Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu kesehatan sangatlah fleksibel dengan mengikuti perkembangan zaman. Hal itu dapat
dilihat dengan perkembangan penyakit dan cara mengatasinya. Penyakit sangatlah berbahaya
bagi tubuh manusia, apalagi yang dapat mengganggu jiwa manusia. Karena itu ketika penyakit
dapat membahayakan maka secepat mungkin harus dicari cara mengatasinya atau pengobatan
terhadap penyakit yang diderita, demikian pula penyakit struma yang menyebabkan
pembengkakan pada leher.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) mencatat sekitar 20 persen pasien
endokrin menderita gangguan fungsi tiroid. Gangguan tiroid menempati urutan kedua daftar
penyakit endokrin setelah diabetes.
Tingginya jumlah penderita gangguan hormon yang mengatur metabolisme tubuh
disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat akan gejala dan kelainan tiroid. Gangguan fungsi
tiroid ada dua yaitu kekurangan hormon tiroid (hipotiroid) dan kelebihan (hipertiroid). Gejala
umum dari keduanya secara umum adalah pembesaran kelenjarnya atau dikenal gondok atau
struma. Kelainan hipotiroid pada perempuan risikonya lebih besar dibandingkan dengan pria.
Diperkirakan sekitar 2,5 persen ibu hamil mengalami gangguan hormon tersebut.
Maka dari itu pada kesempatan ini penulis akan memaparkan sebuah makalah mengenai
struma nodosa serta hal-hal yang menyangkut penyakit ini.






BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid
terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,
esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak,
jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
2.2. Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki dua bagian
lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk lonjong berukuran panjang
2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting
untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh.
Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan
hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom
yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang
tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang kemudian menyebabkan sel-sel tiroid
mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar
tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi
peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat
sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses
peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh
suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).
Kelenjar tiroid mulanya merupakan dua buah tonjolan dari dinding depan bagian tengah
faring yang terbentuk pada usia kelahiran 4 minggu. Tonjolan pertama disebut pharyngeal pouch,
yaitu antara arcus brachialis 1 dan 2. Tonjolan kedua pada foramen ceacum, yang berada ventral
di bawah cabang farings I. Pada minggu ke-7, tonjolan dari foramen caecum akan menuju
pharyngeal pouch melalui saluran yang disebut ductus thyroglossus. Kelenjar tiroid akan
mencapai kematangan pada akhir bulan ke-3, dan ductus thyroglossus akan menghilang. Posisi
akhir kelenjar tiroid terletak di depan vertebra cervicalis 5, 6, dan 7. Namun pada kelainan klinis,
sisa kelenjar tiroid ini juga masih sering ditemukan di pangkal lidah (ductus thyroglossus/lingua
thyroid) dan pada bagian leher yang lain.
a. Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:
1) Arteri thyroidea superior (arteri utama)
2) Arteri thyroidea inferior (arteri utama)
3) Terkadang masih pula terdapat arteri thyroidea ima, cabang langsung dari aorta
atau arteri anonyma.
b. Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:
1) Vena thyroidea superior (bermuara di Vena jugularis interna)
2) Vena thyroidea medialis (bermuara di Vena jugularis interna)
3) Vena thyroidea inferior (bermuara di Vena anonyma kiri)
c. Aliran limfe terdiri dari 2 jalinan:
1) Jalinan kelenjar getah bening intraglandularis
2) Jalinan kelenjar getah bening extraglandularis
Kedua jalinan ini akan mengeluarkan isinya ke limfonoduli pretracheal lalu
menuju ke kelenjar limfe yang dalam sekitar vena jugularis. Dari sekitar vena
jugularis ini diteruskan ke limfonoduli mediastinum superior.
d. Persarafan kelenjar tiroid:
1) Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2) Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang
N.vagus)
N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita
suara terganggu (stridor/serak).
e. Vaskularisasi
Kelenjar tiroid disuplai oleh arteri tiroid superior, inferior, dan terkadang juga
arteri tiroidea ima dari arteri brachiocephalica atau cabang aorta. Arterinya banyak
dan cabangnya beranastomose pada permukaan dan dalam kelenjar, baik ipsilateral
maupun kontralateral.
Tiroid superior menembus fascia tiroid dan kemudian bercabang menjadi cabang anterior dan
posterior. Cabang anterior mensuplai permukaan anterior kelenjar dan cabang posterior
mensuplai permukaan lateral dan medial. tiroid inferior mensuplai basis kelenjar dan bercabang
ke superior (ascenden) dan inferior yang mensuplai permukaan inferior dan posterior
kelenjar.Sistem
2.3. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor
penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain:
a. Defisiensi iodium. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di
daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya
daerah pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak,
kacang kedelai).
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya: thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium).

