuan datang Anduang Ijuak! Mari, silahkan masuk.. ujar letnan itu meramahramahkan diri. Tapi Anduang Ijuak tak beranjak dari tempatnya. Parang Pariaman (bagian 6) pukulan ulu ambek Saya ingin bertemu dengan Komandan Loji. Sayalah komandannya di sini.. Saya yakin tuan tak suka bermain-main. Saya ingin bertemu dengan Kapten Calaghan. Persoalan perguruan tuan, bukan.? Benar.. Persoalan itu telah dilimpahkan pada saya. Saya yang menanganinya. Sekarang tuan harus berurusan dengan saya, suara letnan itu terdengar cukup keras. Anduang Ijuak cukup maklum. Jika dia berurusan dengan perwira muda ini, maka dia akan berhadapan dengan seorang opsir yang suka menyombong. Dia sebenarnya ingin balik kanan saja. Tapi dia tahu, kaum penjajah bisa berbuat sekehendaknya. Maka akhirnya, dengan menekan perasaan, Anduang ini masuk juga.

Ajudan tuan silahkan menanti di luar kata Letnan itu. Dia wakil saya. Saya tak memiliki ajudan.. kata Anduang Ijuak. Wakil atau tidak, saya tak suka terlalu banyak orang melayu masuk ke kamar saya. Baunya kurang sedap bagi hidung saya!! ujar letnan itu. Dan akibatnya luar biasa. Muka Anduang Ijuak dan Sidi Marhaban berobah menjadi merah padam. Sidi Marhaban melangkah dua langkah dengan tangan siap menghantam mulut letnan yang lancang itu. Namun Anduang Ijuak mencegahnya. Tapi seiring dengan itu, Letnan Inggeris tersebut telah mencabut pistol di pinggangnya. Dan menembak langsung! Peluru pistol yang terbuat dari serpihan besi halus itu segera menerkam dada dan muka Sidi Marhaban, jarak tembak ini demikian dekatnya. Hanya dalam jarak sedepa! Dan yang diterkam peluru itu bukan hanya dada Sidi Marhaban. Tetapi juga tangan kanan Anduang Ijuak. Tangan Anduang ini berada di dada Sidi Marhaban karena dia mencegahnya ketika akan maju menyerang Letnan itu tadi. Begitu tembakan menggema, lima orang serdadu Inggeris segera menerobos masuk dengan bedil dan pedang di tangan. Peristiwa itu nampaknya memang telah diatur Inggeris sedemikian rupa. Ini adalah titik awal dari api yang bakal memamah Pariaman dalam perang melawan Inggeris. Begitu mereka masuk, semuanya tertegak diam. Letnan itu sendiri juga masih tegak dengan pistol yang telah kosong tergantung di tangannya. Anduang Ijuak dan Sidi Marhaban juga masih tegak di tempatnya. Inilah yang luar biasa.!Tembakan itu, jika ditembakkan pada manusia biasa, pasti telah membunuh sejak tadi. Tapi, meski dengan dada berlobang-lobang, dengan pakaian hangus, dengan muka yang juga berlobang di beberapa tempat, Sidi itu masih tegak di sana. Tak sedikitpun darah nampak menetes dari bekas luka di dadanya. Tak setitikpun! Tangan Anduang Ijuak yang sejak tadi menahan Sidi Marhaban, lambat-lambat dia turunkan. Anduang Ijuak menjadi amat berang dengan sikap Letnan itu. Dan turunnya tangannya dari dada Sidi Marhaban merupakan suatu tanda, bahwa dia tak lagi menghalangi Sidi yang telah terluka itu.Dan memang itulah yang dilakukan Sidi marhaban. Dia tahu, meskipun ilmu bathinnya tinggi, namun tembakan itu tadi benar-benar tak pernah diduganya. Dan dia tak sempat mempersiapkan diri. Dan dia tahu, nyawanya bakal tak tertolong lagi. Dia hanya bisa bertahan buat waktu yang singkat. Bertahan agar darahnya tak menyembur keluar dari bekas lukanya. Bertahan agar dirinya tetap tegak. Dan begitu tangan Anduang Ijuak lepas dari dirinya, dia menghimpun tenaga bathin. Dan letnan itu masih tegak takjub ketika Sidi Marhaban membentak keras! Bentakannya di iringi sebuah pukulan dari tempatnya berdiri. Bentakan itu demikian mengguntur dan demikian menggetarkan. Semua yang ada dalam ruangan itu, kecuali Anduang Ijuak, merasakan betapa lutut mereka jadi lemah. Dan yang lebih hebat lagi adalah akibat pukulan yang ditujukan pada Letnan yang masih memegang pistol kosong itu. Tubuh Letnan Inggeris itu seperti terangkat dari lantai. Kemudian terlambung ke belakang. Menghantam meja. Merubuhkan meja itu dan menyerakkan benda-benda yang ada di atasnya. Kemudian menghantamkan tubuh si Letnan ke dinding di belakangnya! Letnan itu tertegak di sana. Matanya mendelik. Dan dari mulutnya yang ternganga, tiba-tiba darah segar menyembur! Set..setaaan.ilmu se.taannn rintihhnya.

Dan itu adalah kalimat yang terakhir di permukaan bumi. Kemudian tubuhnya rubuh! Dan Letnan ini mati oleh sebuah pukulan Ulu Ambek yang terkenal itu. Pukulan jarak jauh yang tak memerlukan persentuhan badan. Pukulan yang disertai tenaga bathin yang cukup tinggi. Lalu, begitu Letnan itu rubuh, terhempas dan tertelungkup ke atas meja yang telah centang perenang itu, para prajuritnya yang masuk tadi jadi tersadar. Tubuh Sidi Marhaban tertembus peluru dari enam moncong bedil. Dia ditembak dari belakang. Tubuhnya tak bergoyang sedikitpun. Perlahan rubuh disambut oleh Anduang Ijuak. Sidi.! imbaunya. Tak ada jawaban. Anduang Ijuak maklum, bahwa pukulan Ulu Ambek yang dilakukan Sidi tadi terhadap Letnan itu, adalah gerakannya yang terakhir. Sebab dengan pukulan itu, dia telah melepaskan pertahanannya terhadap dirinya yang terluka. Anduang Ijuak yang tegak di sisi Sidi itu mendengar bisikan menyebut Allah tatkala Sidi itu membentak dan memukulkan tenaga bathinnya. Dan tak beberapa detik setelah pukulan itu, darah segar merembes dari badannya yang terluka sejak tadi. Dan di saat itu, yaitu di saat para pengawal itu belum menembakkan bedilnya, Anduang Ijuak maklum bahwa Sidi sudah berpulang! Tembakan keenam bedil itu mengenai sesosok mayat! Anduang Ijuak merebahkan diri Sidi Marhaban di lantai. Kemudian guru persilatan Sunua ini menatap pada keenam prajurit yang menembak Sidi itu. Ke enam prajurit itu kini menodongkan bedil kosong tapi tapi berbayonet runcing di ujungnya itu ke arah Anduang Ijuak. Tembakan itu telah mengundang seluruh tentara Inggeris di Loji itu masuk ke ruangan tersebut. Dan waktu yang amat singkat, kamar itu dipenuhi para serdadu yang berbaju dari beludru merah dengan celana satin putih. Parang Pariaman (bagian 7) Kapiten, saya datang kemari sebagai orang undangan. Saya disuruh menghadap untuk berunding! Beginikah cara orang Inggris berunding? suaranya terdengar dingin penuh ancaman. Kapten itu tak segera menjawab. Dia menoleh pada anak buahnya. Siapa yang melihat apa yang telah terjadi? katanya. Seorang sersan maju. Letnan Sammy melarang orang yang mati itu untuk masuk ke kamarnya. Cukup hanya orang ini katanya sambil menunjuk pada Anduang Ijuak. tapi orang itu mendesak terus, malah ketika dilarang, dia justru memulai menyerang Letnan Sammy. Untuk membela diri, Letnan menembak orang itu. Ya, hanya untuk membela diri, Kapiten! Tapi ternyata itupun terlambat. Dia telah kena hantam duluan. Mereka sama-sama mati! Dialog ini dilakukan dalam bahasa Inggeris. Karenanya Anduang Ijuak tak mengerti sedikitpun. Kapten itu menatap pada Anduang Ijuak. Lalu, orang ini mengapa saja? tanyanya sambil memberi isyarat pada Anduang Ijuak. Sersan tadi menjawab lagi dalam bahasa Inggeris. Dia.dia, dia hanya berdiri saja Kapiten. Berdiri saja? Ya. Begitu yang saya lihat, Kapiten

Kamu harus melihat bahwa orang ini ikut menyerang Letnan Sammy. Mengerti!! Yes, sir! Anduang Ijuak yang tak mengerti bahasa itu, hanya tegak menanti. Namun firasat nya mengatakan bahwa orang ini tengah mengatur siasat untuk menjebaknya. Dia telah mempelajari situasi. Kamar itu telah penuh sesak oleh tentara Inggiris. Satu-satunya yang lowong adalah jendela dekat tubuh Letnan itu. Tapi jendela itu juga tidak menghubungkannya dengan dunia luar. Jendela itu keluar ke pekarangan dalam Loji itu sendiri. Barangkali dia bisa melarikan diri. Memukul mati seorang atau dua orang dalam ruangan ini. Tapi itu, jelas bahaya besar bagi peguruannya. Perguruannya tengah menghimpun tenaga. Tenaga setiap orang sangat dibutuhkan. Kini Sidi Marhaban, salah seorang senior di perguruannya telah mati, berarti tenaga sudah berkurang. Kalau dia juga mati, maka tenaga makin berkurang. Kalau dia meneruskan untuk menghantam orang-orang Inggeris ini, maka efeknya adalah ditangkapinya murid-murid Sunua. Itu jelas akan mematikan perguruan itu. Daripada murid-muridnya ditangkapi, lebih baik dialah yang memikul resiko itu. Demikian Anduang ini mengambil kesimpulan. Kalau dia harus juga ditahan, maka pimpinan perguruan di Ulakan masih bisa berusaha terus. Dengan harapan demikian dia tetap saja berdiri mendengarkan jebakan yang diatur untuk dirinya dalam bahasa yang tak dia mengerti. Tuan, tuan terpaksa saya tangkap. Tuan dan teman tuan ini telah menyerang perwira saya. Menyerang dan membunuhnya, ujar Kapten itu berkata tegas pada Anduang Ijuak. Anduang itu menatap si Kapten dengan mata yang disipitkan. Sesaat, hatinya berkata lagi, kalau kubunuh kafir yang satu ini, apakah mereka bisa ditaklukkan semua? Tapi dia kurang yakin. Sekali tiga hari selalu ada patroli berkuda dengan kekuatan lima puluh orang yang datang dari markas besar Inggeris di Padang. Kemudian sekali sebulan, ada kapal perangnya berlabuh di laut Pariaman. Barangkali esok atau lusa kapal itu akan berlabuh. Dan biasanya, kapal itu membawa serta dua ratus pasukan angkatan laut. Inilah yang membuat Anduang Ijuak dan pimpinan Ulakan lainnya berpikir masak-masak betul sebelum bertindak. Dengan pikiran itu pula Anduang ini mengurungkan niatnya untuk membunuh Kapten tersebut. Tangkap dan masukkan dia ke penjara. Menjelang dikirim ke Padang untuk diadili!! perintah Kapten itu menggema. Sebentar Kapten.., Anduang Ijuak berkata. Tentara yang mendekatinya dengan borgol di tangan menghentikan langkahnya. Kapten Calaghan menatap sambil mengacungkan pistol. Saya harap tuan menyerahkan jenazah teman saya ini ke perguruan kami Saya akan menyuruh orang ke sana dan menyuruh murid tuan untuk mengambil mayat ini ke mari. Sejenak Anduang Ijuak menatap Kapten itu. Ingin sekali dia meremukkan kepala jahanam itu. Namun perbuatan itu pasti takkan menyelesaikan masalah. Patroli Inggeris yang datang dengan pasukan berkuda dan singgahnya kapal perang mereka di perairan ini, menyebabkan dia harus berpikiran panjang. Saya harap tuan menepati janji tuan, kapiten. Saya tak ingin mayat ini teraniaya.. Tuan mengancam saya?.

