Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI KASUS RHINITIS ALERGIKA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung

Dokter Pembimbing : dr. Pramono, Sp. THT-KL

Disusun oleh: Imam Iskandar (20080310005)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK - KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA RUM AH SAKIT UMUM DAERAH TEMANGGUNG 2014

A.

PENGALAMAN Pasien laki-laki usia 14 tahun datang ke poli THT RSUD Temanggung dengan keluhan pilek tidak sembuh-sembuh, kedua hidung serasa tersumbat, sering bersin-bersin keluar cairan jernih / nyrocos dari hidung, hidung terasa gatal dan di pagi hari gejala mereda jika sudah menjelang siang. Pasien mengalami keluhan tersebut sudah seejak 1 tahun. Riwayat pengobatan pasien sebelumnya (+) di puskesmas, namun jika obat habis keluhan tersebut muncul kembali. Riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal.

B. MASALAH YANG DIKAJI Bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada pasien tersebut?

C. PEMBAHASAN Pada kasus di atas didapatkan informasi bahwa pasien tersebut mengeluhkan bersin-bersin berulang, hidung tersumbat, hidung gatal, rinore di pagi hari. Hal ini menunjukkan pasien memiliki tanda-tanda dari trias rhinitis alergi (beringus, hidung tersumbat dan bersin-bersin). Tanda trias alergi biasanya muncul pada rhinitis alergi, gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu, karena bersin adalah proses membersihkan diri (self cleaning process). Gejala lain yang muncul pada rhinitis alergi adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat dan kadang kadang disertai dengan lakrimasi. Hasil anamnesis pada pasien tersebut terdapat semua trias rhinitis alergika. Rhinitis alergi merupakan suatu proses inflamasi dari mukosa hidung yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (IgE) setelah terpapar alergen. Reaksii alergi terdiri dari 2 fase yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahya dan Reaksi Alergi Fase Lambat yang berlangsng 2-4 jam dengan puncaknya 6-8 jam. Diagnosis pada rhinitis dimulai dengan anamnesis menanyakan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan

pasien. Gejala-gejala rhinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan atau hilangnya

ketajaman penciuman) dan batuk kronik. Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk pada pagi hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Frekuensi serangan dan pengaruh terhadap kualitas hidup perlu ditanyakan. Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rhinitis, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan dan hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak boleh terlupakan. Pada pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan hidung (rinoskopi anterior) diperhatikan adanya edema dari konka media atau inferior yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat dan edema. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung, gejala ini disebut allergic shinner. Selai itu pada anak akan terlihat anak akan menggosok-gosok hidung karena gatal, ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok gosok ini kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). Perhatikan juga keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi dan kemungkinan adanya polip nasi. Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada. 1. Uji kulit cukit (Skin Prick Test). Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis allergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas tersedia. 2. IgE serum total. Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rhinitis alergi dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rhinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik.

3. IgE serum spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis rhinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negative tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain.Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam saja. 4. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung. 5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test). Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rhinitis alergi, dimana riwayat rhinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif. 6. Foto polos sinus paranasal/CT-Scan/MRi. Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi. Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 : 1. Intermitten, bila gejala terdapat: o Kurang dari 4 hari per minggu o Atau bila kurang dari 4 minggu 2. Persisten, bila gejala terdapat: Lebih dari 4 hari per minggu Dan bila lebih dari 4 minggu

Berdasarkan beratnya gejala: 1. Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut: Gangguan tidur Gangguan aktivitas harian Gangguan pekerjaan atau sekolah

2. Sedang-berat, bila didapatkan salah satu atau lebih gejala-gejala tersebut diatas.

Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di permukaan sel tersebut. Tujuan pengobatan rhinitis alergi adalah Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas seharihari. Mengurangi efek samping pengobatan. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal. Untuk mencapai tujuan pengobatan rhinitis alergi, dapat diberikan obat-obatan sebagai berikut : 1. Antihistamin Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rhinitis alergi. Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 golongan baru. Antihistamin H1 klasik seperti Diphenhydramine, Tripolidine,

Chlorpheniramine dan lain-lain. Sedangkan antihistamine generasi baru seperti Terfenadine, Loratadine, Desloratadine dan lainlain. Desloratadine memiliki efektifitas yang sama dengan montelukast dalam mengurangi gejala rhinitis yang disertai dengan asma. Levocetirizine yang diberikan selama 6 bulan terbukti mengurangi gejala rhinitis alergi persisten dan meningkatkan kualitas hidup pasien rhinitis alergi dengan asma. Perbedaan antara generasi klasik dan generasi baru terletak pada efek samping yang ditimbulkan, generasi klasik menimbulkan efek sedatif sedangkan generasi baru pada umumnya non sedatif karena generasi baru pada umumnya tidak dapat menembus blood brain barrier(bersifat lipofobik dan bulky), sehingga tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain itu, antihistamin H1 generasi baru bersifat spesifik karena hanya terikat pada reseptor H-1. Beberapa obat generasi baru dapat menghambat pelepasan mediator histamin oleh sel mast. 2. Dekongestan hidung Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada reseptorreseptor a-adrenergik. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit,

berlangsung selama 1 sampai 12 jam. Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Pemakaiannya terbatas selama 10 hari. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak dipengaruhi oleh antihistamin. Pengguanaan Dekongestan tidak lebih dari sepuluh hari karena dekongestan memiliki efek samping sentral sehingga menimbulkan efek samping takikardia (frekuesi denyut jantung berlebihan), aritmia (penyimpangan irama jantung), peningkatan tekanan darah atau stimulasi susunan saraf pusat.

