Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang trauma pada gigi adalah salah satu pemasalahan kedokteran gigi yang banyak didapat pada anak dan dewasa dan setiap dokter gigi harus siap mengatasi dan merawatnya. Trauma pada gigi harus selalu dianggap sebagai tindakan darurat . Trauma gigi menjadi masalah yang serius pada kesehatan masyarakat karena dapat menimpa sepertiga pasien anak dan remaja .
Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering tejadi pada pasien trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien emergensi, dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan kecelakaan olahraga.Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 2-3 : 1. 2 Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan adanya luka pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan alveolus kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari pada gingival dan perubahan bentuk dari pada alveolus.3 Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat memeriksa bibir. Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah ada benda asing atau gigi di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada alveolus berfungsi untuk merasakan perubahan bentuk tulang-tulang, dan kadang-kadang terdapat krepitasi

Definisi trauma adalah cedera, atau kerugian psikologis atau emosional (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002), bersifat cepat, mendadak, tidak terduga, dan dapat dibedakan menjadi dua kategori, trauma yang disebabkan cedera intensional dan nonintensional. Cedera intensional contohnya adalah pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga (kdrt), perang, dan cedera lain yang ada hubungannya dengan tujuan seseorang atau kelompok orang, sedangkan cedera nonintensional adalah kecelakaan domestik, seperti karena olahraga, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, dan cedera lain yang tidak ada hubungannya dengan tujuan seseorang atau kelompok orang.Trauma dentoalveolar dapat mengakibatkan cedera jaringan keras dan lunak. Manifestasi trauma pada jaringan keras dapat mengakibatkan fraktur dentoalveolar. Fraktur dentoalveolar dapat berupa
1

fraktur pada jaringan keras gigi tersebut atau dapat juga pada tulang pendukungnya. Cedera yang berakibat pada tulang pendukung biasanya disebut luksasi. Insidensi kasus luksasi lebih banyak terjadi pada anak karena sifat jaringan pendukung atau tulang yang menopang akar gigi lebih berongga dan rasio antara akar dan mahkotanya lebih kecil dibandingkan dengan gigi permanen. Pasien trauma pada anak berbeda dengan orang dewasa meskipun memiliki luka yang serupa. Pasien anak memiliki kemampuan penyembuhan cepat dan komplikasi yang minimal karena vaskularisasi yang baik dari wajah dan kemampuan pertumbuhan yang merupakan sifat pada anak untuk beradaptasi. Pemulihan jaringan orofasial yang rusak dapat dimaksimalkan dan hilangnya fungsi dapat diminimalkan . Cedera pada wajah karena trauma berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan pasien anak. Hal ini membuat tindak lanjut penanganan jangka panjang perlu diperhatikan (Thaller and McDonald, 2004). Selain itu, trauma gigi pada anak dapat menyebabkan intrusi gigi sulung ke folikel benih gigi permanen, semua jaringan odontogenik terpengaruh dan mahkota dapat mengalami dilaserasi (Flores, 2007). Insidensi trauma pada gigi anak, khususnya gigi susu antara 4%-33%, berkisar antara 31% sampai 40% pada anak laki-laki dan 16% sampai 30% pada anak perempuan (Welbury, 2005). Trauma meningkat pada usia 2-4 tahun ketika anak sedang belajar merangkak, berdiri, dan berjalan. Kasus ini pun banyak terjadi 3 pada usia 8-10 tahun ketika anak-anak sudah mulai melakukan banyak aktivitas di sekolahnya (Cameron and Widmer, 2008). Andreasen mengatakan bahwa trauma pada gigi akan menjadi ancaman yang cukup signifikan sama halnya dengan karies atau penyakit periodontal pada masa yang akan datang (Von Arx, 2005). Kejadian trauma gigi dapat menjadi penting dalam dunia kesehatan masyarakat, bukan hanya karena insidensinya yang relatif tinggi dan pengaruh terhadap tumbuh kembangnya, tetapi juga dapat berimplikasi pada kehidupan sehari-hari anak tersebut. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan dari segi fisik maupun psikis jika tidak dirawat dengan baik. Anak tersebut akan merasa nyeri, sulit untuk tertawa dan tersenyum. Keadaan ini dapat memengaruhi hubungannya dengan teman dan lingkungan sekitar. Hal ini akan memengaruhi kualitas hidup anak tersebut (Traibert, et al., 2003). Trauma seringkali menimbulkan permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan yang juga meliputi fungsi dan estetika. Penanganan yang benar dan cepat pada kasus ini
2