Tidak, tapi tuan telah berjanji. Bawa dia ke sel bawah tanah! Dan guru persilatan Sunua itupun diborgol di tangannya. Kemudian dengan menempuh jalan berbelit, dia dibawa ke sebuah kurungan bawah tanah. Kurungan khusus untuk orang yang berbahaya. Bunyi pintu besi yang telah berkarat terdengar menegakkan bulu roma ketika pintu tahanan itu dibuka. Beberapa ekor tikus berlompatan keluar tatkala Anduang itu didorong dengan kasar ke dalam. Kemudian pintu berdentang ketika di tutup kan. Lalu pintu papan di bahagian luar pun di tutup kan pula. Dan.gelap! Bau yang pengap. Udara yang sumpek. Dan di kakinya yang telanjang, beberapa ekor tikus berkeliaran. Cukup besar-besar. Dia tak bisa melihat apa-apa dalam kurungan ini. Bahkan tak bisa melihat dinding. Buat sesaat dia memejamkan mata. Mengatur pernafasan. Empat kali bernafas, dari getar udara yang ditimbulkan amat perlahan oleh nafas nya, berdasar pembalikan udara, dia dapat mengetahui, bahwa dinding penjara itu hanya tiga langkah ke kanan. Dan tiga langkah ke kiri. Ke belakang hanya selangkah. Yaitu dimana pintu besi tadi di tutup kan. Ke depannya hanya tiga langkah. Segitu lah luas kamar itu. Ke atas, hanya ada jarak sehasta antara loteng dengan ubun-ubunnya. Kamar itu segera saja jadi panas karena tak ada pentilasi. Dia masih tegak di sana dengan diam. Pikirannya segera ke perguruannya. Banyak di antara teman dan murid-muridnya menyaran kan agar tidak memenuhi panggilan Letnan itu ke Loji. Tapi ketika dia meminta pendapat Syekh Malik Muhammad, maka pimpinan perguruan tinggi Islam Ulakan itu menyuruhnya untuk pergi. Pergilah. Supaya jangan ada alasan bagi mereka untuk menangkapi kita Tapi bagaimana kalau Inggeris memasang perangkap. Sehingga kami terjebak di sana. Dihadapkan pada situasi yang sulit sekali. Kemungkinan itu bukannya hal yang mustahil. Mengingat sifat penjajah sama saja. Apakah dia bernama Inggeris, Belanda atau Portugis sekalipun. Ya. Saya rasa, hal itu mungkin saja terjadi. Hanya saja harap Anduang hati-hati. begitu ucapan Syekh Malik Muhammad yang menjadi pimpinan tertinggi di antara mereka. Apa yang mereka duga tentang jebakan dan akal licik Inggeris itu, kini sudah jadi kenyataan. Dia hanya berharap agar Syekh malik Muhammad cepat bertindak. Dalam sejarahnya, perguruan tinggi Islam di Ulakan itu, dimana guru atau murid banyak orang-orang dari Aceh, Gujarat dan India, perguruan itu sudah beberapa kali ditutup. Ditutup karena sifat ekstrimnya terhadap penjajah yang berkuasa. Tapi perguruan itu senantiasa bisa bangkit kembali. Yaitu disaat-saat chaos. Disaat-saat ketidakpastian penjajahan. Disaat kekacauan. Adakalanya pesisir Barat Sumatera itu ditinggalkan oleh penjajah. Meskipun berada di bawah kekuasaan mereka. Tapi karena kekurangan personil, maka negeri itu dibiarkan saja. Ini terjadi ketika tahun-tahun 1400, 1500 dan 1600 dimana secaara berurutan Portugis, Spanyol dan Belanda berkuasa. Dalam jil di bawah tanah itu kini keadaan sepi. Untuk pertama kalinya Anduang Ijuak melihat setitik cahaya merembes masuk, cahaya yang lemah yang masuk ke bilik tahanannya itu adalah cahaya yang menerobos celah kecil di pintu di balik pintu besi yang tadi ditutupkan di belakangnya. Anduang Ijuak meraba-raba dalam kegelapan itu. Tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah balai-balai di sebelah kanan. Balai-balai dari beton. Tangannya terpegang beberapa ekor tikus. Yang tampaknya telah mendaulat tempat itu sebagai tempat mereka.

Tikus-tikus itu bertemperasan. Lari dengan suara mencericit. Dia lalu menanggalkan jubahnya yang berwarna merah. Mengibaskannya ke atas balai-balai itu. Kemudian perlahan dia duduk. Terasa dingin. Pikirannya melayang pada temannya. Sidi Marhaban yang tewas. Tapi dia agak puas juga. Sebab Sidi itu juga telah membunuh letnan pongah itu. -o0o Di Loji Inggeris itu suasana jadi sibuk luar biasa. Sibuk dan tegang. Terbunuhnya Letnan Sammy menimbulkan kegoncangan dan amarah di kalangan pasukan berkuda Inggeris yang sengaja di tempatkan di Loji itu. Kapten Calaghan sendiri mengadakan rapat darurat. Tamu-tamu yang datang ke Loji itu, para pedagang dari Aceh, india dan Gujarat, segera diminta untuk meninggalkan Loji. Bendera Inggeris yang terpancang tinggi di sudut Utara Loji, segera di kerek turun setengah tiang diiringi bunyi terompet yang menegakkan bulu roma.Penduduk Pariaman yang berada di sekitar Loji itu menjadi terkejut. Keterkejutan mereka bermula dari suara-suara letusan dari dalam Loji tadi. Banyak di antara mereka yang melihat Anduang Ijuak dan Sidi Marhaban memasuki Loji Inggeris itu.Berita kedatangan pasukan berkuda ke perguruan Sunua telah tersebar ke seluruh pelosok. Dalam sehari semalam saja, berita itu telah menjalar ke mana-mana. Parang Pariaman (bagian 8) Atau mungkin pasukan berkuda itu membawa pesan dari guru mereka untuk menjemput beberapa orang murid yang yang termasuk senior untuk diajak serta dalam perundingan di loji.Mereka menanti dalam diam dalam sasaran. Tapi pintu gerbang tak kunjung diketuk. Tak ada panggilan untuk membuka. Yang terjadi justru suara telapak kuda yang bergerak makin menjauh untuk kemudian lenyap sama sekali. Para murid itu saling bertukar pandangan. Ada apa? tanya seseorang. Ya, ada apa? sela seseorang yang lain. Lalu sepi. Mereka berusaha menajamkan telinga. Berusaha menangkap suara mencurigakan dari luar sana. Namun tak ada apa-apa kecuali suara angin yang mengipas daun-daun kelapa. Kita lihat ke luar.. Ya, kita lihat ke luar.. Ya..! Ayolah Ayo! Tidak. Jangan semua. Cukup bertiga, saya, engkau dan engkau. Yang lain tunggu saja di sini. Berjaga kalau-kalau ada sesuatu yang tak beres. Nah, mari kita ke luar. Ketiga murid senior perguruan Sunua itupun segera mendekati pintu gerbang. Yang lain tegak menanti dan menatap dari jarak sepuluh depa. Yang seorang maju, mengangkat kayu yang memalangi pintu. Kayu sebesar betis dan panjangnya tiga meter itu dicuilnya dengan telunjuk. Kayu itu mental ke atas. Ketika meluncur turun, disambut dengan tangan kiri.Dia membuka pintu. Di depan gerbang itu kosong! Angin dari laut menerpa masuk. Terasa angin. Tak ada apa-apa. Ya. Tak ada apa-apa. Tapi tadi jelas mereka mendekati gerbang ini!.

Tapi mereka juga segera menjauhinya. Bagaimana kalau kita melihat agak keluar sana. Ya. Itu barangkali lebih baik.Ketiga mereka melangah perlahan melewati gerbang itu. Tak ada apa-apa! Kosong dan sunyi! Tak ada apa, suara salah seorang di antara mereka terputus tatkala tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh tertelungkup dekat pagar perguruan tak jauh dari gerbang di sebelah kanan. Ya Tuhan, ada mayat! katanya perlahan. Kedua temannya menoleh ke tempat yang ditatapnya. Dan mereka sama-sama melihatnya. Angku Sidi!! seru mereka hampir bersamaan tatkala mengenali sosok itu dari pakaian yang mereka kenal sebagai milik Sidik Marhaban. Mereka berlarian ke mayat itu. Ya Allah, ya Rabbi! Kapir-kapir itu telah membunuh Angku Sidi! seru salah seorang diantara mereka. Seruan itu membuat semua murid perguruan Sunua itu bertemperasan datang ke sana. Di hadapan mereka, di dekat tunggul pohon kelapa, di pasir putih yang sejuk, mereka menyaksikan sebuah pemandangan yang mengharukan, sekaligus membakar hulu jantung mereka. Sidi Marhaban, pelatih mereka yang selalu mewakili Anduang Ijuak, terbaring dengan muka, dada dan punggung robek oleh peluru. Dari bekas luka darah masih mengalir terus. Kapir jahanam! Kita serang merekaaaa! Kita tuntut kematian ini! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa! Keadaan tak teratasi lagi. Ketika mayat Sidi Marhaban itu diangkat ke dalam sasaran, sekitar belasan orang di antara mereka sudah berlarian ke kandang kuda. Hanya sekejap setelah itu kuda-kuda itu telah menderu keluar dari perguruan tersebut. Namun begitu tiba di luar perguruan, kuda yang paling depan dihentikan mendadak. Kuda itu mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi karena kaget. Pasukan yang di belakang terpaksa berhenti pula mendadak. Ada apa? Ayo maju! Teriak seseorang dari belakang. Yang di depan tak menyahut. Justru berusaha menenangkan kudanya. Yang di belakang tadi karena jengkel, mengambil jalan menyeli-nyelit di antara temannya untuk maju ke depan. Sesampainya di depan, dia juga ikut tertegun. Tegak dengan diam.Kemudian seperti dikomando mereka turun perlahan dari punggung kuda. Kemudian membungkuk memberi hormat. Angku Syech. kata salah seorang di antara mereka dengan takzim. Di depan mereka, yang menyebabkan mereka terpaksa menghentikan kuda dengan tiba-tiba adalah karena munculnya Syekh Malik Muhammad, pimpinan tertinggi perguruan Ulakan dan Sunua.Syekh itu tegak di sana dengan tenang. Di sisinya tegak pula dua orang wakilnya. Yaitu Syekh Fakhruddin dan Syekh Mualim. Akan ke mana, anak-anak? tanya orang tua itu lembut. Angku, tuanku Sidi Marhaban telah dibunuh dengan kejam oleh kapir-kapir di Pariaman. Kami akan ke sana menuntut balas. Ya. Saya sudah mendengar musibah itu. Karena itulah kami datang kemari menemui kalian Kita serang saja loji mereka tuan Syekh.. Menyerang tanpa rencana, tanpa perhitungan yang masak, akan menyebabkan kita mati konyol. Saya tidak sepaham dengan ucapan tuan Syekh.! Coba kau jelaskan dimana kita yang tak sepaham Tentang mati konyol itu

Bagaimana pendapatmu, nak? Bukankah dalam Alquran dikatakan bahwa muslim yang berjihad di jalan Allah bila dia mati, maka matinya adalah mati syahid? Syekh Malik Muhammad menarik nafas panjang. Bibirnya melukiskan senyum tipis. Benar. Siapa yang berperang di jalan Allah, dan mati, akan mati syahid. Tapi mati syahid itu bertingkat, nak. Jika engkau datang menyeruduk Inggeris di Pariaman sana tanpa perhitungan sama sekali, meski dengan alasan membela teman yang dibunuhnya, padahal engkau tahu bahwa kekuatan tidak seimbang dengan kekuatan mereka, maka bila engkau mati, kematianmu sama dengan seorang yang bunuh diri.Dan engkau tahu, dimana Tuhan meletakkan orang bunuh diri di Yaumil Akhir, bukan? Murid-murid Sunua itu pada terdiam. Menunduk. Dan Syekh itu menyambung lagi : Mari kita misalkan, kita datang kesana seperti kedatangan yang kalian rencanakan sebentar ini, artinya kita datang dengan memacu kuda secepat limbubu. Kemudian memekik Allahuakbar sehingga menegakkan bulu roma. Kemudian lagi, sebelum kita mencapai dinding loji itu, mereka telah menyambut kita dengan semburan timah dan serpihan besi.Semua pelurunya menembus tubuh kita. Kita mati tercampak ke tanah, tanpa dapat menyentuh salah seorangpun diantara mereka. Tak seorangpun! Sebab loji itu berpagar tinggi. Sebelum peristiwa ini saja loji itu dijaga dengan sangat ketat setiap saat. Apalagi setelah peristiwa ini. Penjagaan sudah pasti mereka lipatgandakan. Nah, anak-anak, kedatangan kita ke sana, sudah pasti merupakan bunuh diri. Kecuali kalau kita bisa mengatur siasat dan berfikir agak tenang, dan memukul mereka pada saat yang tepat.. Murid-murid Sunua itu masih terdiam semua. Tak ada yang bisa mereka pikirkan, kecuali menerima kebenaran ucapan Syekh Malik Muhammad itu. Kami datang kemari karena ingin membicarakan hal itu dengan kalian semua. Bagaimana kalau kita masuk ke dalam. Apakah anak-anak tak keberatan untuk surut setapak? Saya, angku. jawab mereka serentak dan perlahan berbalik menuntun kuda mereka, masuk kembali ke dalam komplek perguruan. Mereka menyilahkan ketiga Syekh itu untuk berjalan di depan. Dan mereka menurut di belakang. Di Balai Tengah, yaitu di sebuah rumah besar yang terletak di tengah ruangan dimana biasanya pimpinan perguruan mengadakan rapat dengan murid-muridnya bila membicarakan hal yang penting, beberapa murid Sunua kelihatan tengah menunggui mayat Sidi Marhaban. Ketiga Syekh itu tertegak di bawah balai tengah itu. Mayat Sidi tersebut terbujur dan ditutupi dengan sehelai kain hijau bersulam tulisan arab Innalillah wa innailaihi rojiun. Mereka menatap diam ke atas balai. Ke mayat yang terbujur itu. Bukakan kain penutupnya, nak ujar Syekh Ulakan perlahan.Salah seorang dari murid-murid yang menunggui jenazah itu menyingkap kain tutup mayat tersebut. Masya Allah!! Ketiga Syekh itu mengucap tatkala melihat penderitaan mayat tersebut. Mereka sebenarnya telah mendapat kabar tentang kematian Sidi Marhaban. Mereka telah dilapori oleh seorang pedagang Aceh yang saat itu jadi tamu di loji, dan yang sebenarnya orang Aceh itu adalah juga orang yang menuntut ilmu perguruan Ulakan. Tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya jati diri dari Sidi Marhaban ini,maka Syekh Malik Muhammad menceritakan nya pada murid-murid sunua tersebut.Dulu pimpinan perguruan sunua ini di pimpin oleh

