Anda di halaman 1dari 22

Makalah

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

“KEBUDAYAAN SUNDA”

Disusun oleh:
ONAH PATONAH

FAKULTAS / JURUSAN SASTA INGGRIS


UNIVERSITAS PAMULANG (UNPAM)
PAMULANG
2008

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Identifikasi Masalah


Secara antropologi-budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku-
bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan
bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal
serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut
Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Secara kulturel daerah Pasundan itu di sebelah
Timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy yang merupakan
perbatasan bahasa. Akan tetapi di luar Jawa Barat terdapat pula kampung-
kampung yang menggunakan bahasa Sunda, seperti di kabupaten Brebes, Tegal
dan Banyumas di Jawa Tengah dan di daerah transmigrasi di daerah Lampung
Sumatra Selatan. Di daerah Jawa Barat sendiri, jika kita teliti lebih mendalam lagi,
tidak seluruh masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda. Di daerah pantai utara
dan di daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping bahasa Sunda, sedang di
daerah Cirebon bahasa Sunda lebih banyak dipakai. Di daerah Jakarta dan
sekitarnya, masyarakatnya berbahasa Melayu Jakarta.
Dewasa ini bahasa Sunda dipakai secara luas dalam masyarakat di Jawa
Barat. Di pedesaan bahasa pengantar adalah bahasa Sunda, sedang di kota-kota
bahasa Sunda terutama digunakan dalam lingkungan keluarga, di dalam
percakapan antara kawan dan kenalan yang akrab, dan juga di tempat-tempat
umum dan resmi di antara orang-orang yang saling mengetahui, bahwa mereka itu
menguasai bahasa Sunda. Dalam hubungannya dengan kehalusan bahasa sering
dikemukakan, bahwa bahasa Sunda yang murni dan yang halus ada di daerah
Priangan, seperti di kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang,
Sukabumi dan Cianjur. Sampai sekarang dialek Cianjur.
Masih dipandang sebagai bahasa Sunda yang terhalus. Dari Cianjur pula
berasal lagu-lagu kecapi suling Cianjuran. Bahasa Sunda yang dianggap agak
kurang halus adalah bahasa Sunda, dekat pantai Utara, misalnya Banten,

1
Karawang, Bogor, dan Cirebon. Bahasa orang Badui, yang terdapat di Banten
Selatan adalah Bahasa Sunda Kuno. Terlepas daripada evaluasi emosionelliterer,
mengenai adanya bahasa Sunda yang halus dan yang kurang halus, yang murni
atau yang kurang murni, adanya perbedaan itu barangkali dapat diterangkan dari
sudut sejarah. Sunda Priangan misalnya pernah mendapat pengaruh kulturel dari
Mataram Islam. Dalam sejarah abad ke-19 terdapat hubungan kekerabatan dan
kebudayaan antara kaum bangsawan priyayi Sunda. Khususnya di daerah
Sumedang, dengan kaum bangsawan.
Bentuk puisi diseling-seling oleh prosa berirama seperti bentuk
panglipurlara. Tukang-tukang pantun itu mendongengkan ceritera-ceritera
pantunnya dengan iringan bunyi kecapi. Ceritera-ceritera itu mengetengahkan
pahlawan-pahlawan dan raja-raja pada zaman Sunda Purba, zaman Galuh dan
Pajajaran, dan selalu menyebut nama raja Sunda yang terkenal ialah Prabu
Siliwangi. Bagi orang Sunda ceritera-ceritera pantun itu menduduki tempat yang
khas dalam hatinya. Permainan pantun dapat menggugah perasaan kebesaran orang
Sunda, yang melihat ceritera sejarah di masa lampau semakin jauh semakin terang,
semakin lama semakin terkenang.
Sesudah zaman pantun, dikenal zaman wayang dan wawacan-wawacan
sebagai pengaruh dari Mataram Islam, setelah jatuhnya Pajajaran. Ceritera-ceritera
wayang kebanyakan berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata, tetapi sekarang
sudah banyak sekali variasi-variasi karangan dari ki dalang sendiri. Wayang di
Sunda lebih merupakan hiburan, dan orang yang menyaksikannya biasanya tidak
selalu tertarik oleh lakonnya, melainkan oleh ketrampilan sang dalang untuk
memainkan wayangnya, atau lebih tertarik oleh nyanyian-nyanyian sindennya.
Walaupun kebanyakan orang Sunda beragama Islam, mereka memberikan kepada
pertunjukkan wayang itu suatu tempat tertentu dalam kebudayaan, karena di
dalamnya terdapat berbagai unsur kesenian ialah seni sastra, seni tembang dan
gamelan, dan pertunjukkan wayang itu masih sering diadakan di daerah-daerah
pedesan maupun di kota-kota.
Ceritera wawacana dalam bahasa Sunda banyak diambil dari ceritera-
ceritera Islam. Dahulu wawacan itu sering dinyanyikan, dan ini disebut beluk.

