Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

Rinitis atrofi (ozaena) adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada
mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rinitis chronica atrophicanscum foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.1

Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang, rinitis atropi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan medis.1 Rinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung.1 Foetor e nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. !ejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. "amun, pada rinitis atrofi, foetor e nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien. #erlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.1 Menurut $oies, frekuensi penderita rinitis atrofi pada wanita dan laki-laki adalah 3 : 1. Penyakit ini
lebih sering mengenai wanita,

terutama pada usia pubertas. %ering ditemukan pada masyarakat

dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.1,&,' (zaena lebih umum di negara-negara sekitar )aut #engah daripada di *merika %erikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di +ropa %elatan sejak perang dunia ke ,, tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.1 Rinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konser-atif atau jika tidak menolong dilakukan operasi. (leh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai rinitis atrofi.1 1 | RINITIS ATROFI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG 2.1.1 Anatomi Hidung .idung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. .idung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas/ struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian, yang paling atas terdapat kubah tulang yang tak dapat digerakkan/ di ba0ahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan/ dan yang paling ba0ah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. $entuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke ba0ah 1 12 pangkal hidung 3bridge2, &2 batang hidung 3dorsum nasi2, '2 puncak hidung 3hip2, 42 ala nasi, 52 kolumela,dan 62 lubang hidung 3nares anterior2. 1 .idung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang ra0an yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. 7erangka tulang terdiri dari 1 12 tulang hidung 3os nasal2 , &2 prosesus frontalis os maksila dan '2 prosesus nasalis os frontal / sedangkan kerangka tulang ra0an terdiri dari beberapa pasang tulang ra0an yang terletak di bagian ba0ah hidung, yaitu 12 sepasang kartilago nasalis lateralis superior, &2 sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan '2 tepi anterior kartilago septum. 1

Gamba 1. Anatomi Hidung Bagian Lua & | RINITIS ATROFI

$agian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. 7a-um nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. 8elah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. 1

Gamba 2. Anatomi Hidung Bagian Da!am S"#tum na$i %eptum membagi ka-um nasi menjadidua ruang kanan dan kiri. $agian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum 3kuadrilateral2, premaksila dan kolumela membranosa/ bagian posterior dan inferior oleh os -omer, kristamaksila, 7rista palatine serta krista sfenoid. 1

' | RINITIS ATROFI

Ka%um na$i 7a-um nasi terdiri dari1 1 1. 9asar hidung 9asar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. &. *tap hidung *tap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalisos maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. %ebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan ba0ah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior '. 9inding )ateral 9inding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial. 4. 7onka Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka/ celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior/ celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. 7adang-kadang didapatkan konka keempat 3konka suprema2 yang teratas. 7onka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superiordan palatum. M"atu$ Na$a!i$ Su#" io Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. 7elompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya ber-ariasi. 9i atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. 1

4 | RINITIS ATROFI

M"atu$ Na$a!i$ M"dia Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. 9isini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. 9i balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. *da suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatusmedius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. 9inding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. 9i atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. (stium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. %inus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. *dakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. 1 M"atu$ Na$a!i$ In&" io Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara ' sampai ',5 cm di belakang batas posterior nostril. 1

Gamba '. Mua a Sinu$ Pa ana$a! 5 | RINITIS ATROFI

Kom#!"($ o$tiom"ata! )KOM* 7ompleks ostiomeatal 37(M2 adalah bagiandari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran 7(M terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. %truktur anatomi penting yang membentuk 7(M adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. 1 %erambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. %edangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. 9ari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media. 1

Gamba +. Kom#!"($ O$tio,M"ata!

