Anda di halaman 1dari 34

Wrap Up SKENARIO 1 (Demam Sore Hari) Blok Infeksi dan Penyakit Tropik

KELOMPOK : B10 KETUA SEKRETARIS ANGGOTA : Rizki Fauzi Rahman (1102013254) : Qorry Welendri (1102013238) : Putri Utari Azde (1102013236) Qonny Welendri (1102013237) Raesya Dwi Ananta (1102013239) Rafli (1102013240) Rahma Rafina Noerfani (1102013241) Rindayu Yusticia Indira Putri (1102013251) Rizki Marfira (1102013255)

UNIVERSITAS YARSI FAKULTAS KEDOKTERAN TAHUN AJARAN 2013/2014

DAFTAR ISI

Judul Daftar Isi..i Skenario..1 Identifikasi kata sulit..2 Pertanyaan dan jawaban.3 Hipotesa..5 Sasaran belajar6 LI. I. Memahami dan Menjelaskan demam LO.1.1 LO.1.2 LO.1.3 LO.1.4 Definisi demam.7 Klasifikasi demam.7 Etiologi demam..9 Patofisiologi/mekanisme demam.10

LI. II. Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica LO.2.1 Morfologi salmonella enterica.12 LO.2.2 Jenis/klasifikasi salmonella..14 LO.2.3 Transmisi salmonella enterica..15 LI. III. Memahami dan Menjelaskan demam typhoid LO.3.1 LO.3.2 LO.3.3 LO.3.4 LO.3.5 LO.3.6 LO.3.7 LO.3.8 Definisi demam typhoid...16 Epidemiologi demam typhoid...16 Etiologi demam typhoid.18 Patofisiologi demam typhoid.18 Manifestasi klinis & komplikasi demam typhoid.20 Diagnosis demam typhoid.24 Penatalaksanaan demam typhoid..25 Pencegahan demam typhoid..29

DAFTAR PUSTAKA

Skenario 1 Demam Sore Hari Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00 WIB), lidah terlihat typhoid tongue. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O meningkat. Pasien tersebut bertanya kepada dokter apa diagnosis dan cara penanganannya.

IDENTIFIKASI KATA SULIT 1. Hiperpireksia Jawab : kenaikan suhu tubuh lebih dari 41oC (>41oC), umumnya terjadi pada pasien yang mengalami pendarahan system saraf pusat dan infeksi berat. Atau dapat juga diartikan demam yang disertai peningkatan pengaturan suhu di hipotalamus. 2. Somnolen Jawab : tingkat kesadaran menurun, respon psikomotor lambat,mudah tertidur, dapat pulih bila dirangsang. 3. Bradikardia Jawab : detak jantung lambat kurang dari 60/menit (<60/menit), hemodinamik tidak stabil, takikardia >100/menit 4. Typhoid Tongue Jawab : lidah kotor, tepi kemerahan ada tremor (ada getaran) 5. Pemeriksaan widal Jawab : untuk mendeteksi terhadap bakteri salmonella typhi, untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita demam typhoid (agglutinin O&H). semakin tinggi titer maka semakin besar kemungkinan terinfeksi demam tifoid.

Pertanyaan dan Jawaban 1. Bagaimana siklus salmonella typhi menginfeksi tubuh? Jawab : salmonella masuk ketubuh manusia/hewan melalui makanan yang terkontaminasi kuman,salmonella masuk dan menyerang usus halus, setelah itu kuman tersebut menembus lumen, dan akhirnya lumen rusak, salmonella masuk dan lumennya menutup, akibatnya dapat mempengaruhi keseimbangan tubuh, menyebabkan manusia/hewan yang terkontaminasi di usunya ada salmonella 2. Kenapa pada pasien tifus demamnya terjadi pada sore hari? Jawab : karena bakterinya hidup pada sore hari 3. Apa saja jenis-jenis salmonella? Jawab : salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, salmonella cholera swiss, salmonella typhi 4. Mengapa titer anti salmonella typhi O meningkat? Jawab : karena pasien tersebut terdeteksi menderita demam tifoid, pada demam tifoid makin tinggi titernya maka semakin besarkemungkinan terinfeksi 5. Apa saja factor perantara penularan salmonella typhi O? Jawab : salmonella menular melalui makan, minuman yang tercemar, kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan 6. Apa saja bagian tubuh yang diserang salmonella? Jawab : salmonella menyerang usus halus manusia dan kandung empedu 7. Apa saja yang dapat mempengaruhi pemeriksaan widal? Jawab : antibiotic dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan widal 8. Apa diagnosis & penanganan pasien yang terkena bakteri salmonella? Jawab : pasien yang terinfeksi bakteri salmonella dapat ditangani dengan pemberian antibiotic, dan penatalaksanaannya dengan perawatan, diet (mengontrol makan), pemberian obat antibiotic, perawatan Rumah Sakit minimal 7 hari 9. Apa saja gejala dari demam tifoid? Jawab : gejala demam tifoid muncul 8-14 hari terinfeksi, gejala awalnya: demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, nyeri sendi, menurunnya nafsu makan, diare, ini terjadi pada ujung minggu pertama. Jika tidak diobati suhu tubuh akan meningkat (2-3 hari) 39-40oC. dalam jangka panjang akan menyebabkan nadi bradikardia, berpengaruh pada abdomen, dan terdapat bintik merah 10. Bagaimana mekanisme demam?