2
Biasanya seorang membacakan satu kalimat dari wawacan itu yang berbentuk
puisi tembang dari Jawa, dan seorang yang lain menyanyikannya. Orang yang
membaca dan menyanyi duduk di tikar di bawah, atau tidur-tiduran, demikian pula
yang mendengarkannya. Beluk itu biasa diperdengarkan sambil menunggui orang
yang baru melahirkan. Lamanya hampir semalam suntuk. Sekarang sudah jarang
orang memperdengarkan beluk.
Sunda terdapat bermacam-macam ceritera rakyat seperti Sangkuriang yaitu
cerita tentang terjadinya gunung Tangkuban perahu dan danau purba di dataran
tinggi Bandung, serta varian-variannya mengenai terjadinya beberapa gunung dan
danau di Jawa Barat. Satu macam ceritera rakyat di sunda ialah cerita si Kebayan
satu contoh sastra yang dilukiskan sebagai seorang yang malas dan bodoh, akan
tetapi sering-sering tampak pula kecerdikannya.
Kesusateraan-kesusasteraan Sunda itu bukan suatu unsur kebudayaan yang
hanya dikenal di lingkungan yang kecil saja, akan tetapi dikenal secara luas dalam
masyarakat. Dalam pertunjukkan reog, permainan yang selalu dapat menyesuaikan
dirinya dengan setiap zaman, tampaklah betapa bahasa dan sastra Sunda itu
merupakan bagian yang esensil dari kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat.
Di samping bahasa Sunda sebagai identitas kesundaan ciri kepribadian
orang Sunda yang lain adalah, bahwa orang Sunda sangat mencintai dan
menghayati keseniannya. Dari bahasa dan keseniannya, dan dari sikapnya seharian
dapat kita jabarkan tipe ideal orang Sunda sebagai manusia yang penting suka dan
mudah gembira, yang memiliki watak yang terbuka tetapi yang sering bersifat
terlalu perasa sebagai orang yang sedang pundung. Tentu gambaran ini sangat
bersifat umum.
Dalam pada itu tidak boleh kita lupakan, bahwa dalam mempelajari manusia
dan kebudayaan masyarakat Sunda itu sendiri sedang mengalami perubahan-
perubahan. perubahan itu misalnya disebabkan oleh bertambahnya penduduk.
Dinyatakan bahwa pada permulaan abad ke-20 ini jumlah penduduk di Jawa Barat
adalah kira-kira lima juta orang. Sensus penduduk yang diadakan pada tahun 1961
di seluruh Indonesia menyebut penduduk di daerah Jawa Barat berjumlah

3
17.614.555 orang, sedangkan menurut suatu perkiraan dari BAKOPDA dalam
tahun 1964, di Jawa Barat ada hampir 20 juta penduduk. Penduduk kota Bandung
saja yang menjadi ibukota propinsi Jawa Barat misalnya, dalam waktu tiga puluh
tahun sampai tahun 1961, naik dengan 583 persen, yaitu dari 166.815 orang pada
tahun 1930, menjadi 972.566 pada tahun 1961. Dan pertambah-an penduduk ini
tentu saja menimbulkan perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kebudayaan
dan masyarakat. Ibukota kecamatan yang dalam masa sebelum perang dunia ke-II,
masih memperlihatkan suasana pedesaan yang serba tenang, kini telah menjadi
pemusatan-pemusatan penduduk yang ramai dan penuh dinamik.

1.2 Desa di Jawa Barat


Desa di Jawa Barat dapat dilihat sebagai suatu kesatuan administratif
terkecil, yang menempati tingkat yang paling bawah dalam susunan pemerintahan
nasional. Di samping itu desa juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan hidup
yang kecil sifatnya, di suatu wilayah tertentu. Sifat kecilnya itu menyebabkan
adanya suatu rangkaian sifat-sifat lain yang khas.
Sebagai suatu kesatuan administartif suatu desa mempunyai suatu sistem
pemerintahan desa, yang mengurus rurnah tangga desa. Di seluruh Jawa Barat
sistem pemerintahan desa itu pada garis besarnya sama, hanya dalam hal sebutan
bagi pejabat-peiabatnya terdapat beberapa perbedaan. Desa Bojongloa misalnya,
sebuah desa yang terletak di lereng gunung Tampomas di sebelah barat Sumedang
dikepalai oleh seorang kuwu yang dipilih oleh rakyatnya. Dalam melaksanakan
tugas-tugasnya kuwu didampingi oleh seorang juru tulis, tiga orang kokolot
seorang kulisi. Seorang ulu-ulu dan seorang amil dan tiga orang pembina desa
(seorang dari angkatan Kepolisian dan dua orang dari Angkatan Darat). Adapun
kuwu berkewajiban mengurus rumah tangga desa, mengadakan musyawarah
dengan warga desa mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan warga desa,
mengurus pekerjaan umum seperti jalan dan selokan, serta mengurus harta benda
desa. Kokolot berkewajiban menyampaikan perintah dan pemberitahuan dari pihak
pamong desa kepada warga desa, yang bertempat tinggal di Rukun Kampung yang
dipimpinnya, dan sebaliknya, kokolot juga menyampaikan laporan dan pengaduan

4
dari pihak penduduk kepada pamong desa. Juru tulis berkewajiban mengurus
administrasi desa, arsip, daftar hak milik rakyat, pajak dan sebagainya. Ulu-ulu
mempunyai tugas mengurus pembagian air dan memelihara, selokan-selokan.
Amil berkewajiban mengurus pendaftaran kelahiran, kematian, nikah, talak, rujuk,
mengucapkan do'a dalam selamatan, mengurus masjid dan langgar serta
memelihara kuburan. Kulisi berkewajiban memelihara keamanan, mengurus
pelanggaran dan membantu pembina wilayah dan kepala desa dalam hal
keamanan. Dalam bidang keamanan ini diikut sertakan pula anggota Hansip. Di
daerah Jawa Barat sekarang ini terdapat 3.881 buah desa seperti tersebut di atas.
Sebagai suatu kesatuan hidup di suatu wilayah tertentu atau kesatuan yang
di dalam ilmu antropologi disebut komuniti (community), maka desa asli Jawa itu
mempunyai beberapa sifat yang umum. Orang hidup dari pertanian dengan
teknologi lama. Karena desa itu jumlah penduduknya untuk sebagian besar lahir di
tempat itu dan karena jumlah penduduk desa asli di Jawa Barat itu biasanya tidak
melebihi tiga, empat ribu jiwa, maka orang masih saling kenal mengenal dan
bergaul sebagai manusia yang saling mengetahui latar belakangnya masing-
masing. Kecuali itu karena teknologi dalam kehidupan desa belum maju, maka
spesialisasi antara penduduk juga belum luas, dan diferensiasi antara penduduk ke
dalam golongan-golongan juga masih bersifat terbatas.
Sesudah perang Dunia ke-II dan sesudah Zaman Revolusi, masyarakat desa
di indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat pada khususnya, telah mengalami
banyak perubahan. Isolasi, keseimbangan dan ketenangan sebetulnya telah
ditrobos oleh pengaruh-pengaruh baru dari luar. Ekonomi, politik dan ideologi
modern, administrasi pemerintahan, komunikasi, pendidikan telah menyebabkan
suatu lapisan atas, yang terdiri dari para pamong desa, para guru, juru-juru
penerang, pegawai-pegawai jawatan-jawatan, pelajar, anggota ABRI, pedagang
dan pengusaha, yang semua mempunyai orientasi keluar. Sebaliknya ada suatu
lapisan bawah ialah kaum petani, yang jumlahnya besar, yang kebanyakan masih
buta huruf dagang dalam dan dalam cara hidupnya masih tradisionil. Orang lapisan
atas mempunyai kecakapan berekonomi berdasarkan prinsip mencari untung,
mempunyai hubungan dengan tengkulak-tengkulak dan pedagang-pedagang besar