Syekh Fachturahman,pada suatu hari ada seorang anak muda yang datang mencarinya untuk di tantang berkelahi.Setelah di temui oleh Syekh Fachturahman,tanpa basa-basi anak muda itu langsung menyerangnya,dan Syekh itu hanya mengelak dari serangan itu.Namun dalam mengelak itu, dia masih bertanya: Anak muda, berapa orang engkau adik beradik makanya engkau berani datang kemari menyabung nyawa? Sambil tetap melancarkan serangan, anak muda itu menjawab bahwa dia anak tunggal. Karenanya dia tinggalkan ibunya untuk menuntut bela. Mendengar jawaban itu, Fachturahman berhenti mengelak. Dia tegak dan menatap anak muda itu dengan senyum. Anak muda itu maju, menikamnya berkali-kali. Fachturahman tak berusaha mengelak. Barulah setelah orang itu hampir rubuh, anak muda itu sadar, bahwa lawannya tak mengelak dari serangannya. Dia lalu bertanya sambil menyentakkan badik dari dada lawannya : Hai orang Ulakan yang terkenal bagak, kenapa engkau tak mengelak atau balas menyerang? Sambil terduduk dan mendekap dadanya yang berlumur darah, Fachturahman men jawab : Anak muda, aku bangga padamu. Sebagai anak satu-satunya, dari jauh engkau datang menuntut balas kematian ayahmu. Alangkah bahagianya orang tuamu. Kalau saja aku punya anak seperti engkau, ah, alangkah bahagianya. Malang, lima orang anakku, lelaki semua. Meninggal karena sakit, sakit karena lapar ketika usianya masih sangat muda. Aku sangat sedih. Karenanya aku tak mau membunuhmu, karena aku telah merasakan betapa pahitnya kematian anak Lagipula anak muda, kata Faturahman di sisa tenaganya, ayahmu tidak mati di tanganku, kami berbeda perguruan. Suatu hari perguruan kami berselisih. Untuk jalan tengah dari pihaknya dia tampil, dari pihak Ulakan saya yang tampil untuk saling mengadu kepandaian. Barangkali Tuhan melebihkan sedikit kepandaian pada saya. Hingga ayahmu terluka. Hanya terluka, anak muda. Dia tidak mati. Sebulan setelah itu dia sembuh dan kami jadi kawan karib. Dua bulan pula setelah perkelahian itu, dia dibunuh seseorang. Yang kami dan dia sendiri tak mengenalnya. Tapi orang menduga bahwa yang membunuh ayahmu adalah aku... Syekh itu berhenti lagi bercerita. Murid-muridnya tertegun mendengar cerita yang di luar dugaan itu. Lalu bagaimana kelanjutannya, angku? Lalu, Fachturahman, murid tertua perguruan Ulakan itu melanjutkan ceritanya, bahwa dugaan yang memberatkan dia yang membunuh adalah karena perkelahian dua bulan yang lalu itu. Sampai hari itu, yaitu di hari anak itu menuntut balas, tak juga pernah diketahui siapa yang membunuh ayahnya. Anak itu terkejut mendengar cerita itu. Dia tak dapat menahan air matanya. Di antara tangis yang tak berbunyi itu, anak Bugis itu bertanya: Kenapa bapak tidak menceritakan hal ini kepada saya sejak dari tadi, sebelum perkelahian ini terjadi. Dan kenapa bapak menerima saja tikaman badik saya?. Padahal bapak mampu mengelak kannya? Fachturahman menjawab. Aku tidak menceritakannya karena engkau datang untuk menantang ku berkelahi, bukan untuk mencari kebenaran tentang kematian ayahmu. Apapun yang akan kujelaskan, pasti takkan bisa kau terima nak. Sebab orang yang dibakar dendam, niatnya hanya satu yaitu membunuh lawan yang dibencinya. Dan kenapa aku tak mau melawanmu, padahal dengan mudah engkau bisa ku kalahkan? Sebabnya, aku sudah biasa menang dalam banyak perkelahian, dan dalam banyak persoalan. Kenapa untuk

membahagiakan anak yang datang menuntut bela kematian ayahnya, aku tak mau mengalah?. Sesekali aku juga harus mau dikalahkan orang. Sesekali aku harus tahu, bagaimana rasanya jadi orang yang ditakluk kan. Dan dengan cara ini pula, aku bisa bicara padamu. Bisa menceritakan hal yang sebenarnya Parang Pariaman (bagian 9) Anak muda itu menangis menyesali dirinya. Dan Fachturahman meninggal di sana. Sejak saat itu, anak muda itu tak mau beranjak dari Ulakan. Dia memohon bekerja menjadi budak untuk menebus dosanya. Tapi tak seorangpun di antara murid dan pimpinan Ulakan yang menyalahkannya. Dia diterima secara wajar. Sebagai seorang murid yang sama hak dan derajatnya dengan murid-murid yang lain. Dan anak muda itulah yang dari tahun ke tahun selalu tegak paling depan kalau ada orang yang mengganggu Ulakan atau Sunua. Karena saleh dan taatnya, karena setia dan budinya, penduduk memberinya gelar Sidi. Orang yang patut dimuliakan. Nah, anak-anak, itulah cerita tentang diri Sidi Marhaban. Guru kalian yang hari ini dibunuh Inggeris. Syekh itu mengakhiri ceritanya. Murid-murid perguruan silat dari Sunua itu tak seorangpun yang bergerak. Banyak di antaranya yang meneteskan air mata. Terharu akan cerita tentang diri Sidi Marhaban anak Bugis itu.Terbayang lagi harihari yang mereka lalui bersama Sidi tersebut. Memang sedikit sekali di antara mereka yang mengetahui bahwa Sidi itu bukanlah orang Pariaman. Sebab bahasa yang dia pakai, tata cara dan tatakramanya selama ini, tak ada bedanya dari penduduk asli. Terbayang lagi oleh mereka, betapa dalam latihan-latihan yang diawasi Sidi itu, bila terjadi kesalahan, dia tak langsung memarahi. Biasanya Sidi memanggil murid yang melakukan kesalahan itu. Menanyakan di mana dan bagaimana kabar orang tua si murid. Apakah sehat-sehat. Apakah mereka hidup berkecukupan atau dalam kesulitan. Kemudian secara perlahan dan sangat bijaksana, baru dia menunjukkan kesalahan si murid. Caranyapun tidak dengan mengatakan, ini atau itu salah. Melainkan dengan perbandingan. Dia selalu memakai kalimat Bagaimana kalau. Jika seorang murid terlambat bangun pagi, sehingga dia terlambat sembahyang dan latihan, maka Sidi Marhaban biasanya bertanya : Bagaimana kalau pagi ini anda tak usah ikut latihan.Siang saja nanti, tapi latihan yang intensif. Karena saya lihat anda masih belum konsentrasi. Tawaran ini sama sekali bukan sindiran. Itu adalah tawaran yang ikhlas. Dan murid-murid Sunua sangat menghormatinya karena sikapnya itu. Dia tak pernah berang sambil membentak : Kenapa bangun lambat!! Itulah kenapa tadi mereka segera saja berlompatan ke punggung kuda dan akan menyerang Loji itu tanpa memperdulikan keselamatan diri mereka sendiri.Kini, Sidi yang anak Bugis yang telah jadi orang Pariaman itu, telah tiada. Mati ditembak dengan keji oleh Inggeris. Jangan khawatir. Kita semua berduka dan menyimpan dendam yang paling dalam di hati kita atas kematian Sidi ini. Semua kita akan menuntut bela. Tak seorangpun yang akan kita biarkan mati sia-sia. Hutang nyawa akan kita balas dengan nyawa. Tapi kita tunggu waktunya. kata Syekh Malik perlahan. Ketika pusara selesai digali, ketika mayat akan diusung, tanpa dimandikan karena dia syahid, tanpa diduga datang berpuluh-puluh penduduk Pariaman, datang pula penduduk dari Sunua dan Ulakan, dari Petak dan Ketaping, mereka datang sebagai tanda ikut berduka yang dalam. Rupanya berita kematian Sidi yang berbudi itu telah menjalar ke segenap penjuru seperti api memakan sekam. Penduduk negeri-negeri itu tak lupa, bahwa Sidi Marhaban adalah lelaki rendah hati yang selalu

turun tangan membantu orang lain.Pendekar yang memiliki ilmu cukup tinggi. Namun tak pernah menyombongkan dirinya sedikitpun. Orang Pariaman terkenal penaik darah dan suka main keroyok. Mungkin karena mereka penduduk pantai yang bekerja sebagai pelaut. Mungkin pengaruh laut yang selalu bergelombang tak stabil, selalu menantang bahaya dengan tegar, maka mereka menjadi cepat naik darah dan merasa senasib sepenanggungan dalam menghadapi tiap bahaya yang menimpa salah seorang di antara mereka. Suatu hari pernah terjadi, seorang nelayan yang tengah menjual ikan hasil tangkapannya bertengkar dengan seorang penduduk soal harga. Bermula dari tawar menawar, karena merasa terlalu mahal tak jadi membeli.Suatu hal yang lumrah saja sebenarnya dalam sistem pasar sebelum membeli orang menanyakan harga. Kalau dirasa terlalu mahal tak jadi membeli. Bukankah membeli harus sebatas kemampuan? Namun nelayan itu merasa tersinggung. Dia memaki. Kalau tak ada duit jangan menawar ikan orang. Kalau mau yang murah kawin saja dengan saya. Ucapan ini membuat si penawar, seorang ibu, jadi terperangah, malu dan sakit hati.Terjadi pertengkaran mulut. Suami perempuan itu ikut campur. Sebuah bogem mentah sudah mendarat di dahi suami perempuan itu. Saat itulah Sidi Marhaban, yang belum begitu dikenal orang Pariaman, datang dan memegang nelayan itu. Menyabarkannya dengan kata-kata lembut. Tapi si nelayan balik berang padanya. Dan menyerang Sidi dengan pisau. Sidi mengelak beberapa kali. Melihat orang ini bisa mengelak, agak pendekar, maka teman-temannya yang lain segera ikut mengeroyok.Sidi Marhaban, meski tengah di keroyok, sempat memberi isyarat pada kedua suami isteri yang dia tolong itu agar cepat-cepat pergi dari sana. Setelah kedua orang itu pergi, dengan sedikit gerakan dia memukul pergelangan ketiga orang itu dengan dua jarinya. Kontan pisau di tangan mereka terlempar. Sidi segera menyelinap di antara orang ramai, menghindar dari sana. Kembali cepat-cepat ke Sunua. Tapi ternyata peristiwanya tak berakhir hingga itu. Nelayan Pariaman tadi tahu, bahwa yang telah membuat malu mereka dengan memukul tangan mereka hingga pisau itu jatuh, adalah orang Sunua. Nah, sekitar lima puluh nelayan, pedagang atau petani Pariaman, umumnya muda-muda, tapi ada juga yang tua bangka, melakukan penyerbuan ke Sunua. Di Sunua mereka sempat memukul dua orang penduduk untuk menanyakan di mana orang yang punya ciri-ciri seperti Sidi yang menyerang mereka kemaren. Mereka hanya tahu ciri-cirinya, tak tahu namanya. Karena penduduk tak bisa menjawab, mereka dipukuli. Sidi Marhaban sendiri yang merasa tak sedap, keluar dari perguruannya. Dan begitu orang melihatnya, maka merekapun berseru : Itu dia! Lanyauuu!. Tojeh jo sakin! Dan mereka yang bersenjata pisau, parang dan tombak itu menggebu mamburu. Dengan tenang Sidi Marhaban tegak menanti. Mulutnya mengguriminkan doa. Di tak ingin ada korban di antara rakyat yang gelap mata dan bodoh ini. Karenanya, sebelum orang-orang kalap itu dekat benar, dia mendekati sebatang kelapa yang tingginya enam meter dan tengah berbuah lebat. Dengan perlahan menyebut nama Allah, batang kelapa itu dia tepuk tiga kali. Hanya Tuhan jua yang Maha Tahu, akibat tepukan perlahan itu, belasan buah kelapa berjatuhan ke tanah! Penduduk yang memburunya terhenti. Ternganga. Sidi Marhaban masih tak bersuara. Dia memungut sekaligus empat buah kelapa masak. Melambungkannya ke atas, lalu mengibaskan tangannya ke arah

