Berupaya untuk mencari makanan yang halal. Allah Shallallaahu alaihi wa Sallam
berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-
baik yang Kami berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini artinya
adalah yang halal.
Hendaklah makan dan minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat
beribadah kepada Allah, agar kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu.
Hendaknya mencuci tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga
setelah makan untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu.
Hendaklah kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan
sekali-kali mencelanya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya
menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam sama sekali tidak pernah
mencela makanan. Apabila suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia
tinggalkan”. (Muttafaq’alaih).
Tidak makan dan minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak.
Di dalam hadits Hudzaifah dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi
wa Sallam telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan
bejana terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring
yang terbuat darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan
untuk kita di akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih).
Hendaknya memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri
dengan Alhamdulillah. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila
seorang diantara kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan jika lupa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala pada awalnya maka
hendaknya mengatakan : Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan
dishahihkan oleh Al-Albani). Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat
meridhai seorang hamba yang apabila telah makan suatu makanan ia memuji-Nya
dan apabila minum minuman ia pun memuji-Nya”. (HR. Muslim).
Hendaknya makan dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu.
Rasulllah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai
anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah
apa yang di depanmu. (Muttafaq’alaih).
Disunnatkan makan dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya.
Diriwayatkan dari Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum
mengelapnya”. (HR. Muslim).
Disunnatkan mengambil makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor
darinya lalu memakannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila suapan makan seorang kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan
membuang bagian yang kotor, lalu makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk
syetan”. (HR. Muslim).
Tidak meniup makan yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu
Abbas menuturkan “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang
bernafas pada bejana minuman atau meniupnya”. (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan
oleh Al-Albani).
Hendaknya pemilik makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang
sedang makan, namun seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal
tersebut dapat menyakiti perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu.
Hendaknya kamu tidak memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada
orang yang lebih berhak memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai
kedudukan, karena hal tersebut bertentangan dengan etika.
Jangan sekali-kali kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik,
seperti mengirapkan tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada
tempat makanan di saat makan, atau berbicara dengan nada-nada yang
mengandung makna kotor dan menjijik-kan.
Jangan minum langsung dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau
berkata, “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum dari bibir bejana
wadah air.” (HR. Al Bukhari)
Disunnatkan minum sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas
disebutkan “Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang
minum sambil berdiri”. (HR. Muslim).
Berintrospeksi diri (muhasabah) sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi
setiap muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur,
mengevaluasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia
dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhanahu
wata'ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya,
kembali dan bertobat kepada-Nya.
Tidur dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallahu'anha
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tidur pada awal malam dan
bangun pada pengujung malam, lalu beliau melakukan shalat".(Muttafaq `alaih)
Disunnatkan berwudhu' sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al-Bara'
bin `Azib Radhiallahu'anhu menuturkan : Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam
bersabda: "Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu'lah sebagaimana wudlu' untuk
shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan..." Dan tidak
mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya.
Makruh tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali
bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda:
"Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya,
maka hilanglah jaminan darinya". (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan
dinilai shahih oleh Al-Albani).
Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir ra
diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah
bersabda: "Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah
pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman".
(Muttafaq'alaih).
Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-
Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang
menganjurkan hal tersebut.
"Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali
segenap hamba-hamba-Mu". Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh
Al Albani)
Dan membaca: Bismika Allahumma Amuutu Wa ahya
" Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup." (HR. Al Bukhari)
Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka
disunnatkan (dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini :
" A'uudzu bikalimaatillaahit taammati min ghadhabihi Wa syarri 'ibaadihi, wa min
hamazaatisy syayaathiini wa an yahdhuruuna."
Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan
hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku". (HR.
Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)
Menjauh dari pandangan manusia di saat buang air (hajat). berdasarkan hadits yang
bersumber dari al-Mughirah bin Syu`bah Radhiallaahu 'anhu disebutkan "
Bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila pergi untuk buang air (hajat)
maka beliau menjauh". (Diriwayatkan oleh empat Imam dan dinilai shahih oleh Al-
Albani).
Menghindari tiga tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat
berteduh mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adz bin Jabal Radhiallaahu 'anhu yang
menyatakan demikian.
Tidak mengangkat pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu
supaya aurat tidak kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anas
Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: "Biasanya apabila Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam hendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya
sehingga sudah dekat ke tanah. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dinilai shahih oleh
Albani).
Ketentuan di atas berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang
(WC) atau adanya pelindung / penghalang yang membatasi antara si pembuang
hajat dengan kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat.
