Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia (WHO)
memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang
perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan dunia
,seperti India,dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan
diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap
menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga ditemukan
pengobatan multi obat pada awal 1980an dan penyakit inipun mampu ditangani kembali.
Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul Penyakit Kusta (Morbus Hansen)
dan Asuhan Keperawatannya dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui apa
itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan keperawatannya.

B. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a. Untuk menjelaskan definisi kusta.
b. Untuk menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta.
c. Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta.
d. Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta.
e. Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta.
f. Untuk menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan kusta.
g. Untuk menjelasakan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta.




2

C. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah dlam penulisanini
adalah konsep dasar askep kusta




























3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Penyakit Kusta
1. DEFINISI
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium
leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra
yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot,
tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer,
tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

2. ETIOLOGI
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri
mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman
kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
B. Epidemiologi Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.
Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,
4

keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak
yang lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor
yng penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai
dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyaki terinfeksi lainnya.
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara
kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan
Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor
yang berperan dalam penularan ini adalah :
Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
Kesadaran social : Umumnya negara-negara endemis kusta adalah
negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah
Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

C. Konsep Diagnosa
1. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinalberikut: 1)Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit
dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf
tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2) BTA
positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf
tepi, nyeri tekan, parastesi.



5

2. KLASIFIKASI
No.
Kelainan kulit & hasil
pemeriksaan
Pause Basiler Multiple Basiler
1. Bercak (makula)
jumlah
ukuran
distribusi

konsistensi
batas
kehilangan rasa pada
bercak


kehilangan
berkemampuan
berkeringat,berbulu rontok
pada bercak



1-5
Kecil dan besar
Unilateral atau
bilateral asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan jelas



Bercak tidak
berkeringat, ada bulu
rontok pada bercak


Banyak
Kecil-kecil
Bilateral, simetris

Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas,
jika ada terjadi pada yang
sudah lanjut
Bercak masih
berkeringat, bulu tidak
rontok
2. Infiltrat
Kulit

membrana mukosa
tersumbat perdarahan
dihidung

Tidak ada

Tidak pernah ada

Ada,kadang-kadang
tidak ada
Ada,kadang-kadang
tidak ada
3. Ciri hidung central healing
penyembuhan ditengah
a.punched outlession
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
6

4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini,
asimetris
Terjadi pada yang lanjut
biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi
dini
Terjadi pada stadium
lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif

Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup
dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak keputihan
sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi,
punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama
sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan
urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih
jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari
pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan
adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di
indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup
tinggi.
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput
lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam
menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil
dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar
biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis
mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena
7

rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase
lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies
leonina).

Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan
(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

3. PATOGENESIS
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung
pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem
imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah
berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah
yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit
tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda.
Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi
oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan
lesi ditempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
8

b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung
apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu
negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman
resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl
neelsen atau kinyoun gabett
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian
dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang


9


Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu
menentukan resistensi terhadap obat.
D. Konsep Pencegahan Penyakit Kusta
a) Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena
penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan
penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan
penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang
penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan
masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah
keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta
seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996
didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan
terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum
menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan
hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
b) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy
10

pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan
sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
c) Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat,
pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan
fungsi saraf.
Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan
fungsi saraf.

b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian
diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik,
mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara
umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi
sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik
(Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas
pada tangan.
Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.


11


E. Konsep Terapi
1. TERAPI MEDIK
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai
berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah
Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah.
DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan
pasien langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
12

Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun,
Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-
15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien
kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB
diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24
jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila
tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
F. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa
pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi
dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar
penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat
tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh
c. Riwayat kesehatan masa lalu
13

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi
lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman
kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah
satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan
menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri
karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f. Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri
karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I,
reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf
tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada
morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka
alis mata akan rontok.
14

Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan:
a. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/
mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada
mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-
pecah.
Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

15

2. Diagnosa
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
3. Intervensi
Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan
atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasiona : menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
16

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
Diagnosa 2
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan
intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional : Dapat mengurangi rasa nyeri
17

4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional : Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional : menghilangkan rasa nyeri
Diagnosa 3
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi
dan aktivitas dapat dilakukan
Kriteria:
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,
meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
18

Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan
Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara
optimal dan konsep diri meningkat
Kriteria:
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan
perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang
terjadi membantu perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
kenyakinan yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4. Berikan penguatan positif
Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang
lebih membantu pasien

19

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kusta Adalah Penyakit Infeksi Yang Berlangsung Dalam Waktu lama, penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae. Menyerang saraf tepi sebagai tujuan pertama, lalu kulit dan saluran
pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Nama lainnya
adalah Lepra atau Morbus Hansen.Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang di
temukan G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, tahan asam dan alkohol, serta dengan
pewarnaan giemsa akan menunjukkan hasil Gram positif (berwarna ungu).
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran tanda dan gejala yang dimiliki. Diantara
semuanya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.
B. Saran
Setelah membaca dan membahas makalah ini mahasiswa sebagai calon perawat profesional
dapat memahami dan mejalankan asuhan keperawatan pada pasien lepra. Prinsip yang penting di
harapkan dapat diajarkan pada pasien perawatan diri sendiri untuk pencegahan cacat kusta
adalah :
pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka
pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan melatih
sendi bila mulai kaku
penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka,
mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat
20


DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes
Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.
Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,
EGC. Jakarta, 1995
Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya
Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakart













21


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt yang telah memberikan cinta kasih, rahmat
serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul asuhan
Keperawatan kusta
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas matakuliah system integumen. Kami
harapkan pengetahuan kami mengenai kesehatan dalam kerja
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
terlaksananya penyusunan makalah ini terutama kepada
1. Penanggung jawab Matakuliah system integumen serta team dosen yang telah
memberikan bimbingan dan arahannya kepada kami
2. Orangtua kami yang senantiasa memberikan dorongan, semangat dan restu sehingga
makalah ini dapat disusun dengan lancar
3. Teman-teman yang telah memberikan masukan dan semangat kepada kami

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah yang kami susun. Oleh
karena itu, kritis dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan
untuk tugas-tugas berikutnya.



Penyusun


22


DAFTAR ISI


KATA PENGHANTAR .................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
B. Tujuan Masalah ..................................................................................................... 1
C. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................................. 2
A. Pengertian penyakit kusta............................................................................, 2
B. Epidemiologi penyakit kusta....................................................................................... 3
C. Konsep diagnose ....................................................... 4
D. Konsep pencegahan .. ............................................................................. 9
E. Terapi ........................ 11
F. Konsep asuhan keperawatan kusta .............................................................................. 12
BAB III : PENUTUP............................................................................................................ 20
A. Kesimpulan............................................................................................................... 20
B. Saran ................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 21







ii
23

ASKEP KUSTA





SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
MATARAM
2012
Muhammad Fahrurrozi
Muhamaad Izuddin
Mujibatul Hikmah
Nurfitriana Haris
Ni wayan santi
Pramanda
Rita Novita
Roni apriadi
Sofiana rahmani
Sri wahyu Ningsih
Suciyati rahmadani

Suparjo
Toto Erianto
Taufiqurrahman
Yuliasni RA
Zulkarnaen
M. Rasi Akbar
I kadek Langkir
Nana Irawati
Joy Adi Putra
Rodiah Istiqomah

Anda mungkin juga menyukai