Anda di halaman 1dari 8

1. SPONDILITIS TUBERCULOSIS (PENYAKIT POTTS) | Facebook https://id-id.facebook.com/media/set/?set=a.202808549802880...

1 Tuberkulosis tulang belakang atau clikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh ...

SPONDILITIS TUBERCULOSIS (PENYAKIT POTTS)


Updated over a year ago Taken at dokter bedah tulang SPONDILITIS TUBERCULOSIS (PENYAKIT POTTS) - 2011-02-03 SPONDILITIS TUBERKULOSA (PENYAKIT POTT) Tuberkulosis tulang belakang atau clikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat I tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi sehingga Penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.

INSIDENS Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang terjadi di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan pria.

ETIOLOGI Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkolusa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.

PATOFISIOLOGIS Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya: Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis. (gambar 1)

Gambar 1 skematis terjadinya kifosis pada tulang belakang (penyakit Pott) akibat osteomielitis tuberkulosa. Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkolusa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arch di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar kelateral dibelakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi kedepan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paraveretebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah lignamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau legio glutea. KUMAR Membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu: 1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra. 2. Stadium destruksi awal. Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. 3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa

serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus. 4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi. tetapi terutamaI ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia. yaitu : Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris. Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitasi penderita serta hipestesia/anestesia Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defefekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat 1-111 disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia. 5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan

Gambaran klinis Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir lama dengan gejala tuberculosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun. Suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries). Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala.

Gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spame atau gibus (gambar 2).

Pemeriksaan laboratorium 1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis 2. Uji Mantoux positif 3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium 4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional 5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral (gambar 2) Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (birrds nets) di daerah torakal berbentuk bulbul dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis Pemeriksaan foto dengan zat kontras Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi Pemeriksaan MRI Diagnosis Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu: 1. Pemeriksaan klinik dan neurologic yang lengkap 2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral 3. Foto polos toraks posisi PA 4. Uji Mantoux 5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

Pengobatan Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Pengobatan terdiri atas: 1. Terapi konservatif berupa : a. Tirah baring (bed rest) b. Meperbaiki keadaan umum penderita c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi Pemberian obat antituberkulosa

Obat-obatan yang diberikan terdiri atas: Isonikotinik hidrasit (INH) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg berat badan. Asam para amino salisilat. Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan. Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari. Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik.

Regimen yang dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan atau INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan. Di Korea diberikan kombinasi antar INH+ Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH + Etambutol selama 9-18 bulan. Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah:

Kategori 1

Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua tahap, yaitu : Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali). Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan tiga kaii seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).

Kategori 2 Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minuet obat selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam dua tahap. Yaitu : Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali) Tahap 11, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan (66 kali).

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila: Keadaan umum penderita bertambah balk Laju endap darah menurun dan menetap Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi Operatif Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan Kifosis.

Abses dingin (Cold Abses) Cold abses yang kedl tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik.

Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu: a. Debrideman fokal b. Kosto-transveresektomi c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan

Paraplegia Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu: Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata a. Laminektomi b. Kosto-transveresektomi c. Operasi radikal d. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Indikasi operasi Indikasi operasi yaitu: a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkolusi diberikan obat tuberkulostatik. b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis

Operasi Kifosis Operasi Kiifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyal tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

Anda mungkin juga menyukai