TRAUMA ABDOMEN
PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2010
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Trauma merupakan kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera. Trauma
abdomen adalah trauma yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan immunologi dan gangguan faal berbagai organ
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1990, sekitar 5 juta orang meninggal di seluruh dunia karena
cedera (trauma). Resiko kematian karena trauma sangat bervariasi tergantung dari
daerah, usia, dan jenis kelamin. Kematian karena trauma sekitar 12,5% dari
seluruh kematian pada laki-laki dan pada perempuan hanya 7,4%. Pada tahun
2020, diperkirakan angka kematian di dunia akibat trauma akan mencapai 8,4
miliar dan salah satu penyebab tersebut adalah kecelakaan lalu lintas.
National Pediatric Trauma Registry (2000) di Amerika Serikat
melaporkan 8% pasien (total 25.301 pasien)
Delapan puluh tiga persen (83%) dari trauma tersebut adalah karena trauma
tumpul dan 59% dari trauma tumpul tersebut diakibatkan oleh cedera karena
kecelakaan kendaraan. Penelitian yang serupa dari database trauma pasien dewasa
menunjukkan bahwa trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera
intraabdomen dan kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama
dari cedera tersebut. Trauma tumpul didapatkan sekitar 2/3 dari seluruh trauma
tersebut.
Dari seluruh kasus trauma abdomen di RSCM, trauma tembus akibat luka
tusuk menempati tempat teratas (65%) diikuti oleh trauma tumpul. Lebih dari
50% trauma tumpul disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, biasanya disertai
dengan trauma pada bagian tubuh lainnya. Di negara-negara yang mengharuskan
penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan, dikenal trauma tumpul yang
disebabkan oleh sabuk pengaman ini yang disebut seat-belt syndrome. Trauma
tumpul terutama terjadi di daerah pedesaan, sementara trauma tembus lebih sering
terjadi di daerah perkotaan.
2.3 ANATOMI
2.3.1
Anatomi Luar
a. Abdomen depan
Abdomen depan merupakan bidang yang dibatasi di bagian cranial oleh
garis intermammaria, caudal oleh kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis
serta di lateral oleh kedua linea axillaris anterior
b. Pinggang
Merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior dan linea
axillaris posterior, dari sela iga ke VI sampai crista iliaca. Di lokasi ini ada
dinding otot yang tebal, berlainan dengan dinding otot yang tipis di bagian depan,
menjadi pelindung terutama terhadap luka tusuk.
c. Punggung
Daerah ini berada di posterior dari linea axillaris posterior, dari ujung
caudal scapula sampai crista iliaca. Otot-otot punggung dan otot paraspinal
menjadi pelindung terhadap trauma tajam.
2.3.2
Anatomi dalam
a. Rongga peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding
cavitas abdominis dan cavitas pelvis serta meliputi visera abdomen dan pelvis.
Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas abdominis dan cavitas pelvis,
sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ. Rongga potensial di antara
peritoneum parietalis dan visceralis disebut cavitas peritonealis.
b. Rongga pelvis
Merupakan ruangan yang terletak diantara aperture pelvis superior dan
aperture pelvis inferior. Biasanya cavitas pelvis dibagi oleh diafragma pelvis
yang terletak di atas dan perineum dibawahnya. Rongga ini terutama berisi organ
urogenitalia.
c. Rongga retroperitoneum
Rongga potensial yang berada di belakang dinding peritoneum yang
melapisi abdomen. Cedera pada organ dalam retroperitoneum sulit dikenali
karena daerah ini jauh dari jangkauan pemeriksaan fisik dan biasanya cedera
awalnya tidak akan menimbulkan gejala peritonitis. Rongga ini termasuk dalam
bagian yang diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage (DPL).
Ada dua macam cara pembagian topografi abdomen yang umum dipakai
untuk menentukan lokalisasi kelainan, yaitu:
1. Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal
melalui umbilikus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas,
kanan bawah, dan kiri bawah.
2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan
dua garis vertikal.
a. Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan iga
kesepuluh dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anteriorsuperior
(SIAS).
b. Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS
dan mid-line abdomen.
c. Terbentuklah daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium
kiri,lumbal kanan, umbilical, lumbal kiri, iliaka kanan, hipogastrium atau
suprapubik, dan iliaka kiri.