5
di kota. Dapat juga dikatakan bahwa pada lapisan atasan desa inilah terpusat segala
kekuasaan ekonomi desa, dan pada umumnya ikatan golongan atas dan bawah itu
berbentuk hutang atau kontrak-kontrak yang tidak menguntungkan lapisan bawah
yang lemah ekonominya. Akan tetapi apabila kita selidiki, di Jawa Barat tentunya
tidak semua desa mengalami perobahan yang sama. Desa Dukuh yang letaknya
terpencil di Garut Selatan misalnya, memperlihatkan betapa kuat masih adat-
istiadat itu.
Penduduk desa Dukuh berjumlah 142 orang, yang tinggal dalam rumah
sebanyak 42 susunan. Perkawinan di dalam desa sering diadakan antara para
warganya, sehingga antara warga desa yang satu dengan yang lain ada hubungan
kekerabatan yang erat. Mereka hidup sebagai petani, tidak ada seorangpun yang
menjadi pedagang atau pegawai negeri. Penduduk seluruhnya memeluk agama
Islam. Mereka sangat patuh menjalankan syariat agamanya. Tetapi di samping itu
merekapun percaya pada makam-makam yang keramat dan pantangan-pantangan
adat. Sebuah makam yang dikeramatkan dan menjadi pusat kehidupan, kerohanian
masyarakat Dukuh adalah makam seorang penyebar agama Syech Abdul Jalil atau
lebih terkenal di kalangan penduduk dengan sebutan Eyang Wali. Adapun
pantangan yang dilakukan oleh penduduk Dukuh adalah : larangan menggunakan
gergaji untuk menggarap bahan bangunan; larangan membuat rumah megah
melebihi rumah tetangganya larangan menurut atap sirap Larangan menggunakan
pintu jendela kaca; larangan menghias dinding dengan gambaran atau lukisan;
memiliki atau mengenakan barang-barang perhiasan dari emas-berlian dan
sebagainya. Adapun yang bertanggungjawab atas terpeliharanya makam keramat
adalah pekuncerila sekaligus merupakan pengawal dan pelindung dari adai tradisi
Dukun didampingi oleh para kokolot Dukuh yang merupakan Dewan Orang Tua.
Dukuh adalah sebuah desa yang terpencil. Komunikasi dengan kampung-
kampung lain adalah sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Letaknya yang
jauh dari sungai menyebabkan mereka harus mempertahankan sumber air yang
terbatas ada di daerah sekitarnya, terutama di lereng-lereng gunung sebelah atas.
Air sumber itu tidak ini mati selama pohon-pohon besar di lereng atas sampai ke
puncaknya masih tetap tumbuh. Di samping membutuhkan air, penduduk Dukuh

6
juga membutuhkan kayu untuk membangun dan kayu bakar untuk masak. Kayu-
kayu yang baik untuk bahan bangunan adalah kayu yang besar dan tua. Demikian
apabila habis ditebang pohon-pohon di bawah, tentulah mereka akan menebangi
pohon-pohon besar di puncak bukit. Jika ini dilakukan, maka sumber air akan
kering dan ini berarti berakhirnya kehidupan masyarakat di situ. Untuk menjaga
agar sumber air tetap ada, maka dibuatlah pantangan-pantangan menebang pohon-
pohon, dengan dalih kepercayaan dan dihubungan dengan makam keramat.
Pantangan adalah satu mekanisme sosial yang diberi sifat keramat berdasarkan
agama, agar penduduk mematuhi larangan-larangan itu. Agak berbeda lagi jika
kita melihat kepada desa Pelabuhan, yang juga menjadi ibukota kecamatan
Pelabuhan ratu dan yang berpenduduk 17.000 orang. Penduduk desa Pelabuhan
sebagian besar hidup dari menangkap ikan, dan sebagian lagi hidup dari pertanian.
Berdasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar kaum nelayan di daerah
pelabuhan itu adalah orang-orang pendatang dari berbagai daerah di luar
Pelabuhanratu, maka dapatlah diterima suatu pendapat, bahwa bercocok tanam dan
mencari hasil hutan adalah mata pencaharian pokok dari penduduk asli Pelabuhan.
Bagi penduduk asli itu, menangkap ikan di laut hanya merupakan mata
pencaharian sambilan dan musim-musiman saja. Baru kemudian, dengan
datangnya orang-orang nelayan dari luar daerah Pelabuhanratu, penangkapan ikan
di laut merupakan mata pencarian pokok yang baru. Dalam desa Seperti
Pelabuhan, tentunya struktur masyarakat berbeda lagi.
Berdasarkan fungsinya, penduduk dapat dibagi-bagi menjadi golongan
juragan atau majikan, golongan buruh nelayan atau anak payang. Struktur sosial
yang menunjukkan sedikit banyak adanya diferensiasi tidak mengakibatkan adanya
relasi-relasi sosial yang kompleks, baik dalam kelompok nelayan pada khususnya,
maupun dalam masyarakat desa Pelabuhan pada umumnya. Masyarakat
diorganisasi dengan pranata-pranata pemerintahan, agama dan adat, yang
merupakan kesatuan yang terintegrasikan.