Dilarang kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), karena hadits yang
bersumber dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu buang air kecil
di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di situ".
(Muttafaq'alaih).
Makruh mencuci kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari
Abi Qatadah Radhiallaahu 'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang dzakar
(kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula bersuci
dari buang air dengan tangan kanannya." (Muttafaq'alaih).
Dianjurkan kencing dalam keadaan duduk, tetapi boleh jika sambil berdiri. Pada
dasarnya buang air kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah
Radhiallaahu 'anha yang berkata: Siapa yang telah memberitakan kepada kamu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri, maka jangan
kamu percaya, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah kencing
kecuali sambil duduk. (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih oleh Al-Albani). Sekalipun
demikian seseorang dibolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan
pakaiannya aman dari percikan air kencingnya dan aman dari pandangan orang lain
kepadanya. Hal itu karena ada hadits yang bersumber dari Hudzaifah, ia berkata:
"Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam (di suatu perjalanan) dan
ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil
sambil berdiri, maka akupun menjauh daripadanya. Maka beliau bersabda:
"Mendekatlah kemari". Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di sisi kedua
mata kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf-nya." (Muttafaq
alaih).
Makruh berbicara di saat buang hajat kecuali darurat. berdasarkan hadits yang
bersumber dari Ibnu Umar Shallallaahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan: "Bahwa
sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam. sedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi),
namun beliau tidak menjawabnya. (HR. Muslim).
Makruh bersuci (istijmar) dengan mengunakan tulang dan kotoran hewan, dan
disunnatkan bersuci dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari
Salman Al-Farisi Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ia berkata: "Kami
dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam beristinja (bersuci) dengan
menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja dengan menggunakan
kotoran hewan atau tulang. (HR. Muslim).
Dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: " Barangsiapa yang bersuci
menggunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjilkan."
Disunnatkan masuk ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki
kanan berbarengan dengan dzikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik
Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: "Adalah Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam apabila masuk ke WC mengucapkan :
"Allaahumma inni a'udzubika minal khubusi wal khabaaits"
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada syetan jantan dan setan betina".
Dan apabila keluar, mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan : "Ghufraanaka"
(ampunan-Mu ya Allah).
Mencuci kedua tangan sesudah menunaikan hajat. Di dalam hadis yang bersumber
dari Abu Hurairah ra. diriwayatkan bahwasanya "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
menunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang berada pada
sebejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah. (HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah).
Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal
tidak memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena
hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan:
"Rasulullah melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan
kaum wanita yang menyerupai kaum pria." (HR. Al-Bukhari).
Tasyabbuh atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.
Pakaian tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena
hadits yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu 'anha menyatakan bahwasanya
beliau berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan
pakaian yang ada gambar salibnya melainkan Nabi menghapusnya". (HR. Al-Bukhari
dan Ahmad).
Laki-laki tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa.
Karena hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu 'anhu mengatakan:
"Sesungguhnya Nabi Allah Subhaanahu wa Ta'ala pernah membawa kain sutera di
tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya
dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dari umatku". (HR. Abu Daud dan dinilai
shahih oleh Al-Albani).
Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : "Apa yang berada di bawah kedua
mata kaki dari kain itu di dalam neraka" (HR. Al-Bukhari). –penting- <tilmidzi>
Haram bagi perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya
cantik dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa sallam di dalam haditsnya mengatakan: "Allah melaknat (mengutuk) wanita
pemasang tato dan yang minta ditatoi, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan
yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan
cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah". Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari
disebutkan: "Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya". (Muttafaq'alaih).
ETIKA DI JALANAN
Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan
atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain
karena takabbur. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18)
Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib,
karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara wajib
bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam".
(Muttafaq alaih).
Beramar ma`ruf dan nahi munkar. Ini juga wajib dilakukan oleh setiap muslim,
masing-masing sesuai kemampuannya.
Menunjukkan orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang
yang membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang
yang teraniaya. Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia mempunyai
kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia
adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah
atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan
menunjukkan jalan adalah sedekah...." (Muttafaq alaih).
Perempuan hendaknya berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah
melihat campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada
wanita: "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian
menelusuri pinggir jalan. (HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Tidak ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalan-jalan yang ramai dengan
pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolong-menolong di
dalam kebajikan.
