Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Referat : Desember 2013

TOKSOPLASMOSIS SEREBRAL

Disusun Oleh : MohdAfiq b. Husin Ahmad Badrul Amin C11109839 C11109827

NurHidayahbintiAbdRahim C11109850 NurulRaihanAbdKadir C11109856

Pembimbing dr. Citra Dewi Supervisor dr.Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

I. PENDAHULUAN Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii juga dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru,mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat didapat dari kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang kurang masak. Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini merupakan golongan protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler yang menginfeksi sebagian besar populasi dunia dan merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi otak pada pasien dengan HIV-AIDS. Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan HIV-AIDS. Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses reaktivasi organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah 100sel/L atau apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/L tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya atau malignansi. Reaktivasi toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika diagnosis dan terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi.(1) Faktor resiko untuk terkena infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya struktur otak, menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.[2]

Toksoplasma gondii dengan pewarnaan H.A.

II. EPIDEMIOLOGI Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti pada ketinggian yang berbeda di daerah rendah prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di daerah tropik.Pada umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang merupakan instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa secara praktis juga penting dalam penyebarannya.[9]

Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut: kucing 35-73 %, babi 11-36 %, kambing 11-61 % anjing 75 % ternak lain kurang dari 10 % .[9]

III. ETIOLOGI Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Apabila parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di dalam tubuh tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas dan dapat mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.[6]

Gambar 1 : Siklus Hidup Toxoplasmosis Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, dan Ookista:

Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel.Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit.[6]

Gambar 2: Tachyzoit

Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapatdalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.[6]

Gambar 3 : Kista

Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklusa seksual atau schizogoni dan siklus atau gametogeni dan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresiakan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh pejamu perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan pejamu perantara akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada pejamu perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.[6]

Gambar4:Ookista

IV. PATOMEKANISME Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites, organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.[5][8]
Ookista (Daging mentah)

Tachyzoit (usus)

Darah & Limfe

Imune Respon

Bradyzoit (otak, skeletal, myocard, retina)

Immunocompromized reaktivasi

Gambar5 :Patogenesis Toxoplasmosis

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, selmakrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel

langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekat anvirus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosispada sel yangterinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dandapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadapT gondii.[10][16]

Tachyzoit

Aktivasi CD4 sel T

ekspresi CD154

sel dendritik dan makrofag

IL-12 Sel TINF-y

Respon antitoxoplasmik

Gambar5 :ResponImun

V. GAMBARAN KLINIS Gejala toksoplasmosis serebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan dengan penyakit lain seperti limfoma, tuberkulosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.[4] Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis kongenital dan toksoplasmosis didapat. Gejala ensefalitis toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung karena adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem imunnya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.[4] Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan bicara sering ditemui sebagai gejala klinis awal. Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf kranial dan pasien akan menunjukkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma. Penglibatan medula spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.[4]

VI. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan, isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien dengan suspek toksoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi empirik untuk toksoplasmosis serebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi empirik.[1][13] Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.[13][15]

Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis toksoplasmosis serebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat meningkatkan tekanan intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi protein.[1]

Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii dapat berguna untuk diagnosis toksooplasmosis. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toksopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untuk diagnosis pada penderita AIDS.[1][11]

Toksoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari toksoplasmosis adalah dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya

isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari hampir semua jaringan manusia atau cairan tubuh. Pasien dengan toksoplasmosis serebral ditemukan histopatologi tachyzoit pada jaringan otak.[1][15]

Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral, CT scan menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan biasanya menunjukkan beberapa lesi hipodens terletak di wilayah korteks serebral , corticomedullary junction , atau ganglia basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga kadang-kadang muncul pada penderita toksoplasmosis serebral. Karakteristik toksoplasmosis serebral adalah asimetris, yang memberi gambaran abses cincin dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat memperlihatkan lesi hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain, namun , CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya.[14] Pada T1 weighted MRI , toksoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas sinyal rendah berhubung dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 weighted MRI , lesi biasanya dengan intensitas sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk mendiagnosis dan memantau respon terhadap pengobatan toksoplasmosis karena lebih sensitif dari CT Scan untuk mendeteksi beberapa lesi.[1][15] Diagnosis toksoplasmosis serebral biasanya ditegakkan pada penderita HIV dengan CD4 T sel yang kurang dari 100sel/mm3. Terapi empirik diberikan pada penderita HIV dengan gambaran lesi hipodens multipel, Titer antibodi IgG terhadap T. gondii positif dan pada pasien dengan immunodefisiensi; seperti pada penderita HIV dengan jumlah CD4 T sel 200 sel/mm3.[12][13]

Algoritma diagnosis toksoplamosis serebral

VII. PENATALAKSANAAN Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin (obat anti malaria) dan sulfadiazine. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin (antibiotik) ini

menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah untuk mencegah komplikasi pendarahan karena efek samping untuk regimen kombinasi ini adalah penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang terinfeksi toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para ibu haruslah diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya hiperbilirubinemia dan kernikterus.(1) Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang

intoleransi terhadap sulfadiazin atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam menangani kasus toksoplasma serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah trimetoprim dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan pirimetamin, dan claritromisin dengan pirimetamin. Klindamisin dengan pirimetamin diberikan pada pasien yang tidak bisa toleransi terhadap sulfonamid.(1,2) Atovaquone adalah bagian dari naftoquinon yang unik dengan aktivitas antiprotozoa yang spektrumnya luas . Atovaquone telah dibuktikan efektif terhadap takizoit toksoplasma in vitro dan akan membunuh bradizoit dalam kista jika dalam konsentrasi yang tinggi. Atovaqoune sering digunakan dalam kombinasi obat-obat lain. Menurut penelitian atovaqoune menjadi lebih efektif apabila dikombinasikan dengan obat lain seperti pirimetamin, sulfodiazin, klindamisisn atau claritromisin.(2) Terapi toksoplasmosis serebral pada pasien HIV dibagi menjadi dua yaitu terapi fase akut dan terapi pemeliharaan. Terapi Akut Terapi akut harus lebih dari 3 minggu dan bisa 6 minggu jika bisa ditoleransi. Lebih lama terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala yang berat yang tidak mencapai respon sembuh komplit.(2) Berikut adalah regimen terapi untuk toksoplasmosis serebral fase akut: (1)

Terapi pilihan dan lama pengobatan dilanjutkan dengan 5075 mg/hari secara oral), sulfadiazine (10001500 mg 4 kali/hari), and leucovorin (10 20 mg/hari)

Regimen Alternatif Pirimethamine (200-mg oral dosis inisial, dilanjutkan dengan 5075 mg/day secara

Pirimethamin (200-mg oral dosis inisial,

oral) and klindamisin(600 mg intravena [IV] atau oral 4 kali sehari). TMP (5 mg/kg) and SMX (25 mg/kg) IV atau oral 2 kali sehari.

Lama pengobatan : 6 minggu

Atovaquone* (1500 mg oral2 kali sehari) + pirimethamin (5075 mg/hari) dan leucovorin (10 20 mg/hari).

Atovaquone* (1500 mg oral dua kali sehari) + sulfadiazin (10001500 mg 4 kali sehari). Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali sehari)

Pirimethamin (5075 mg/hari) dan leucovorin (1020 mg/hari) + azithromisin (9001200 mg/hari oral)

Untuk pasien yang sakit berat dan tidak bisa toleransi terhadap medikasi oral, TMP (10 mg/kg/hari) and SMX (50 mg/kg/hari) IV. TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole. *Atovaquone harus diambil bersama makanan.