6 | RINITIS ATROFI

P" da a-an -idung $agian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. $agian ba0ah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalahujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posteriorkonka media. $agian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang : cabang a.fasialis.1 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoidanterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus 7iesselbach 3)ittle;s area2. Pleksus 7iesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis 3pendarahan hidung2 terutama pada anak.1 <ena--ena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya . <ena di -estibulum dan struktur luar hidung bermuara ke -.oftalmika yang berhubungan dengan sinus ka-ernosus. <ena--ena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.1 P" $a a&an -idung $agian depan dan atas ronggahidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus 3".<-12. Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. !anglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensorisjuga memberikan persarafan -asomotor atau otonom untuk mukosa hidung. !anglion ini menerimaserabut-serabut sensoris dari n.maksila 3".<-&2, serabut parasimpatisdari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.& !anglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. "er-us olfaktorius. %araf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan ba0ah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2

= | RINITIS ATROFI

2.1.2 Fi$io!ogi -idung $erdasarkan teori struktural, teori re-olusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1 3 12 Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara 3air conditioning2, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal &2 '2 42 52 Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius 3penciuman2 dan reser-oir udara untuk menampung stimulus penghidu Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardio-askuler dan pernafasan. ,ritasi pada mukosa hidung aka menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. 2.2 .INITIS AT.OFI )O/A0NA* 2.2.1 D"&ini$i Rhinitis ozaena atau rhinitis atrofi adalah suatu penyakit infeksi hidung dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. %ecara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta berbau busuk. 3 )ebih sering mengenai 0anita pada usia antara 1-'5 tahun, terbanyak pada usia pubertas. %ering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 3 %ecara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjarkelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan berbentuk menjadi kecil. 3 2.2.2 0#id"mio!ogi $eberapa kepustakaan menuliskan bah0a rinitis atrofi lebih sering mengenai 0anita, terutama pada usia pubertas. $aser dkk mendapatkan 1> 0anita dan 5 pria, dan ?iang dkk @ | RINITIS ATROFI

mendapatkan 15 0anita dan 1& pria. %amiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut $oies frek0ensi penderita rhinitis atrofi 0anita 1 laki adalah ' 1 1. #etapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, ?iang dkk berkisar 1'-6@ tahun, %amiadi mendapatkan umur antara 15-4A tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 1, 2, 6 (zaena lebih umum di negara-negara sekitar )aut #engah daripada di *merika %erikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fe-er, dan difteria di +ropa %elatan sejak perang dunia ke ,, tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena. 1 9i R% .. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4
wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.6

2.2.' 0tio!ogi Penyebab rinitis atrofi 3(zaena2 belum diketahui sampai sekarang. #erdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. $eberapa penulis menekankan faktor herediter. "amun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi 3(zaena2, yaitu 1 1,',5

,nfeksi setempatB kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. 7uman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. %elain golongan 7lebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain %tafilokokus, %treptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, 7okobasilus, Bacillus
mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.

9efisiensi -itamin *. 9efisiensi Fe. %inusitis kronis. 7elainan hormon. 7etidakseimbangan hormon estrogen. Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun. 7etidakseimbangan otonom. #erjadi perubahan neuro-askular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom. <ariasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).

A | RINITIS ATROFI

.erediter. %upurasi di hidung dan sinus paranasal. !olongan darah. $erhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. #rauma dapat terjadi karena kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus. %elain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas 1 rinitis atrofi

primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung
(operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc.1,5

Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. $erbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5 2.2.+ K!a$i&i(a$i 7lasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi 1 Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk klasik rhinitis atrofi. #erjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya. Penyebabnya adalah mikroorganisme 7lebsiella (zaena. %edangkan rhinitis atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi lokal setempat. 1 2.2.1 Pato!ogi dan Patog"n"$i$ *nalisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia sCuamosa dan kehilangan silia. .al ini mengakibatkan hilangnya kemampuan 1> | RINITIS ATROFI

pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. !landula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. %elain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran 3yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri2. 4 $eberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik
dalam jumlah dan ukuran

dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. (leh

karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1

a2

#ipe , 1 adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik/ membaik dengan efek -asodilator dari terapi estrogen.

b2 #ipe ,, 1 terdapat -asodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. %ebagian besar kasus merupakan tipe ,. +ndarteritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.

*trofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal

yang melekat. *trofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. ,ni juga dihubungkan dengan teori proses autoimun/ 9obbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan
protein A. 6

9efisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan
mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan

histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi 3(zaena2, yaitu 1 '

Mukosa hidung. $erubah menjadi lebih tipis. %ilia hidung. %ilia akan menghilang.

+pitel hidung. #erjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.

11 | RINITIS ATROFI

7elenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi 3bentuknya mengecil2, atau jumlahnya berkurang.

2.2.2 G"3a!a K!ini$ 7eluhan penderita rinitis atrofi 3ozaena2 biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering.

7eluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya

napas berbau 3sementara pasien sendiri menderita anosmia2 jadi penderita sendiri 3-), orang lain
(+) penciumannya.

Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak

ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas le0at hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,&,4, Pemeriksaan #.# pada kasus rinitis atrofi 3ozaena2 dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam/ jika krusta diangkat, terlihat rongga
hidung sangat lapang, atrofi konka (konka

nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi

atau atrofi2, sekret purulen dan ber0arna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. 1,3 Bisa juga
ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat

13

a2 #ingkat , 1 *trofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b2 #ingkat ,, 1 *trofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, 0arna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c2 #ingkat ,,, 1 *trofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

1& | RINITIS ATROFI

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai a0itan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. $iasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. 9apat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5 *trofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. 7elenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. ?aringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. *khirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. 7eadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba +ustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca. 5 2.2.4 Diagno$i$ Dntuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. ',4 12 Anamnesa :
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta

(pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.

&2 Pemeriksaan Fisik 1 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang,
konkha inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau.

'2 Pemeriksaan Penunjang 1 1' | RINITIS ATROFI

Pemeriksaan

penunjang pada kasus rinitis atrofi 3ozaena2 yang dapat dilakukan

antara lain 1

Foto rontgen hidung dan sinus paranasalis, hal ini dilakukan untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus. Pada rontgen dapat menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris.

8# scan sinus paranasalis, dimana pada pemeriksaan ini ditemukan : Penebalan


mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman dan kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan proses uncinate, Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang dan atrofi mukosa pada konkha media dan inferior.

Pemeriksaan mikroorganisme untuk menentukan kuman penyebab. Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konka media. 9ari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.

Dji resistensi kuman. Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan serologi darah.


Protein %erum. Pemeriksaan Fe serum Pemeriksaan darah rutin *"* dan anti-9"* antibodi. 3<9R) test dan Easserman test2 untuk menyingkirkan sifilis.

2.2.5

Diagnosis Banding

9iagnosis rinitis atrofi 3ozaena2 antara lain 1 1. Rinitis kronik #uberculosis


Secara klinis rinitis aropi dan rhinitis kronik Tuberculosis sama, dapat dibedakan dengan pemeriksaan Foto Rontgen Thorak dan terdapat adanya riwayat penyakit TBC atau kontak erat pada pasien Tuberculosis oleh penderita.

&. Rhinitis kronik lepra Penderita rinitis kronik lepra mempunyai ri0ayat atau sedang menderita 14 | RINITIS ATROFI
penyakit Lepra

'.

Rinitis kronik sifilis Rinitis kronik sifilis terjadi pada penderita yang sedang atau sudah pernah menderita penyakit sifilis sebelumnya

4. %inusitis Pada sinusitis sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain disekitarnya membau. 9apat terjadi baik pada anak-anak maupun orang de0asa. #erkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi. %edangkan pada Rinitis atrofi1 sekret bilateral dan berbau dengan krusta ber0arna kuning kehijauan, penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. )ebih banyak menyerang 0anita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas. 5. "asofaringitis kronis Pada nasofaringitis kronis sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain tidak membau. #idak ada perbedaan frekuensi antara pria dan 0anita 2.2.6 P"nata!a($anaan .ingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. #ermasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin/ steroid/ dan antibiotik/ -asodilator/ pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol/ dan salep pelumas. 1,3 Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. #ujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat
diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,3

Kon$" %ati& Pengobatan k


onservatif ozaena m

eliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik.