7
1.3 Sistem Kekerabatan Orang Sunda
Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan
secara turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama
dipeluk oleh orang Sunda maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan
mana agama dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan
kebudayaan orang Sunda. Perkawinan di tanah Sunda misalnya dilakukan baik
secara adat, maupun secara agama Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab
kabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa di dalam upacara-upacara yang
terpenting ini terdapat unsur agama dan adat.
Dalam hubungannya dengan sistem perkawinan itu, tiap bangsa mempunyai
anggapannya masing-masing mengenai umur yang paling baik untuk dikawinkan.
Dari beberapa desa di sekitar Bandung diperoleh data bahwa dari 360 responden
ada 287 (ialah 79,8%) yang rnenyatakan bahwa umur yang sebaiknya untuk
menikah adalah antara umur 16 sampai 20. Sistem pemilihan jodoh di Jawa Barat
tidak terikat satu sistem tertentu. Hanya yang pasti adalah bahwa perkawinan di
dalam keluarga batin dilarang. Dan apabila kita hendak mengetahui dari manakah
sebaiknya diambil jodoh, dari luar atau dari kalangan sendiri, maka di daerah yang
sama seperti tersebut di atas, dari 360 responden 231 orang (ialah 64,2%)
mengemukakan lebih baik dari kalangan keluarga sendiri, dan 129 orang (ialah
35,8%) memilih dari mana saja. Sedang syarat-syarat lain yang diinginkan, dari
360 responden 168 orang (ialah 46%) memilih dari kalangan baik-baik, 183 orang
(ialah 50,8%) mengemukakan dari golongan yang sederajat, dan 9 orang (ialah
2,5%) mengemukakan siapa saja, asal sudah bekerja.
Menantu yang baik di sini tentunya mempunyai arti yang relatif. Untuk
mengetahui makna baik, maka kita perhi mengetahui sistem nilai-nilai budaya
yang berlaku di daerah itu. Di daerah pedesaan yang kuat kehidupan agamanya,
maka faktor orientasi agama memainkan peranan yang penting. Pada umumnya di
daerah pedalaman telah dikenal pula moralitas perkawinan yang dapat dilihat dari
bahasa dan pepatah dalam bahasa itu. Di Pasundan dikatakan misalnya: Lampu
nyiar jodo kudu kakupuna” artinya kalau mencari jodoh, harus kepada orangyang
sesuai dalam segala-nya, baik rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Atau

8
"Lamun nyiar jodo, kudu kanu sawaja sabeusi", artinya mencari jodoh itu harus
rnencarL-yang sesuai dan cocok dalam segala hal.
Adapun mengenai caranya mencari menantu itu, dilakukan oleh pihak laki-
laki maupun oleh pihak perempuan. Cara mencarinya mula-mula tidak serius,
tetapi sambil bergurau antara orang tua kedua belah pihak. Tempat
pembicaraannya juga tidak ditetapkan, di mana saja, kalau kebetulan bertemu,
misalnya di pasar, di sawah, di kebun, atau di mesjid. Apabila anak gadis itu belum
bertunangan dan juga orang tuanya setuju atas yang diusulkan oleh orang tua
pemuda itu, maka perembukan itu dinamai neundeun omong, artinya menaruh
perkataan. Antara neundeun omong sampai nyeureuhan atau melamar terjadilah
amat-mengamati selidik-menyelidik secara sebaik-baiknya, Sekiranya terdapat
kesepakatan antara kedua belah pihak, maka dilakukan pinangan. Pinangan inipun
dilakukan dengan tatacara yang khusus. Setelah dilakukan pelamaran, maka
diadakan persiapan-persiapan untuk melakukan upacara pemikahan. Setelah
tersedia keperluan itu, maka orang tua laki-laki mengirimkan kabar kepada orang
tua gadis hari dan jam yang sudah ditetapkan untuk diadakan seserahan anak laki-
laki yang akan menjadi mempelai itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka
bicarakan. Biasanya penyerahan anak laki-laki itu dikerjakan tiga hari sebelum
diadakan upacara pernikahan. Setelah anak laki-laki diserahkan, pada prinsipnya
segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan. Pada orang
Sunda, upacara pernikahannya sendiri dilakukan sederhana secara agama, tetapi
upacara nyawer dan buka pintu adalah yang paling menarik. Semua orang gembira
dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dialog yang dilakukan
dengan bahasa puisi dan lagu batih.
Keluarga batin ini terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak yang didapat dari
perkawinan atau adopsi, yang belum kawin. Adat sesudah nikah di Jawa Barat
pada prinsipnya adalah neolokal. Hubungan sosial di antara keluarga batin amat
erat. Keluarga batin merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya di
tengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan di tengah-tengah
masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga batin itu sering juga terdapat
anggota-anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki

9
atau perempuan. Dalam keadaan kekurangan perumahan, maka dalam satu rumah
tangga sering terdapat lebih dari satu dua keluarga batih. Kekurangan rumah itu
lebih terasa di kota-kota kecil maupun besar. Masalah yang timbul dari mendiami
satu rumah-tangga oleh lebih dari satu keluarga inti, adalah hubungan yang
menjadi kurang serasi dari pihak kaum wanita yang tiap hari harus bertemu dalam
dapur yang sama, tempat pengambilan air yang sama, tempat menjemur pakaian
yang sama. Ada kalanya di daerah Pasundan benruk keluarga menjadi lebih besar
karena pihak laki-laki kawin lagi dan menjalankan poligami. Maka terjadilah
keluarga poligami yang terdiri dari dua atau lebih keluarga inti dengan seorang
suami.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kehidupan keluarga batin di desa-
desa masih relatif kompak. Pekerjaan di sawah masih sering dilakukan bersama-
sama dengan pembagian kerja yang ada. Hanya keadaan yang tidak aman beberapa
tahun yang lalu menyebabkan banyak pemuda-pemuda meninggalkan daerahnya
dan mencari pekerjaan di kota-kota. Sampai sekarang belumlah ada penelitian
yang mendalam mengenai komposisi penduduk setelah keadaan aman kembali.