Jawab : demam awalnya terjadi karena pathogen masuk melalui oral berupa benda asing/racun, mempunyai zat racun/toksin (pirogen eksogen), tubuh akan melawan & mencegah dengan pertahanan tubuh (leukosit, makrofag, limfosit) yang disbut sebagai proses fagositosis, fagositosis ini dapat menghasilkan zatkimia ( pirogen endogen) khususnya interleukin sebagai anti infeksi, pirogen endogen merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk menghasilkan asam arakhidonat dengan bantuan enzim fosfolipase A2, asam arakhidonat membentuk prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase, prostaglandin menyebabkan terjadi pireksia dan terjadi vasokanstriksi yang dapat menyebabkan penurunan pengeluaran panas, menyebabkan panas berkumpul di dalm tubuh dan peningkatan suhu tubuhmenyebabkan terjadinya demam 11. Apa saja macam-macam demam? Jawab : demam terdiri dari demam remiten, demam intermiten, demam kontinyu, demam siklik 12. Apa saja komplikasi demam tifoid? Jawab : komplikasi dari demam tifoid diantaranya terjadinya perdarahan usus, anemia hemolitik, arthritis, jika tidak ditangani akan menyebabkan kematian, dan delirium (disfungsi saraf). Komplikasi demam tifoid terdiri atas 2, intestinal terdiri dari perdarahan usus, porferasi usus, pancreatitis, dan ekstraintestinal misalnya kompliksai kardiovaskular, komplikasi darah (anemia), komplikasi tulang (arthritis) 13. Bagaimana morfologi salmonella penyebab demam tifoid? Jawab : batang gram (-), berflagel, kapsul, tidak berspora, bersifat fakultatif anaerob, mempunyai inti

HIPOTESA

Demam yang dirasakan meningkat pada sore dan malam hari, yang disertai dengan sakit kepala, mual, muntah, diare, nadi bradikardia merupakan tanda dan gejala dari demam tifoid. Penyebab dari penyakit ini adalah masuknya bakteri Sakmonella ke dalam tubuh melalui oral. Diagnosis ditegakkan setelah dilakukannya pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan serologi.

SASARAN BELAJAR

LI. I. Memahami dan Menjelaskan demam LO.1.5 LO.1.6 LO.1.7 LO.1.8 Definisi demam Klasifikasi demam Etiologi demam Patofisiologi/mekanisme demam

LI. II. Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica LO.2.4 Morfologi salmonella enterica LO.2.5 Jenis/klasifikasi salmonella LO.2.6 Transmisi salmonella enterica LI. III. Memahami dan Menjelaskan demam typhoid LO.3.9 Definisi demam typhoid LO.3.10 Epidemiologi demam typhoid LO.3.11 Etiologi demam typhoid LO.3.12 Patofisiologi demam typhoid LO.3.13 Manifestasi klinis & komplikasi demam typhoid LO.3.14 Diagnosis demam typhoid LO.3.15 Penatalaksanaan demam typhoid LO.3.16 Pencegahan demam typhoid

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Demam LO.1.1 Definisi Demam Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal/ suhu tubuh meningkat akibat pengaturan pada set point di hipotalamus. Bila diukur pada rektal >38C, diukur pada oral >37,8C, dan bila diukur melalui aksila >37,2C. Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsangan pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi bila telah melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui. Tempat pengukuran Jenis thermometer Aksila Sublingual Rectal Telinga Air raksa, elektronik Air raksa, elektronik Air raksa, elektronik Emisi infra merah Rentang (rerata Demam (oC) suhu normal (oC) 37,4 34,7-37,3 35,5-37,5 36,6-37,9 35,7-37,5 37,6 38 37,6

LO.1.2 Klasifikasi Demam 1. Demam septik Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat dia atas normal pada pagi

hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.