empat kelapa itu. Keempat buah kelapa itu telambung ke segala penjuru dalam keadaan hancur! Penduduk yang datang menyerang ternganga. Ada yang menggigil saat membayangkan kelapa itu adalah kepalanya! Sidi itu kemudian berkata perlahan : Saya orang rantau. Tujuh lautan telah saya lalui untuk sampai ke negeri ini. Jika saya pakai bahasa yang sombong, maka ucapan saya akan berbunyi: Saya tak takut mati. Dan jumlah sebanyak ini, masih kurang untuk menghadapi saya. Tapi bahasa kesombongan itu tak pernah saya pakai. Karena agama saya membenci orang-orang yang sombong dan takabur Parang Pariaman (bagian 10) Akhirnya negeri anda dibenci karena suka berkelahi main keroyok. Sedangkan tugas utama, yaitu memerangi penjajah dan membangun negeri tak lagi sempat dikerjakan. Karena pemuka masyarakat sudah sibuk mengurus masalah perkelahian, turun-temurun! Kenapa kalian hanya bersatu ketika menyerang orang negeri kalian saja. Kenapa kalian hanya bersatu karena menyerang orang Sunua saja. Dan kalian orang-orang Sunua, kenapa kalian bersatu ketika berkelahi dengan orang Pariaman atau orang Ulakan saja. Kenapa kalian tak bersatu, atau tak menggunakan persatuan kalian itu untuk menyerang Inggeris yang menjajah negeri kalian? Kenapa?! Apakah orang Inggeris yang menjajah itu lebih mulia dari orang negeri kalian sendiri, atau bagak kalian hanya ditujukan pada orang kampung sendiri, sementara bila berhadapan dengan penjajah jiwa kalian jadi kerdil? Negeri ini tengah dijajah. Tengah diperas. Banyak pemimpinnya telah ditangkap dan dibunuh oleh penjajah. Baik bangsa Belanda maupun bangsa Inggeris dan Portugis. Tapi saya tak pernah melihat kalian jadi fanatik dan bersatu untuk membunuh penjajah yang telah membunuh pemuka kalian itu. Cobalah jawab, kenapa? Sidi itu berhenti lagi. Kebenaran ucapannya secara perlahan, tapi pasti, menyelusup ke dalam hati semua orang Pariaman yang datang ke sana untuk membunuhnya itu. Ucapan itu juga menyelusup ke hati orang-orang Sunua yang saat itu berkumpul pula di sana untuk melawan orang Pariaman yang tadi telah memukul orang kampung mereka. Semua mereka terdiam. Menunduk dan merasa malu. Mereka coba mengingat sudah berapa kali mereka berkelahi dan terlibat dan cakak banyak yang berlumur darah dan menimbulkan korban tak sedikit dalam perang antarkampung. Sudah berapa kalikah? Tak terhitung lagi. Mereka bahkan pernah mengirim pasukan ke Padang. Yaitu ketika di sana terjadi perkelahian antara orang Pariaman dengan orang Agam. Bahkan mereka pernah mengirim pasukan ke Riau. Ketika di sana terjadi perkelahian antara orang Pariaman dengan orang Aceh. Apa yang dikatakan oleh Sidi Marhaban ini memang benar. Banyak pimpinan mereka yang ditangkapi oleh Inggeris. Namun mereka tak punya nyali untuk melawan. Yang di tangkap itu dibiarkan saja disiksa. Suara Sidi yang orang Bugis itu terdengar lagi : Tak ada soal yang selesai dengan tikaman. Tak ada orang yang jadi orang besar karena buku jari. Orang jadi orang besar karena otaknya. Karena itu, cobalah berfikir agak tenang. Jangan menurutkan hati panas. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka, maju. Sidi. Anda orang asing. Kami sudah siap untuk membunuh anda. Untuk anda ketahui, belum ada orang yang berani mengatai-ngatai kami seperti yang ada lakukan sebentar ini. Seharusnya anda kami gantung dan kami sayat-sayat. Tapi semua yang anda katakan semata-mata adalah kebenaran. Kami jadi malu

pada diri kami. Pada kebodohan kami. Kami telah terlanjur datang kemari, betapapun tak ada yang terlambat. Ternyata kedatangan kami kemari ada manfaatnya. Yaitu dapat mendengarkan apa yang baik dan apa yang tidak, tentang kelakuan kami selama ini. Untuk itu, saya atas nama diri saya pribadi, atas nama teman-teman yang lain, minta maaf. Maafkanlah kebodohan saya, kebodohan kami. Kami memang tak punya pendidikan yang tinggi. Bahkan sekolahpun tidak..maafkan kami! Lelaki Pariaman itu mengulurkan tangannya. Sidi Marhaban juga. Tapi mata anak Bugis itu berkaca. Kejujuran lelaki Pariaman itu, tentang kebodohan dan ketidak berpendidikannya, sangat mengharukan hati Sidi itu. Lelaki jujur yang alangkah rendah hatinya. Dia salami tangan orang Pariaman itu dengan erat. Tuan lelaki yang berbudi. katanya.Orang Pariaman itu sendiri sudah sejak tadi merasa ingin menangis. Namun dia nelayan yang keras hati. Dia membuang muka menatap ke laut. Dia tidak ingin Sidi melihat air matanya menitik turun. Dan ketika tangannya telah dilepaskan oleh Sidi yang berbudi itu, dia cepat-cepat menghindar dari depan orang saleh itu. Orang-orang Pariaman yang lain juga berdatangan minta maaf. Menyalaminya. Kemudian bersalaman dengan penduduk Sunua yang tadi beberapa orang telah mereka sakiti.Begitu kesan mendalam yang ditinggalkan oleh Sidi Marhaban pada orang-orang Pariaman dan sekitarnya. Dan kini, ketika orangorang itu mendengar bahwa Sidi itu meninggal, mereka lalu datang menunjukkan rasa duka cita dan rasa kehilangan yang amat dalam. Izinkan kami ikut memikul keranda jenazah orang berbudi ini, tuan Syekh. salah seorang dari pemuka Pariaman itu berkata. Syekh Malik Muuhammad menatapnya. Dan memberi isyarat pada dua orang murid Sunua dan Ulakan yang memikul keranda mayat di bahagian depan. Kedua murid itu memberikan pikulan tersebut pada dua orang Pariaman. Dan iringan jenazah itupun bergerak ke pekuburan murid-murid Syekh Burhanuddin di Ulakan. o0o Prosesi jenazah itu adalah prosesi yang duka. Tapi dalam prosesi itu sudah tumbuh benih kebencian yang amat membakar pada penjajah Inggeris. Mereka tengah menimbun tanah yang terakhir ke pusara tatkala derap kaki kuda itu terdengar lagi. Saat itu hari sudah berlalu senja. Syekh Malik Muhammad mulai membacakan doa tatkala pasukan berkuda Inggeris itu mulai mengepung mereka. Kemudian terdengar suara Kapten Calaghan bergema. Kami atas nama Kerajaan Inggeris. Syekh Malik Muhammad terus membaca doa. Seluruh yang hadir mengaminkan, seperti tak mengacuhkan kehadiran pasukan berkuda Inggeris itu. Lalu kembali terdengar suara Kapten Calaghan. Saya akan menangkap beberapa orang di antara tuan-tuan dari Sunua dan Ulakan.. Syekh Malik Muhammad masih membaca doanya. Banyak di antara yang hadir menitikkan air matanya, tatkala dia membaca doa tersebut. Akhirnya doa itupun selesai. Syekh Malik Muhammad memalingkan kepala. Menatap pada pasukan berkuda Inggeris yang mengepung mereka. Menatap pada Kapten Calaghan yang masih duduk di punggung kudanya. Menatap pada pasukan yang menodongkan moncong bedil pada mereka. Wakil pimpinan perguruan Sunua dan Ulakan, Syekh Fakhruddin dan Syekh Malik juga menatap pada pasukan berkuda itu.Kapten Calaghan memajukan kudanya. Dengan pedang terhunus, dia menunjuk pada Syekh Malik Muhammad dan kedua wakilnya.

Atas nama kerajaan Inggeris, tuan bertiga saya tangkap.Suaranya terdengar bersipongang. Sementara ujung pedangnya ditujukan pada ketiga Syekh itu. Atas tuduhan apa tuan menangkap kami. Atas tuduhan menyusun kekuatan untuk melawan kerajaan InggerisSyekh Malik Muhammad tertawa renyah. Kapiten, saya hanya memimpin sebuah perguruan Islam. Saya hanya mengajarkan ilmu bukan mengajarkan orang berperang. Bagaimana tuan bisa mengatakan kami menyusun kekuatan untuk menyerang tuan.. Syekh! Sudah beberapa kali kami peringatkan agar perguruan tuan yang di Sunua itu ditutup. Tuan boleh mengajar terus di Ulakan. Tapi tidak boleh membuka sasaran silat. Namun tuan tak mengacuhkan permintaan kami. Dan siang tadi, seorang murid tuan, yang kini tuan kubur, telah membunuh perwira saya. Bukankah itu terjadi karena perwira tuan menyerang terlebih dahulu? Banyak tentara saya jadi saksi, bahwa murid tuan yang menyerang terlebih dahulu Syekh Malik Muhammad tertawa mendengar kesaksian itu. Kapiten ini cerdik sekaligus licik. Dan sekaligus menganggap orang lain bodoh saja. Anak buahnya yang dia jadikan saksi atas peristiwa terbunuhnya letnan di loji itu. Tentu saja mereka berpihak pada letnan itu. Masih dengan menahan diri, Syekh Malik bertanya. Kami ingin tahu, dimana temannya yang bernama Anduang Ijuak, yang tadi pagi datang bersama temannya yang mati ini ke loji tuan untuk berunding. Dia terpaksa kami tahan, karena dia juga menyerang Letnan Sammy.Suasana jadi sepi. Namun itu hanya sebentar. Salah seorang murid Ulakan yang menempuh pendidikan tingkat kedua di Sunua, sudah tak tahan lagi mengekang amarahnya. Tadi dia termasuk di antara para murid yang ingin menyerbu ke loji Inggeris itu tatkala mereka menemukan mayat Sidi Marhaban. Untung di luar perguruan mereka bertemu dengan ketiga Syekh pimpinan perguruan tinggi Islam di Ulakan itu.Namun kali ini, murid yang cukup tangguh ini, tak bisa lagi menahan berangnya. Dia tegak tak begitu jauh dari Syekh malik Muhammad. Dan di dekatnya tegak, ada seorang tentara Inggeris. Dia mengukur jarak. Dan ketika orang sedang berunding itulah tiba-tiba sekali tubuhnya melompat. Tubuhnya mendarat di belakang tubuh tentara Inggeris yang duduk di atas kuda dua depa dari tempatnya tegak tadi. Begitu berada di atas punggung kuda di belakang tentara itu, dia segera mencekiknya dengan kuat. Dia mencekik dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyentak pedang di pinggang serdadu itu. Dan dengan sebuah pekik Allahuakbar, dia lalu menggebrak kuda itu maju. Seorang prajurit lainnya menghadang. Pedang di tangan kiri murid Ulakan itu bekerja. Kepala serdadu itu putus! Kejadian ini luar biasa cepatnya. Dan begitu kepala prajurit itu menggelinding ke bawah, murid Sunua itu segera memacu kuda ke arah Kapiten Calaghan! Namun Kapten itu bukan orang sembarangan. Dia sudah berpengalaman dalam perang di Eropah sana.Gebrakan kuda itu dia elakkan, dan begitu kuda itu terlewat sedikit di depannya, pedangnya balas membabat! Dan murid Sunua itu memekik. Lehernya bahagian belakang belah!Namun dia tak segera melepaskan musuhnya yang sejak tadi telah dia cekik. Cekikannya makin kuat. Kapten itu menebas lagi dengan pedangnya. Dan murid Sunua itu tersentak. Jatuh dan mati. Parang Pariaman (bagian 11) Tidak hanya sampai di sana. Dari pihak Ulakan tidak hanya berempat yang ditangkapi, ada dua puluh

orang jumlah mereka. Semuanya dilakukan Inggeris demi keamanan. Dikhawatirkan, kalau murid-murid senior Ulakan itu berada di luar Loji, bisa berbahaya. Mereka bisa menyusun kekuatan. Oleh karena itu Kapten Calaghan berpendirian, semua mereka harus ditangkap. Demi keamanan! Malam itu juga, semua mereka dibawa ke loji Inggeris di Pariaman. Perguruan Islam itu, Ulakan dan Sunua, tiba-tiba dicekam rasa lengang.Kapten Calaghan memang telah mempertimbangkan setiap langkah yang dia ambil. Dengan menangkap dan menahan sebahagian besar orang-orang perguruan Islam Ulakan di lojinya.Itu sama dengan menahan dan menyimpan dinamit yang setiap saat meledak dan menghancurkan lojinya berikut mereka, dan semua isinya. Kapten Calaghan bukannya tak tahu akan hal itu. Namun sebagai perwira Inggeris yang menang dari perang dengan Napoleon, dia punya pikiran yang cerdik. Malam itu Syekh Malik Muhammad dan kawankawannya mereka tahan. Esok siangnya, lima puluh tentara berkuda di bawah pimpinan seorang Letnan tiba dari Padang. Tentara berkuda ini datang sebagai pengganti mereka yang ada di pos. Sekali lima bulan selalu ada aplusan. Yang di Padang datang ke Pariaman dan Tiku. Menggantikan mereka yang sudah lama di pos.Tapi karena keadaan yang darurat, Kapten Calaghan tak membiarkan ada anak buahnya yang ditukar untuk cuti pulang ke Padang. Dia malah tetap menahan kekuatan yang 50 orang itu di Pariaman.Malah siang itu juga, dia mengirim tiga orang kurir ke Padang mengatakan bahwa keadaan darurat. Di Padang yang menjadi pimpinan tertinggi tentara pendudukan Inggeris di Sumatera Barat adalah kolonel Dundee Yr. Seorang kolonel angkatan laut yang mata sebelah kanannya buta karena pecahan meriam kapal. Cacat di matanya itu dia alami ketika perang selat Bosporus yang terkenal itu. Yaitu ketika dia memimpin satu skuadron kapal Inggeris melawan kapal-kapal perang Perancis. Dia luka parah, sebelah matanya jadi buta. Namun perang itu dimenangkannya dengan gemilang.Kapten itu terkenal kejam kepada musuhmusuhnya. Begitu dia menerima laporan dari kapten Calaghan bahwa di Pariaman ada sekelompok orang Islam yang tengah menyusun kekuatan untuk memberontak pada Inggeris, dia lalu menambah pasukan berkuda 50 orang lagi. Kemudian mengirimkan dua buah kapal perang ke sana untuk mengangkuti kaum pemberontak yang tertangkap itu. Kapal yangt dikirim itu adalah kapal perang THE KING dengan 12 meriam dan sebuah kapal THE LORD dengan ukuran lebih kecil. Yaitu hanya memiliki 6 meriam.Kapal itu segera bertolak ke Pariaman. Hanya dua hari kemudian sejak tertangkapnya Syekh Ulakan itu bersama pengikutnya, kapal perang itupun sampai di sana. Begitu berada di laut Pariaman, mereka melepaskan tembakan salvo dua puluh dua kali ke udara. Semacam perang urat syaraf. Penduduk Pariaman memang dibuat kecut dengan pemusatan kekuatan Inggeris di kota kecil itu. Dalam waktu hanya dua hari, selain 50 pasukan berkuda yang datang pertama, datang lagi 50 pasukan berkuda tambahan. Kemudian dua buah kapal perang dengan pasukan sekitar enam puluh orang! Total, di Pariaman saat itu ada 260 orang pasukan Inggeris. Mobilisasi kekuatan yang luar biasa.Perguruan Islam Ulakan dan Sunua ditutup. Pintunya di gerendel dengan kunci besi oleh Inggeris. Beberapa orang muridnya yang tak ditangkap karena dianggap tak berbahaya, disuruh pulang ke tempat asal 50 Kota, Agam, Tanah Datar, Jambi, Palembang dan Tapanuli. Jika kalian tak pulang, dan masih berada di sini dalam tempo 2 x 24 jam, maka kalian akan ditangkapi, demikian perintah Inggeris.