1.4 Kehidupan Keagamaan Orang Sunda


Dari sebagian orang Sunda adalah agama Islam tetapi di dalam kehidupan
keagamaan, orang Sunda sebagai juga pada suku-suku-bangsa lain di Indonesia,
terdapat unsur-unsur yang bukan Islam. Orang Sunda kebanyakan patuh
menjalankan kewajiban beragama, seperti melakukan salat lima waktu
menjalankan puasa sedangkan hasrat untuk menunaikan ibadah hajinya besar.
Disamping itu orang Sunda terutama dari daerah pedesaan banyak pula yang pergi
ke makam-makam suci sebagai tanda kaul atau untuk menyampaikan permohonan
dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta atau perlawatan. Kepercayaan
kepada ceritera-ceritera mitos dan ajaran-ajaran agama sering diliputi oleh
kekuatan-kekuatan gaib. Upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu
fase dalam lingkaran hidup, atau yang berhubungan dengan kaul, atau mendirikan
rumah, menanam padi, yang mengandung banyak unsur-unsur bukan Islam, masih
sering dilakukan.

10
Dalam mitologi Sunda, yakni himpunan dongeng-dongeng suci Sunda, ada
pula banyak unsur-unsur yang bukan Islam. Orang-orang petani Sunda mengenai
dongeng-dongeng yang erat bersangkut paut dengan tanaman padi, ialah cerita Nyi
Pohaci Sanghyang Sri. Bagi kita yang hidup dalam zaman modern ini, yang telah
terbiasakan untuk menggunakan logika ilmu pengetahuan, dunia mitos seolah-olah
mengingkari logika itu, tetapi ceritera-ceritera mitos itu harus kita dekati dengan
ukuran-ukurannya sendiri. Walaupun tampaknya sering tidak sistematis, akan
tetapi di belakang ceritera-ceritera mitos itu biasanya terdapat sesuatu makna yang
mempunyai nilai penting dalam alam pikiran warga sesuatu kebudayaan. Mitos di
samping agama mempunyai fungsi mengatur sikap dan sistem nilai manusia,
mempertahankan tertib sosial dalam lingkungan masyarakat yang belum banyak
menggunakan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan modern. Itulah sebabnya maka di
daerah pedesaan di samping orang taat menjalankan kewajiban agamanya, sering
pula melakukan upacara-upacara yang tidak terdapat pada agama, malahan sering
tidak dibenarkan agama Islam. Dalam alam pikiran orang petani Sunda di daerah
pedesaan, batas antara unsur Islam dan bukan Islam sudah tidak disadari lagi.
Unsur-unsur dari berbagai sumber itu sudah terintergrasikan menjadi satu dalam
sistem kepercayaannya, dan telah ditanggapi oleh orang-orang itu dengan emosi
yang sama.
Dalam bab mengenai religi ini tidak dikemukakan tentang ajaran ajaran
Islam sendiri, yang menjadi kepercayaan orang Sunda, karena uraian mengenai ini
lebih baik diberikan pada tempat yang lain, misalnya dalam uraian tentang Agama
Islam itu sendiri, sejarah dan ajarannya. Di dalam buku tentang antropologi yang
diuraikan adalah agama sebagai bagian dari kebudayaan. Kehidupan agama itu
juga tampak amat kuat pada orang Sunda, apabila kita pelajari tahap-tahap dalam
lingkaran hidupnya, dari sejak masa perkawinannya, memasuki rumah untuk
menetap, masa kelahiran, dan masa-masa proses pertumbuhannya, dari sejak turun
tanah, memotong rambut, tumbuh gigi yang pertama, sunatan, waktu sakit, dan
pada saat meninggal dunia. Sampai seribu hari sesudah seseorang meninggal
upacara agama masih mengikuti seseorang. Tidaklah mengherankan apabila nilai-

11
nilai keagamaan itu memainkan peranan yang amat besar dalam kehidupan
manusia dan masyarakat.
Dilihat dari sudut pelaksanaan dari kehidupan beragama, upacara slamatan
merupakan suatu upacara terpenting. Mengenai upacara slamatan itu terdapat
beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama aspek waktu. Bilamanakah
slamatan itu diadakan. Di Priangan biasanya dilakukan pada Kamis sore, malam
Jum'at. Kemudian mengenai orang-orang yang diundang, adalah segi yang lain. Di
desa-desa biasanya pada upacara slamatan yang diundang adalah kaum tetangga.
Undangan dilakukan secara lisan dengan mendatangi rumah yang diundang.
Biasanya anggota kerabat laki-laki dari keluarga itu yang datang. Pada umumnya
pakaian yang dikenakan adalah sarung dengan menggunakan kopiah. Slamatan
hanya dapat berlangsung kalau ada orang yang dapat menyampaikan doa.
Biasanya dipanggil seorang modin desa atau seorang guru ngaji yang dianggap
mengetahui cara menyampaikan doa. Upacara dimulai dengan mengucapkan
Alfatihah dan diakhiri lagi dengan Alfatihah pula. Isinya tergantung daripada
maksud mengadakan slamatan itu.
Hidangan slamatan di Daerah Jawa Barat biasanya berupa tumpengan, ialah
gundukan nasi seperti bentuk gunung yang diletakkan di atas baki yang yang
terbuat dari bambu atau kayu. Di daerah Pasundan berbeda dengan di Jawa, lauk
dan ikannya terdapat di dalam nasi tumpeng. Dalam slamatan orang tidak banyak
berbicara. Waktu makannya tidak lama, dan setelah selesai mereka tidak duduk
untuk beramah tamah, akan tetapi para undang-biasanya segera minta untuk
mengundurkan diri; maka selesailah upacara slamatan.