Terapi pemeliharaan Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk mencegah penyakit kambuh kembali. Pasienpasien yang tidak mendapatkan terapi pemeliharaan setelah mendapat terapi akut sering terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis sekunder yaitu dengan terapi pemeliharaan selama 6 minggu setelah terapi fase akut. Regimen terapi fase pemeliharaan sama dengan terapi fase akut, tetapi dosisnya minimal dan memberikan hasil yang efektif.(1)

Indikasi Profilaksis primer

Terapi pilihan

Regimen alternatif 1 kekuatan tunggal TMP/SMX tablet setiap hari. Dapsone 50 mg tiap hari + pirimethamin 50 mg tiap

1 kekuatan-ganda dua TMP-

(jumlah CD4 T-sel SMX (160 mg TMP/ 800 mg <100/L) atau (CD4 T-sel <200/L + infeksi oportunistik / malignansi) Profilaksis sekunder Sulfadiazine (5001000 mg 4x/tiap hari) + pirimethamin (2550 mg/hari oral) dan leucovorin (1025 mg/hari oral). SMX) tablet setiap hari

minggu dan leucovorin 25 mg tiap minggu. Atovaquone 1500 mg tiap hari. Klindamisin (300450 mg oral tiap 68 jam) + pirimethamin (2550 mg/hari oral) dan leucovorin (1025 mg/hari oral) Atovaquone (750 mg tiap 612 jam) dengan atau (25 (10 tanpa mg/hari mg/hari

(lanjutan dari terapi oral fase akut)

pirimethamin oral)+leucovorin

oral) TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.

Efek samping pirimetamin ialah timbulnya bercak-bercak merah yang menyebabkan pasien tidak mau meneruskan pengobatannya. Keadaan ini bisa ditangani dengan pemberian antihistamin secara bersamaan. Sulfadiazin juga bisa menyebabkan nefropati karena kristal. Pada pasien yang kritis, yang tidak bisa mengambil obat secara oral, trimethoprim(TPM) intravena 10mg/kg setiap hari bersama sulfamethoxazole (SMX) 50mg/kg setiap hari dapat diberikan.(1) Terapi akut harus lebih dari tiga minggu dan bisa 6 minggu jika bisa ditoleransi. Lebih panjang terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala klinis yang berat dan ada bukti terinfeksi pada foto radiologi. Hampir 65% hingga 90% pasien memberi respon terhadap terapi dengan pirimetamin, leucovorin dan sulfadiazine. Perbaikan klinis secara cepat dapat dilihat setelah memulai terapi yang tepat pada toksoplasmosis serebral akut. Setelah beberapa hari, 3.5% pasien menunjukkan perbaikan neurologis dan 9.1%

menunjukkan perbaikan neurologis setelah hari ke empat belas. Perbaikan pada foto radiologi bisa dilihat pada minggu ke tiga terapi. Pada pasien yang tidak ada respon terhadap terapi dalam jangka waktu 10 hingga 14 hari, biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit limfoma. Terapi kortikosteroid bisa diberikan pada pasien dengan kondisi klinis yang

memburuk dalam waktu 48 jam atau pasien yang pada foto radiologinya terdapat perubahan garis tengah (midline shift) dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Dexametasone (4mg setiap 6jam) paling sering diberikan dan diturunkan dosisnya setelah beberapa hari. Penggunaan steroid pada pasien HIV-AIDS harus hati-hati karena obat ini bisa melindungi infeksi-infeksi oportunistik yang lain. Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien yang kejang tapi tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin.(1)

Algoritme Terapi pada Toksoplasma serebral

Lesi cincin (ring-enhancing lesion) pada MRI

Tanpa Lesi cincin (ringenhancing lesion) pada MRI

Toksoplasma serologis (+) dan tidak menerima kemoterapi profilaksis

Toksoplasma serologis (-) dan menerima kemoterapi profilaksis

Cairan serebrospinal virus JC PCR (+)

Ring-enhancing lesions multipel pada MRI

Ring-enhancing lesions multipel atau tunggal pada MRI

Leukoensefalopati multifokal progresif

Cairan serebrospinal PCR untuk virus EBV, JC, CM, VDRL,antigen kriptooccus

Negatif

EBV PCR (+)

Percobaan empiric terapi pirimetamin/sulfadiazin

Positif pada SPEC atau PET

Perbaikan selepas 7 hari/ perbaikan pada radiologi selepas 14 hari

Limfoma CNS primer Biopsi otak

Selesaikan terapi fase akut dan lanjutkan terapi pemeliharaan.