Makruh memberi salam dengan ucapan: "Alaikumus salam" karena di dalam hadits
Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah
menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku berkata: "Alaikas
salam ya Rasulallah". Nabi menjawab: "Jangan kamu mengatakan: Alaikas salam". Di
dalam riwayat Abu Daud disebutkan: "karena sesungguhnya ucapan "alaikas salam"
itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati". (HR. Abu Daud dan At-
Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
Dianjurkan mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam
hadits Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia
mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang
kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali" (HR. Al-Bukhari).
Disunnatkan keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali
jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-
Aswad disebutkan di antaranya: "dan kami pun memerah susu (binatang ternak)
hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian untuk
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun datang di malam
hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur,
namun dapat didengar oleh orang yang bangun".(HR. Muslim).
Disunatkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan
meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: "Apabila salah seorang kamu sampai
di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah
memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua.
(HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani).
Disunnatkan memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu
kosong, karena Allah telah berfirman yang artinya:
" Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri
kalian" (An-Nur: 61)
Dan karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : "Apabila seseorang akan
masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan :
Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin" (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-
Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).
Disunnatkan memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari
Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-
anak ia memberi salam, dan ia mengatakan: "Demikianlah yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam". (Muttafaq'alaih).
Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda :" Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani....." (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang
memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan "wa `alaikum" saja, karena
sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Apabila Ahlu Kitab memberi salam
kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum".(Muttafaq'alaih).
Disunnatkan memberi saam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak
kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan
bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam : "Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan
makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum
kamu kenal". (Muttafaq'alaih).
Disunnatkan menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan
kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan
salam untukmu. Maka Nabi menjawab : "`alaika wa`ala abikas salam"
Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang
shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di
dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian memberi salam
seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam
mereka memakai isyarat dengan tangan". (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-
Albani).
Dianjurkan tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat
tangan sebelum orang yang dijabat tangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber
dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak melepas
tangannya sebelum orang itu yang melepasnya...." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan
oleh Al-Albani).
Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau
bersabda: "Sesung-guhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita".
(HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani).
Hendaknya orang yang akan meminta izin memilih waktu yang tepat untuk minta
izin.
Hendaknya orang yang akan minta izin mengetuk pintu rumah orang yang akan
dikunjunginya secara pelan. Anas Radhiallaahu 'anhu meriwayatkan bahwasanya ia
telah berkata: Sesung-guhnya pintu-pintu kediaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam diketuk (oleh para tamunya) dengan ujung kuku". (HR. Al-Bukhari di dalam Al-
Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Hendaknya orang yang mengetuk pintu tidak menghadap ke pintu yang diketuk,
tetapi sebaiknya menolehkan pandangannya ke kanan atau ke kiri agar pandangan
tidak terjatuh kepada sesuatu di dalam rumah tersebut yang dimana penghuni
rumah tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Karena minta izin itu sebenarnya
dianjurkan untuk menjaga pandangan.
Sebelum minta izin hendaknya memberi salam terlebih dahulu. Rib`iy berkata: Telah
bercerita kepada saya seorang lelaki dari Bani `Amir, bahwasanya ia pernah minta
izin kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam di saat beliau ada di suatu rumah.
Orang itu berkata: Bolehkah saya masuk? Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
berkata kepada pembantunya: "Jumpailah orang itu dan ajari dia cara minta izin, dan
katakan kepadanya: Ucapkan Assalamu `alaikum, bolehkah saya masuk?". (HR.
Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
Minta izin itu sampai tiga kali, jika sesudah tiga kali tidak ada jawaban maka
hendaknya pulang. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila
salah seorang di antara kamu minta izin sudah tiga kali, lalu tidak diberi izin, maka
hendaklah ia pulang". (Muttafaq'alaih).
Apabila orang yang minta izin itu ditanya tentang namanya, maka hendaklah ia
menyebutkan nama dan panggilannya, dan jangan mengatakan: "Saya". Jabir
Radhiallaahu 'anhu menuturkan: "Aku pernah datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa sallam untuk menanyakan hutang yang ada pada ayah saya. Maka aku ketuk
pintu (rumah Nabi). Lalu Nabi berkata: "Siapa itu?". Maka aku jawab: Saya. Maka
Nabi berkata: "Saya! Saya!" dengan nada tidak suka." (Muttafaq'alaih).
Hendaknya peminta izin pulang apabila permintaan izinnya ditolak, karena Allah
telah berfirman yang artinya:
"Dan jika dikatakan kepada kamu "pulang", maka pulanglah kamu, karena yang
demikian itu lebih suci bagi kamu". (An-Nur: 28).
Hendaknya peminta izin tidak memasuki rumah apabila tidak ada orangnya, karena
hal tersebut merupakan perbuatan melampaui hak orang lain.
