Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

SEORANG PASIEN LAKI LAKI USIA 59 TAHUN DENGAN SUBDURAL HEMATOMA

Pembimbing:

Dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad

Disusun oleh: Wiyata Rahmawan 01.207.5430

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG RSUD KOTA SEMARANG SEMARANG 2014

LEMBAR PENGESAHAN Nama NIM Fakultas Universitas : Wiyata Rahmawan : 012075430 : Kedokteran Umum : UNISSULA

Judul laporan Kasus : Seorang laki-laki Usia 59 Tahun dengan Subdural Hematoma Diajukan Pembimbing : 22 April 2014 : dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL: ........................... Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Agung RSUD Kota Semarang Mengetahui

Pembimbing

dr.Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad

BAB1. PENDAHULUAN

Di beberapa negara maju menunjukkan data trauma kepala mencapai 26% dari jumlah keseluruhan kecelakaan, yang menyebabkan seseorang tidak bisa bekerja. Kurang lebihnya 33% kecelakaan berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitisnya Di Indonesia, Depkes RI th 2007, cedera kepala menempati urutan ke 7 dari 10 penyakit penyebab kematian dari keseluruhan pasien rawat inap di rumah sakit, dan pada 2008 menjadi urutan ke 6. Trauma kapitis merupakan kegawat daruratan sehingga perlu segera ditangani. Trauma akibat adanya daya mekanik yang langsung menghantam kepala. Akibatnya biosa terjadi fraktur tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intyrakranial seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intracerebral hematom.

Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambahnya volume perdarahan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan nyeri kepala,papil edem, dan muntah yang seringkali bersifat proyektil. Pada tahap selanjutnya hematoma yang terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai dengan penurunan kesadaran, adanya pupil anisokor dan terjadinya hemiparesis kontralateral.

BAB2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi hematoma subdural adalah penimbunan darah didalam rongga subdural ( diantara durameter dan arakhnoid ). Perdarahan ini sering terjadi akibat robekna vena jembatan yang berada diantara kortek cerebri dan sinus venous.

Gambar 1. Subdural Hematoma Perdarahan subdural disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah yang terkumpul hanya 100 - 200 cc dan berhenti karena tamponade hematoma sendiri. setelah 5 - 7 hari hematom mengadakan reorganisasi sendiri dan selesai dalam 10 - 20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga memicu lagi terjadinya perdarahan perdarahan kecil yang membentuk suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematom dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut, dan kronik. Akut kurang dari 72 jam, subakut 3 - 7 hari setelah trauma, kronik bila 21 hari atau lebih setelah trauma.

2.2 Anatomi 2.2.1 Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan "SCALP" yaitu Skin, Connective tissue, Aponeurosis, Loose connective tissue, dan Pericranium.

Gambar 2. SCALP 2.2.2 Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Rongga tengkorak dasar dibagi menjadi 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis, dan fosa posterior ruang bagian bawah otak dan serebelum.

Gambar 3. Calvaria

2.2.3 Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 1. Duramater Duramater terdiri atas dua lapisan yaitu endosteal dan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. karena tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, terdapat suatu ruang potensial (subdural) yang terletak antara durameter dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.pada cedera otak, pembuluh vena yang menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. 2. Selaput Arachnoid Selaput arachnoid merupakan selaput yang tipis tembus pandang. Selaput ini terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. 3. Piamater Piamater melekat erat pada permukaan korteks cerebri. Piamater adalah membrana vaskuler yang membungkus otak dengan erat.

Gambar 4. Meningen

2.2.4 Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan), mesensefalon (otak tengah), dan rhombensefalon (otak belakang).

Gambar 5. Lobus otak Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus yaitu, frontal, parietal, temporal. Mesensefalon dan pons bagian ataas berisi sistem aktifasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertugas dalam fungsi keseimbangan. 2.2.5 Cairan Serebrospinalis Cairan Serebrospinalis (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi 20ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direarbsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulatio arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arachnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Angka rata rata pada dewasa volume CSS sekitar 150 ml.

Gambar 6. CSS 2.2.6 Tentorium Tentorium serebli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). 2.2.7 Perdarahan Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulasi Willisi. Vena vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara kedalam sinus venosus cranialis. 2.3 Epidemiologi Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5- 25% pasien dengan trauma kepala berat. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1 - 3 kasus per 100.000 populasi. Laki laki lebih sering terkena dibanding perempuan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan nasional tentang morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas perdarahan subdural berhubungan dengan faktor umum yang berhubungan dengan faktor resiko pada cedera kepala. Lebih sering ditemukan pada pasien dengan umur 50 - 70 tahun. Pada orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga mudah pecah bila terkena trauma.