Namun murid Ulakan dan Sunua itu terkenal punya rasa setia kawan yang amat tebal terhadap perguruan mereka. Beberapa orang justru minta ditangkap saat itu juga. Beberapa orang menghindar. Namun mereka tak pulang seperti yang diancamkan pada mereka.Mereka justru membuka pakaian perguruan Islam mereka. Berganti pakaian seperti rakyat Pariaman pada umumnya. Kemudian berbaur dengan masyarakat. Mereka masih punya harapan, bahwa mereka akan dapat bertemu dengan Syekh Malik Muhammad dan teman-temannya yang dikurung di loji. Mereka masih berharap, bahwa suatu saat akan ada kekuatan yang tersusun untuk membebaskan dan mengusir Inggeris dari tanah Pariaman. Mereka juga masih punya harapan, bahwa mereka masih akan memiliki perguruan Islam Ulakan. Dalam sejarahnya, ini adalah kali yang keempat perguruan itu ditutup dan dilarang oleh penguasa penjajahan.Semua alasan penutupan itu hanya satu, takut pada pemberontakan. Ya, Islam oleh kaum penjajah saat itu dianggap sebagai suatu bahaya dimana pemberontakan akan dipersiapkan. Islam dianggap sebuah momok dan dimusuhi. Karena Islam ditakuti dan dimusuhi, karena mereka orang yag dicurigai akan memberontak, maka penjajahpun berusaha memecah kelompok ini. Caranya mudah saja. Di Pariaman ada sebuah perguruan Silat yang menampung banyak orang. Yaitu perguruan Harimau Kumbang. Inggeris tahu bahwa antara perguruan ini dengan perguruan silat di Sunua terdapat permusuhan tajam, tapi secara diam-diam. Pimpinan perguruan Harimau Kumbang itu, seorang lelaki beragama Islam bernama Uwak Sanga, diketahui suka pada perempuan dan uang.Inggeris mempergunakannya. Dia diberi upeti berupa gadis cantik dan penghargaan berupa uang. Tak begitu sulit dizaman itu untuk mencari dan menghadiahkan kedua macam barang ini pada seseorang. Yang diminta oleh Inggeris kepada Uwak Sanga tak pula banyak. Hanya memata-matai dan melaporkan pada Inggeris kalau-kalau ada murid Ulakan dan Sunua yang masih berkeliaran di Pariaman atau di mana saja. Uwak Sanga yang mabuk kepayang karena hadiah gadis cantik dan uang segera menyebar anak buahnya ke desa dan berbagai tempat di Pariaman.Mereka tentu saja segera mengetahui beberapa orang murid Ulakan. Murid Ulakan ini segera diketahui, karena kebanyakan mereka bukan orang Pariaman asli. Yang orang Pariaman segera saja bisa diketahui mana yang murid dan mana yang tidak. Dengan laporan dari murid-murid Harimau Kumbang ini, beberapa orang murid Ulakan segera pula ditangkapi dengan alasan tak me matuhi perintah. Loji itu makin hari makin pe nuh oleh tahanan. Suatu hari dalam penjara di Loji, Syekh Malik Muhamad bertanya pada se orang muridnya yang dijebloskan ke penjara itu. Kenapa kalian ditahan? Inggeris menyuruh kami pulang ke kampung masing-masing setelah menutup perguruan. Tapi kami yang tinggal dua puluh orang, tak segera pulang. Kami menyebar di tengah rakyat. Ada yang di Pariaman, di Sunua, di Ulakan, di Toboh, di Petak, di Ketaping, kami ingin menyusun kekuatan, atau menunggu saat yang tepat untuk membebaskan angku syekh. jawabnya perlahan. Dua orang tentara Inggeris lewat. Kesempatan makan seperti ini, dimana mereka agak diberi kebebasan di halaman dalam Loji, adalah kesempatan yang jarang tersua. Lalu kenapa kalian masih ditangkapi? Inggeris menyebar mata-mata. Dan mereka mempergunakan murid-murid perguruan Harimau Kumbang! Syekh Ulakan menatapnya tak percaya. Memang benar angku. Mereka tentu saja dengan mudah mengenal kami. Dan kamipun ditangkapi.

Namun tak semua berhasil mereka ketahui. Sebahagian dari kami kini masih berada di luar. Menanti perintah dari angku. Pembicaraanmereka terputus. Pengumuman terdengar dari pengawal untuk segera masuk kembali ke sel masing-masing. Sambil meletakkan piringnya Syekh itu berbisik. Nanti malam akan ada yang keluar. Engkau mau ikut? Saya ikut, angku Baik, di kamar berapa engkau ditahan? Dikamar enam dekat penjagaan angku, kemana saja kami harus pergi, angku? Sudah diatur. Engkau akan mendapat penjelesan dari Sidi Buang, yang juga akan melarikan diri malam nanti. dan pembicaraan itu putus sampai disana. Syekh Malik Muhammad telah turun ke selnya di bawah tanah. Bersama dengan Anduang Ijuak, dan kedua syekh wakilnya. Bagi mereka yang ditahanan di bawah tanah, hanya sekali seminggu dapat menghirup udara luar tahanan. Begitu berada dalam sel, Anduang Ijuak bertanya. Apakah tak sebaiknya kita lari bersama malam ini, angku Syekh? Syekh itu tak segera menjawab. Dalam gelap dia menarik nafas. Sel ini cukup kecil jika ditempati oleh seorang saja. Kini mereka di jejal berdua di dalamnya. Namun itu ada untungnya juga. Selain panasnya tak tertahankan, namun mereka tak merasa begitu kesepian. Mereka malah bisa menyusun rencana. Pasukan Inggeris masih sangat kuat. Kapalnya masih berlabuh di laut. Dan pasukan berkudanya yang seratus itu belum ditarik. Kalau kita lari sekarang, maka seluruh pasukan berkuda itu akan memburu kita. Kita tak punya kesempatan. Bagaimana dengan Sidi Buang yang akan melarikan diri malam ini? Rencana itu akan tetap dilaksanakan. Dia akan pergi berdua dengan si Fuad. Melarikan diri sendiri atau berdua paling banyak, lebih menguntungkan daripada lari ramai-ramai. Apakah tak ada akibatnya bagi kita yang di dalam ini bila dia melarikan diri? Asal tidak diketahui bahwa kitalah yang mengaturnya, maka akibat itu takkan muncul. Kemudian sepi. Senjapun merangkak perlahan. Alangkah lamanya terasa menunggu malam datang. Ketika akhirnya malam turun juga ke permukaan bumi, mereka menanti dengan tegang.Sidi Buang adalah salah seorang murid tua di perguruan Islam Ulakan. Dia disegani dan memiliki ilmu tinggi. Dia memang orang Pariaman asli. Dialah yang diserahi tugas malam ini untuk melarikan diri. Malam ini dia telah bersiap untuk melakukan itu.Ketika dia memperkirakan waktu tengah malam, diapun duduk bersemedi. Di kamar lain, di kamar bawah tanah, Syekh Malik Ibrahim juga bersemedi. Malam yang larut juga merangkak ke hatinya lewat semedinya yang khusuk itu. Lewat semedi itu, kedua orang ini, Syekh Malik Muhammad di kamar tahanan bawah tanah, dan muridnya Sidi Buang di kamar tahanan atas, mengadakan kontak batin. Getar semedi itu menghubungkan mereka, sulit dipercaya. Namun bagi orang yang pernah belajar ilmu tarikat, yaitu semacam ilmu kebatinan dalam Islam aliran Syiah seperti yang dianut oleh perguruan tinggi Islam Ulakan ini, maka kontak bathin lewat semedi begitu, bukanlah hal yang asing.Artinya, ilmu begitu adalah suatu yang lumrah dan bisa dilakukan oleh mereka yang ilmunya telah mencapai tingkat tinggi. Di antara sebilangan jari murid-murid Ulakan yang bisa berbuat begitu, termasuklah di dalamnya Sidi Buang. Anak Pariaman itu.

Saya mohon izin, angku Syekh.dan mohon doa kata Sidi itu lewat getaran batin yang dia kirimkan. Engkau tak sendiri, Sidi. Bawa serta Fuad yang kini dikurung dua kamar di sebelah kamarmu, Sidi Buang mendapat jawaban dari Syekh Malik Muhammad. Apakah tugas Gindo Fuad, Angku? Jika mungkin, suruh dia ke Tilatang Kamang. Hubungi di sana seorang pemuka Islam bernama Tuanku Nan Renceh. Sampaikan salamku, dan permintaanku. Agar dia menolong kita. Tapi.bukankah beliau seorang penganut aliran Wahabi, Angku? Dalam situasi begini, Sidi, tak seorang Islampun yang akan berfikir apakah dia seorang Syiah Karmatiyah seperti kita, atau seorang Wahibi seperti beliau, maupun seorang Syiah Fathimiyah. Kita sedang menghadapi penjajah bangsa kita. Kenapa kita harus pecah dalam kelompok yang tak perlu? Pergilah padanya.dahulu dia pernah menolong kita, dalam perang melawan Belanda bersama anak muda yang akan kau jenguk itu. Si Giring-giring Perak yang Angku maksudkan? Ya. Ceritakan semua rencana padanya. Saya yakin anak muda sakti itu telah mendengar perihal kita. Kini paparkan rencana kita padanya. Nah, selamat jalan Sidi. Sidi Buang masih duduk sejenak bersemedi. Kemudian melanjutkan dengan sembahyang sunat. Lalu diapun bersiaplah. Ini waktunya. Dalam saat-saat tengah malam begini, seorang penjaga akan lewat memeriksa seluruh kunci kamar. Dia tengah berpikir begitu ketika dia dengar langkah di luar. Penjaga itu tengah memeriksa kunci kamar tahanannya. Tapi penjaga itu tak kelihatan, sebab di balik jeruji besi di kamarnya ini ada pintu papan tebal. Dia lalu mengetuk pintu papan tebal itu. Saya sakit, bisa tuan tolong? katanya perlahan dengan suara menggigil. Si penjaga tak sedikitpun curiga. Kalaupun ada maksud lain, maka tahanan tak juga mungkin lolos, sebab ada jerajak besi yang amat tebal. Penjaga itu membuka pintu papan tebal tersebut. Dan tanpa mau mendekatkan tubuhnya ke jerajak besi dia berkata : Ada apa? Parang Pariaman (bagian 12) Namun itu berarti mengundang bahaya yang lebih besar. Syekh Malik Ibrahim dan semua pimpinan Ulakan bisa dibuang ke Irian atau ke Ambon. Betapa pun bahaya yang tengah mengancam Gindo Fuad dan Sidi Buang, mereka haruslah menerimanya sebagai resiko sebuah perjuangan. Angku., Anduang Ijuak berkata perlahan. Sapa yang lembut memang menyadarkan Syekh Malik Ibrahim. Dia yang sudah siap menghancurkan pintu penjara, akhirnya membatalkan niatnya. Namun dia masih tetap tegak membeku di depan pintu. Berusaha menangkap gerak yang dilakukan oleh muridnya di luar sana.Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana? Apakah memang kedua muridnya itu masuk jebakan? Kedua orang itu, Sidi Buang dan Gindo Fuad, perlahan mendekati pintu besar. Mereka melihat dua orang penjaga di masing-masing pintu sedang terkantuk-kantuk. Mereka sudah berniat untuk menyergap, tapi saat itulah tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa mengakak. Mereka tertegak. Suara tawa itu datang dari sudut kiri.Ketika mereka masih dalam keadaan terkejut, mereka dikejutkan lagi yang dihadapkan serentak oleh penjaga yang kiranya sejak tadi sudah memasang perangkap. Sebuah lampu sorot, yang terbuat dari kaleng yang diberi timah diarahkan kepada mereka dari atas.