Sumber:www.wikipedia.com
2.4 KLASIFIKASI
Trauma pada abdomen disebabkan oleh dua mekanisme yang merusak,
yaitu: (1) trauma tumpul: merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam
rongga peitonium. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, keselakaan kendaraan bermotor, cedera akibat
berolah raga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih
dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. (2) Trauma tembus: merupakan
trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus
pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.
Berdasarkan organ yang terkena trauma abdomen dapat dibagi menjadi
dua: (1) Trauma pada organ padat, seperti hepar, limpa (lien) dengan gejala utama
perdarahan. (2) Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu
dengan gejala utama adalah peritonitis.
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau
organ dibawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benda tumpul, perlambatan
Luka akibat tembakan senjata, dimana mempunyai energi yang lebih besar
dibandingkan luka tusuk, biasanya menyababkan kerusakan yang lebih besar.
Luka akibat tembakan senjata yang menembus peritoneum dan mengakibatkan
kerusakan yang berarti terhadap struktur intraabdomen yang penting didapatkan
pada lebih dari 90% kasus.
2.6 PATOFISIOLOGI
Pada trauma tumpul abdomen cedera pada struktur dalam rongga abdomen
dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme cedera yaitu kekuatan kompresi
dan kekuatan perlambatan (deselerasi).
Kekuatan kompresi dapat ditemukan pada pukulan secara langsung atau
kompresi luar yang melawan benda yang memfiksasi organ tersebut misalnya lap
belt dan spinal column. Umumnya kekuatan yang merusak menyebabkan robek
dan timbulnya hematoma subkapsular dari organ visera yang padat. Kekuatan
tersebut juga menyebabkan perubahan bentuk pada organ berongga dan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sementara sehingga dapat
menimbulkan robekan. Peningkatan tekanan sementara ini biasanya terjadi pada
usus kecil.
Kekuatan deselerasi menyebabkan peregangan (stretching) dan memotong
(shearing) secara linier bagian organ yang relatif terfiksir dengan bagian yang
bergerak bebas. Kekuatan memotong secara longitudinal cenderung menyebabkan
ruptur dari struktu penyokong pada daerah hubungan antara dua segmen yang
bergerak bebas dan terfiksir. Cedera deselerasi yang klasik termasuk robeknya
hepar sepanjang ligamentum teres dan trauma lapisan intima dari arteri renalis.
Hal serupa juga dapat menyebabkan kolon terlepas dari perlekatannya dengan
mesenterium, trombosis dan robekan mesenterik serta dapat juga ditemukan
cedera pada arteri splanikus.
Pada luka tusuk, kerusakan organ adalah akibat langsung dari alat
penusuk. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau
organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke
dalam rongga abdomen dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak
akan menimbul kerusakan pada organ yang dilalui peluru. Organ padat akan
mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru
tipe high velocity.
2.7 CEDERA ORGAN ABDOMEN
a. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke dua
diafragma, yang paling penting mengenai cedera adalah diafragma kiri. Cedera
biasanya 5 10 cm panjangnya dengan lokasi di postero lateral dari diafragma
kiri. Pada pemeriksaan foto thorak awal akan terlihat diafragma yang labih tinggi
ataupun kabur, biasanya berupa hemathoraks, ataupun adanya bayangan udara
yang membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang
terpasang dalam gaster terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak
memperlihatkan adanya kelainan.
b. Organ berongga
1. Lambung dan usus halus
Trauma tumpul dan penetrasi ke dalam lambung, jejunum, dan ileum
relatif mudah dikoreksi pada eksplorasi bedah. Trauma penetrasi memerlukan
debridemen luka dan penutupan sederhana. Kadang-kadang sejumlah luka akan
ditemukan dalam usus halus di atas segmen yang relatif pendek, sehingga
mereseksi segmen yang terlibat dan melakukan anastomosis primer merupakan
tindakan yang tepat. Faktor yang dianggap mencetuskan hal tersebut adalah
peningkatan mendadak tekanan intralumina lokal, kompresi usus halus pada
kolumna vertebralis serta deselerasi pada atau dekat titik fiksasi. Penggunaan
sabuk pengaman mengakibatkan avulsi lambung dan usus halus.