2.4 Klasifikasi a. Perdarahan akut Gejala yang timbul segera kurang dari 72 jam setelah trauma. biasanya terjadi pada cedera kepala yang berat, pada pasien biasanya sudah terganggu kesadarannya dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT-scan terdapat gambaran hyperdens. b. Perdarahan subakut Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4 - 21 hari setelah trauma. Awal pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi fase herniasi yang menekan batang otak. pada gambaran scaning tomografinya didapatkan gambaran lesi isodens atau hypodens.lesi isodens didapatkan karena adanya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. c. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma atau lebih. Bahkan hanya terbentur ringan pun bisa mengalami perdarahan subdural bila pasien juga mengalami gangguan vaskuler atau gangguan pembekuan darah.pada subdural kronik kita harus berhati hati karena hematoma ini bisa membesar dan mengakibatkan penekanan dan herniasi. 2.5 Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera / trauma kepala hebat, seperti perdarahan yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdura. Perdarahan subdural terjadi pada: Trauma

Trauma kapitis Trauma ditempat lain pada badan yang berakibat terjadinya pergeseran atau putaran otak terhadap durameter, misalnya pada orang jatuh terduduk.

Non trauma Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.

2.6 Patofisiologi Perdarahan terjadi antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya bridging veins yang menghubungkan vena dipermukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arachnoidea. Karena otak yang dipenuhi cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek vena - vena halus pada tempat dimana mereka menembus duramater. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan disekitarnya akan tumbuh jaringan ikat nyang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan menggembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intrakranial yang berangsur meningkat.

gambar 7. Lapisan subdural.

Bridging vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun trauma kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan hematoma yang besar sebelum klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus perdarahan subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah didalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. pada fase ini peningkatan tekanan intrakranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intrakranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains kranial berkurang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial yang sangat besar. Terdapat dua teori yang menjelaskan terjadinya pendarahan subdural kronik, teori Gardner mengatakan bahwa sebagian bekuan darah akan mencair dan akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat didalam kapsul dari subdural hematom.karena tekanan onkotik yang meningkat tersebut mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ada kontoversional dari teori tersebut, yaitu ternyata dari penelitian bahwa tekanan onkotik didalam didalam subdural kronik adalah normal mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang kedua mengatakan bahwa, pendarahan berulang yang dapat mengakibatkan perdarahan subndural kronik.

Penyembuhan pada dimulai dari pembekuan darah. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara perlahan meluas ke seluruh permukaan bekuan. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis menempel pada duramater. Sering kali pembuluh darah besar menetap pada skar sehingga rentan terjadi perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan kembali. Waktu untukm penyembuhan tergantung imunitas per individu sendiri. 2.7 Manifestasi Klinis Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada saat benturan dan kecepatan pertambahan volume SDH. Penderita - penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang menyebabkan mereka tidak sadar dengan gejala gangguan batang otak. Penderita dengan SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai berat nya benturan trauma pada saat kecelakaan. Keadaan selanjutnya akan dipengaruhi oleh percepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Gejala - gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang paling sering. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi pada parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontral;ateral terhadap defisit motorik. Tetapi gambaran motorik dan gambaran pupil tidakmerupakan indikator mutlak untuk menentukan letak hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap SDH.Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diameter pupil lebih dipercaya sebagai indikator letak SDH. a. Hematoma Subdural Akut

Menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan dengan cedera berat. Gangguan progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut dan tekanan darah. b. Hematoma subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan devisit neurologik dalam waktu lebih dari 48jam tapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Anamnesis klinis dari penderita ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan - lahan. Namun pada jangka waktu tertentu penderita menunjukkan tanda status neurologik yang memburuk. c. Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadinya perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Hematoma yang bertambah besar secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut dan alkoholik karena rapuhnya vena. Sehingga dalam beberapa minggu cedera tidak dihiraukan tapi pada CT-scan menunjukkan adanya genangan darah. 2.8 Diagnosis 2.8.1 Anamnesis Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik adanya jejas ataupun tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran. Jika pernah ditanyakan pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah tanyakan juga tetap sadar atau kembali menurun kesadarannya, dan perhatikan juga periode lamanya sadar atau lucid interval. Untuk tambahan perlu juga ditanyakan pernah

muntah atau kejang pada saat setelah terjadinya trauma kepala. Hal ini untuk mengetahui penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena sumbatan saluran nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat - obatan yang sedang dikonsumsi , dan apakah dalam pengaruh alkohol. 2.8.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan nafas, pernafasan dan tekanan darah atau nadi yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi dan juga diberikan bantuan nafas dengan pemberian oksigen. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah untuk memantau terjadinya hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera di terapi cairan. Pemeriksaan kesadaran dengan menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik,dan juga verbal atau nyeri. Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan reflek pupil untuk deteksi dini gangguan neurologis.