Mereka jadi silau. Sidi Buang, yang memiliki kepandaian tinggi, menghayunkan tangan. Mengirimkan pukulan tenaga dalam jarak jauh untuk memadamkan lampu sorot itu. Lampu sorot itu terletak di atas setinggi tiga meter di atas tanah.Sebenarnya, dengan kepandaian yang dia miliki, dia bisa memukul hancur lampu itu. Namun aneh, tenaganya terasa lenyap ketika pukulan itu sudah dia lancarkan. Lampu itu tetap menyala. Sekali lagi dia mengangkat tangan. Kemudian mengirimkan sebuah pukulan. Tapi lagilagi pukulannya dibuat tak berdaya. Lampu sorot itu tetap menyala! Dia segera tahu, ada orang berkepandaian tinggi telah memunahkan pukulan tenaga batinnya. Suara tawa tadi lenyap tiba-tiba. Di keliling kedua orang murid Ulakan itu, kini tegak sekitar seratus prajurit Inggeris dengan bedil siap memuntahkan peluru! Mereka masuk perangkap yang dipasang dengan amat sempurna!Kemudian terdengar derap langkah sepatu. Sebuah pintu terbuka. Dari dalam muncul Kapten Calaghan. Dia tegak dalam pakaian dinas yang gagah. Menatap pada kedua murid Ulakan yang tertegak seperti maling kedapatan tangan itu. Hmm. Ingin melarikan diri! kata Kapten itu dengan suara dalam. Sidi Buang membuka pakaian tentara Inggeris yang tadi dia ambil dari penjaga yang telah dia lumpuhkan. Membuka baju dan celananya. Kemudian melemparkannya ke lapangan di depannya. Pakaian itu jatuh dua depa di depan kapten Calaghan!Kini, Sidi itu tegak dengan celana dan dada telanjang. Dan tubuhnya memperlihatkan kekukuhan tubuh seorang pesilat! Kapten Inggeris tersebut memandang ke arah lampu sorot yang masih saja menyala. Terima kasih, Uwak. Firasat anda memang benar., kapten itu bicara. Sidi Buang serta Gindo Fuad jadi heran mendengar ucapan itu. Mereka lebih kaget lagi, tatkala dari balik cahaya lampu sorot itu, seorang lelaki besar, bertampang seram muncul. Dia langsung meloncat dari atas ketinggian tiga meter itu ke tanah. Di udara tubuhnya bersalto tiga kali. Kemudian kakinya menginjak tanah di samping kapten Calaghan. Uwak Sanga..! desis kedua murid perguruan Ulakan itu hampir berbarengan, menyebut nama lelaki yang baru muncul itu. Uwak Sanga, Jahanam!! maki Syekh Malik Ibrahim dan Anduang Ijuak dari kamar tahanannya. Mereka memaki setelah mendengar ucapan kedua murid mereka di luar sana. Kedua pimpinan Ulakan itu saling pandang dalam gelap. Ternyata dia memproklamirkan permusuhannya dengan Ulakan hari ini., kata Syekh Malik Ibarahim. Di luar sana, Uwak Sanga, pimpinan perguruan Harimau Kumbang dari Pariaman itu tegak dan menatap pada kedua murid Ulakan itu. Tangkap dan jebloskan mereka ke kamar bawah tanah. Jangan diberi makan selama dua pekan, terdengar perintah kapten Calaghan. Tunggu suara Uwak Sanga memutus. Barangkali hukuman mereka harus lebih berat lagi. Saya tak melihat penjaga yang dia lumpuhkan tadi. Coba periksa dahulu penjaga itu.. Kapten Calaghan memerintahkan empat orang tentaranya untuk membuka sel dimana Sidi Buang di tahan tadi. Sidi Buang tetap tenang. Dia tak usah khawatir akan menerima hukuman lebih berat. Sebab dia tak mencelakai tentara Inggeris itu. Namun dugaannya meleset. Ketika tubuh penjaga yang dia lumpuhkan itu diangkat keluar, ternyata penjaga itu telah menjadi mayat. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata bahagian belakang kepalanya pecah. Dari sana darah kelihatan masih mengalir. Sersan Ronald sudah mati, Sir lapor tentara yang membawa mayat temannya itu.

Kapten Calaghan melangkah mendekati mayat Ronald. Kemudian menatap pada kedua orang murid Ulakan itu. Engkau telah membunuh seorang pasukan berkuda kerajaan Inggeris. Untuk itu hukumannya hanya satu, yaitu hukuman tembak atau gantung sampai mati. Suara kapten Inggeris itu terdengar beku dan dingin. Dia menyambung lagi dalam nada suara yang masih tetap sama. Kalian boleh memilih, hukuman mana yang kalian sukai. Tapi, sebelum matahari tinggi esok pagi, kedua kalian sudah harus mati. Kurung mereka! Tanpa dapat melawan, karena itu hanya akan sia-sia, apalagi di sana ada Uwak Sanga, maka kedua murid senior Ulakan itu hanya berdiam diri ketika tangannya dibelenggu ke belakang. Ketika akan diseret ke sel, Sidi Buang menoleh pada Uwak Sanga. Kemudian dia berkata pada pimpinan perguruan silat Harimau Kumbang itu. Uwak, kami selama ini menghormati engkau dan perguruanmu. Siapa sangka, hari ini engkau menjilat pantat penjajah. Engkau akan menerima pembalasan yang setimpal. Muka Uwak Sanga jadi merah padam. Tangannya memukul ke depan. Empat orang tentara Inggeris yang memeganginya terjengkang. Kedua murid Ulakan itu kini tertegak di tengah lapangan dalam areal Loji. Mulutmu terlalu lancang, Sidi. Sama lancangnya dengan gurumu. Sehabis ucapannya, tangan Uwak Sanga memukul lagi. Kedua murid Ulakan itu terpental kena pukulan tenaga batin jarak jauh itu. Sidi Buang muntah darah. Sementara Gindo Fuad pingsan. Sehabis memukul, Uwak Sanga berkata lantang. Syekh Malik Ibrahim! Hari ini kubuktikan pada kalian, bahwa kami juga sanggup menghina kalian seperti kalian pernah menghina perguruan kami sepuluh tahun yang lalu! Suaranya bergema dalam malam yang mulai dingin. Suaranya yang diiringi tenaga dalam itu memang ditujukan pada pimpinan perguruan Ulakan yang kini berada dalam sel bawah tanah itu.Di dalam sel tersebut, Syekh Malik Ibrahim merasa tubuhnya menggigil. Si Sanga! Jahanam. Dia masih berdendam atas kejadian sepuluh tahun yang lalu., ujar Syekh itu perlahan. Ingatannya merangkak ke peristiwa sepuluh tahun yang silam. Saat itu, dia masih menjabat sebagai wakil pimpinan di Ulakan. Waktu itu ada pertemuan beberapa perguruan silat di Pariaman. Syekh Malik Ibrahim hadir. Di antara yang hadir juga kelihatan Uwak Sanga. Yang waktu itu juga menjabat sebagai wakil pimpinan perguruan Harimau Kumbang. Pertemuan itu sebenarnya semacam uji coba bagi pesilat tangguh di kawasan mulai dari Pariaman sampai ke Tiku. Dalam pertemuan para pendekar seperti itu, tak usah disangsikan kalau terjadi semacam perang tanding. Meski dalam bentuk perkelahian atau pertandingan terbuka, namun diam-diam mereka saling memperlihatkan ketangguhan masing-masing perguruan. Sebenarnya ada lebih dari sepuluh perguruan silat yang hadir dalam pertemuan itu. Namun yang paling keras bersaing adalah perguruan Ulakan dan perguruan Harimau Kumbang. Ketika tiba saatnya pertandingan antara perguruan yang saling berebut pengaruh itu, masing-masing memajukan seorang andalan.Mula-mula dari perguruan Ulakan. Yang muncul adalah Malik Ibrahim. Dia maju dan tegak di depan orang ramai yang membentuk sebuah lingkaran. Tenda-tenda dipasang untuk para senior dan pimpinan perguruan.Kemudian dari Harimau Kumbang yang muncul adalah Uwak

Sanga. Kedua orang ini adalah wakil pimpinan dari dua perguruan besar. Namun tanpa diduga, Malik Ibrahim membalikkan badan. Memberi hormat pada gurunya dan berkata. Maafkan, saya tak bisa menghadapi orang ini. katanya. Tanpa menunggu reaksi dari gurunya, dia lalu meninggalkan arena. Bukan main hebatnya akibat perbuatan Malik Ibrahim ini. Perguruan Harimau Kumbang seperti ditampar dan dilempari kotoran manusia.Tidak mau berhadapan merupakan penghinaan yang hebat. Siapapun dapat menduga apa penyebab Malik Ibrahim tak mau menghadapi Uwak Sanga. Uwak Sanga yang juga seorang Islam dikenal sebagai pemakan masak mentah. Suka mencabuli anak bini orang dan suka berbuat tak senonoh di depan orang banyak. Parang Pariaman (bagian 13) Dendam itulah hari ini yang dibalaskan oleh pimpinan perguruan Harimau Kumbang itu pada perguruan Ulakan. Kini kedua mereka, yang sepuluh tahun lalu hanya sebagai orang kedua di masing-masing perguruan, telah jadi orang pertama. Dalam waktu sepuluh tahun, Uwak Sanga telah jadi pimpinan perguruan di Harimau Kumbang. Dia telah menghimpun banyak pendekar-pendekar yang dikenal sebagai golongan hitam. Sebaliknya, Malik Ibrahim kini juga telah menjadi pimpinan perguruan Tinggi Islam Ulakan dan sekaligus memimpin perguruan silat di Sunua.Siapa sangka, sepuluh tahun kemudian, dendam itu dibalaskan oleh Uwak Sanga lewat tangan Inggeris. Dialah yang mencium bahwa ada usaha melarikan diri di pihak perguruan Ulakan. Sudah tiga malam ini dia bermalam di Loji Inggeris itu. Setiap malam, dengan ilmunya yang juga tak dapat dikatakan rendah, bahkan belum diketahui siapa di antara mereka berdua yang lebih unggul, pimpinan Harimau Kumbang itu mengadakan semedi pula. Malam kedua, dalam semedinya, tiba-tiba dia menangkap hubungan yang diadakan oleh Malik Ibrahim dengan muridnya Sidi Buang. Seperti diketahui, Uwak Sanga adalah salah seorang murid dari Aceh. Dan Aceh juga terkenal sebagai penganut faham Tarikat yang terkenal itu. Yaitu salah satu tingkatan dalam Islam Syiah dimana zaman itu para pengikutnya diajarkan ilmu bathin.Itulah pula sebabnya, hubungan batin lewat semedi yang dilakukan oleh orang Ulakan itu tertangkap oleh Uwak Sanga. Dia melaporkan hal itu pada Kapten Calaghan. Kapten ini segera mengatur perangkap. Di malam ke tiga, ternyata Sudi Buang dan Gindo Fuad masuk ke perangkap yang dipasang itu. Malam itu sebenarnya sejak senja mereka telah mengatur siasat tersebut. Begitu malam datang, Uwak Sanga segera menempati rumah penjagaan dan lampu sorot itu, berhada-hadapanpan dengan kamar tahanan Sidi Buang.Ketika Sidi Buang melempar kening tentara Inggeris dengan cangkir alumanium, Sidi tersebut sangat hati-hati. Dia tahu, kalau dia sampai membunuh tentara Inggeris itu, maka itu berarti ancaman yang sangat besar bagi gurunya dan teman-temannya yang ada di penjara itu. Tapi Sidi dan Gindo itu akan ditembak atau digantung pagi ini. Waktu untuk berfikir tak ada lagi. Kini sudah hampir subuh.. Ya. Kita harus memilih, melarikan diri dan menimbulkan puluhan korban, atau tetap bersabar dengan merelakan dua korban itu saja. Saya tak sampai hati membiarkan mereka. Mereka tertangkap karena suruhan kita Betapapun dalam setiap perjuangan akan ada korban dan resiko, Angku. Saya tahu itu, Sanga. Saya tahu itu..tapi bagaimana dengan Sidi dan Gindo. Kita hanya dapat berdoa. Semoga terjadi keajaiban dan mereka tertolong. Atau kalau tidak semoga Tuhan menerima mereka sebagai syuhada..