2.4. Fisiologi
Hormon tiroid dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid memiliki dua buah
lobus, dihubungkan oleh isthmus, terletak di kartilago krokoidea di leher pada cincin
trakea ke dua dan tiga. Kelenjar tiroid berfungsi untuk pertumbuhan dan mempercepat
metabolisme. Kelenjar tiroid menghasilkan dua hormon yang penting yaitu tiroksin (T4)
dan triiodotironin (T3). Karakteristik triioditironin adalah berjumlah lebih sedikit dalam
serum karena reseptornya lebih sedikit dalam protein pengikat plasma di serum tetapi ia
lebih kuat karena memiliki banyak resptor pada jaringan. Tiroksin memiliki banyak
reseptor pada protein pengikat plasma di serum yang mengakibatkan banyaknya jumlah
hormon ini di serum, tetapi ia kurang kuat berikatan pada jaringan karena jumlah
reseptornya sedikit.
a. Proses pembentukan hormon tiroid adalah:
1) Proses penjeratan ion iodida dengan mekanisme pompa iodida. Pompa ini dapat
memekatkan iodida kira-kira 30 kali konsentrasinya di dalam darah.
2) Proses pembentukan tiroglobulin. Tiroglobulin adalah glikoprotein besar yang
nantinya akan mensekresi hormon tiroid
3) Proses pengoksidasian ion iodida menjadi iodium. Proses ini dibantu oleh enzim
peroksidase dan hidrogen peroksidase.
4) Proses iodinasi asam amino tirosin. Pada proses ini iodium (I) akan menggantikan
hidrogen (H) pada cincin benzena tirosin. Hal ini dapat terjadi karena afinitas
iodium terhadap oksigen (O) pada cincin benzena lebih besar daripada hidrogen.
Proses ini dibantu oleh enzim iodinase agar lebih cepat.
5) Proses organifikasi tiroid. Pada proses ini tirosin yang sudah teriodinasi (jika
teriodinasi oleh satu unsur I dinamakan monoiodotirosin dan jika dua unsur I
menjadi diiodotirosin)
6) Proses coupling (penggandengan tirosin yang sudah teriodinasi). Jika
monoiodotirosin bergabung dengan diiodotirosin maka akan menjadi
triiodotironin. Jika dua diiodotirosin bergabung akan menjadi tetraiodotironin atau
yang lebih sering disebut tiroksin. Hormon tiroid tidak larut dalam air jadi untuk
diedarkan dalam darah harus dibungkus oleh senyawa lain, dalam hal ini
tiroglobulin. Tiroglobulin ini juga sering disebut protein pengikat plasma. Ikatan
protein pengikat plasma dengan hormon tiroid terutama tiroksin sangat kuat jadi
tiroksin lama keluar dari protein ini. Sedangkan triiodotironin lebih mudah dilepas
karena ikatannya lebih lemah. (Guyton. 1997)
b. Efek Hormon Tiroid
1) Efek hormon tiroid dalam meningkatkan sintesis protein adalah : Meningkatkan
jumlah dan aktivitas mitokondria serta meningkatkan kecepatan pembentukan
ATP
2) Efek tiroid dalam transpor aktif : meningkatkan aktifitas enzim NaK-ATPase
yang akan menaikkan kecepatan transpor aktif dan tiroid dapat mempermudah ion
kalium masuk membran sel.
3) Efek pada metabolisme karbohidrat : menaikkan aktivitas seluruh enzim,
4) Efek pada metabolisme lemak: mempercepat proses oksidasi dari asam lemak.
Pada plasma dan lemak hati hormon tiroid menurunkan kolesterol, fosfolipid, dan
trigliserid dan menaikkan asam lemak bebas.
5) Efek tiroid pada metabolisme vitamin: menaikkan kebutuhan tubuh akan vitamin
karena vitamin bekerja sebagai koenzim dari metabolisme.Oleh karena
metabolisme sebagian besar sel meningkat akibat efek dari tiroid, maka laju
metabolisme basal akan meningkat. Dan peningkatan laju basal setinggi 60
sampai 100 persen diatas normal.
6) Efek Pada berat badan. Bila hormone tiroid meningkat, maka hampir selalu
menurunkan berat badan, dan bila produksinya sangat berkurang, maka hampir
selalu menaikkan berat badan. Efek ini terjadi karena hormone tiroid
meningkatkan nafsu makan.
7) Efek terhadap Cardiovascular. Aliran darah, Curah jantung, Frekuensi deny
jantung, dan Volume darah meningkat karena meningkatnya metabolism dalam
jaringan mempercepat pemakaian oksigen dan memperbanyak produk akhir yang
dilepas dari jaringan. Efek ini menyebabkan vasodilatasi pada sebagian besar
jaringan tubuh, sehingga meningkatkan aliran darah.
8) Efek pada Respirasi. Meningkatnya kecepatan metabolism akan meningkatkan
pemakaian oksigen dan pembentukan karbondioksida.
9) Efek pada saluran cerna. Meningkatkan nafsu makan dan asupan makanan. Tiroid
dapat meningkatkan kecepatan sekresi getah pencernaan dan pergerakan saluran
cerna.