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
Akhlak secara bahasa (lughah/etimologi) adalah tabiat, pembawaan atau karakter (Kitab
An Nihayah 2/70). Sedangkan secara istilah atau terminologinya akhlak memiliki
beberapa definisi sebagai berikut :
· Imam Ibnul Mubarak mendefinisikan, "Akhlak yang mulia adalah berwajah ceria,
memberikan kebaikan dan menahan diri dari gangguan" (Kitab Jami'ul Ulum wal Hikam
1/457)
· Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, "Akhlak mulia itu dengan bersabar atas
gangguan manusia, tidak marah dan tidak berlaku kasar kepada mereka" (Kitab Adab
Syar'iyah 2/191)
· Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Asas akhlak mulia terhadap sesama
manusia adalah engkau menyambung persahabatan terhadap orang yang memutusmu
dengan memberi salam, memuliakan, mendoakan kebaikannya, memuji dan
mengunjunginya" (Kitab Majmu' Fatawa 10/658)
· Syaikh Abdurrahman As Sa'di berkata, "Akhlak yang mulia asasnya adalah sabar
dan lembut, sehingga menghasilkan sifat pemaaf, berlapang dada, bermanfaat bagi
manusia, sabar atas gangguan serta membalas kejelekan dengan kebaikan" (Kitab Ar
Riyadhun Nadhirah hal. 68)
Rasulullah SAW merupakan manusia yang paling mulia akhlaknya sebagaimana Allah
SWT berfirman,
"Dan sesungguhnya kamu benar - benar berbudi pekerti yang agung" (QS Al Qalam 4)
Suatu ketika dikisahkan seorang sahabat mulia Hakim bin Aflah ra. bertanya kepada
Aisyah ra. tentang akhlak Rasulullah SAW, lalu Aisyah ra. menuturkan,
Dan salah satu agenda dakwah Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia sebagaimana sabdanya,
Sehingga dengan demikian akhlak yang mulia menempati kedudukan yang tinggi di
dalam Islam dan sangat berkorelasi dengan keimanan. Rasulullah SAW bersabda,
"Akmalul mu'mini imaanan ahsanuHum akhlaaqan" yang artinya "Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (HR. Abu Dawud no.
4682, At Tirmidzi no. 1162 dan Ahmad 2/472, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani
dalam Kitab Ash Shahihah)
Berkaitan dengan masalah ini, Imam Ibnul Qayyim juga berkata, "Agama ini seluruhnya
akhlak, barangsiapa memperbaiki akhlaknya maka baik pula agamanya" (Kitab
Madarijus Salikin 2/320)
Pada akhirnya, akhlak mulia yang dimiliki seorang muslim akan membawanya menuju
surga yang penuh dengan kebaikan dan kenikmatan. Rasulullah SAW pernah ditanya
tentang amalan apa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga maka
Rasullah SAW menjawab,
"TaqwallaHi wa husnul khuluq" yang artinya "Takwa kepada Allah dan akhlak yang
mulia" (HR. At Tirmidzi no. 2004, Ibnu Majah no. 4246, Ahmad 2/291, Ibnu Hibban no.
476, dan Al Hakim 4/324, dari Abu Hurairah ra., hadits ini dihasankan oleh Syaikh
Albani dalam Kitab Ash Shahihah)
a. Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk
infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi
majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat,
watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din
(agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang
pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan
ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan
isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan
kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang
selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya
secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya
kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama,
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan
sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur
atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri
orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan
dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah
perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin
dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[3]
b. Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan
ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini
terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu
studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus,
benar, salah, dan sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan
dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika
berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi
sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran,
maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat
berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga
memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu
antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga,
dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap
sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan
dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih
berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia.
Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari
segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan
zaman.
Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk
dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat
mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika,
karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan
antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia.
Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal
manusia.
c. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata
mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan
bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang
secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan)
baik atau buruk, benar atau salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat
mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau
buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan.
Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak
ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan
berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan
berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul
dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku
manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan.
Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika
dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing
disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb,
fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan
untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud
rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh
masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya
dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada
dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk
kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih
mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh
masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan
memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada
yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-
nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk
kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan
suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran
Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak
dalam hal menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah,
disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat
dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun
dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan
pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan
moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-
nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan
temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu
dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika
atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak
yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika
terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan
tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu
tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri,
khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam)
mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame
makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
3. Penutup
Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila
dan akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang
dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama
menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan
tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber
yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian
baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan
kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan
untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan
pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila
lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum,
sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-
buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan
membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan
susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui
sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak
berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis.
Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak
berasal dari Tuhan.
DEFINISI AKHLAK
1)Kekuatan Ilmu
Keindahan dan kebaikannya adalah dengan membentuknya hingga menjadi mudah
mengetahui perbedaan antara juur dan dusta dalam ucapan, antara kebenaran dan
kebatilan dalam beraqidah, dan antara keindahan dan keburukan dalam perbuatan.
Jika kekuatan ini telah baik, maka lahirlah buak hikmah, dan hikmah itu sendiri adalah
puncak akhlak yang baik. Seperti difirmankan Allah SWT.,
“…..Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak ….” (Al-Baqarah: 269).
2)Kekuatan marah
Keindahannya adalah jika mengeluarkan marah itu dan penahannya sesuai tuntutan
hikmah.
3)Kekuatan syahwat
Keindahan dan kebaikannya adalah jika ia berada di bawah perintah hikmah. Maksudnya
perintah akal dan syariat.
4)Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi
Adalah kekuatan dalam mengendalikan syahwat dan kemarahan di bawah perintah akal
dan syariat.
Perumpamaan akal adalah seperti seorang pemberi nasihat dan pemberi petunjuk
Kekuatan keadilan adalah kemampuan, dan perumpamaannya adalah seperti pihak yang
menjadi pelaksana dan pelaku bagi perintah akal.
Dan kemarahan adalah tempat yang padanya dilaksanakan perintah tadi itu.
Perumpamaannya adalah seperti anjing pemburu, yang perlu dilatih, sehingga gerak-
geriknya sesuai dengan perintah, bukan sesuai dengan dorongan syahwat dirinya.
Sementara perumpamaan syahwat adalah seperti kuda yang ditunggangi untuk mencari
hewan buruan, yang terkadang jinak dan menuruti perintah, dan terkadang pula binal.
Siapa yang dapat mewujudkan kesimbangan unsur-unsur tadi, ia pun menjadi sosok yang
berakhlak baiks secara mutlak. Sementara orang yang hanya dapat mewujudkan
keseimbangan sebagian unsur itu saja, maka ia menjadi orang yang berakhlak baik jika
dilihat pada segi yang baik itu saja, seperti orang yang sebagian wajahnya indah,
sementara sebagian lainnya buruk.
Keindahan kekuatan kemarahan dan keseimbangannya digambarkan dengan keberanian
Keindahan kekuatan syahwat dan keseimbangannya digambarkan dengan sifat iffah
menjaga kesucian diri
Jika kekuatan marah seseorang cenderung ke arah bertambah maka ia dinamakan dengan
tahwwur ‘sembrono’. Sedangkan, jika cenderung melemah dan berkurang maka
dinamakan pengecut. Jika kekuatan syahwat cenderung bertambah maka ia dinamakan
serakah, sedangkan jika cenderung melemah dan berkurang dinamakan statis.
Yang terpuji adalah sikap seimbang yang merupakan keutamaan, sedangkan dua sikap
yang cenderung bertambah dan melemah adalah dua hal yang tercela. Sedangkan
keadilan, jika ia terluput maka ia tak mempunyai dua sisi ekstrem, berlebihan atau
kurang, tapi ia mempunyai satu lawan dan antonimnya, yaitu kezaliman.
Sementara hikmah, tindakan menguranginya ketika menggunakannya dalam perkara-
perkara yang tidak baik dinamakan kebusukan dan kerendahan. Sementara tindakan
berlebihan padanya dinamakan kedunguan. Maka sikap pertengahannyalah yang
dinamakan dengan hikmah. Dengan demikian, pokok-pokok utama akhlak ada empat,
yaitu: Hikmah, keberanian, iffah, menjaga kesucian diri, dan keadilan.
Hikmah adalah kondisi kekuatan kemarahan yang tunduk kepada akal, dalam maju dan
mundurnya.
Kesucian diri adalah melatih kekuatan syahwat dengan kendali akal dan syariat.
Keadilan adalah kondisi jiwa dan kekuatannya memimpin kemarahan dan syahwat, dan
membimbingnya untuk berjalan sesuai dengan tuntutan hikmah, juga memegang
kendalinya dalam melepas dan menahannya, sesuai dengan tuntutan kebaikan. Dari
keseimbangan pokok-pokok tersebut, terwujudlah seluruh akhlak yang mulia.