Kamar tahanan itu kembali sepi. Sepi yang mencekam. Haripun pagi. Persiapan untuk menghukum mati kedua murid Ulakan itupun dipersiapkan. Ternyata kedua mereka tak dapat memilih hukuman mana yang akan mereka tempuh.Apakah hukuman tembak atau hukuman gantung. Mereka tak dapat memilih karena mereka masih pingsan! Pingsan akibat pukulan Uwak Sanga! Karenanya Kapten Calaghan menetapkan saja agar mereka dihukum gantung. Itu lebih memudahkan bagi tentara Inggeris. Artinya, menggantung orang pingsan lebih mudah daripada harus menembaknya. Hukuman tembak, menurut tata cara militer, yang dianut oleh kalangan militer sedunia, haruslah dilakukan dalam keadaan si terhukum tegak lurus. Ini menyulitkan. Bagaimana mereka harus tegak, sementara mereka belum sadar. Karena di halaman loji itu ada tiang yang cukup tinggi, bekas menggantung karung-karung untuk latihan menusuk dengan bayonet oleh para tentara, maka diputuskan saja mengambil jalan mudah. Menggantung kedua tahanan itu! Namun Inggeris tetaplah Inggeris. Meskipun dia berada di negeri jajahan, mereka tetap saja mengumumkan hukuman secara terbuka tersebut. Begitu dicantumkan dalam kitab hukum mereka. Maka pagi-pagi sekali, enam puluh pasukan berkuda berlari kencang ke sepuluh tempat di Pariaman dan sekitarnya.Masing-masing bahagian terdiri dari enam orang. Yang seorang membacakan putusan Komandan loji atas nama Kerajaan Inggeris, dan yang lima lagi menjaga kalau-kalau ada rakyat yang berbuat onar tatkala putusan dibacakan. Parang Pariaman (bagian 14) Kapten itu terdiam. Dia tahu, bahwa Anduang Ijuak tidak ikut menyerang Letnan Sammy. Yang menyerang hanyalah Sidi Marhaban. Tapi dialah justru yang memerintahkan pada prajurit yang menyaksikan peristiwa itu agar mengatakan bahwa Anduang Ijuak ikut menyerang.Dan dengan alasan itu dia bisa menangkapnya. Ini suatu kesempatan emas bagi tuan untuk melumpuhkan perlawanan orang Pariaman terhadap kekuasaan Inggeris. Ini kesempatan yang takkan pernah lagi tuan temukan. Pergunakan kesempatan ini. Bukankah kesempatan hanya datang sekali dalam seumur hidup! Coba tuan bayangkan, kalau mereka mengadakan pemberontakan dalam Loji ini, dengan kekuatan utuh seperti sekarang, tuan akan kewalahan. Mereka orang berilmu tinggi. Barangkali tuan bisa membunuh mereka semua. Tapi sebelum itu terjadi, pihak tuan pasti akan jatuh korban puluhan orang.Nah, kalau mereka telah dikurangi jumlahnya, maka korban dipihak tuan akan makin berkurang. Kalaupun mereka tidak memberontak, tapi lambat laun mereka akan bebas. Dan mereka bisa kembali menyusun kekuatan. Dan itu juga bahaya besar bagi tuan Bukan main berbisanya ucapan dan hasutan Uwak Sanga ini. Kapten Calaghan yang memang khawatir atas pemberontakan para pimpinan Ulakan itu, dapat menerima ucapan Uwak itu sebagai suatu kebenaran.Untuk memenuhi formalitas hukum, dia menyuruh jemput Anduang Ijuak dari tahanannya. Di tahanan itu, Anduang Ijuak sedang bicara perlahan dengan Syekh Malik Ibrahim. Mereka terhenti bicara begitu pintu dibuka.Seorang sersan tegak di depan pintu. Sepuluh orang tentara Inggeris tegak empat depa di belakangnya dengan bedil siap ditangan. Sersan itu tak masuk. Dia tetap tegak dua depa di depan pintu. Mereka tahu, yang ada dalam tahanan ini adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi.Orang yang menurut pandangan orang Barat bisa berbuat banyak keajaiban. Orang yang bisa memukul lawannya dalam jarak beberapa depa sampai mati tanpa menyentuh si lawan. Dari jarak dua depa itu, sersan itu bicara.

Kapten Calaghan ingin bertemu dengan tuan Anduang Ijuak. Ada sesuatu yang akan ditanyakannya berkenaan dengan kematian Letnan Sammy.. Anduang Ijuak bertukar pandangan dengan Syekh Malik Ibrahim. Sebagai orang-orang yang mempunyai kearifan tinggi, kedua pimpinan Sunua dan Ulakan ini merasa ada sesuatu yang tak beres dalam pemanggilan ini.Namun mereka tak menunjukkan rasa gentar. Anduang Ijuak tegak. Menyalami Syekh Malik Ibrahim. Kemudian Anduang itu melangkah keluar. Syekh Malik Ibrahim menatapnya dengan diam. Anduang Ijuak juga melangkah dengan diam menuju gedung utama di mana Kapten Calaghan berkantor. Anduang Ijuak memang tak terkejut ketika kepadanya dikatakan bahwa dia dijatuhi hukuman mati siang ini. Tak ada kesempatan melawan baginya. Barangkali saja dia punya kesempatan itu. Tapi dia segera ingat puluhan murid dan pimpinan Ulakan yang berada dalam tahanan di loji itu. Kalau dia berbuat sesuatu yang tak diingini, dia khawatir kalau mereka akan ditembak semua.Berbeda dengan hukuman mati yang dijatuhkan pada kedua murid Ulakan terdahulu, dimana hukuman itu disebarluaskan, maka hukuman mati terhadap Anduang Ijuak didiamkan saja. Kapten Calaghan tak mau mengambil resiko terlalu besar. Kalau hukuman mati terhadap Anduang Ijuak disebarkan secara terbuka, maka keadaan akan benarbenar rawan.Karena itu, atas desakan Uwak Sanga juga, hukumannya dirahasiakan saja. Hanya pelaksanaannya saja yang bersamaan pagi itu. Setiap sudut loji dijaga dengan ketat sekali. Beberapa meriam yang berasal dari kapal, dipindahkan ke setiap sudut loji.Moncong meriam itu menganga menghadap ke empat penjuru. Ke arah pasar. Ke arah kampung. Ke arah mesjid dan ke arah balai pertemuan. Setiap sudut di atas pagar loji itu kini, kelihatan lima orang tentara Inggeris dalam pakaian beludrunya yang berwarna merah putih tegak dengan bedil terhunus. Di luar, ada dua regu yang terdiri sepuluh orang tiap regu, yang meronda keliling loji. Di pintu gerbang, yang merupakan satu-satunya pintu untuk keluar masuk ke loji itu, tegak dengan sikap waspada dua puluh serdadu pasukan berkuda.Kapten Calaghan tak mau menanggung resiko. Pagi ini akan dilaksanakan hukuman mati terhadap tiga orang murid Ulakan. Bila ada yang ingin yang membebaskannya maka mereka sudah siap dengan pasukan dan meriam. Di dalam loji ketegangan benar-benar memuncak. Syekh Malik Ibrahim sudah diberitahu bahwa Anduang Ijuak juga dijatuhi hukuman mati. Syekh itu menyebut nama Allah berkali-kali. Namun seperti halnya Anduang Ijuak yang khawatir akan nasib para murid senior Ulakan yang tertahan di loji ini, Syekh itu juga demikian. Dia ingin dan bisa melarikan diri dengan membunuh beberapa orang pasukan Inggeris. Tapi bagaimana dengan murid-muridnya? Akhirnya pimpinan Ulakan itu hanya bisa berdoa. Tanpa dapat dia tahan, matanya jadi basah tatkala dia dengar suara genderang berderam perlahan. Suara genderang berderam perlahan itu adalah genderang yang ditabuh untuk upacara penggantungan. Deram genderang itu menembus dinding loji yang dibangun sekaligus untuk benteng pertahanan itu. Sayup-sayup suaranya sampai ke telinga orang yang berada di pasar. Di rumah penduduk, di mesjid, di tepi pantai. Semua yang mendengar pada tertegun. Tegak dan mengarahkan pandangan mereka ke loji. Semua mereka tertegak diam.Kanak-kanak merapatkan tubuhnya pada ayah atau ibu mereka. Mereka ikut dicekam rasa takut melihat sikap takut orang tua mereka. Suara apa itu, ayah? Sssst. Diamlah.

Suara apa itu, mak? Sssst. Diamlah. Tapi suara apa itu? Kedengarannya seperti suara genderang. Ya. Suara genderang. Ada orang kampung kita yang dihukum gantung di dalam loji sana.. Dihukum gantung? Ya.. Apakah mereka mencuri? Tidak. Mereka membunuh orang Inggeris Membunuh orang Inggeris? Ya Kalau begitu mereka orang baik. Bukankah begitu ayah berkata dahulu? Bahwa orang Inggeris itu adalah orang jahat, dan siapa yang melawan dan membunuhnya adalah orang baik? Ya. Kalau begitu kenapa tak ayah tolong? Lelaki itu diam. Kenapa ayah biarkan saja orang itu di gantung Inggeris? Karena..karena ayahmu juga orang tak baik ujar lelaki itu dengan nada yang pahit. Tapi, bukankah ayah juga belajar silat malam-malam bersama mak Kudun? Ayah memang belajar. Tapi tak pernah mendapatkan apa-apa. Tapi, ketika ayah berkelahi bersama-sama mengeroyok pak Bidin dari Tiagan dulu, bukankah Diamlah, nak lelaki itu berkata dengan gelisah. Anak itu memang diam. Telinganya mendengarkan deram genderang itu. Matanya menatap ayahnya yang menunduk dan gelisah. Dan pikirannya yang masih kecil terheran-heran, kenapa ayah tak mau mengeroyok Inggeris seperti ayahnya dulu mengeroyok seorang pedagang dari Tiagan itu. Waktu itu tubuh pedagang itu hampir luluh lantak. Ayahnya bersama sebelas orang dari kampung mereka ini mengeroyok pedagang keliling itu habis-habisan. Kini ada orang baik yang digantung Inggeris. Ayahnya diam saja. Pikiran kanak-kanaknya yang lugu tak mengerti, mengapa ayahnya tak berani menghimpun orang kampungnya untuk mengeroyok Inggeris, sebagaimana dulu ayahnya mengeroyok pedagang dari Tiagan itu.Pikiran lugunya menyimpulkan, ayah dan orang kampungnya hanya bagak melawan sesama orang awak. Tapi gacar ketikan berhadapan dengan penjajah yang benar-benar induk bagak. o0o Orang pertama yang dibawa ke tiang gantungan adalah Anduang Ijuak. Baru kemudian Sidi Buang dan Gindo Fuad.Tiang gantungan itu terletak persis di tengah lapangan yang berada dalam areal Loji yang luas tersebut.Sebuah kayu sebesar betis melintang dengan dua buah tongkat sebesar paha menyangga di kedua ujungnya. Tinggi tiang itu sekitar tiga meter dari tanah. Di sanalah ketiga orang itu akan digantung.Di bawahnya, dibuat secara darurat sebuah panggung kecil. Yaitu tempat ketiga tawanan itu dinaikkan. Menurut urutannya, ketiga tawanan itu ditegakkan di atas panggung atau pentas itu. Kemudian jerat tali yang telah disiapkan dikalungkan ke laher mereka. Dengan sebuah sistem yang telah diatur, enam buah kaki panggung dimana ketiga tawanan itu tegak, akan di sentakkan hingga copot, dengan demikian lantainya akan jatuh ke bawah. Akibatnya, tawanan akan tergantung-gantung di tali. Jarak kaki mereka dari tanah sekitar setengah meter.

Kini ketiga orang tawanan itu sudah ditegakkan di pentas darurat itu. Sekitar dua puluh orang murid Ulakan yang berada dalam tahanan di Loji itu, tegak dalam kamar mereka masing-masing.Mereka tak bisa melihat ke luar. Sebab seluruh pintu tahanan itu selain berjerajak besi, di sebelah luarnya dilapisi pintu dari papan tebal. Meski tak dapat melihat, mereka tegak dengan diam mendengarkan suara genderang itu. Parang Pariaman (bagian 15) Dengan tenang Nabi menatap orang itu. Karena dia belum juga menjawab, orang itu membentak dan menanyakan pertanyaan yang sama sekali lagi. Dengan tenang Muhammad pun menjawab. Tak ada seorangpun yang akan menyelamatkanku, kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa..Dan turunlah keajaiban mengiringi ucapan Muhammad itu. Quraisy itu menggeletar tubuhnya. Pedangnya dia lemparkan. Dia berlutut di depan Nabi. Engkau orang mulia Muhammad. Sejak hari ini saya memeluk agama yang engkau peluk. Asyhaduallaila ha illallah, wa Asyhaduanna Muhammadarrasulullah.. orang itu mengucap syahadat dengan air mata berlinang. Dan Islamlah dia. Tuhan juga menurunkan keajaiban tatkala menguji iman Nabi Ibrahim. Ibrahhim disuruhnya untuk mengorbankan nyawa anaknya, Ismail. Dan Ibrahim mematuhi suruhan Tuhannya. Ismail anak kesayangannya itu dibawanya ke sebuah batu untuk disembelih. Tapi sesaat sebelum mata pedang melukai leher Ismail, Tuhan menggantinya dengan seekor kibas. Syekh Malik Ibrahim tahu semua cerita tentang keajaiban yang diturunkan Allah pada para Nabi-Nya itu. Tapi itu khusus untuk para nabi. Apakah Tuhan juga bersedia menurunkan keajaiban untuk menolong manusia biasa yang bukan para Nabi dan Rasul?Kalaupun Tuhan mau menurunkan keajaiban apakah murid-murid Ulakan cukup berbahagia untuk menerima keajaiban Allah itu? Itulah yang terfikirkan oleh Syekh Malik Ibrahim dalam kamar tahanannya, tatkala suara genderang penggantungan itu berbunyi. Hatinya memanjatkan doa. Sementara matanya yang terpejam basah. Dia mengutuk dirinya yang lemah, yang tak bisa menolong muridnya yang dihukum. Kini ketiga orang tawanan itu sudah ditegakkan di atas pentas darurat itu.Letnan Coral Lancashire, yaitu Komandan Loji di Tiku, yang ditarik ke Pariaman untuk menggantikan kedudukan Letnan Sammy yang mati oleh Sidi Marhaban, maju ke depan. Suara genderang yang menderam itu masih berbunyi. Letnan itu membuka sebuah plakat yang diserahkan oleh seorang prajurit padanya. Semuanya mata dari sekitar enam puluh pasukan berkuda Inggeris yang tegak mengelilingi lapangan tempat eksekusi itu menatap padanya dengan diam.Plakat itu berisi vonis hukuman mati atas ketiga orang murid Ulakan itu. Letnan Lancashire membacakan vonis itu dengan suara lantang. Nun jauh dari kota Pariaman, di salah satu sisi Danau Maninjau yang indah, di sebuah rumah kecil dikelilingi sawah dan ladang seorang anak muda kelihatan tengah mencangkul. Dari arah rumah dia lihat isterinya datang bergegas. Uda.. suara perempuan cantik itu bernada amat cemas.Anak muda itu kaget. Tak biasanya isterinya bersikap demikian. Dia letakkan cangkulnya.Dia berjalan menyongsong isterinya. Ada apa, Nilam? Di Pariaman, uda.. Ada apa di Pariaman? Tengah terjadi perang antara Inggeris dan orang Pariaman yang dimotori murid UlakanAnak muda itu tertegak, diam dan kaku.