2. Demam remiten Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan kenaikan suhu tidak sebesar demam septik.

3. Demam intermiten Suhu bdan turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana , dan bila terjadi dua hari bebas demam di antara dua serangan demam disebut kuartana. Contohnya malaria.

4. Demam kontinyu Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi disebut hiperpireksia.

Gambar 1.Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

5. Demam siklik Kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

Demam belum terdiagnosis Suatu keadaan demam yang terus menerus selama 3 minggu dengan suhu badan dia atas 38,3C dan belum ditemukan penyebabnya walaupun sudah diteliti. Demam yang belum terdiagnosis atau Fever Unknown Origin (FUO) dibagi kedalam 4 kelompok :

Kategori demam yang belum terdiagnosis Classic

Definisi

Etiologi

\ Nosocomial

Immune deficient (neutropenic)

HIV-associated

Suhu tubuh >38.3C (100.9F) Durasi >3 minggu Pasien dievaluasi setelah 3 hari keluar dari Rumah Sakit. Suhu tubuh >38.3C Pasien diopname >=24 jam tapi tidak demam atau dalam masa inkubasi. evaluasi setelah 3 hari. Suhu tubuh >38.3C Jumlah Neutrofil <=500 per mm3 Evaluasi setelah 3 hari. Suhu tubuh >38.3C Durasi >4 minggu setelah pasien keluar, >3 hari tiga setelah keluar dari Rumah Sakit. Konfirmasi pasien dengan HIV

Infeksi, malignancy, collagen vascular disease

Clostridium difficile enterocolitis, penggunaan obat, emboli pulmonal, septic thrombophlebitis, sinusitis. Infeksi bakteri oportunistik, aspergillosis, candidiasis, herpes virus Cytomegalovirus, Mycobacterium aviumintracellulare complex, Pneumocystis carinii pneumonia, drug-induced, Kaposi's sarcoma, lymphoma

LO.1.3 Etiologi Demam Demam merupakan gejala bukan suatu penyakit. Demam adalah respon normal tubuh terhadap adanya infeksi. Infeksi adalah keadaan masuknya

mikroorganisme kedalam tubuh. Mikroorganisme tersebut dapat berupa virus, bakteri, parasit, maupun jamur. Kebanyakan demam disebabkan oleh infeksi virus. Demam bisa juga disebabkan oleh paparan panas yang berlebihan (overhating), dehidrasi atau kekurangan cairan, alergi maupun dikarenakan gangguan sistem imun. Demam umumnya terjadi akibat adanya gangguan pada hipotalamus, atau sebaliknya dapat disebabkan oleh gangguan berikut 1. Penyebab umum demam pada bayi antara lain infeksi saluran pernapasan atas dan bawah, faringitis, otitis media, dan infeksi virus umum dan enteric. Reaksi vaksinasi dan pakaian yang terlalu tebal juga sering menjadi penyebab demam pada bayi. 2. Penyebab demam yang lebih serius antara lain infeksi saluran kemih, pneumonia, bakteremia, meningitis, osteomielitis, arthritis septic, kanker, gangguan imunologik, keracunan atau overdosis obat, dan dehidrasi. Etiologi demam berdasarkan penyebabnya ada 2 yaitu 1. Demam karena infeksi Infeksi bakteri (bronchitis,osteomyelitis,appendicitis, tuberculosis,gastroenteritis ,meningitis) Infeksi virus (influenza,DBD,chikungunya) Infeksi jamur (coccidioides imitis, criptococcosis) Infeksi parasit (malaria, toksoplasmosis, helmintiasis) 2. Non infeksi Factor lingkungan Penyakit autoimun Keganasan (leukemia) Pemakaian obat-obatan (antibiotic, antihistamin) LO.1.4 Patofisiologi/Mekanisme Demam Sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag dan sel-sel Kupffer mengerluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1, TNF, IL-6 dan interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan pasokan thermostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di suhu tubuh normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9 C, hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37 C terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk

mengatasi berbagai rangsang. Rangsangan eksogen seperti eksotoksin dan endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang poten diantaranya adalah IL-1 dan TNF selain IL-6 dan interferon (IFN). Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem syaraf pusat pada tingkat Organum Vasculosum Laminae Terminalis yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral nucleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respons terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase 2 (COX-2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam. Sitokin Endotoksin, F peradangan, rangsangan pirogenik lain Prostaglandin

Monosit, makrofag, sel-sel Kupffer

Area preoptik hipotalamus

Meningkatkan titik penyetelan suhu

Demam Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal Macrophage Inflammatory Protein-1 (MIP-1), suatu kemokin yang bekerja secara langsung terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam dari jalur prostaglandin, demam melalui aktivitas MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik. Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi. Fase-fase demam a. Chill: pusat suhu meningkat lalu mencapai set-point suhu yang baru Manifestasi klinisnya vasokonstriksi kutaneus, peningkatan produksi panas akibat aktivitas otot b. Fever: terjadi keseimbangan antara produksi dan pengeluara pada peningkatan set-point Manifestasi klinis: set point kembali normal, tubuh mempersepsikan dirinya menjadi terlalu hangat

c. Flush: mekanisme pembuangan panas diinisiasi menyebabkan vasodilatasi kutaneus dan diaforesis Manifestasi klinis: haus, kulit memerah LI.2 Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica LO.2.1 Morfologi salmonella enteric

http://textbookofbacteriology.net/structure.htm Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 m x 0.5-0,8 m. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana, hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa,membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S, pada biakan agar koloninya besar bergaris tengah 2-8 milimeter, bulat agak cembung, jernih, smooth,pada media BAP tidak menyebabkan hemolisis, pada media Mac Concey koloni Salmonella sp. Tidak memfermentasi laktosa (NLF),konsistensinya smooth. Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu (misalnya hijau brillian, sodium tetrathionat, sodium deoxycholate) yang menghambat pertumbuhan bakteri enterik lain, tetapi senyawa tersebut berguna untuk ditambahkan pada media isolasi Salmonella sp. pada sampel feses. Organisme Salmonella tumbuh secara aerobic dan anaerobic fakultatif. Serta resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 130F (54.4C) selama 1 jam atau 140F (60C) selama 15 menit. Ukuran Salmonella bervariasi 1-3,5 mikrometer 0,5-0,8mikrometer Sebagaian besar isolate motil dengan flagel peritrik Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak motil Kehilangan antigen O dapat menimbulkan perubahan bentuk koloni yang halus menjadi kasar

Mereka tetap dapat hidup pada suhu sekeliling atau suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agen farmakeutika dan bahan tinja

Struktur: Inti/ nukleus: badan inti tidak mempunyai dinding inti/ membran inti. Di dalamnya terdapat benang DNA yang panjangnya kira kira 1 mm Sitoplasma: tidak mempunyai mitokondria atau kloroplas sehingga enzim enzim untuk transport elektron bekerja di membran sel Membran sitoplasma: terdiri dari fosfolipid dan protein. Berfungsi sebagai transport bahan makan an, tempat transport elektron, biosintesi DNA, dan kemotaktik. Terdapat mesosom yang berperan dalam pembelahan sel Dinding sel: terdiri dari lapisan peptidoglikan, berfungsi untuk menjaga tekana osmotic, pembelahan sel, biosintesis, determinan dari antigen permukaan bakteri. Pada bakteri gram negative salah satu lapisan dinding sel mempunyai aktivitas endotoksin yang tidak spesifik, yaitu lipopolisakarida yang bersifat toksik. Kapsul: disintesis dari polimer ekstrasel yang berkondensasi dan membentuk lapisan di sekeliling sel, sehingga bakteri lebih tahan terhadap efek fagositosis. Flagel; berbentuk seperti benang, yang erdiri dari protein berukuran 12 30 nanometer. Flagel adalah alat pergerakan. Protein dari flagel disebuk flagelin Pili: fimbriae: berperan dalam adhesi bakteri dengan sel tubuh hospes dan konjugasi bakteri Panjang salmonella bervariasi. Sebagian besar isolate motil dengan flagel peritrika. Berupakan batang gram negative. Salmonella mudah tumbuh pada medium sederhana. Tidak memfermentasikan laktosa dan sukrosa. Tetapi mebentuk asam dan terkadang gas dari glukosa dan manosa. Salmonella biasanya mengasilkan H2S. Bertahan didalam air yag membeku dengan waktu yang lama. Salmonella resisten terhadap bahan kimia tertentu (misal, hijau brilian, natrium tetrationat, natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri enteric lain. Salmonella umumnya bersifat patogen untuk manusia. Kuman ini empunyai tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan laboraturium yaitu: o Antigen O(somatik) o Antigen H(flagella) o Antigen Vi

