Anda di halaman 1dari 5

Nama : TRI YULIANTIa

Nim : 04401244012/ NR

Pemikiran dasar Negara dari Soepomo, Soekarno, Bung Hatta

Aliran Integralistik dan Demokratis bersaing dalam proses perumusan UUD


1945. Debat seru pun terjadi dalam menentukan bentuk pemerintahan. (photo:
Soepomo, Bung Karno dan Hatta, Sidang BPUPKI tahun 1945)

Mereka pernah mondok dalam satu kamar ketika kuliah di Universitas Leiden,
Belanda, pada 1929. Soepomo dan Mohammad Hatta, dua di antara para tokoh
pendiri Republik Indonesia itu, memang bersahabat karib. Soepomo, kelahiran
Surakarta, 22 Januari 1903, mengambil studi hukum. Sedangkan Hatta yang
setahun lebih tua, lahir di Bukittinggi, memilih belajar ekonomi. Soepomo
luwes melenggokkan tarian Gambir Anom. Sementara Hatta aktif menceritakan
cita-cita kemerdekaan di luar negeri.

Soepomo dan Hatta sama-sama pendiam. Tapi bila diperlukan bicara, keduanya
akan tampil dengan uraian dan konsep yang gamblang dan keras. Tak peduli
dengan bekas teman sekamar sekalipun. Begitulah yang terjadi, saat mereka
bertemu kembali pada 1945 di Badan Persiapan Usaha Panitia Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Mereka mempunyai pandangan yang berbeda. Debat panjang
mengenai konsep dasar UUD bagi negara yang hendak diproklamasikan bergulir.
Soepomo menginginkan negara yang berdasarkan kekeluargaan. Integralistik,
begitu dia memberi istilah. Sedangkan Mohammad Hatta berpandangan perlunya
diperhatikan hak-hak warga negara dan tanggungjawab menteri kepada DPR.

Rapat BPUPKI sendiri berlangsung dua tahap. Sidang pertama digelar tanggal
29 Mei - 1 Juni 1945. Setelah reses sebulan lebih, rapat ke dua berlangsung
tanggal 10-17 Juli 1945. Soepomo berpidato pada tanggal 31 Mei 1945.
Cendekiawan yang menggondol gelar doktor dari Universitas Leiden pada usia
24 tahun itu membuka pidatonya dengan membeberkan berbagai teori negara.
Dengan lincah, ia menjelaskan teori Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau,
Herbert Spencer, dan Laski. Mereka adalah penganut teori individualistis.
Menurut teori ini, negara adalah hasil kontrak sosial, atau perjanjian
individu. Maka, negara pun harus melindungi hak-hak warga negara. Ia juga
menyinggung teori kelas yang diajarkan oleh Karl Marx, Engels, dan Lenin. Di
matanya, negara tak ubahnya sebagai alat penindas golongan ekonomi yang kuat
terhadap golongan yang lemah.

Tapi yang menjadi titik perhatian Soepomo adalah teori integralistik yang
dipelopori oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel. Menurut penganut teori ini,
negara tidak untuk melindungi kepentingan golongan dan tidak juga untuk
menjamin kepentingan perseorangan. Tapi, negara menjamin kepentingan
masyarakat seluruhnya. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran
integral, kata Soepomo, ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Bagi Soepomo,
aliran ini sesuai dengan alam pikiran ketimuran dan cocok dengan corak
masyarakat Indonesia.

Untuk meyakinkan para anggota BPUPKI, Soepomo menyebut idiom manunggaling


kawulo dan gusti, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin. Idiom
Jawa itu bisa pula bermakna persatuan antara rakyat dan pemimpin dan
persatuan antara golongan. Ia juga memberi contoh negara Jepang yang saat
itu berdasar kekeluargaan. Jadi, "Dasar persatuan dan kekeluargaan ini
sangat sesuai pula dengan corak masyarakat Indonesia," jelas Soepomo.
Pemikiran ini sedikit banyak berimpitan dengan pandangan Soekarno yang
menggulirkan dasar negara Pancasila. Gotong royong, begitu inti Pancasila
menurut Soekarno. Tak heran, bila Soekarno mendukung konsep Soepomo.