5.Kesimpulan
Para ulama Islam yang menulis tentang akhlak itu menjelaskan bahkan menkankan pa
yang diperhatikan oleh para penulis barat, yaitu bahwa akhlak yang baik adalah apa yang
dinilai baik oleh akal dan syariat. Sedangkan akal saja tak cukup untuk menilai baik dan
buruknya suatu perbuatan. Oleh karena itu, Allah mengutus para Rasul dan menurunkan
pertimbangan (Kitab Suci) bersama mereka yang memperlakukan manusia dengan penuh
keadilan
Demikianlah, ukuran akhlak yang baik jika sesuai dengan syariat Allah. Berhak
mendapatkan ridha-Nya dan dalam memegang akhlak yang baik ini sambil
memperhatikan pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga di dalamnya terdapat
kebaikan dunia dan akherat
Sub judul ini berbicara tentang segi etimologi pendidikan akhlak, maka kami masih perlu
penjelasan dimensi-dimensi maknawi bagi pendidikan bagi pendidikan akhlak ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini teknologi sudah semakin maju. Dimana orang dalam memerlukan berita atau
informasi sudah sangat mudah memperolehnya. Dari sekian banyak kemajuan teknologi
salah satu diantaranya adalah pesawat televisi. Berbicara mengenai televisi, tentu ada tiga
pihak yang terlibat di dalamnya, yakni yang menyajikan, yang disajikan dan yang
menikmati.
Televisi yang selama ini berperan sebagai media massa elektronik, walaupun dalam
bentuk yang paling sederhana, ternyata mampu menggelitik, mempengaruhi dan
menggiring seluruh umat manusia untuk membeli dan memilikinya di berbagai belahan
bumi ini sehingga boleh jadi, sampai hari ini, sudah sekian milyar pesawat televisi
diproduksi banyak pabrik di seluruh dunia. Sementara merk, harga, mutu dan modelnya
pun sudah sangat beragam dan banyak pilihan.
Televisi dengan berbagai program acara siarannya selama ini dengan berbagai jenis
tayangan informasi dan hiburannya memang selalu menawarkan suatu kenikmatan
tersendiri bagi para pemirsanya. Manfaat dan kegunaan pesawat televisi memang bukan
tidak ada. Hanya, dibandingkan dengan kerugiannya, manfaat menonton acara televisi
sampai saat ini, jauh lebih kecil ketimbang kemudaratan atau kerugian yang akan
ditimbulkannya.
Untuk itulah pemerintah telah mengatur Undang-Undang Republik Indonesia nomor: 24
tahun 1997 tentang Penyiaran. Sebagai dasar pengaturan dan pembinaan penyelenggaraan
penyiaran dimana penyiaran merupakan bagian integral dari pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila dalam upaya mewujudkan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini tercantum
dalam BAB Ii Undang-Undang Penyiaran Nomor 24 tahun 1997.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang muncul dalam penyusunan karya ilmiah ini dapat penulis rumuskan
sebagai berikut:
1. Sejauhmana pengaruh tayangan televisi terhadap akhlak anak?
2. Mengapa tayangan televisi berpengaruh terhadap akhlak anak?
C. Tujuan Penyusunan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan
ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejauhmana pengaruh televisi terhadap akhlak anak
2. Untuk mengetahui mengapa tayangan televisi berpengaruh terhadap akhlak anak.
D. Teknik Penyusunan
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini dengan
menggunakan studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan
referensi dan buku-buku sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan
diselesaikan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENGARUH TAYANGAN TELEVISI
TERHADAP AKHLAK ANAK
Artinya: “Sifat yang tertanam dalam jiwa dan daripadanya timbul perbuatan yang mudah
tanpa memerlukan pertimbangan.”
Sementara ini Prof. Dr. Ahmad Amin membuat definisi, bahwa yang disebut “akhlak”
adalah “Adatul-Iradah’ atau kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam suatu
tulisan yang berbunyi:
ِ خُل
ق ُ سّماُة ِباْال
َ ي ْالُم
َ شيًأ َفَعاَدُتُها ِه
َ ت
ْ عَتاَد
ْ لَراَدَةا
ِ ن ْا
َ لَراَدِة َيْعِنى َأ
ِ عاَدُة ْا
َ ق ِبَأّنُه
َ خُل
ُ ضُهْم اْل
َ ف بْع
َ عّر
َ
Artinya: “Sebagian orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah
kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bisa membiasakan sesuai, maka
kebiasaan itu dinamakan akhlak.” (Ahmad Amin, 1999:12)
2. Macam-Macam Akhlak
1. Akhlak terpuji
Yang termasuk akhlak terpuji di antaranya sebagai berikut:
a. Jujur
Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang baik harta, ilmu, rahasia dan sebagainya
yang wajib dipelihara atau disampaikan kepada yang berhak menerimanya
b. Pemaaf
Manusia tidak sunyi dari khilaf dan salah. Maka apabila orang berbuat sesuatu kepada
diri kita yang mungkin karena khilaf atau salah maka maafkanlah sebagai rahmat Allah
SWT dan janganlah mendendam
c. Bertolong-menolong
Bertolong-menolong adalah ciri kehalusan budi, kesucian jiwa, ketinggian akhlak dan
membuahkan cinta antara sesama manusia.