LO.2.2 Jenis/Klasifikasi Salmonella 1. S. enteric a. S. enteric subsp. enteric (I) b. S. enteric subsp. salamae (II) c. S. enteric subsp. arizonae (IIIa) d. S. enteric subsp. diarizonae (IIIb) e. S. enteric subsp. houtenae (IV) f. S. enteric subsp. indica (V) 2. S. bongori Serotipe yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang spesifik a. Antigen O antigen dinding sel b. Antigen H terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh panas dan alcohol. Antigen dipertahankan dengan memberikan formalin pada beberapa bakteri yang motil. Antigen H beraglutinasi dengan anti-H dan IgG.penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagel (flagellate). Antigen H pada permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibody antigen O c. Antigen Vi/K terletak di luar antigen O, merupakan polisakarida dan yang lainnya merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi. Dapat diidentifikasi dengan uji pembengkakan kapsul dengan antiserum spesifik Salmonella Typhi Salmonella Paratyphi Demikian banyaknya serotip dari Salmonella, namun hanya Salmonella typhi, Salmonella cholera, dan mungkin Salmonella paratyphi A dan Salmonella parathypi B yang menjadi penyebab infeksi utama pada manusia. Infeksi bakteri ini bersumber dari manusia, namun kebanyakan Salmonella menggunakan binatang sebagai reservoir infeksi pada manusia, seperti babi, hewan pengerat, ternak, kura-kura, burung beo, dan lain-lain. Dari beberapa jenis salmonella tersebut di atas, infeksi Salmonella typhi merupakan yang tersering.

LO.2.3 Transmisi Salmonella Enterica Infeksi terjadi dari memakan makanan yang terkontaminasi dengan feses yang terdapat bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts). Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimurium menyerang dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan. Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi otak. Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi keseimbangan tubuh. Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis atau subklinis pada manusia adalah 105-108 bakteri. Beberapa faktor pejamu yang menimbulkan resistansi terhadap infeksi salmonella adalah keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus setempat. Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fecal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi. (Salyers & Whitt, 2002). Sumber infeksi adalah makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh salmonella. Berikut adalah sumber-sumber infeksi yang penting Air, kontaminasi dengan feses sering menimbulkan epidemik yang luas Susu dan produk susu lainnya (es krim, keju, puding), kontaminasi dengan feses dan pasteurisasi yang tidak adekuat atau penanganan yang salah. Beberapa wabah dapat ditelusuri sampai sumber kumannya Kerang, dari air yang terkontaminasi Telur beku atau dikeringkan, dari unggas yang terinfeksi atau kontaminasi saat pemrosesan Daging dan produk daging, dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak) atau kontaminasi oleh feses melalui hewan pengerat atau manusia Obat rekreasi, mariyuana dan obat lainnya Pewarnaan hewan, pewarnaan (misal, carmine) digunakan untuk obat, makanan, dan kosmetik Hewan peliharaan, kura-kura, anjing, kucing, dll

LI.3 Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid LO.3.1 Defenisi Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari dan ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke sel fagosit manonuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe dan Payers patch. Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik. Penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan kematian. LO.3.2 Epidemiologi 3. Distribusi dan Frekwensi a. Orang Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.

b. Tempat dan Waktu Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan) a. Faktor Host Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama tinja atau urine. Dapat juga

terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7). b. Faktor Agent Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid. c. Faktor Environment Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidakmemadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) . LO.3.3 Etiologi Demam Tifoid Tertelannya bakteri salmonella tersebut menyebabkan terjadinya infeksi pada usus halus. Bakteri ini dibawa oleh aliran darah menuju hati dan limfa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa sakit ketika diraba. Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita (pasien tifoid & carier). Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan. Bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar.

Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan). Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhi dan belum mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama lebih dari 1 tahun. LO.3.4 Patofisiologi Demam Tifoid Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakiy infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setalah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dpat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

LO.3.5 Manifestasi klinis/Komplikasi Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak memerlukan perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan perawatan khusus. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39 C hingga 40 C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam. Mikroorganisme dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu demam (hari ke-8 demam). Jika penderita diobati dengan benar, maka kuman tidak akan ditemukan pada tinja dan urin pada minggu ke-4. Akan tetapi, jika masih terdapat kuman pada minggu ke-4 melalui pemeriksaan kultur tinja, maka penderita dinyatakan sebagai carrier. Seorang carrier biasanya berusia dewasa, sangat jarang terjadi pada anak. Kuman Salmonella bersembunyi dalam kandung empedu orang dewasa. Jika carrier tersebut mengonsumsi makanan berlemak, maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan untuk mencerna lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman Salmonella). Setelah itu, cairan empedu dan mikroorganisme dibuang melalui tinja yang berpotensi menjadi sumber penularan penyakit. Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi. Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga. Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium,somnolen,spoor,atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga factor-faktor social ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4400 mg ditambah ampisilin 41 gram dan deksametason 35 mg. Komplikasi 5. Komplikasi Intestinal a. Perdarahan Usus Pada plak payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena factor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabunagn kedua factor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan

minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan factor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfuse yang diberikan tidak dapat menimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan. b. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotic diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi juga untuk mengatas kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobic pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotic spectrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. Ileus paralitik Pancreatitis 6. Komplikasi Ekstraintestinal a Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. b Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c d

e f g

Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis Hepatitis Tifosa Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai ada 50% kasus dengan tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi dari pada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia. Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma, Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.

LO.3.6 Diagnosis demam typhoid Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala dan hasil dari pemeriksaan fisik, untuk memperkuat diagnosis dilakukan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel darah untuk mengetahui adanya bakteri Salmonella sp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14 yang pertama dari penyakit. 1. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung relative lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumonia), dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis), serta gagal ginjal. 2. Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur) Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold standart untuk diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90% pada

penderita yang belum diobati, kultur darahnya positif pada minggu pertama. Jika sudah diobati hasil positif menjadi 40% namun pada kultur sum-sum tulang hasil positif tinggi 90%. Pada minggu selanjutnya kultur tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan 25%, berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan kultur tinja dapat positif kira-kira 3% karena penderita tersebut termasuk carrier kronik. Carrier kronik sering terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak dan lebih sering pada wanita dari pada laki-laki. b. Pemeriksaan Klinik (darah) Hitung leukosit total pada demam tifoid menunjukkan lekopenia, kemungkinannya 3.000 sampai 8.000/ mm3 Hitung jenis leukosit : kemungkinan limfositosis dan monositosis c. Pemeriksaan Serologi Widal test Merupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul pada minggu pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang ditimbulkan oleh antigen O dan H pada Salmonella sp. Hasil bermakna jika hasil titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih Sebagian besar rumah sakit di Indonesia menggunakan uji widal untuk mendiagnosis demam tifoid. IDL Tubex test Tubex test pemeriksaan yang sederhana dan cepat. Prinsippemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita. Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada magnet khusus. Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus. Typhidot test Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik untuk S. typhi. Uji ini lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan uji Enzyme Immuno Assay (EIA) ketegasan (75%), kepekaan (95%). Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M lebih baik dari pada metoda kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar. Perbandingan kepekaan Typhidot-M dan metode kultur adalah >93%. Typhidot-M sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah endemis demam tifoid. IgM dipstick test Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita. Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada

suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering.. Hasil dibaca jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah. LO.3.7 Penatalaksanaan demam typhoid 1. Nonfarmakologis Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : a. Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,mandi, buang air kecil, buang air besar akan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. b. Diet dan terapi penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasie. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. 2. Farmakologis Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid Kloramfenikol Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH

dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap antibiotic ini. Tiamfenikol Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4500 mg,dengan ratarata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Kontrimoksazol Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 22 tablet (1 tablet mengandungb sulfametaksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu. Ampisilin dan amoksisilin Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. Sefalosporin Generasi Ketiga Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. Golongan fluorokuinon Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya: - Norfloksasin dosis 2400 mg/hari selama 14 hari - Siprofloksasin 2500 mg/hari selama 6 hari - Ofloksasin dosis 2400 mg/hari selama 7 hari - Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari - Fleroksasin dosis 400 mg/hariselama 7 hari Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang harike-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinon pertama yang memiliki biovailabilitas tidak sebaik fluorokuinon yang dikembangkan kemudian. Azitromisin Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada tahun 2008 terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan azitromisin (dosis 2500 mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika

dibandingkan dengan fluorokuinon, azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance) maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant S. typi). Jika dibandingkan dengan ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisisn mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typi yang meupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisisn tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut: Obat First-line Antibiotics Kloramfenikol Trimetofrim -Sulfametakzol Dosis 500 mg 4x /hari 160/800 mg 2x/hari, 4-20 mg/kg bagi 2 dosis 1000-2000 mg 4x/hari ; 50-100 mg/kg , bagi 4 dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari 2 x 500 mg/hari selama 6 hari 2 x 400 mg/hari selama 7 hari 400 mg/hari selama 7 hari 400 mg/hari selama 7 hari 1-2 gr/hari ; 50-75 mg/kg : dibagi 1-2 dosis selama 7-10 hari 1-2 gr/hari, 40-80 mg/hari: dibagi 2-3 dosis selama 14 hari Rute Oral, IV Oral, IV

Ampicillin/ Amoxycillin

Oral, IV, IM

Second-line Antibiotics ( Fluoroquinolo n)

Norfloxacin Ciprofloxacin Ofloxacin Pefloxacin Fleroxacin

Oral Oral , IV Oral Oral, IV Oral IM, IV

Cephalosporin Ceftriaxon

Cefotaxim

IM, IV

Cefoperazon

Antibiotik lainnya

Aztreonam Azithromycin

1-2 gr 2x/hari 50-100 Oral mg/kg dibagi 2 dosis selama 14 hari 1 gr/ 2-4x/hari ; 50-70 IM mg/kg 1 gr 1x/hari ; 5-10 Oral mg/kg

Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikwatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan pada trimester pertama. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat digunakan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson. Pada penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2002-2008 didapatkan hasil bahwa beberapa antibiotika yang biasa digunakan para klinisi di Indonesia masih memiliki efek terapi di atas 90% terhadap S.typhi dan S.paratyphi. Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi Antibiotik Ceftriaxon Kloramfenikol Tetrasiklin Trimetoprim- Sulfametoksazol Ciprofloksasin Levofloksasin % 92.6 94.1 100 100 100 100

LO.3.8 Pencegahan Demam Tifoid 1. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :

a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun. b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan. 2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu : a. Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid. b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur

urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama. c. Diagnosis serologik Uji Widal Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)12 Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi. Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA. 3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak. Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu: 1. Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic Sanitasi air dan kebersihan lingkungan Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan minuman Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier Bila ada kejadian epidemic tifoid Pencarian dan eliminasi sumber penularan Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut.

makanan-

2. Daerah endemic Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minumanyang memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570oC, iodisasi, dan klorinisasi) Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/buah) Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman R.E. et al. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15. ab.A.Samik Wahab. Jakarta: EGC. Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiolgi. Edisi revisi III.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Jawetz, Melnick, Adelberg. (1996). Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XX. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Jawetz M, Adelbergs. Mikrobiologi Kedokteran. edisi 23. Alih Bahasa: Huriwati Price, Hartanto dkk. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran ECG. Cetakan I, 2008. Karsinah, H.M, Lucky. Suharto. H.W, Mardiastuti.1994. Batang Negatif Gram dalam Staf Pengajar FKUI.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara. Samuelson, John. 2008. Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel, Janet S., Morse, S.A. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Setyabudi, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sherwood, Lauralee. 2004. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: EGC. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I.2009. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jakarta:Interna Publishing Sumarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi 2. Jakarta: EGC. Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6,ab. Huriawati Hartanto, Jakarta: EGC. Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Pembrantasan. Jakarta : Erlangga Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Anda mungkin juga menyukai