akan meningkatkan keberhasilan perawatan. Perawatan pada kasus fraktur dentoalveolar terbagi menjadi beberapa tahap, di antaranya perawatan darurat dan perawatan definitif. Salah satu tahap pada perawatan definitif yaitu reposisi dan fiksasi gigi yang terkena trauma. Tindakan ini menggunakan alat stabilisasi yang bertujuan untuk menjaga agar retakan, patahan, atau pergeseran gigi dapat dipertahankan pada posisi normal. Alat stabilisasi yang baik diupayakan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan gigi anak. Proses penyembuhan tulang pada anak lebih cepat dibandingkan pada usia dewasa sehingga penggunaannya pun akan berbeda (Fonseca, 2005). Psikis 4 anak juga harus dipertimbangkan dalam hal pemilihan alat stabilisasi ini. Karakteristik anak yang lebih banyak bergerak, kurang kooperatif, dan kurang nyaman dengan dokter gigi akan mempersulit penanganan fraktur dentoalveolar ini.

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana etiologi terjadinya trauma dento alveolar 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini yaitu: 1. agar pembaca dapat mengetahui pengertian dari trauma dento alveolar 2. agar pembaca dapat mengetahui penyebab trauma dento alveolar 3. agar pembaca dapat mengetahui gejala trauma dento alveolar 4. agar pembaca dapat mengetahui bagaimana pengobatan dari trauma dento alveolar

1.4 Manfaat Penulisan Dengan disusunnya referat in trauma dento alveolar , kita diharapkan sebagai dokter dapat mengetahui tentang etiologi, patofisiologi, dan juga dapat lebih tepat dalam mendiagnosa maupun memberikan terapi pada penderita yang b trauma dento alveolar banyak terjadi disekitar kita.
3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.

2.2 KLASIFIKASI 2.2 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa kejadian. Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang baik selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World Health Organization (WHO). 7 Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukung (Welbury, 2005) : 1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1) 1) Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan tanpa hilangnya substansi gigi. 2) Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.
5

3) Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan dentin tanpa melibatkan pulpa gigi. 4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email dan dentin dengan pulpa yang terpapar. 5) Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa. 6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar. 7) Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal (gingiva).

Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005) 2. Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2) 1) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi. 2) Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi. 3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket. 4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar. 5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar. 6) Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005). 3. Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3) 1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi. 2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket. 3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang dapat melibatkan soket gigi. 4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket Alveolar.

Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005) ANATOMI

Gigi adalah salah satu aksesoris dalam mulut yangmempunyai lima peranan yang sangat penting iaitu sebagai fungsi mengunyah,fungsi fonasi, fungsi estatika,fungsi kejiwaan, fungsi identifikasi (forensik). Setiap gigi terdiri daripada tiga bagian iaitu mahkota gigi ( coronadentis), leher gigi ( cervix ), akar gigi ( radix). Setiapgigi mempunyai jaringan gigi yang terdiri dari: 1. Email : Jaringankeras yang mengalami kalsifikasi yang menutupi dentin dari mahkota gigi. Berasaldari jaringan ektodermal Berfungsisebagai menahan daya kunyah/abrasi Terdiridari zat anorganik lebih kurang 99% sebagai prismata dan zat organiklebih
8

kurang 1 % sebagai substantia pelekat. 2. Dentin: Jaringan yang berasal dari mesenchym Merupakan jaringan ikat yang mengalamikalsifikasi dan jaringan yang terbesar dari gigi Terdiri dari zat anorganik lebih kurang70% dan zat organic lebih kurang 30% pada canaliculi dentin yang didalamnyaterdapat Tomes Fiber 3. Pulpa: Jaringan yang berasal dari mesenchym Pada ronga pulpa bias ditemui saraf,pembuluh darah, pem lymphe dan jaringan ikat ( jarang) Fungsi : formatif ( member bentuk),nurtisi, sensoris, dan defensif Padaujung akar gigi terdapat foramen apikal yaitu lubang yang terdapat di ujungakar gigi yang merupakan jalan masuk persyarafan dan pembuluh darah pada gigi.