12
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ekonomi dan Sistem Kemasyaratakan


Kehidupan perekonomian di daerah Jawa Barat telah terlalu kompleks dan
mempunyai berbagai macam aspek, sehingga tidak mungkin untuk dapat
diuraikan dalam satu bab yang singkat Sekiranya antropologi sosial hendak
menyoroti kehidupan ekonomi rakyat Jawa Barat, maka ruang lingkup
penyelidikan yang paling sesuai adalah hubungan antara ekonomi dan struktur
sosial dalm masyarakat di Jawa Barat. Apabila kita hendak berbicara mengenai
struktur sosial masyarakat yang ada relevansinya dengan kehidupan ekonomi di
Jawa Barat, maka secara garis besar kita dapat menyebut tiga unit sosial yang
menjadi pusat kehidupan ekonomi, yaitu kota, desa dan daerah perkebunan.
Dilihat dari sudut kehidupan ekonomi maka kota-kota merupakan pusat-
pusat pengambilan bahan-bahan mentah dari daerah-daerah pertanian pedesaan
atau merupakan tempat-tempat transito bahan-bahan mentah untuk diteruskan
kepada kota yang lebih besar atau kota-kota pelabuhan seperti Jakarta, Cirebon,
dan Cilacap, agar selanjutnya diexport ke luar negeri. Dengan perdagangan yang
lebih intensif, kota merupakan pusat peredaran uang yang relatif cepat dan dalam
volume yang relatif besar. Kehidupan yang kompleks dari kota yang tidak hanya
mempunyai aspek ekonomi saja melainkan mempunyai aspek-aspek politik, sosial
dan kebudayaan, mempunyai interdependensi satu sama lain.
Perkebunan-perkebunan terlihat sebagai daerah-daerah dengan ciri-ciri khas
di tengah-tengah daerah pertanian rakyat pedesan. Tanah yang subur dan iklim
yang baik menjadikan Jawa Barat salah satu daerah perkebunan yang terpenting di
Indonesia terutama daerah Priangan dan Bogor mampunyai daerah-daerah
perkebunan-perkebunan yang besar-besar. Jenis perkebunan yang diusahakan di
Jawa Barat terutama adalah perkebunan teh, karet, kina, tebu, dan kelapa sawit.
Dari luas Jawa Barat yang sebesar lebih dari 4.500.000 hektar, lebih dari 500.000

13
hektar merupakan tanah perkebunan, sedangkan selebihnya adalah tanah sawah
dan tanah hutan. Perkebunan-perkebunan di ladang.
Unit ekonomi yang ketiga dan yang terbesar adalah ekonomi pertanian
pedesan, pada umumnya pertanian rakyat pedesan masih bersifat tradisionel Di
Jawa Barat ada dua macam penggarapan tanah pertanian pedesaan, yaitu: (1)
bercocok tanam di sawah, dan (2) bercocok tanam di sawah harus diperhatikan
bahwa ada sawah-sawah yang mendapat air dari sistem irigasi yang dibangun dan
diatur manusia, tetapi ada juga sawah-sawah yang mendapat aimya dari hujan
saja, sehingga tergantung kepada alam. Sawah-sawah semacam ini disebut sawah
tadah huian, walaupun di berbagai daerah di Priangan ada sebutan-sebutan lain
juga. Sebelum hujan turun, sawah tadah hujan- ditanami dengan palawija, seperti
ubi jalar, bawang merah, kacang tanah, kacang kedele dan sebagainya.
Sawah-sawah yang mendapat air dari sistem irigasi, segera sesudah padi
dituai, dicangkul atau dibajak. Apabila sawah selesai dibajak, ada pula yang
dipakai untuk memelihara ikan. Dalam waktu yang pendek, ikan itu diambil
kembali dan dipindankan ke dalam kolam atau belong. Kemudian sawah ditanami
dengan bibit yang sudah disediakan. Apabila padi di sawah sudah menguning,
maka seminggu sebelum waktu memotong padi tiba, si pemilik sawah
mengundang seorang dukun candoli atau wali puhun dan beberapa orang tetangga.
Gunanya untuk memberi tahukan kepada khalayak ramai bahwa si pemilik sawah
bermaksud memotong padinya. Tugas candoli adalah menetapkan waktu
pemotongan padi. Perhitungan waktu yang baik- untuk melakukan pemotongan
padi didasarkan atas hari pasaran seperti Kliwon, Manis, Pon dan Wage. Setelah
waktu yang ditetapkan untuk memotong padi tiba, dan setelah syarat-syarat yang
dibutuhkan seperti sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos atau kukus yang
berkaki sebuah nasi tumpeng yang lengkap sudah tersedia, maka kemudian
candoli mengucapkan mantera, disusul dengan menyemburkan air sirih ke empat
penjuru angin, lalu candoli memotong dan mengetam padi dengan upacara.
Bercocok tanam di ladang masih dilakukan di Jawa Barat bagian barat daya,
seperti di desa Lamajang misalnya, di mana berladang di tanah kehutanan

14
dilakukan pada waktu tertentu. Hal ini didasarkan pada peraturan-peraturan dari
Depanemen Kehutanan. Rakyat setempat.
Tidak boleh sekehendak hati bercocok tanam pada tanah milik kehutanan.
Prosedurnya biasanya adalah sebagai berikut. Apabila dalam penyelidikan oleh
pihak Jawatan Kehutanan diketahui bahwa ada sebagian hutan sudah cukup
ditebang, maka pihak Jawatan Kehutanan menghubungi pamong Desa setempat,
untuk memberi tahukan bahwa sebagian kecil hutan di sekitar Lamajang itu akan
dibuka. Kemudian pamong desa membentuk panitia yang bertugas mendaftarkan
orang-orang yang bermaksud akan bercocok tanam di tanah kehutanan. Panitia
juga memberikan penerangan-penerangan tentang aturan-aturan atau cara-cara
penebangan dan cara-cara penanaman kembali hutan itu. Dalam ladang tersebut
para petani menanam padi, jagung, tembakau, kentang, bawang merah, bawang
putih. Tidak semua ladang terletak di tanah kehutanan, dan caranya tidak selalu
tertib. Pembukaan ladang-ladang dalam hutan secara liar masih terjadi, dan
kadang-kadang menimbulkan kebakaran yang besar dalam musim-musim
kemarau.
Pekerjaan di ladang hampir sama di mana-mana, yaitu: membersihkan
belukar, menebang pohon-pohon, membakar dahan-dahan dan batang-batang yang
telah ditebang, memagari ladang, membangun gubuk ladang, menanam, menuai,
mengikat padi, dan mengangkut padi ke lumbung. Dalam hal mempelajari
ekonomi pertanian di desa, di mana sektor bercocok tanam secara lama masih
tetap memegang suatu peranan yang utama, di samping sektor perikanan dan
peternakan, harus diperhatikan bahwa para petani itu masih mempunyai suatu
hubungan batin yang erat dengan tanah dan sawahnya. Demikian hak milik atas
tanah masih merupakan salah satu dari unsur-unsur yang penting dalam hal
menentukan kedudukan manusia dalam masyarakat desa.
Di Jawa Barat hak milik perseorangan atas tanah (balong) telah ada sejak
dahulu kala. Waktu pemerintah kolonial Belanda mengadakan survey mengenai
pola-pola hak milik tanah di Jawa dan Madura 100 tahun yang lalu, ialah tahun
1869, maka terbukti bahwa di sebagian besar dari desa-desa di Jawa Barat tanah
yang merupakan hak milik perseorangan itu adalah jauh lebih luas daripada tanah