2.8.3 Pemeriksaan penunjang a. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/ koagualsi. b. Foto tengkorak Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk melihat SDH. Sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan konsistensi antara fraktur tengkorak dengan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH. c. CT-scan Pemeriksaan CT-scan adalah modalitas pilihan utama bila didapat lesi pasca trauma,karena proses yang cepat, mampu melihat keseluruhan jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial. d. MRI (Magnetic resonance imaging) MRI sangat efektif mendeteksi perdarahan ekstracerebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat mendiagnosa SDH sehingga lebih memilih CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru digunakan pada masa setelah trauma terutama untuk menentukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebihy sensitif mendeteksi lesi otak non pendarahan.MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematoma kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.

2.9 Diagnosis Banding a. Stroke b. Encephalitis c. Abses otak d. Adverse drugs reactions e. Tumor otak f. Perdarahan subarachnoid g. Hydrocepalus 2.10 Penatalaksanaan Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan tindakan pengobatan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10mg intravena. 2.10.1 Tindakan Tanpa Operasi Pada kasus perdarahan yang kecil (30cc atau kurang) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Pada penderita SDH akut yang ada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial yang bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik karenanya tidak diindikasikan untuk operasi.

2.10.2 Tindakan operasi Kriteria pasien SDH dilakukan tindakan operasi adalah: a. PAsien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran midle shift > 5mm pada ct scan b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan pendarahan <10mm dan pergeseran midline shift . jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk RS d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan didapati pupil dilatasi asimetris e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan TIK >20mmhg Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. dan yang palingn banyak untuk perdarahan subdural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukkan resiko minimal. Craniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada psien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan reflek cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi operasi, : Penurunan kesadaran tiba - tiba didepan mata Adanya tanda herniasi Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergency, dimana CT-scan kepala tidak bisa dilakukan

Perawatan pasca bedah Monitor kondisi umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Jahitan dibuka pada hari ke 7 post op. TIndakan pemasangan fragmen tulang kranoplasti setelah 6 - 8 minggu kemudian. 2.11 Komplikasi Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang mengalami operasi drainase, sebanyak 5,4 - 19% mengalami komplikasi medis atau operasi.komplikasi medis, sperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain. Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus tejadi pada 2,3% kasus. Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan ct-scan 4 hari pasca operasi 2.12 Prognosis Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, sekitar 90% kasus pada umumnya akan sembuh total. Menurut jamieson dan yellan derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan opersi adalah satu satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir penderita SDH akut. Penderita sadar pada waktu dioperasi memiliki mortalitas 9% sedangkan SDH akut tidak sadar pada waktu operasi memiliki mortalitas 40 - 65%. Tetapi Richards dan Holf tidak menemukan hubungan yang signifiklan antara derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan pada penderita SDH akut dengan kombinasi reflek okulo - sefalik negatif, reflek pupil bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai fungsional survival sebesar 10%.

BAB III. LAPORAN KASUS Identitas pasien nama : Tn. Sarli Umur: 59 tahun Jenis kelamin: Laki - laki Pekerjaan: Tukang becak Alamat: Semarang, Jawa tengah

Anamnesa tanggal pemeriksaan 14 April 2014 Keluhan utama : sakit kepala Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Kota semarang dengan keluhan sakit kepala sejak 5 hari SMRS. 10 hari SMRS pasien pernah terjatuh saat mengendarai sepeda dan kepala pasien terbentur ke tanah. Saat terjatuh pasien masih dalam keadaan sadar, muntah (-), 1 hari setelah terjatuh pasien masih beraktifitas seperti biasa dan tidak mengeluh sakit kepala. Beberapa hari kemudian pasien mulai mengeluh sakit kepala terus m,enerus, timbul tiba tiba saat akitfitas maupun istirahat. Bagian yang sakit adalah kepala sebelah kiri, sakit kepala dirasakan seperti berdenyut denyut selama 10 - 15 menit dan matanya terasa gelap, disertai mual. pasien juga mengeluh meriang. Riwayat penyakit dahulu Keluhan serupa: disangkal Riwayat darah tinggi : disangkal Riwayat penyakit gula: disangkal Riwayat maag: disangkal