2. Kolon dan rektum
Trauma kolon dan rektum tersering mengikuti trauma penetrasi cavitas
abdominalis. Banyak kontroversi sehubungan dengan terapi cedera kolon.
Penatalaksanaan memerlukan banyak penilaian klinik dan terutama ditentukan
oleh derajat cedera, adanya cedera penyerta yang mengancam nyawa dan
kontaminasi feses serta waktu yang terlewatkan antara trauma dan perbaikan
bedah. Para ahli percaya terapi konservatif lebih tepat, kecuali cedera kolon ringan
dan kontaminasi feses sedikit.
c. Organ padat
1. Hati
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering
terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering kali kerusakan
disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi
perlukaan di hati yaitu mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu.
Trauma hepar dengan hemodinamik stabil dan tidak ada tanda perdarahan serta
defans muskular dilakukan perawatan non operatif dengan observasi ketat selama
minimal 3 x 24 jam. Harus dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG maupun
Hb serial. Indikasi operatif cedera hepar yaitu trauma hepar dengan shok,
peritonitis, hematoma yang meluas, penanganan konservatif gagal, dan dengan
cedera lain intra abdominal.
2. Limpa
Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan
oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal
dari limpa yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki
kerusakan di limpa.
Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan terapi operatif dan
non operatif. Jika terapi operatif harus dipilih, splenorafi dapat dilakukan dengan
memberikan zat-zat hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera
dengan vaskularisasi. Kontraindikasi tindakan penyelamatan limpa adalah kondisi
pasien yang tidak stabil, avulsi limpa atau fragmentasi yang luas, dan cedera
pembuluh darah hilus yang luas serta kegagalan mencapai hemostasis.
3. Pankreas
Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di daerah
epigastrium dengan kolumna vertebralis sebagai alas. Peningkatan kadar amilase
yang konstan harus dicurigai adanya cedera pankreas. Pada 8 jam pertama pasca
trauma pemeriksaan CT dengan double contras bisa saja belum memperlihatkan
cedera pankreas. Pemeriksaan harus diulang jika dicurigai adanya cedera pada
10
11
12
13
b. Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru
palpasi. Untuk inspeksi lihat mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah,
tanda dehidrasi, perdarahan, dan tanda-tanda syok. Pada trauma abdomen
biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis. Echimosis
merupakan indikasi adanya perdarahan di intraabdomen. Terdapat Echimosis pada
daerah umbilikal biasa kita sebut
yang
ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai Turners Sign. Terkadang
ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar seperti
usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus atau tajam.
Untuk auskultasi selain suara bising usus yang diperiksa di empat kuadran
dimana adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus, juga
perlu didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada
umbilical merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis. Perkusi untuk
melihat apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi
tinju dengan meletakkan tangan kiri pada sisi dinding thoraks pertengahan antara
spina iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga
terjadi getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda
adanya radang atau abses di ruang subfrenik antara hati dan diafraghma.
Selain itu bisa ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut
di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi
bila ditemukan balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul
kanan ketika klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya rupture
limpe. Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras pada hati menandakan adanya
udara bebas yang masuk.
Adanya darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum
akan
14
usus biasanya melemah atau hilang sama sekali. Bising usus yang normal belum
berarti bahwa tidak ada apa-apa dalam rongga abdomen. Trauma abdomen disertai
ranggsangan peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah bahu
terutama yang sebelah kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat
membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan: pemeriksaan rektum, adanya darah
menunjukkan kelainan pada usus besar: kuldosentesis, kemungkinan adanya darah
dalam lambung; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan lesi pada saluran
kencing.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Secara rutin diperiksa hemoglobin, hematokrit, hitung jenis leukosit, dan
urinalisis. Nilai-nilai amilase urine dan serum dapat membantu untuk menentukan
adanya perlukaan pankreas atau perforsi usus.
1. Darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi
perdarahan. Pasien yang mengalami perdarahan dapat dilakukan transfusi dengan
cairan kristaloid. Transfusi trombosit diperlukan jika terjadi trombositopenia
(plateler count < 50.000/ml) dan perdarahan aktif.
2. Kimia serum
Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui adanya
ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah sewaktu juga penting
digunakan untuk mengetahui status mental pasien.
3. Lever funection test (LFT)
LFT mungkin dapat digunakan pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen untuk mengetahui alasan insiden seperti pada alcohol abuse.