Perang..? Begitu yang saya dengar dari cerita orang saat saya membeli minyak goreng di kedaiAnak muda itu menoleh ke arah Pariaman. Tatapannya seperti menembus dan melintasi puncak-puncak bukit terjal yang mengepung danau Maninjau. Saya berharap ada sesuatu yang bisa uda lakukan untuk menolong mereka. ujar perempuan cantik itu perlahan.Anak muda itu, si Giring-Giring Perak, mencium kening isterinya. Kemudian dia berjalan ke kandang kuda disamping rumahnya. Sesaat setelah di punggung kuda, dia menatap isterinya. Saat itu dua orang perempuan datang dari rumah sebelah. Dia merasa aman meninggalkan isterinya di perkampungan kecil dsengan penduduk yang sudah seperti saudara mereka sendiri. Saya titip Nilam pada Uni katanya perlahan pada kedua perempuan yang tegak di sisi isterinya.Kedua perempuan itu menangguk sambil memeluk bahu Siti Nilam. Diapun memacu kudanya. Siti Nilam berdoa, semoga suaminya dapat menolong orang Pariaman dalam peperangan melawan Inggeris. Dia berdoa karena dia juga sadar, bahwa betapapun saktinya seorang manusia, namun nasibnya berada di tangan takdir. Dan takdir ditentukan oleh Yang Satu. Di Loji, Letnan Lancashire selesai membacakan surat putusan hukuman mati itu. Kemudian dia berbalik, memberi salut pada Kapten Calaghan. Kapten Calaghan membalas salut itu. Lalu memerintahkan supaya hukuman segera dilaksanakan.Enam orang tentara Inggeris, yang tegak di atas pentas darurat di bawah tiang gantungan panjang itu, segera menyarungkan lingkaran tali ke leher ketiga tawanan itu.Sidi Buang, murid senior Ulakan yang malam tadi gagal melarikan diri, dan luka di dalam tubuhnya akibat pukulan jarak jauh Uwak Sanga, menatap pada Uwak yang tegak sekitar sepuluh depa di depannya itu. Uwak. katanya datar, engkau hianati orang kampungmu. Demi Tuhan, akan tiba saatnya, engkau akan mati secara hina. Aku kutuk engkau, Uwak Sanga! Semoga Tuhan mendengar kutukku ini. Bahwa engkau akan mati secara hina dan amat sengsara, atau pengkhianatanmu iniUwak Sanga tertawa menggerendeng. Namun diamdiam hatinya jadi tak sedap juga mendengar kutukan itu. He Sidi, nama waang Sidi Buang. Angok waang sebentar lagi akan dibuang ke neraka. Mayat waang akan dijadikan makanan kendik. Waang akan mengadakan perjalanan ke akhirat, wsaang akan bertemu dengan Tuhan yang waang sebut-sebut itu. Sampaikan salamku pada Tuhan waang itu he.he. Anduang Ijuak yang tegak di tengah, bukan main murkanya mendengar betapa Uwak Sanga memperolok Tuhan itu. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Tangannya telah digari kebelakang. Inilah yang membuat dia tak bisa bergerak. Namun dia bisa bicara, dan diapun bicara. Engkau memang seorang dajal, Uwak Sanga! Dajal paling jahanam yang pernah kukenal. Saya ikut menyumpahimu, semoga kau mati dengan cara yang paling hinaKembali Uwak Sanga tertawa menggerendeng. Kau Ijuak, juga sampaikan salamku pada Tuhanmu itu. Di neraka banyak perempuan cantik. Tapi kalau kau lewat di sana, pejamkan matamu. Sebab semua mereka telanjang. Saya khawatir engkau akan tergoda oleh paha dan dada yang montok dan ikut terjun ke neraka. Haahaahaahehee.! Tawa Uwak Sanga terhenti. Dia dan semua yang ada dekat tiang gantungan itu menoleh ke arah laut.Menoleh karena mendengar suara gemuruh yang sahut menyahut dari tengah laut. Tepatnya dari kapal kerajaan Inggeris yang sejak beberapa hari lalu buang jangkar di sana.Kapal itu jelas terlihat dari tempat mereka kini berada. Mereka pada terkesiap. Dari sana ledakan dan gemuruh yang tadi mereka dengar berasal. Kini kapal itu sedang dimamah api. Pekik dan teriakan terdengar dari kapal itu.

Lalu, tiba-tiba dari berbagai penjuru terdengar teriakan. Dari berbagai penjuru orang berdatangan ke loji itu. Didahului orang-orang menunggang kuda, kemudian di belakangnya diikuti ratusan orang membawa pedang, tombak, panah, dan alat apa pun yang bisa dipakai untuk membunuh orang.Letnan Lancashire dan Kapten Galaghan tertegun. Begitu juga Uwak Sanga. Puluhan tentara Inggeris yang ada di Loji itu pada mengangkat bedil. Perangpun pecah dalam hiruk pikuk yang benar-benar tak terkendali dan di luar dugaan semua orang. Tidak pernah ada yang menyangka, Anduang Ijuak sekalipun, bahwa perang terbuka yang amat dahsyat akan pecah hari itu secara tiba-tiba di Pariaman. Pagi sekali esoknya si Bungsu sampai. Dia mendapati puluhan mayat berserakan di Pariaman, khususnya di sekitar loji. Mayat orang Pariaman berbaur dengan mayat tentara Inggeris. Mayat orang Pariaman tak berbaju, celana hanya selutut. Mereka memakai ikat kepala dari secarik kain yang dililitkan berbentuk deta. Mayat tentara Inggeris jelas berpakaian amat mewah. Celana putih, bersepatu, berbaju merah ketumba, bertopi lakan. Mayat itu masih berserakan di sekitar loji, belum ada yang mengumpulkan apalagi menguburkannya. Loji itu sebahagian hangus dilalap api, namun sebagian lagi masih utuh. Di bagian yang masih utuh itu belasan tentara Inggeris bertahan dengan diam. Kapal Inggeris yang berlabuh tak jauh dari pantai masih belum tenggelam, tapi sudah teleng. Sebahagian sudah hangus dimamah api. Di kapal itu juga belasan tentara Inggeris masih bertahan.Orang Pariaman tak kelihatan. Mereka berkumpul dan terlindung dalam belukar lebat tak jauh dari loji. Perang memang telah berhenti, namun belum berakhir. Masing-masing pihak menyusun kekuatan dan taktik, danmenanti. Tak ada yang berani keluar dari sarang dimana kini mereka berada. Bahkan untuk mengumpulkan mayat teman-temannya pun mereka belum berani. Parang Pariaman (bagian 16) Dari punggung kudanya Giring-Giring Perak melihat banyak sekali mayat penduduk Pariaman bergelimpangan. Perang menjadi sangat tidak berimbang ketika penduduk bersenjata parang, tombak, panah, kelewang atau keris berhadapan dengan peluruh senapan dan peluru meriam.Kesaktian para pesilat seperti diredam oleh terkaman peluru. Tiba-tiba dia menghentikan kudanya. Melihat ke arah pantai. Di sana sebuah kapal Inggeris yang cukup besar tenggelam. Yang kelihatan muncul dari laut hanya bahagian kamar komando dan tiang bendera. Pada tiang bendera itu masih terikat bendera Inggeris yang melambai lemah ditiup angin pagi. Giring-Giring Perak kembali menatap beberapa mayat yang tak jauh dari tempatnya. Dia seperti mengenal wajah beberapa dari mayat tersebut. Dia coba mengumpulkan ingatan, lalu tiba-tiba dia ingat wajah-wajah itu.Apa yang terjadi sehingga mayat-mayat bertebaran di Pariaman? Kabar akan digantung nya Sidi Buang, Anduang Ijuak dan Gindo Fuad itu sebenarnya sudah lama menyebar. Kabar itu sampai ke telinga seratusan anggota Datuk Sipasan dan ratusan anggota Harimau Tambun tulang yang selamat dari runtuhnya Bukit Tambun tulang.Baik anggota Datuk Sipasan maupun bekas anak buah Harimau Tambun tulang itu bermukim di sekitar Padangpanjang, Tanah Datar, Bukittinggi dan Kayutanam. Mereka hidup sebagai petani. Saat mendengar Inggeris kembali menyulut permusuhan dengan Sunua dan Ulakan, diam-diam mereka berdatangan. Dansesaat sebelum Sidi Buang, Anduang Ijuak dan Gindo Fuad digantung, mereka berjibaku menyerang loji itu. Serangan yang mendadak dan amat di luar dugaan yang dilakukan lebih dari tiga ratusan orang yang mahir berperang itu membuat Inggeris kalang kabut.Ketiga orang yang akan digantung itu bisa dibebaskan oleh ratusan orang yang menyerang. Saat Uwak Sanga yang lari terbiritbirit akan masuk barak perwira di areal loji itu, dia mendengar suara dari sampingnya.

Tidak seorangpun di antara tentara Inggeris yang tahu, bahwa orang yang berada di punggung kuda itu beberapa tahun yang lalu pernah menghancurkan batu cadas yang menjadi dinding Bukit Tambun Tulang.Saat jarak antara orang berkuda itu sampai ke loji hanya lima belas meter. Tembak! ujar Galaghan tegas. Tembaaak.!! pekik Cory.Pemantik sumbu meriam mendekatkan api ke lobang sumbu meriam. Belasan tentara di atas loji memasukkan jari tunjuk mereka ke pelatuk, untuk menembak. Saat itu pula Giring-Giring Perak yang telah menghimpun tenaga, mengangkat kedua tangan setinggi dada. Kemudian dengan dua telapak tangan menghadap ke depan, dia seperti mendorong sesuatu yang amat berat.Lalu, terjadilah apa yang harus terjadi.Sedetik sebelum api memicu sumbu meriam, sedetik sebelum pelatuk belasan bedil ditarik serdadu di atas loji, sepuputan tenaga yang hebatnya sukar untuk di gambarkan dengan kata-kata, menghantam lobang tiga meriam di dinding loji yang terbuat dari kayu sebesar paha dan batang kelapa itu. Hantaman tenaga dalam yang amat dahsyat itu menjungkalkan ketiga meriam yang sudah terpicu di balik pagar kayu besar itu. Sesaat sebelum tiga meriam berikut selusin tentara di dekatnya tercampak membentur dinding jauh di belakangnya, salah satu meriam itu meledak saat moncongnya menghadap ke atas. Ledakannya menghancurkan tubuh Kapten Galaghan, Letnan Corry dan selusin tentara di dekatnya. Meriam yang dua lagi meledak saat moncongnya terputar ke arah gudang mesiu. Sekitar satu ton mesiu di gudang itu meledak. Gelegar akibat ledakan beruntun membahan menghancur leburkan hampir seluruh loji yang amat ditakuti itu.Membunuh lebih dari lima puluh tentara Inggeris yang tersisa dari perang bersosoh kemaren! Api dan asap tebal membubung dari loji yang ditakuti sekaligus amat dibenci orang Pariaman itu. Beberapa ekor kuda yang masih hidup lari bertemperasan.Orang-orang Pariaman terkejut mendengar ledakan yang mengguncang bumi itu. Di akhir abad ke 18, Napoleon, Kaisar Prancis yang juga berkuasa atas Belanda, menyerang Kerajaan Inggeris. Dengan demikian Inggeris menghadapi dua musuh dari dua negara, Prancis dan Belanda. Perang di jantung Eropah itu sekaligus menyulut perang satu lawan dua negara tersebut di diseluruh jajahannya di dunia.Di Eropah, tentara Inggeris berhasil memenangkan pertempuran melawan tentara Napoleon dan Belanda. Pasukan Inggeris yang menang melawan tentara Napoleon inilah yang dikirim ke pulau-pulau di berbagai samudera, termasuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Menang melawan Napoleon di Eropah, pimpinan Inggeris di Calcutta, India, yang membawahi Benua Asia memerintahkan angkatan lautnya merebut wilayah Sumatera Barat yang kaya dengan emas dan rempah-rempah dari tangan Belanda.Angkatan perang Inggeris mendarat di pantai Barat Sumatera pada Tahun 1795, adan segera berhasil merebut pos-pos (loji) Kompeni (V.O.C) di Padang tanpa perlawanan yang berarti. Dengan jatuhnya pos-pos Belanda di Padang, maka pos-pos mereka di daerah pesisir seperti di Salido, Painan, Pariaman dan Tiku juga menyerah pada Inggeris.Sejak tahun 1795 itu, bermulalah penjajahan Inggeris atas pesisir Minangkabau. Saat itulah remuknya loji dan pasukan Inggeris di Pariaman dalam episode perang pariaman ini terjadi. Sejarah dunia mencatat, daerah-daerah yang semula dikuasai Belanda kemudian direbut oleh Inggris seperti Padang, Salido, Painan, Pariaman dan Tiku, termasuk Bengkulu, akhirnya berdasar perjanjian atau dikenal dengan Traktat London Tahun 1814 dikembalikan lagi kepada Belanda.Akibat luasnya lautan, sementara mesin kapal belum ditemukan dan karenanya kapal-kapal perang baru memakai

layar, penyerahan daerah jajahan dari Inggris ke Belanda itu baru efektif terjadi lima tahun kemudian, yaitu Tahun 1819.Saat penyerahan kekuasaan dari Inggeris kepada Belanda, Loji Inggeris di Pariaman sudah remuk redam dalam Perang Pariaman yang dimotori perguruan Sunua dan Ulakan, dan disudahi oleh Giring-Giring Perak. Begitu kata sahibul hikayat. - TAMAT -

Anda mungkin juga menyukai