Berdasarkan teori integralisitik yang digandrunginya, Soepomo lebih condong


mengusulkan bentuk negara kesatuan dibanding federasi. Menurut Soepomo,
bentuk federasi berarti mendirikan banyak negara. Sedangkan yang diinginkan,
satu negara. "Dengan sendirinya negara secara federasi, kita tolak,"
ujarnya. Soepomo tidak menyarankan secara gamblang mengenai bentuk
pemerintah, kerajaan, atau republik. Bagi Soepomo, yang penting presiden
atau raja harus menjadi pemimpin sejati dan bersifat bak Ratu Adil. Ia harus
melindungi dan bersatu dengan rakyat. Selain itu, ia tidak setuju pemungutan
suara voting untuk memilih pemimpin nasional. Karena, kata Soepomo, itu
berarti menyamakan manusia satu sama lain dengan angka-angka yang nilainya
sama.

Lain halnya dengan Mohammad Hatta. Ia lebih condong pada semangat revolusi
Prancis dan Deklarasi Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat. Keduanya,
mengutamakan penghargaan terhadap hak-hak warga negara dan lebih dekat
dengan teori individualistik. Pemikiran Hatta ini banyak didukung oleh orang
semacam Muh. Yamin. Dalam hal bentuk negara, Hatta menghendaki federasi. Ia
juga lebih suka bentuk pemerintahan republik. Tapi, dalam soal bentuk negera
federasi, Hatta tidak menonjolkan pandangannya. Hatta, menurut Deliar Noer,
yang menulis biografi politik Mohammad Hatta (1991), lebih banyak berserah
pada pendapat terbanyak.

Rupanya debat mengenai bentuk pemerintahan cukup alot. Mungkin karena itu
Soepomo bersama Soewandi, Singgih, Hoesein Djajadiningrat, Sutardjo
Kartohadikusumo, Soemitro Kolopaking, dan Achmad Subardjo perlu mencari
terobosan. Mereka melayangkan surat kepada Gunseikanbu (Penguasa Militer
Jepang) saat BPUPKI reses. Isinya, mengusulkan agar pihak Jepang menggunakan
kewenangannya untuk menentukan bentuk pemerintah kerajaan yang
berundang-undang dasar (monarki konstitusional) bagi Indonesia.

Entahlah apa jawaban Gunseikanbu. Yang jelas, polemik mengenai bentuk negara
kian memanas pada sidang BPUPKI ke dua. Jalan musyawarah tak bisa ditempuh.
"Kalau tidak ada anggota lagi yang mau berbicara, perasaan saya, kita
sekarang harus mengadakan pemilihan," kata Radjiman Wediodiningrat, Ketua
BPUPKI yang memimpin rapat. Akhirnya disepakati voting. Sebanyak 55 suara
memilih republik, 6 suara memilih kerajaan. Sisanya blangko. "Jadi putusan
Panitia itu republik?" tanya Soekarno. "Sudah terang republik yang dipilih
dengan suara terbanyak," tegas Radjiman.

Langkah BPUPKI selanjutnya, membentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar.


Panitia ini terdiri dari 19 orang yang diketuai oleh Soekarno. Selain itu
dibentuk pula panitia yang khusus membahas masalah keuangan dan ekonomi yang
diketuai oleh Hatta, dan ihwal pembelaan tanah air yang dipimpin Abikusno
Tjokrosujoso. Untuk membuat inti rancangan UUD, Soekarno membentuk lagi
Panitia Kecil, terdiri dari 9 orang, yang diketuai oleh Soepomo. Jadi
Soepomo-lah yang menjadi arsitek utama dalam merancang UUD 1945.

Silang pendapat kembali seru ketika Rancangan UUD dibawa dalam sidang pleno
BPUPKI tanggal 14-16 Juli 1945. Debat terjadi antara kalangan Islam dan
non-Islam mengenai kata-kata "kewajiban umat Islam untuk menjalankan
kewajiban agamanya". Di mata kelompok non-Islam, hal itu dianggap terlalu
menomor- satukan umat Islam. Walaupun akhirnya pada pengesahan UUD oleh PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 kata-kata itu dihapus, kala itu Soekarno masih bisa
membujuk kalangan non-Islam.

Polemik yang tak kalah sengitnya berkait dengan hak-hak asasi manusia dalam
Rancangan UUD tersebut. Seperti yang dituturkan Deliar Noer, pada umumnya
anggota, terutama Soepomo dan Soekarno, tidak setuju hak-hak warga negara
ditonjolkan. Alasan mereka, hak-hak tersebut tumbuh bersamaan merebaknya
individualisme di Barat seusai Revolusi Prancis. Hatta punya pikiran lain.
Ia secara tegas menentang individualisme. Tetapi, hak-hak manusia yang
penting-penting, kata Hatta, perlu dicantumkan dalam undang-undang dasar.
"Kalau hak-hak rakyat untuk mengeluarkan suara tidak dijamin, mungkin akan
terjadi disiplin buta, asal ikut pemimpin saja," begitu alasan Hatta.