2.5. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi
darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida
menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian
disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.
Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan
molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif
dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan
keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif
meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran kelenjar tyroid.
2.5. Klasifikasi Struma
2.5.1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini
biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme
mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat
pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar
dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap
udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,
rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan
kemampuan bicara. Gambar penderita hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan
tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara
dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada
tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok,
dan atrofi otot. Gambar penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
2.5.2. Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak
diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara
klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophthalmic goiter), bentuk
tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama
berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,
mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai
hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentukyna.32 Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan
mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa
khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma
dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma
diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan oleh
kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma
endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat
kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan
hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar
pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan
penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme,
penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan.
Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus
(disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang
maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat
urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan
prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat
di atas 30 %.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :
1. Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi dengan
cara memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya. Demikianjuga dengan kelenjar
tiroid pada saat pertumbuhan akan dipacu untuk bekerja memproduksi hormon tiroksin
sehingga lama kelamaan akan membesar, misalnya saat pubertas dan kehamilan.
2. Inflamasi atau Infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut, tiroiditis
subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto)
3. Neoplasma
Jinak dan ganas
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon tiroid di dalam
darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar berlebih atau biasa disebut
hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau biasa disebut hipotiroid. Gejala yang
timbul pada hipertiroid adalah :
- Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan
- Tidak tahan panas dan hyperhidrosis
- Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga menghasilkan tekanan nadi
yang tinggi (pulsus celler) dan dalam jangka panjang dapat menjadi fibrilasi atrium
- Tremor
- Diare
- Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria
- Exophtalmus
Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :
- Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah
- Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik
- Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah
- Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan tungkai

Struma Difusa Toksik
Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit ini juga biasa
disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan
eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti
berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas, penurunan berat
badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi (
sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang
terdapat juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun
etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang
dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid.
Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system imun
dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor Antibodies. Zat
ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham, sehingga
TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam tubuh menjadi
meningkat.
Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan metabolism di
semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas. Peningkatan
metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali asupan ( intake) kalori
tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat badan secara drastis. Peningkatan
metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah,
antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan
juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga
menjadi pulsus celer; penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard,
dan rangsangan saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol,
fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel.

Gambar : Skema patogenesis penyakit Graves

Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor,
penderita sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan
emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat
menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang tidak
terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya cukup
mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit
yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut. Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea
sekunder atau metrorhagia. Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan
antibodi terhadap reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan
ikat dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot
mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata
akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.
Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi
dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif
dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif,
atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik
biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya
hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

Struma Nodosa Toksik
Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus yang
disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia dewasa muda
sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik.
Pertama kali dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka disebut juga Plummers
disease.
Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid yangtidak
menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam 15-20 tahun dapat
menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi
toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan
penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai
pengobatan.
Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan Plummers
disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang membedakan adalah saat
pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi
pada salah satu lobus.
Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan Graves yaitu
ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian antitiroid,
seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan
anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan
terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa
gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan
yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

Struma Difusa Nontoksik
Definisi
Struma endemik Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran
kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan dengan defisiensi
diet dalam harian. Epidemologi Endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada
populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian.
Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik sering
terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam
dan cakupan pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik
Patofisiologi
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya defisiensi intake iodin
oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan sintesis hormon tiroid
kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter seperti intake kalsium berlebihan maupun
sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat
disintesis. Hal ini akan memicu peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke
dalam darah sebagai efek kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi
dan hiperplasi dari sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik.
Pembesaran ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut
kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi iodin
endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi itulah
yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti level dan durasi
defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.

Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang tampak
tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik (fungsi tiroid
normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga disebut sebagai goiter
koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini
muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah teresebut.
Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya. Sementara itu, goiter
sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu konsumsi bahan
yang menghambat sintesis hormon tiroid atau gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang
turun secara herediter. Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan
involusi koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris,
walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi
oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di keseluruhan
kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan tubuh akan hormon
tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk folikel yang besar dan
dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan terlihat coklat dan translusen,
sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya
gepeng dan kuboid.
Gejala Klinis
Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar tiroid.
Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi mengalami
keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak dengan defek biosintetik
sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.
Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan mengatasi
hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila
ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu.
Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka pengobatan medikamentosa
tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.