12 *ntibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun 0aktu & tahun pemakaian. Fizilbash dan 9arf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 6>> mg 1 1& minggu. 15 | RINITIS ATROFI sehari selama

&2 (bat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. *ntara lain 1 a. $etadin solution dalam 1>> ml air hangat atau b. 8ampuran 1 "a8l ".4Cl "a.8(3 aaa A *Cua ad '>> cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. )arutan garam dapur d. 8ampuran 1 "a bikarbonat &@,4 g "a diborat 28,4 g "a8l 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

)arutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi 3(zaena2 biasanya dengan pemberian preparat Fe. '2 (bat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk
membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.

42 <itamin * ' 52 Preparat Fe.

1>.>>> D selama & minggu.

62 %elain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. %inha, %ardana dan Rj-anski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan @>G perbaikan dalam & tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan A','G perbaikan pada periode 0aktu yang sama. ,ni membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. %amiadi dalam laporannya memberikan 1 trisulfa ' & tablet sehari sehari, selama & minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan "a 8l fisiologis '

kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, 16 | RINITIS ATROFI

pembersihan hidung di klinik tiap & minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai &' bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari = penderita. Operasi #ujuan operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung yang
lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 #eknik

bedah dibedakan menjadi dua kategori utama 1 5

12 ,mplan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan &2 (perasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam. $eberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain 1 1 12 Young's operation Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.

&2 Modified Young's operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. '2 Lautenschlager operation 9engan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan
ke lubang hidung.

42 Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran
Triosite dan Fibrin Glue.

52 #ransplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila 3 Wittmack's operation) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung.

Me0engkang " melaporkan operasi penutupan koana

menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.

$ila pengobatan konse-atif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama & tahun. *tau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.4

1= | RINITIS ATROFI

2.2.17

Komplikasi

7omplikasi rinitis atrofi 3ozaena2 dapat berupa 1 1. Perforasi septum &. Faringitis '. %inusitis 4. Miasis hidung 5. Hidung pelana 2.2.11

Prognosis

9engan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 4> tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

BAB III K0SIMPULAN


Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka . Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental
dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk. Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung terasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta yang berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal. Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pengobatan operatif. Pengobatan konservatif dengan pemberian antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat.

1@ | RINITIS ATROFI

Obat cuci hidung juga diberikan untuk menghilangkan bau busuk. Pengobatan operatif dengan operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal.

DAFTA. PUSTAKA
1. $allenger ?? and %no0 ?$. Atrophic Rinitis 9alam1 $allenger ?? and %no0 ?$. allenger's Otorhinolar!ngolog! "ead # $ec% &urger! '(th )d. .amilton1$8 9ecker inc/ &>>' h1 =5>-=51. &. )al0ani *7. $onallergic # Allergic Rinitis 9alam1 )al0ani *7.*urrent +iagnosis and ,reatment in Otolar!ngolog! - "ead and $ec% &urger!. "e0 Hork1 Mc!ra0hill/ &>>= 8h11' '. $uku *jar ,lmu 7esehatan #elinga, .idung, #enggorok, 7epala I )eher. +d. ke-6. ?akarta 1 Fakultas 7edokteran Dni-ersitas ,ndonesia. &>>=. 4. <anessa ,9*. Rinitis *trofi. Mataram1Fakultas 7edokteran Dni-ersitas Mataram. &>>@ h11-11 5. *dams, ). !. et al. oies u%u A.ar Pen!a%it ,",. +d. ke-6. Penerbit $uku 7edokteran +!8. ?akarta.1AA=

1A | RINITIS ATROFI

6. +ndang, M. I "usjir0an, R. Rinorea/ 0nfe%si "idung dan &inus dalam u%u A.ar 0lmu Kesehatan ,elinga/ "idung/ ,enggoro%/ Kepala # Leher . +d. ke-5. Fakultas 7edokteran Dni-ersitas ,ndonesia. ?akarta.&>>6

&> | RINITIS ATROFI

Anda mungkin juga menyukai