Memberikan pertolongan jangan karena mengharapkan imbalan tetapi berikan dengan
keikhlasan sebagai penunaian tugas kemanusiaan guna mencari keridhoan Tuhan
2. Akhlak tercela
Yang termasuk akhlak yang tercela di antaranya sebagai berikut:
a. Dengki
Ialah membenci nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan
agar nikmat orang lain itu terhapus
b. Dusta
Dusta ialah memberikan sesuatu yang berlainan dengan kejadian yang sebenarnya
Orang yang berdusta menunjukan kelemahan dirinya dan dusta adalah salah satu dari
pada tanda munafik
c. Aniaya
Aniaya ialah meletakan sesuatu tidak pada tempatnya dan mengurangi hak yang
seharusnya diberikan
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah tergantung kedua orang
tuanya mau dijadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Didikan dan bimbingan dalam keluarga secara langsung banyak memberikan bekas bagi
penghuni rumah itu sendiri dalam tindak tanduknya. Dan secara tidak langsung gerak
langkah dari orang dewasa (baik ayah maupun ibu) terutama sekali oleh seorang anak
yang masih memerlukan bimbingan dan perkembangan kematangan hidupnya.
2. Faktor lingkungan/pergaulan
Faktor yang mempengaruhi akhlak seseorang di samping faktor keturunan dan juga
faktor lingkungan, dari faktor kedua ini faktor pergaulan/lingkunganlah yang sangat kuat
pengaruhnya atau sangat dominan pengaruhnya dalam pembentukan karakter atau akhlak.
Seperti orang tua dahulu bilang siapa yang bergaul dengan jualan minyak wangi maka
akan dapat wanginya dan siapa yang bergaul dengan tukang las maka akan terkena
percikan apinya.
Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa teman itu bagaikan barang tambalan.
ظْرِبَماَتْرَقُعُه )الحديث
ُ ك َفاْن
َس
ِ ي َقِمْي
ْ ب َرْقَعٌة ِف
ُ ِصاح
ّ )َال
Artinya: “Teman itu bagaikan barang tambalan pada pakaianmu, maka lihatlah dengan
apa kamu menambalnya.”
Maksud hadits di atas, seseorang harus mampu dengan mempergunakan akalnya di dalam
mencari teman yang senantiasa memberikan suatu kebaikan pada kita dalam hidup dan
kehidupan.
Menurut seorang penyair Islam yang bernama Syaufi dalam bait syairnya;
ْ ح
ق َس
ْ جْلَد اْلُم
ِ صَر
َ صْفٍر َلّما
َ ل ِب
ً جْلَد اْلَعّفَر ُمَغَب
َ ف َاَوَلْم َتَراْل
ٍ شَر
َ خْيُر ُم
َ ل
ِجَ لْن
َ سَر
َ شَرًفاَوُم
َ سى ُم
َ ف َا
َ سَر
ْلَ سَر ْا
َ ن َا
ْ َم
Artinya: “Siapa yang berteman dengan orang mulia dia akan ikut mulia, siapa yang
berteman dengan orang hina tidak akan ikut mulia. Tidakkah engkau lihat kata syufi
betapa kulit kambing yang hina dicium orang ketika kambing berteman dengan al-qur’an)
jadi kantong (Qur’an) tapi kulit kambing yang berteman dengan kayu (dijadikan bedug)
tiap waktu sholat orang memukulnya.”
BAB III
PEMBAHASAN TENTANG PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP
AKHLAK ANAK
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian sebagaimana di uraikan di atas penulisan menyimpulkan hal–hal yang
berkaitan dengan penyelesaian permasalahan sebagai berikut
1. Dari sekian banyak tayangan yang disajikan televisi, kebanyakan dapat mempengaruhi
sikap penontonnya setelah atau pada saat melihat tayangan televisi. Sehingga hal ini baik
secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi akhlak penontonnya baik
pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif.