3.4 Struma Nodosa Nontoksik
Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba
nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan
pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh,
maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat
sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.
Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang yang
tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum
diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid
atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau
aminoglutatimid.
Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya gejala toksik
yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi dirasakan adanya
pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian
besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun
sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain
dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral
dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian
mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan
gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang
ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglottis
sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.
Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam teknik
operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan
sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk mencegah kerusakan
pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus.

Karsinoma Tiroid
Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel) yang
terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang memiliki 4 tipe
yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang menyebabkan pembesaran
kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) dalam kelenjar. Sebagian besar
nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa disembuhkan Kanker tiroid sering kali
membatasi kemampuan menyerap yodium dan membatasi kemampuan menghasilkan hormon
tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup banyak hormone tiroid sehingga terjadi
hipertiroidisme.
Klasifikasi karsinoma tiroid
Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis paling
umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda dan lebih banyak
pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab keganasan ini. Pertama kali
muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau sebagai pembesaran kelenjar limfe
didaerah leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau, pada
beberapa kasus, ke paru.
Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-25 %
dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia di atas 40
tahun.Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering daripada pria.
Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko jenis keganasan ini. Jenis
ini lebih infasif daripada jenis papiler.
Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari kanker tiroid.
Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria. Metastasis terjadi secara cepat, mulamula
disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang yang hanya mengeluh
tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker ini disekitar, timbul suara
serak, stridor, dan sukar menelan. Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya
beberapa bulan.
Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik diantara
kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria dan paling sering
di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering ketempat jauh seperti paru,
tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin karena asalnya.
Karsinoma ini sering dikatakan herediter.
3.5.3 Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid
jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan kemudian
menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang
mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul ganas
tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan enoftalmus
merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama yang
tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus
karena desakan pembesaran nodul (Berrys Sign)