Sedangkanbagian-bagian jaringan pendukung gigi adalah sebagai berikut: 1. Ligamentumperiodontal: Mempunyaidua fugsi iaitu sebagai: o sumbernutrisi ( membekalkan nutrisi kepada cementum, tulang dan gingival) dan sensori( dipersarafi oleh serabut saraf sensori yang berfungsi untuk menghantarkanstimulus sentuhan, tekanan, dan nyeri). o Fungsifisikal: Sarung untuk melindungi pembuluhdarah, serabut saraf daripada luka yang di sebabkan oleh tekanan mekanikal. Sebagai pelekatan gigi kepada tulang Mempertahankan tisu gingival Sebagai penyerap tekanan 2. AlveolarProcessus: Adalahbahagian daripada mandibular dan maxilla Berfungsisebagai pembentuk dan penyokong tooth sockets 3. Cementum: Jaringantulang dimana jaringan intercellulernya alami kalsifikasi meliputi bagian akargigi.
9

Fungsi: melekatkan gigi pada periodontal Merupakancellular atau acellular$ Pada bagian gigi manusia terstruktur / tersusun atas 4 (empat) jaringan yakni : 1. EmailEmail adalah jaringan yang berfungsi untuk melindungi tulang gigi dengan zat yang sangat keras yang berada di bagian paling luar gigi manusia. 2. TulangTulang merupakan lapisan yang berada pada lapisan setelah email yang dibentuk dari zat kapur. 3. Rongga GigiRongga gigi adalah rongga yang di dalamnya terdapat pembuluh darah kapiler dan serabut-serabut syaraf. 4. Semen / SementumSemen merupakan bagian dari akar gigi yang berdampingan

2.3 ETIOLOGI Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi. (Welburry, 2005). Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26% dan 82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti. Olahraga merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al., 2007). 11 Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas, serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron and Widmer, 2008). Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi normal. Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi trauma dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan
10

and McTigue, 2005). Tabel 2.1 menunjukkan probabilitas fraktur gigi incisif sentral maksila dengan perbedaan overjet. Menurut frekuensi terjadinya antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. kekerasan inter personal sporting injuries (olahraga) jatuh kecelakaan lalu lintas industrial trauma Dentoalveolar injury dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, mulai dari anak-

anak, remaja, hingga dewasa. Pada masa kanak-kanak dan balita, penyebab utamanya biasanya adalah jatuh, terutama pada usia setahun pertama. Penyebab lainnya dapat berupa kekerasan yang dilakukan pada anak. Pada masa remaja, penyebabnya umumnya adalah olahraga. Pada usia dewasa, biasanya penyebabnya adalah karena kecelakaan dalam berkendara, assaults, jatuh, olahraga, dan kecelakaan pabrik Prevalensi dan Insidensi 1 dari 5 anak dan 1 dari 4 dewasa memiliki bukti dental injuri pada gigi anteriornya. Bahkan pada beberapa negara, prevalensi trauma dental lebih banyak daripada dental karies. Laki-laki lebih sering mengalami trauma ini 2x lebih besar dari perempuan. Insidensi puncak dari dental injuri yaitu pada usia 2-4 dan 8-10 tahun. 2.4 PATOFISIOLOGI 2.5 MENIFESTASI KLINIS Tanda-tanda klinis traumadentoalveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan Radiografi adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir

11

2.6 DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Cedera pada gigi-gigi dan struktur pendukungnya harus dipertimbangkan sebagai suatu keadaan darurat. Agar penatalaksanaannya tepat dan berhasil, dibutuhkan suatu penegakan diagnosa dan perawatan dalam waktu yang cepat. Riwayat mekanisme dan kejadian yang lengkap harus didapatkan dan langsung dilakukan pemeriksaan klinis dan radiografis untuk menjamin diagnosa dan perawatan yang tepat. 1,3 Langkah pertama dalam proses mendiagnosa yaitu mendapatkan riwayat kecelakaan yang akurat. Riwayat yang komprehensif harus didapatkan dari pasien, orangtuanya atau orang yang mengetahui informasi yang berhubungan dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana kejadiannya, terapi apa yang sudah diberikan sebelumnya. Anamnesis. 1 Yang dimaksud dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya trauma. Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada penderita atau pengantar. Dalam melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang harus diketahui antara lain sebagai berikut : a. Kapan Terjadinya Trauma. 120 Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan sangat penting diketahui bukan hanya untuk menentukan jenis perawatan yang akan dilakukan tetapi berpengaruh juga terhadap prognosisnya. Seperti pada gigi yang mengalami avulsi, semakin cepat gigi tersebut di replantasi, maka prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur rahang yang proses penyembuhannya akan berpengaruh jika perawatannya ditunda. b. Dimana Tempat Trauma Terjadi. Hal ini penting karena mungkin saja penderita memerlukan suntikan anti tetanus karena luka akibat trauma tersebut terjadi di daerah yang kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi dengan bakteri. Demikian juga pada kecelakaan mobil perlu diperhitungkan kemungkinan ada pecahan kaca pada bibir dan daerah muka. c. Bagaimana Trauma Terjadi. Informasi ini penting untuk mengetahui apakah trauma tersebut mengenai benda keras atau tumpul atau lunak. Karena trauma pada benda keras dapat mengakibatkan fraktur ahkota gigi, sedangkan trauma pada benda yang lunak atau tumpul seperti siku biasanya dapat mengakibatkan fraktur akar gigi dan luksasi. d. Perawatan yang Sudah Didapat. e. Riwayat Trauma pada Gigi f. Penyakit Sistemik yang Diderita. g. Keluhan Lain. h. Gangguan Pengunyahan. Pemeriksaan Klinis. 3 Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita, meliputi pemeriksaan denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tingkat kesadaran
12