15
yang merupakan milik komunal dari desa, sedangkan di sebagian. besar dari desa-
desa di Jawa Tengah keadaan pada waktu itu adalah justru sebaliknya.
Walaupun demikian. dihampir semua desa di Jawa Barat sampai sekarang
masih ada juga tanah milik komunal. Tanah serupa itu, yang disebut tanah titisara,
(atau kanomeran di Ciamis, kacahcahan di Majalengka, dan kasikepan di
Cirebon), dulu dibagikan atas keputusan kepala desa kepada orang-orang desa
Penduduk tetap yang telah be-jasa bagi kepentingan umum. Orang-orang serupa
itu disebut sikep (atau nomer, atau cacah), dan berhak memakai tanah desa, serta
menggarapnya sebagai milik sendiri. Mereka dapat membagi hasilkan tanah itu
dengan orang lain, dapat menyewakannya, bahkan dapat menggadaikan tanah itu,
tetapi tidak boleh menjualnya. Sekarang hak memakai tanah atas titisara sering
sudah menjadi turun menurun, sehingga perbedaan antara hak itu dengan hak
milik perseorangan sering sudah sukar ditentukan.
Di samping hak memakai tanah milik komunal bagi para sikep, di Jawa
Barat ada juga hak makai tanah komunal bagi para pamong desa. Secara adat telah
ditetapkan bahwa kepala desa dan pamong desa lain-lain berhak memakai tanah
yang khusus disediakan untuk keperluan itu, sebagai balas jasa bagi jerih
payahnya untuk mengurus dan mengatur masyarakat desa. Tanah itu biasanya
disebut tanah bengkok atau tanah kalungguhan di Ciamis, tanah kajaroan di
Banten, dan tanah carik di Priangan Timur.
Akhimya masih ada lagi tanah komunal yang dikhususkan lagi bagi Kuncen
(penjaga makam kramat), ialah tanah yang disebut tanah awisan, seperti apa yang
ada di desa Lamajah, sebuah desa kecil yang terletak kira-kira 32 Km sebelah
selatan Bandung.
Dilihat dari sudut orang yang mengerjakan sawah, dapat dibedakan antara
mereka yang memiliki sawah itu sendiri yang cukup luas, mereka yang hanya
memiliki tanah beberapa petak saja dan hasilnya cukup untuk dimakan sendiri,
mereka yang tinggal di tanah orang dan mengerjakan sawah itu, serta buruh tani,
yaitu mereka" yang tidak mempunyai sawah atau tegalan, dan mengerjakannya
untuk orang lain dengan membagi hasilnya nanti.

16
Dalam rangka memperbaiki kehidupan orang tani di desa, Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria, yang mengatur secara prinsipel tentang status tanah di seluruh
Indonesia. Hal itu antara lain mengenai pengertian tentang bumi, air dan ruang
angkasa, mengenai hak Negara atas tanah, mengenai hak warganegara atas tanah,
mengenai fungsi sosial dari semua hal atas tanah, mengenai ketentuan-ketentuan
yang mengatur secara pokok tentang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangun,
hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan. Proses
pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria itu tidak selalu berjalan dengan
lancer oleh karena faktor-faktor politik, sosiologi, antropologi, dan faktor
ekonomi. Dengan sendirinya hukum adat atas tanah mengalami perubahan-
perubahan yang memberikan effek lebih lanjut kepada struktur sosial dan
ekonomi pedesaan. Perubahan-perubahan dalam bidang hukum adat, struktur
sosial desa, perekonomian desa, merupakan bagian dari proses modernisasi dan
pembangunan yang sekarang sedang terjadi dalam seluruh bidang kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia

2.2 Pembangunan di Jawa Barat


Terutama sejak bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya, terjadi
perubahan-perubahan sosial yang besar dalam masyarakat Sunda. Timbulnya
partai-partai politik sampai ke desa-desa menimbulkan pengelompokan-
pengelompokan baru berdasarkan ideologi-ideologi modern, yang mendorong
sistem-sistem pengelompokan lama yang berdasarkan ikatan kekerabatan atau
keagamaan. Di samping itu kemajuan dalam bidang pendidikan berjalan sangat
cepat Jika pada permulaan masa kemerdekaan di daerah Jawa Barat terdapat
358.000 murid sekolah dasar, maka pada tahun 1965 terdapat 2.306.164 murid
sekolah dasar, yang berarti kenaikan kurang lebih 544 persen. Apabila sebelum
perang Dunia ke-II sebuah Perguruan Tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Teknik, hanya
terdapat di Bandung saja, maka sekarang ini distiap ibukota kabupaten ada sebuah
universitas, atau fakultas-fakultas tertentu atau cabang-cabang dari universitas.
Malahan di sebuah ibukota kecamatan sekarang ini terdapat sekolah tinggi. Betapa