Riwayat Alergi: disangkal Riwayat penyakit hati: disangkal

Riwayat penyakit keluarga tidak ada keluarga dengan penyakit serupa

Riwayat sosial ekonomi Pasien bekerja sebagai Tukang becak tinggal bersama istrinya, berobat menggunakan jamkesmas Riwayat Kebiasaan pasien merokok Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: baik Kesadaran: composmentis BB / TB: 55kg/167cm Vital sign: Tekanan darah: 100/80 mmHg Nadi: 80 kali/menit Pernafasan: 16 kali/menit Suhu: 36,5 C Kulit: Sawo matang,tugor baik Kepala: Normosefal Rambut: hitam,tidak mudah dicabut Mata: CA-/-, SI-/Telinga: normal, sekret-/Hidung: Simetris, sekret-/-, septumdeviasi-/-

Mulut: Sianosis Leher: Tidak ada pembesaran KGB Paru: Inspeksi: simetris Palpasi: vocal fremitus normal Perkusi: sonor kanan kiri Auskultasi: vesikuler kanan kiri

Jantung: Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat Palpasi: iktus kordis teraba 1jari medial sela iga5 Perkusi: batas batas jantung normal Auskultasi: S1-S2 reguler, murmur(-)

Abdomen: Inspeksi: datar Palpasi: supel,nyeri tekan tidak ada Perkusi: normal Auskultasi: bissing usus 6 kali/menit

Ekstremitas akral dingin: tidak ada Edema: tidak ada Capilarry refill: <2detik

Status Neurologis Tanda rangsangan selaput otak kaku kuduk (-) Brudzinski I (-)

brudzinski II (-) Tanda Krnig: (-)

Tanda peningkatan Intrakranial Pupil: Isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung -/Pemeriksaan Nervus Kranialis: Sulit dinilai

Pemeriksaan koordinasi tidak ada kelainan

Pemeriksaan Sistem Refleks Refleks Fisiologis: biceps: +/+ Triceps: +/+ Patella: +/+ Refleks patologis: Babisky: -/Chadok: -/-

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Hasil Hematologi Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit 15,6 43,6 9,3 311 Kimia Klinik GDS Globulin Ureum Creatinin 103 2,7 41,6 0,9 Imunoserologi Kualitatif HbsAg Negatif Negatif Mg/dl g/dl Mg/dl Mg/dl 75-115 1,8-3,2 15,0-43,0 0,7-1,1 g/dl % Ribu/uL Ribu/uL 14-18 42-52 4,8-10,8 150-440 Satuan Nilai Normal

Pemeriksaan Radiologi CT-scan Kepala Tanpa Kontras:

Diagnosis Diagnosis Klinis: chepalgia post trauma Diagnosis Topis: Subdural Hematomn frontoparietal Diagnosis etiologi: Subdural hematom subakut

Diagnosis Banding Tumor otak

Penatalaksanaan Umum Infus RL 20tpm Elevasi kepala 30derajat Khusus Antibiotik ceftriaxone 1gr/12jam Manitol IV dalam larutan 20% dengan dosis 1-1,5g/kg Betahistin 3x6 mg Flunarizin 2x5mg inj pirazetam 3x3 gr inj citicholine 2x 500mg Komplikasi Hemiparesis Disfasia/afasia Epilepsi Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam Quo ad functionam: dubia ad bonam Quo ad sanationam: dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA

1. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta - fakta pada Perdarahan Subdural Akut. Majalah Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297 - 306. FK USU: Medan. 2. Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma, MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012. 3. Tom, S., dkk, Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference, 2011 4. Price, Sylvia dan Willson, Loraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC. 5. Sjamsuhidajat, R 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi kedua hal 818, Jon W.D. jakarta : EGC 6. Charles, F. 2010. Schwart'z Principles of surgery, edition Ninth. United State Of America: The McGraw-Hill 7. Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven, Halaman 837-843 8. Engelhard, H. H., dkk, Subdural Hematoma Surgery, Medscape Reference, 2011. 9. Meagher, R. dkk. Subdural Hematoma, Medscape Reference, 2011 10. Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar, jakarta: Dian Rakyat 11. Ayu, IM. 2010. Chapter II. USU Respiratory: Universitas Sumatera Utara repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21258/.../Chapter%2011.pdf. 12. Dugdale, D., Chronic Subdural Hematoma, MedlinePlus, 2010. 13. Cowles, R. A., dkk. Craniotomy series. MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2007.

Anda mungkin juga menyukai