dan suhu tubuh. Pemeriksaan Ekstra Oral Pada kasus trauma gigi anterior ini dapat dilakukan dengan cara visual dan palpasi. Palpasi pada wajah dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang rahang 121 yang menunjukkan adanya fraktur, gangguan pergerakan rahang, kelainan saraf serta hematoma. Pemeriksaan Intra Oral, Pemeriksaan ini penting untuk mendapatkan informasi agar dapat memberikan pertolongan pertama. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada pemeriksaan intra oral meliputi antara lain : (1) Perkusi gigi (2) Pencatatan kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar. (3) Pencatatan adanya perubahan warna gigi (4) Pencatatan kerusakan jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langit- langit dan lidah. (5) Pencatatan perubahan letak gigi (6) Tes vitalitas dari gigi (7) Pencatatan adanya kerusakan prosesus alveolaris, dengan cara palpasi prosesus alveolaris. Pemeriksaan Radiologis. 3 Kegunaan Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosa kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat dan benar. Biasanya pemeriksaan radiologis dilakukan pada saat sebelum memulai perawatan dan pada saat kontrol sesudah perawatan sebagai evaluasi terhadap perawatan yang telah dilakukan. Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya : 1. Untuk melihat arah garis fraktur 2. Adanya fraktur akar 3. Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau ekstrusi 4. Adanya kelainan dari jaringan periodontal 5. Tingkat perkembangan akar 6. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar 7. Adanya fraktur rahang 8. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain disekitar rongga mulut, seperti dasar mulut, bibir dan pipi. Macam-macam foto rontgen yang digunakan Teknik foto rontgen yang biasa digunakan dalam melakukan pemeriksaan riologis pada kasus trauma gigi anterior adalah teknik intra oral ( foto periapikal dan foto oklusal), dan kadangkala diperlukan teknik ekstra oral (foto panoramik, foto lateral dan foto postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis fraktur tidak terlihat. Gambar 7. Foto panoramic, fraktur alveolar crest pada maksila dan fraktur 1/3 apikal akar gigi pada mandibula 2.7 PENATALAKSANAAN

13

2.8 KOMPLIKASI

2.9 PENCEGAHAN

2.10 PROGNOSIS

14

BAB III RINGKASAN

Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibular berupa selulitis atau flegmon yang progresif. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang.Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar kedua atau ketiga rahang bawah, dapat pula dari perikoronitis.Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.Manifestasi klinis dari angina Ludwig meliputi pembengkakan, nyeri dan terdorongnya lidah ke atas; pembengkakan leher dan jaringan ruang submandibular yang keras seperti papan; malaise; demam; disfagia. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri dan adanya stridor inspirasi mengindikasikan adanya obstruksi jalan napas.Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu: pertama, menjaga patensi jalan napas dengan intubasi nasal, trakeostomi, krikotiroidotomi atau trakheotomi; kedua, terapi antibiotik IV secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi; ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental dengan cara insisi atau drainase abses. Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napasuntuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig.Journal of Oral Pathology & Medicine. August 9 1996. 2. Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. 3. Damayanti. Kumpulan Kuliah Stomatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. 4. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret 2008;Vol.21. 5. Anonymous. Ludwig's Angina. 2010. available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Ludwig%27s_angina. 6. Hartmann RW. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family Physician. July 1999;Vol. 60. 7. Winters S. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners. December 2003;Vol. 15(Issue 12). 8. Arfani A. Dentist: Phlegmon. Available at : http://asnuldentist.blogspot.com/2010/08/phlegmon. 9. Anonymous. Ludwig's Angina. available at: http://www.mdguidelines.com/ludwigsangina. 10. Bailey B. Odontogenic Infection. Head and Neck Surgery. 4th ed. Pennsylvanya: Elsener Mosby; 2005. 11. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002.

16

Anda mungkin juga menyukai