Konkretnya, Hatta mengusulkan agar hak-hak rakyat itu dicantumkan. Bunyi


usulan Hatta : "Hak rakyat menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak
bersidang dan berkumpul, diakui oleh negara dan ditentukan dengan
undang-undang." Selain dia, Muh. Yamin juga cukup gigih memperjuangkan
masuknya hak- hak tersebut. Setidaknya, seperti tercermin dari penuturan
Yamin sendiri dalam bukunya, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar jilid I.
Kalau sekarang soal itu diatur dalam pasal 28 UUD 1945, tulis Deliar Noer,
seharusnya dilihat dalam rangka pikiran yang dikemukakan Hatta (dan Yamin)
ini.

Soal hubungan antara lembaga tinggi negara juga menjadi sorotan. Dalam
rancangan yang dibuat Supoemo dan kawan-kawan, tidak ada kontrol DPR
terhadap eksekutif. Hatta mengusulkan agar para menteri bertanggungjawab
kepada DPR. Alasan Hatta, agar menteri betul-betul memegang departemen.
Mereka sebagai pemimpin rakyat, jangan jadi pegawai saja. Tapi usulan Hatta
ini ditolak rapat pleno. Jadinya, ya seperti UUD 1945 yang sekarang berlaku,
DPR tidak bisa langsung mengontrol eksekutif.

Apakah UUD 1945 mengandung sepenuhnya aliran integralistik? "Tidak," jawab


Sri Sumantri. Menurut Profesor Hukum Tata Negara itu, dimasukkannya hak
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, seperti yang tercantum
dalam pasal 28, menunjukkan adanya kompromi antara pandangan
Soepomo-Soekarno dan Hatta Yamin.

Adanya pasal 27 (persamaan warga negara di depan hukum dan hak mendapatkan
penghidupan), pasal 29 (kebebasan beragama), dan pasal 31 (hak mendapat
pendidikan), dan pasal 34 (hak fakir- miskin dan anak-anak terlantar),
membuktikan hak-hak warga negara cukup diperhatikan. Tak heran, bila menurut
Deliar Noer istilah integralistik itu hanya ada dalam perdebatan. Tidak
tercantum dalam UUD 1945, tidak juga dalam penjelasannya. Malah, "Menurut
saya pendapat Hatta-Yamin lebih diterima," kata Deliar.

Memang, tak gampang menafsirkan alur pemikiran mana yang lebih dominan dalam
UUD 1945, integralistik atau demokrasi. "Kenyataannya kedua alur itu ada dan
saling berkompetisi terus," ujar Adnan Buyung Natusion yang menulis
disertasi berjudul "The Aspiration for Constitutional Government in
Indonesia". Nyatanya pula, perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya
berkelok-kelok di antara dua sisi itu. Ada kalanya, sisi integralistiknya
menonjol. Ada pula dalam suatu kurun tertentu, sisi demokrasinya yang
menampak.

Ketika masa demokrasi Terpimpin, menurut Yusril Izha dari FH UI, orang
cenderung menafsirkan UUD 1945 berdasar pidato Soekarno 1 Juni 1945.
Sekarang orang suka memakai Soepomo. "Nanti, pikiran siapa lagi yang
ditonjolkan?" kata Ketua Jurusan Hukum Tata Negara itu. Di mata Yusril, hal
itu tidak adil. "UUD 1945 harus dilihat sebagai kompromi antara berbagai
pemikiran," tegasnya.

Bagi Adnan Buyung, apa pun yang terkandung dalam UUD 1945, bangsa Indonesia
harus menerimanya dengan lapang dada. Kalau menginginkan perspektif
demokrasi lebih menonjol dalam kehidupan bernegara, menurut Buyung, bisa
dikembangkan setapak demi setapak. Misalnya saja, diadakan sedikit perubahan
lewat amandemen. Jadi, kata Buyung, tidak perlu UUD 1945 diganti. Tapi,
"Penyempurnaan secara bertahap agar lebih demokratis dan sesuai
perkembangan," ujarnya.

Tapi pendapat Buyung itu juga mendapat kecaman keras dari banyak kalangan.
Alasannya, UUD 45 sendiri mempunyai latar belakang historis yang kuat,
sehingga tak perlu diubah, termasuk ditambah dengan pasal-pasal lain.
Sedangkan dari segi Hukum Tata Negara juga sudah memadai. Kalau mau
perbaikan, diharapkan dari pelaksanaannya saja.

Sudarsono, Hanibal WYW, Irawati, dan Munawar Chalil

Anda mungkin juga menyukai