17
besar pengaruh daripada pendidikan itu pada mobilitas sosial, vertikal dan
horizontal pada masyarakat Sunda berlaku demokrasi politik dapat kita fahami.
Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan yang telah memiliki pendidikan
akademis maupun semi-akademis melalui jenjang kepegawaian sipil maupun
militer telah menduduki tempat-tempat yang penting. Di samping itu alat-alat
telekomunikasi, alat-alat transport dan alat-alat penyiaran yang lain menyebabkan
adanya mobilitas dalam masyarakat yang tinggi, sosial dan spirituil.
Di daiam mempelajari manusia dan kebudayaan Sunda itu amat pentinglah
melihatnya pada latar belakang perubahan sosial yang sedang berlaku itu, agar
kita mendapatkan pengetahuan yang lebih realistis lagi. Dalam pada itu selalu ada
unsur-unsur kebudayaan yang amat lambat mengalami perubahan seperti pranata-
pranata kekerabatan, pranata-pranata kepercayaan, pranata-pranata adat, seperti
perkawinan, hak waris dan beberapa aspek dari kehidupan pertanian rakyat
pedesaan. Di samping itu walau-pun telah terjadi banyak perubahan oleh karena
pengaruh modernisasi dalam bidang politik, ekonomi, administrasi, pendidikan,
pertahanan, dan dalam bidang komunikasi masa, akan tetapi dapat kita katakan,
bahwa kehidupan keagamaan orang Sunda amat kuat.
Abad ke-20 sekarang ini adalah suatu abad di mana segala usaha dan karya
pembangunan yang besar didasarkan atas suatu perencanaan dengan
menggunakan hasil-hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun
perencanaan yang mendasari usaha-usaha dan karya pembangunan itu merupakan
suatu perencanaan yang integral, yang memperhatikan segala aspek kehidupan
masyarakat. Perencanaan yang integral itu berdiri atas satu pikiran bahwa ada
interdependensi yang fungsionel antara bidang-bidang kehidupan satu dengan
lainnya.
Sejak 1 April 1969, Pemerintah telah mengumumkan permulaan daripada
pelaksanaan Rencana Pambangunan lima Tahun. Adapun pembangunan lima
tahun itu diperinci menurut bidang-bidang dan menurut Daerah REPELITA tahun
pertama meliputi tiga. bidang besar, yaitu : Bidang Ekonomi, Bidang Sosial, dan
Bidang Umum, Tiap-tiap bidang itu dibagi dalam sektor-sektor yang jumlah
semuanya ada 16 buah. Sektor-sektor dipecah lagi dalam sub-sub sektor,

18
seluruhnya ada 24 sub-sektor, dan akhiinya sub-sub-sektor ini dibagi dalam
program-program. Sebagai contoh : Bidang Sosial, Sektor Pendidikan dan
Kebudayaan, Sub-sektor Pendidikan dan Penelitian Institusionel mempunyai
Program Penelitian dan Survey. Dalam pelaksanaan yang sesungguhnya, tiap-tiap
program itu terpecah dalam proyek-proyek yang sudah bersifat operasionel.
Suatu program pembangunan dalam rangka REPELITA bagi Daerah Jawa
Barat pada khususnya, yang harus mendapat perhatian kita dalam bab ini adalah
pembangunan masyarakat desa. Membangun masyarakat desa dewasa ini tidak
pula dapat dihindarkan dari pendekatan yang ilmiah sekiranya kita berhasil baik.
Adapun masalah Pembangunan Masyarakat Desa atau Community Development
itu, telah dipelajari dan dilaksanakan di berbagai negeri di Asia, Afrika dan
Amerika Latin, terutama sesudah Perang Dunia ke-II. Dalam sebuah Report of the
Ashridge Conference on Social Development yang diadakan di antara tanggal 3
sampai tanggal 12 Agustus 1954, dikemukakan bahwa Community Development
itu : "Sesuatu gerakan yang mempunyai maksud untuk memajukan kehidupan
yang lebih layak bagi keseluruhan masyarakat dengan partisipasi aktif, dan jika
mungkin atas inisiatif masyarakat itu sendiri, tetapi jika inisiatif masyarakat itu
tidak muncul secara spontan, maka inisiatif itu harus ditimbulkan dengan
menggunakan teknik-teknik yang dapat menggugah dan mendorong masyarakat
untuk dengan bersemangat bekerja guna kepentingan gerakan tersebut.

19
BAB III
PENUTUP

Suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan


bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta
bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah
Pasundan atau Tatar Sunda. Secara kulturel daerah Pasundan itu di sebelah Timur
dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy yang merupakan perbatasan bahasa.
Akan tetapi di luar Jawa Barat terdapat pula kampung-kampung yang menggunakan
bahasa Sunda, seperti di kabupaten Brebes, Tegal dan Banyumas di Jawa Tengah dan di
daerah transmigrasi di daerah Lampung Sumatra Selatan.
Sebagai suatu kesatuan administartif suatu desa mempunyai suatu sistem
pemerintahan desa, yang mengurus rurnah tangga desa. Di seluruh Jawa Barat sistem
pemerintahan desa itu pada garis besarnya sama, hanya dalam hal sebutan bagi pejabat-
peiabatnya terdapat beberapa perbedaan. Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi
oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama
Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda maka susah kiranya untuk memisahkan
mana adat dan mana agama dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat
kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda.
Di daiam mempelajari manusia dan kebudayaan Sunda itu amat pentinglah
melihatnya pada latar belakang perubahan sosial yang sedang berlaku itu, agar kita
mendapatkan pengetahuan yang lebih realistis lagi. Dalam pada itu selalu ada unsur-
unsur kebudayaan yang amat lambat mengalami perubahan seperti pranata-pranata
kekerabatan, pranata-pranata kepercayaan, pranata-pranata adat, seperti perkawinan,
hak waris dan beberapa aspek dari kehidupan pertanian rakyat pedesaan. Di samping
itu walau-pun telah terjadi banyak perubahan oleh karena pengaruh modernisasi dalam
bidang politik, ekonomi, administrasi, pendidikan, pertahanan, dan dalam bidang
komunikasi masa, akan tetapi dapat kita katakan, bahwa kehidupan keagamaan orang
Sunda amat kuat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Atmamiharja, 1958 “Sejarah Sunda” Jilid I, Ganaco


BAKOPDA, 1965, “Sejarah Perkembangan Pembangunan Daerah Jawa Barat”.
Bandung.
Djajadiningrat, P.A. Hoesein. 1933.”Mengkritisi Sejarah Banten”. Dros Leiden.
Jawatan Penerangan RI.1933. “Propinsi Jawa Barat”. Bandung.
Haji Hasan Mustapa. 1913.”Adat-adat Urang Priangan jeung Urang Sunda” Betawi.

21

Anda mungkin juga menyukai