VIII. DIAGNOSA BANDING Diagnosa banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di otak pada pasien dengan HIV ialah seperti berikut: (1) o Toksoplasmosis serebral akut o Limfoma sistem saraf pusat primer o Tumor otak primer o Metastasis otak o Penyakit demielinasi (misal: sklerosis multipel) o Infeksi (misal : tuberkuloma) o Infark multifokal o Malformasi vena-arteri Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah berat (CD4 T sel <50 sel/L) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua pasien dengan gejala lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%-7%), leukoensefalopati multifokal progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain ialah tuberkulosis, stafilokokkus, streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis dan meningovaskuler syphilis.(1)

IX. PENCEGAHAN Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin pada pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktor-faktor resiko terjadinya toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil laboratorium seronegatif harus diperiksa ulang apabila jumlah CD4 T sel menurun di bawah 100 sel/L untuk melihat apakah telah terjadi serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan. Jadi makanan yang dikonsumsi terutama daging harus benar-benar masak (pada suhu 116 derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayursayuran harus dicuci bersih.(1) Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran kucing. Jika ada kotoran kucing, maka harus dibersihkan untuk menghindari

maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktu berkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.(1)

X. PROGNOSIS Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Pemberian terapi profilaksis pada pasien HIV dengan jumlah CD4 T-sel <100/L atau CD4 T-sel <200/L dengan gejala infeksi oportunistik atau malignansi dapat mencegah terjadinya onset penyakit sebanyak 73%.[2]

DAFTAR PUSTAKA 1. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection. Hospital Physician. 2008:17-24. 2. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-70. 3. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful Treatment of Cerebral Toxoplasmosis with Clindamycin: A Case Report. Oman Med J. 2012;27(5):411-2. 4. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al. Cerebral Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected Patients; a Cohort Study from Indonesia. PLOS Neglected Tropical Disease J. 2013:1-6. 5. Communicable Disease Manageent Protocol : Toxoplasmosis. Mantoba Health Public Health. November 2001. 6. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in Relation to Toxoplasma in the Food Chain. 7. The Center for Food Security & Public Health: Toxoplasmosis. May 2005. 8. Chapter 2.9.10 TOXOLASMOSIS. OIE Terrrestrial Manual 2008 9. Ir.INDRA CHAHAYA S,Msi. EPIDEMIOLOGI TOXOPLASMA GONDII. BagianKesehatanLingkunganFakultasKesehatanMasyarakat. Universitasn Sumatera Utara. 10. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2002. 11. Pereira-ChioccolaRoberta S. Nogueira, Roberto Focaccia and Vera LuciaOliveira, Adrin V. Hernandez, Francisco Bonasser-Filho,Fabio A. Colombo, Jos E. Vidal, Augusto C. Penalva de Oliveira. Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in AIDS Patients in Brazil: Importance of Molecular and Immunological Methods Using

Peripheral Blood Samples. Journal of Clinical Microbiology. 2005. 12. Sara Mathew George, MD, FRCPath, Ashok Kumar Malik, MD, FRCPath, Fayek Al Hilli, PhD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A Case Report and

Review ofPathogenesis and Laboratory Diagnosis. Bahrain Medical Bulletin. June 2009. 13. Jose G. Montoya.The Journal of Infectious Diseases.Laboratory Diagnosis of Toxoplasma gondii Infection and Toxoplasmosis, Stanford University School of Medicine, Stanford California. 2002. 14. Dalton Silaban, KikingRitarwan, danRusliDhanu. MajalahKedokteran Nusantara Volume 41. DepartemenNeurologi, FakultasKedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Juni 2008. 15. Murat Hkelek, MD, PhD; Chief Editor: Burke A Cunha, MD.

Toxoplasmosis Workup,Medscape.Diunduh dari:http://emedicine.medscape.com/article/229969-workup 16. Sushrut Kamerkarand Paul H. Davis. Toxoplasma on the Brain:Understanding HostPathogenInteractions in Chronic CNS Infection. August 2011.

Anda mungkin juga menyukai