2.6. Epidemiologi Struma
2.6.1. Distribusi dan Frekuensi
a. Jenis Kelamin
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005 struma nodusa
toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12 %) dan 435 orang perempuan
(87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,3 2%), struma multinodusa
toksik yang terjadi pada 1.912 orang diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan
(91,1%) dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %).
b. Tempat dan Waktu
Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau pemeriksaan benjolan
pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan 81 anak (8,0%) mengalami struma
endemis atau gondok. Penelitian Tenpeny K.E di Haiti pada tahun 2009 menemukan PR struma
endemis 26,3 % yang dilakukan pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12 tahun.
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40 anak yang terdiri dari 20
anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita gondok menunjukan PR GAKY 31,9 % di
Desa Gading (daerah endemik) dan 0,65 % di Desa Mejaya (daerah non endemik).
2.6.2. Determinan Struma
a. Host
Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki namun dengan
bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak ada. Struma dapat
menyerang penderita pada segala umur namun umur yang semakin tua akan meningkatkan resiko
penyakit lebih besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh dan imunitas seseorang yang
semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Berdasarkan penelitian Hemminichi K, et al yang dilakukan berdasarkan data rekam medis
pasien usia 0-75 tahun yang dirawat di rumah sakit tahun 1987-2007 di Swedia ditemukan
11.659 orang (50,9 %) mengalami struma non toxic, 9.514 orang (41,5 %) Graves disease, dan
1.728 orang (7,54%) struma nodular toxic.
b. Agent
Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang terdapat
dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia penyebab struma adalah goitrogen
yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu hormogenesis tiroid. Goitrogen menyebabkan
membesarnya kelenjar tiroid seperti yang terdapat dalam kandungan kol, lobak, padi-padian,
singkong dan goitrin dalam rumput liar. Goitrogen juga terdapat dalam obat-obatan seperti
propylthiouraci, lithium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung
yodium secara berlebih.
Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang merupakan salah
satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus anak-anak yang sebelumnya
mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium radioaktif pada tirotoksikosis berat serta
operasi di tempat lain di mana sebelumnya tidak diketahui. Adanya hipertiroidisme
mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.
c. Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma endemik adalah di Eropa,
pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau
masyarakat. Di Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan
Sulawesi.
Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia pada tahun 1993
dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah pesisir, pedalamam serta diantara
pantai dan pedalaman. Sebanyak 2.450 orang dengan usia >15 tahun ditemukan PR GAKY 23 %
di wilayah pesisir dengan kelompok usia terbanyak pada usia 36-45 tahun (33,9 %) , 35,9 % di
wilayah pedalaman pada usia 15-25 tahun (39,6 %) dan 44,9 % diantara pedalaman dan pesisir
pantai pada usia 26-35 tahun (54,3 %).
Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol pada tahun 2004 terhadap 634 orang yang
berusia 55-91 tahun diperiksa ditemukan 325 orang (51,3 %) mengalami goiter multinodular non
toxic, 151 orang (23,8 %) goiter multinodular toxic, 27 orang (4,3%) Graves disease, dan 8 orang
(1,3 %) simple goiter.
2.7. Pencegahan
2.7.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari berbagai
faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya struma
adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah dimasak, tidak
dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk menghindari hilangnya yodium dari
makanan
d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini memberikan
keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat terjangkau daerah luas dan
terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang
diberikan dalam air yang mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah endemik berat dan
endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35
tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis
sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun sekali dengan
dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-
0,8 cc.
2.7.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit, mengupayakan orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit yang dilakukan melalui
beberapa cara yaitu :
a. Diagnosis
a.1. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada
posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan
atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk
(diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada
permukaan pembengkakan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan, maka tanda dan gejala pasien
struma adalah :
a. Status Generalis (umum)
1) Tekanan darah meningkat (systole)
2) Nadi meningkat
3) Mata : Exophtalamus
a) Stellwag sign : jarang berkedip
b) Von Graefe sign : palpebra mengikuti bulbus okuli waktu melihat ke bawah.
c) Morbius sign : sukar konvergensi
d) Jeffroy sign : tak dapat mengerutkan dahi.
e) Rossenbach sign : tremor palpebra jika mata ditutup.
4) Hipertoni simpatis : kulit basah dan dingin, tremor
5) Jantung : takikardi
b. Status Lokalis : Regio Colli Anterior
1) Inspeksi : benjolan, warna, permukaan, bergerak waktu menelan
2) Palpasi : permukaan, suhu
a) Batas atas kartilago tiroid
b) Batas bawah incisura jugularis
c) Batas medial garis tengah leher
d) Batas lateral m.sternokleidomastoid
c. Gejala Khusus
1) Struma kistik
a) Mengenai 1 lobus
b) Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
c) Kadang multilobularis
d) Fluktuasi (+)
2) Struma Nodusa
a) Batas jelas
b) Konsistensi : kenyal sampai keras
c) Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarsinoma tiroidea
3) Struma Difusa
a) Batas tidak jelas
b) Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek.
4) Struma vaskulosa
a) Tampak pembuluh darah (biasanya arteri), berdenyut
b) Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
c) Kelenjar getah bening : Paratracheal Jugular Vein.
a.3. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid
untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum
diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi
yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada
pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan
autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga
memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur
kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
a.4. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat
trakea (jalan nafas).
a.5. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV.
USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin
tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan
USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
a.6. Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m
dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di
bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan
radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian
tiroid.
a.7. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian
pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain
itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu
karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
b. Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai berikut
:
b.1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering dibandingkan
dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau
mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid.
Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah
atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal
(suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin
banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga
dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan
tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian
diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi
hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma
dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
b. 2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid
sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian
yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut
berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh
lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik35 Yodium
radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat
ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.5
b.3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH
serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi
hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid
(tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.5
2.7.3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut :
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan mendeteksi
adanya kekambuhan atau penyebaran.
b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar dan bugar
serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui melakukan fisioterapi yaitu
dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu
dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.
2.7.4. Komplikasi Struma
a. Penyakit jantung hipertiroid
Gangguan pada jantung terjadi akibat dari perangsangan berlebihan pada jantung oleh
hormon tiroid dan menyebabkan kontraktilitas jantung meningkat dan terjadi
takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika menghebat. Pada pasien yang berumur di
atas 50 tahun, akan lebih cenderung mendapat komplikasi payah jantung.
b. Oftalmopati Graves
Oftalmopati Graves seperti eksoftalmus, penonjolan mata dengan diplopia, aliran air
mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia dapat mengganggu kualitas hidup
pasien sehinggakan aktivitas rutin pasien terganggu.
c. Dermopati Graves
Dermopati tiroid terdiri dari penebalan kulit terutama kulit di bagian atas tibia bagian
bawah (miksedema pretibia), yang disebabkan penumpukan glikosaminoglikans.
Kulit sangat menebal dan tidak dapat dicubit.





BAB III
KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting untuk
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid dalam
tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.

Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk menentukan
diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis pasti maka kita dapat
menentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh pasie. Apakah memerlukan
tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam jangka waktu tertentu.






























BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Syamsuhidayat
R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.
2. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme :
Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757- 778.
3. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat, Buku Dua,
EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
4. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit Binarupa
Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.

Anda mungkin juga menyukai