3. Kortikosteroid Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif sedikit dan tidak ada penelitiankomparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan dose response. Kortikosteroid oral sangat efektif dalam mengurangi gejala rhinitis alergi terutama dalam episode akut. Efek samping sistemik dari pemakaian jangka panjang kortikosteroid sistemik baik peroral atau parenteral dapat berupa osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, supresi dari hypothalamic-pituitaryadrenal axis, obesitas, katarak, glukoma, cutaneous striae. Efek samping lain yang jarang terjadi diantaranya sindrom Churg-Strauss. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan pengawasan diberikan pada kasus asma yang disertai tuberkulosis, infeksi parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus. Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rhinitis alergi seperti Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone dan Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena mempunyai efek antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya, serta memiliki efek samping sitemik yang lebih kecil. Tapi pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi dan dapat memicu tumbuhnya jamur. 4. Antikolinergik Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor uskarinik sehingga

mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi. Ipratropium bromida, yang merupakan turunan atropin secara topikal dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin.

5. Natrium Kromolin Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat penglepasan mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion kalsium dan klorida. 6. Imunoterapi Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala klinis rhinitis alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen standar selama 3 tahun, terbukti memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan. 7. Operasi Tindakan konkotomi pasrsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. Komplikasi pada rhinitis alergi yang tersering adalah polip hidung, otitis media efusi dan sinusitis paranasal. beberapa penelitian menyatakan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. D. MORE INFO Nama lengkap Jenis Kelamin Umur Agama Alamat : An. M : Laki-laki : 14 th : Islam : Parakan

Kunjungan RS tgl: 16 April 2014 KU Kes Vital Sign : TD : Cukup : Compos Mentis : 120/90 mmHG

Nadi : 84x/menit RR T : 20x/menit : afebris

Anamnesis : Riwayat penyakit sekarang Pasien laki-laki usia 14 tahun datang ke poli THT RSUD Temanggung dengan keluhan pilek tidak sembuh-sembuh, kedua hidung serasa tersumbat, sering bersin-bersin keluar cairan jernih / nyrocos dari hidung, hidung terasa gatal dan di pagi hari gejala mereda jika sudah menjelang siang. Pasien mengalami keluhan tersebut sudah sejak 1 tahun. Riwayat pengobatan pasien sebelumnya (+) di puskesmas, namun jika obat habis keluhan tersebut muncul kembali. Riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal.

Riwayat penyakit dahulu Pasien mengalami keluhan tersebut sudah sejak 1 tahun. Riwayat pengobatan pasien

sebelumnya (+) di puskesmas, namun jika obat habis keluhan tersebut muncul kembali. Riwayat asma (-), riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-) Riwayat penyakit keluarga Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa

Pemeriksaan status lokalis THT a. Telinga AD/AS : Bentuk dan ukuran dalam batas normal, nyeri tragus (-/-), nyeri mastoid (-/-), hiperemis (-/-), hematoma (-/-) Canalis aurikularis : Serumen (-/-), hiperemis (-/-), edema (-/-), otorrhoe (-/-) Membran timpani : retraksi (-/-), bulging (-/-), perforasi (-/-), cone of light (-/-) b. Hidung : deformitas (-), deviasi septum nasi (-),darah (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), ND/NS : edema concha media dan inferior (+/+), mukosa pucat dab edema (+/+), massa (-/-), sekret encer dan bening (+/+) SPN : edema nasal (-), NT pipi/ kelopak bawah (-), NT pangkal hidung (-) c. Tenggorokan : trakea letak sentral, gld. Tyroid tak teraba, limfonodi anterior tak teraba, massa (-), NT (-), retraksi(-) Cavum oris : karies (-), mukosa mulut dalam batas normal, lidah kotor (-), lidah mobile, uvula sentral, massa (-) Faring : mukosa tidak hiperemis, lesi kecil di faring lateral sinistra (-), edema (-), massa (-) Tonsil : Hiperemis (-), pembesaran tonsil (T1-T1), abses peritonsiler (-)

E. Diagnosis Diferential diagnosis : 1. Rhinitis : - Drug induced rhinitis - Rhinitis hormonal - Rhinitis infeksi (virus, bakteri atau penyebab lainnya) - Rhinitis karena pekerjaan - Rhinitis karena iritan - Rhinitis vasomotor - Rhinitis atropi - Rhinitis idiopatik - Rhinitis alergika 2. Polip Nasal Diagnosis : Rhinitis Alergika

F. Penatalaksanaan Edukasi : Menghindari alergen Rutin membersihakan rumah dan perabotan rumah tangga Menggunakan masker hidung bila berada d tempat yang berdebu

Medikamentosa : CTM 3x1 MPS 4 mg 3x1 Vit. B. Com. 3x1

G. Daftar Pustaka Adam, G. L., Boeis, L.R., & Highler, P. A. (1997). BOEIS Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC Huriyati, E., & Al Hafiz. (2008). Diagnosis dan Penatalaksanaan Rhinitis Alergi yang Disertai Asma. Padang : FKUNAND. Khusnir, Natalya. 2013. Rhinitis Medicamentosa. Diakses dari internet pada tanggal 18 April 2013; http://emedicine.medscape.com/article/995056-overview Seikh, Javed. 2014. Allergic Rhinitis. Diakses dari internet pada tanggal 18 April 2014; http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview Seikh, Javed. 2014. Allergic Rhinitis Treatment and Management. Diakses dari internet pada tanggal 18 April 2014; http://emedicine.medscape.com/article/134825treatment Soepardi, E. A., et Al. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokKepala & Leher Edisi 6. Jakarta : FKUI. Suprihati, Irawati N, Tety M, Sumarman I.(2003). Panduan Penatalaksanaan Rhinitis Alergi(WHO-ARIA). Dalam: Kongres Nasional XIII PERHATI-KL.

Anda mungkin juga menyukai