Peningkatan
kadar
aspartate
aminotransferase
(AST)
atau
alanin
aminotransferase (ALT) lebih dari 130 berhubungan dengan cedera hepar yang
signifikan. Kadar lactate dehydrogenase (LDH) dan bilirubun merupakan indikasi
non spesifik untuk cedera hepar.
15
4. Pengukuran amilase
pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik untuk
cedera pankreas. Namun peningkatan kadar amilase setelah 3 6 jam setelah
trauma memiliki akuransi yang cukup besar.
5. Urinalisis
Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup parah
pada abdomen dan flank, gross hematuri, microscop hematuri pada pasien
hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang parah.
6. Coagulation profile
Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat
blood dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis (cirrhosis), atau yang sedang
dalam terapi obat-obatan (warfarin dan heparin).
7. Golongan darah, screen, dan crossmatch
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami trauma abdomen
dengan tujuan untuk menghemat waktu crossmatch sehingga dapat dipersiapkan
darah utnuk transfusi dengan segera.
8. Pengukuran gas darah arteri
Pemeriksaan ini penting untuk memberikan informasi tentang kadar
oksigen (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2). Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi
asidosis metabolik yang sering menyertai keadaan syok.
9. Skrining obat dan alkohol
Pemeriksaan skrining terhadap pemakaian obat dan alkohol dapat berguna
untuk menilai kesadaran pasien.
d. Pemeriksaan Radiologi
Bila indikasi untuk melakukan laparatomi sudah ditentukan tidak perlu
lagi dilakukan pemeriksaan radiologi, lebih-lebih pada penderita dalam keadaan
syok. Pemeriksaan radiologi hanya akan memperburuk keadaan penderita bahkan
dapat berakhir dengan kematian di atas meja rontgen.
Pemeriksaan radiologi untuk skrining adalah Ro-Cervical lateral, thorak
anterior-posterior, dan pelvis anterior-posterior dilakukan pada pasien trauma
16
tumpul dengan multi trauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi (terlentang, setengah
duduk, dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah
diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum yang menjadi petunjuk
untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan
kemungkinan cedera retroperitoneal. IVP atau sistogram hanya dilakukan bila ada
kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
e. Parasentesis Perut
Pada trauma tumpul sulit untuk melihat setiap bagian intraperitoneum dari
traktus gastrointestinal dengan diagnosis laparoskopi. Teknik ini tidak
memungkinkan untuk melihat secara adekuat bagian retroperitoneum. Cara ini
mungkin mampu menilai adanya cedera hepar atau limpa dan terapi kejadian
cedera minor, namun cara tersebut sulit untuk menentukan rencana terapi.
f. Lavase Peritoneal
Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan
intraabdomen pada suatu trauma tumpul bila dengan pemeriksaan fisik dan
radiologik, diagnosa masih diragukan. Test ini tidak boleh dilakukan pada
penderita yang tidak kooperatif, melawan, dan yang memerlukan operasi abdomen
segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi penderita
terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tinktur dan infiltrasi
anestesi lokal di garis tengah diantara umblikus dan pubis, kemudan dibuat insisi
kecil. Kateter dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Bila pada
pengisapan tidak keluar darah atau cairan, dimasukkan cairan garam fisiologis
sampai 1000 ml yang kemudian dikeluarkan kembali. Hasil dikatakan positif bila:
cairan yang keluar berwarna kemerahan, adanya empedu, ditemukannya bacteria
atau sel darah lebih dari 100.000/mm3, sel darah putih lebih dari 500/mm3,
amylase lebih dari 100 u/100 ml.
2.10
PENATALAKSANAAN
a. Trauma Tumpul
Tindakan awal yang dilakukan pertama kali adalah primary survey untuk
mengidentifikasi permasalahan yang mengancam dengan segera. Stabilisasi ABCs
17
suara
nafas
mungkin
ditemukan
pada
hemothoraks
atau
secondary
survey
untuk
mengidentifikasi
semua
potensi
yang
18
b. Luka Tusuk
Karena tingginya frekuensi laparotomi negatif pada tindakan laparotomi
rutin, sekarang orang cenderung untuk lebih selektif dalam memutuskan tindakan
laparotomi pada luka tusuk abdomen.
Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila: adanya tanda-tanda rangsangan
peritoneal, syok, bising usus tak terdengar, prolaps visera melalui luka tusuk,
darah dalam lambung, buli-buli, rectum, udara bebas intraperitoneal, dan lavase
peritoneal memberikan hasil positif. Selain dari itu penderita diobservasi selama
24-48 jam.
Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu
apakah luka tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka
tusuk. Luka tusuk yang menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan
laparotomi.
c. Luka Tembak
Berbeda dengan luka tusuk abdomen yang belum tentu mengenai alat
dalam abdomen, luka tembak hampir selalu menimbulkan kerusakan pada alat
dalam perut. Dianjurkan pada luka tembak perut agar dilakukan laparotomi.
2.11
KOMPLIKASI
Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun
19
Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi obstruksi usus halus dan hernia
insisional.
2.12
PROGNOSIS
Prognosis pasien yang menderita trauma abdomen umumnya baik. Angka
kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-10%. Sebagian besar
kematian yang disebabkan oleh trauma abdomen dapat dicegah. Trauma abdomen
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian akibat suatu trauma yang
dapat dicegah.
Jika cedera abdomen tidak segera didiagnosis, suatu keadaan yang lebih
buruk dapat terjadi. Terapi yang terlambat akan menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi jika terjadi perforasi saluran gastrointestinal.
Angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tidak meningkat
secara nyata karena kematian dalam 24 jam pertama sebagai akibat dari syok
perdarahan irreversible dan exsangunasi. Lebih dari 80% kematian terjadi dalam
24 jam saat kedatangan di rumah dan 66,7% pada saat operasi awal karena cedera
pembuluh darah abdomen. Sebaliknya, angka pasien yang selamat dari trauma
tembus abdomen tanpa cedera pembuluh darah masih tinggi.
Distribusi puncak dari kematian pada trauma tembus abdomen sangat
berbeda dibandingkan pada trauma tumpul abdomen. Sebagian besar kematian
karena trauma tembus abdomen terjadi antara 1 6 jam dari saat datang di rumah
sakit, diikuti jumlah yang lebih kecil pada 6 24 jam setelah kedatangan.
Sebaliknya, jumlah tertinggi kematian karena trauma tumpul abdomen terjadi 72
jam setelah kedatangan di rumah sakit dan jumlah yang lebih kecil dalam jam
pertama kedatangan. Kematian karena trauma tembus abdomen lebih sering
terjadi di instlasi gawat darurat (IGD) atau ruang operasi dibandingkan dengan
trauma tumpul abdomen yang terutama terjadi di ICU.
Secara umum, kematian terjadi dalam 72 jam pertama karena hipoperfusi
dan sequelenya. Kematian di ICU dua minggu atau lebih kemudian biasanya
karena komplikasi sepsis, sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS=systemic
20
21
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang bersifat
retrospektif pada penderita trauma di RSUP NTB. Pengumpulan data dilakukan
secara retrospektif dengan mendata jumlah kasus trauma abdomen baik kunjungan
IRD (Instalasi Rawat Darurat) maupun rawat inap di RSUP NTB selama periode
tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
Subjek penelitian adalah semua pasien yang mengalami trauma abdomen
yang datang berobat ke IRD maupun pasien yang dirawat dirawat di RSUP NTB
selama periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
Data yang dikumpulkan meliputi angka kejadian trauma abdomen,
karakteristik subjek/demografi (jenis kelamin,umur), jenis trauma, akibat dari
trauma abdomen, dan penyebab trauma abdomen. Sumber data berasal dari
catatan medis pasien trauma baik dalam masa observasi di IRD maupun di rawat
inap di RSUP NTB. Data akan diolah secara statistic deskriptif. Data akan
ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Angka Kejadian Trauma Abdomen
Jumlah seluruh pasien trauma abdomen yang tercatat di RSUP NTB selama
periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2010 adalah 59 pasien (2,21%)
dari total 2659 kasus trauma. Dari 59 pasien yang tercatat secara lengkap
dalam rekam medis RSUP NTB sebanyak 42 pasien, sedangkan 17 pasien
tidak tercatat dengan lengkap di rekam medis RSUP NTB. Suatu penelitian di
Amerika Serikat oleh Cooper et al mendapatkan pasien trauma abdomen
sekitar 8 % dari total 25.301 pasien trauma.