2. Tayangan televisi yang menyajikan acara hiburan atau acara bernuansa kekerasan
maka biasanya anak-anak cenderung menyukai tayangan tersebut karena apa yang
ditonton di tayangan televisi biasanya anak cenderung akan menirunya sehingga takut
akan merusak akhlak anak.
B. Saran– saran
1. Pilihlah program acara televisi yang memang benar – benar bermanfaat bagi seluruh
keluarga
2. Gunakan televisi yang ada hanya sebagai media untuk mendapatkan informasi penting
seperti cerita
3. Tentukan dan bedakan waktu menonton televisi bagi anak – anak yang belum dan
sudah dewasa
4. Batasi waktu menonton televisi untuk anak – anak
5. Alihkan perhatian dan kegemaran anak – anak dalam keluarga dari kecanduan
menyaksikan seluruh acara televisi yang di sajikan di setiap harinya kepada bentuk –
bentuk kegiatan dan kesenangan baru yang positif seperti membaca dan mempelajari al-
qur’an dan hadits, membaca koran, membaca buku dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Mansur, awadl, Dr. (1993). Manfaat Dan Mudarat Televisi, Fikahati Anska, Jakarta
Chen, Milton. (2005). Mendampingi Anak Menonton Telivisi, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
__________ (1997). Undang–Undang Penyiaran No. 24 Tahun 1997, Sinar Gratika,
Jakarta
Amin, Ahmad, (1968). Ilmu Akhlak, Bulan Bintang, Jakarta.
Bakar Atjeh, Abu (1963). Mutiara Akhlak 1, Bulan Bintang, Jakarta.
Umary, Barmawie, Drs. (1966), Materia akhlak, Cv. Ramadani, Yogyakarta .
Abstraksi
Memang terlihat aneh dan lucu, ketika dua hal yang memiliki
epistemologi yang berbeda—sisi yang berbeda adalah ketika kita
berbicara modern yang cenderung menggunakan rasional dan
fakta empiris dengan akhlak Islam di mana di dalamnya
berbicara tentang jiwa manusia (bersifat metafisik) yang
dipadukan dengan sumber-sumber otoritatif islam, yakni al-quran
dan sunah—mencoba disatukan. Dalam tulisan ini, saya
mencoba membangun argumentasi tentang relevansi akhlak
Islam dalam kehidupan modern.
AKHLAK[1]
4. godaan setan.
KESIMPULAN
[1] Pada dasarnnya antara term etika, filsafat moral, dan akhlak tidaklah
berbeda, karena ini hanyalah perbedaan dalam sisi kebahasaan saja. Dan
dalam penulisan ini saya menggunakan kata akhlak. Penggunaan kata akhlak
ini lebih saya pilih daripada penggunaan kata etika yang berasal dari latin,
karena rujukan Islam bersumber dari bahasa arab sendiri.
[3] Ethic and morality, dalam Encyclopedia of Ethics, vol. 1, hal. 329
[4] Taqi mishbah Yazdi, Falsafah ye Akhlaq. Al-huda: Jakarta. 2006, cet. 1.
hlm, 1
[9] Komarudin hidayat, Etika dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam
Kehidupan Modern Studi Kasus di Turki, dalam buku; Kontektualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, ed. By; Budhy Munawar-Rachman. Yayasan
Paramadina: Jakarta. 2003.
[10] Lihat, Haidar bagir dalam Buku Saku Filsafat Islam. Mizan: Jakarta 2003.
atau pun dalam buku Mulyadhi Kartanagara, Gerbang Kearifan.
[12] Kerusakan di sini bahwasannya jiwa manusia bisa dirusakkan oleh tiga penyakit,
setidaknya ada tiga macam jenis penyakti pada jiwa; penyakit dari akal, penyakit
yang ditimbulkan dari ghadab, dan penyakit jiwa yang ditimbulkan syahwat atau
yang lebih terkenal dalam bahasa Indonesia dengan nafsu.
[13] Rahman, Fazlur. Islam. Diterj. dari Islam (edisi Anchor Books, 1968; dan
edisi The Chicago University Press [bab Epilogue], 1979) oleh Ahsin
Muhammad. Bandung: Pustaka. 2003
Tags: etika islam, relevansi etika, dunia modern, filsafat moral, akhlak islam
Prev: AKU MERASA
Next: Membentuk Kesalihan Sosial Melalui Surat Al-Asr
BAMBANG SETIARTO