4.2 Distribusi Kasus Trauma Abdomen Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.1 Distribusi korban trauma abdomen berdasarkan jenis kelamin
Tahun
2009
2010
Total
Jumlah kasus
Laki-laki
16 (38,1%)
21 (50%)
37 (88,1%)
Perempuan
2 ( 4,8%)
3 (7,1%)
5 (11,9%)
Total
18 (42,9%)
24 (57,1%)
42 ( 100% )
23
Jumlah kasus
Persentase
< 15 tahun
6 orang
14.29%
15-25 tahun
20 orang
47.62%
26-35 tahun
5 orang
11.90%
36-45 tahun
3 orang
7.15%
> 45 tahun
8 orang
19.04%
Total
42 orang
100 %
Dari data yang terkumpul, korban trauma abdomen terbanyak berasal dari
kelompok umur 15-25 tahun sebanyak 20 orang (57,62%) diikuti oleh
kelompok umur > 45 tahun sebanyak 8 orang (19,04%), kelompok umur < 15
tahun sebanyak 6 orang (14,28 %), kelompok umur 26-35 tahun sebanyak 5
24
orang (11,90%), dan yang paling sedikit adalah kelompok umur 36-45 tahun
sebanyak 3 orang (7,15%). Data dari National Center for Injury Prevention
and Control (2000) bahwa 73% kasus trauma abdomen didapatkan pada usia
15-25 tahun dan pada rentang umur 25-35 tahun didapatkan angka kematian
57%. Salomone et.al menyatakan bahwa insiden puncak trauma abdomen
terjadi pada usia 14-30 tahun.
4.4 Distribusi Kasus Trauma Abdomen berdasarkan Jenis Trauma
Tabel 4.3 Distribusi korban trauma abdomen berdasarkan jenis trauma
Jenis trauma
Jumlah
Presentase
Trauma tumpul
Trauma tembus
Total
32 orang
10 orang
42 orang
76,2 %
23,8 %
100 %
25
Jumlah
1
4
2
4
8
4
1
4
28
Persentase
3,58 %
14,3%
7,14%
14,3%
28,5%
14,3%
3,58%
14,3%
100 %
26
Dari semua jenis trauma abdomen didapatkan keadaan patologi pada organ
padat sebanyak 16 kasus (57,14%) dan organ padat berongga sebanyak 7
kasus (25%). Patologi yang terbanyak ditemukan adalah trauma hepar (tabel
4.5) yaitu 28,5% diikuti ruptur ren (ginjal), ruptur lien, masing-masing 14,3%. Pada
organ padat berongga didapatkan Patologi yaitu perforasi ileum 14,3% dan perforasi
jejunum 3,58%.
Pada taruma tumpul abdomen jenis patologi yang paling banyak ditemukan yaitu
ruptur hepar 28,60% dari 21 trauma tumpul abdomen (grafik 4.6) sedangkan pada
trauma tembus hanya didapatkan 28,60% dari 7 trauma tembus abdomen. Hal ini
menunjukkan bahwa ruptur hepar paling banyak disebabkan oleh truma tumpul.
Udeani et.al menyatakan bahwa organ padat seperti hati dan limpa merupakan
27
Jumlah
28
7
1
6
42
persentase
66,67%
16,67%
2,38%
14,28%
100%
lain
menyebabkan
trauma
tumpul
abdomen.
Maxey
(2010)
29
Dari 28 kasus trauma abdomen yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
cedera pada organ padat didapatkan sejumlah 13 kasus (68,42%) yaitu ruptur
hepar sebanyak 5 pasien (26,32%), ruptur ginjal dan ruptur lien masingmasing sebanyak 4 pasien (21,05%). Cedera pada organ padat berongga
sejumlah 4 kasus (21,05%) yaitu perforasi jejunum dan prolaps ileum masingmasing sebanyak 1 pasien (5,27%). Pada trauma tajam patologi yang
didapatkan adalah ruptur hepar (40%), perforasi ileum (40%), dan prolaps
omentum (20%). Namun, truma abdomen akibat senjata api tidak ditemukan
patologi pada organ di abdomen sehingga tidak memerlukan tindakan operasi.
Penyebab lain yang mengakibatkan trauma abdomen yaitu terjatuh dari pohon,
tertimpa pohon, tertimpa beton, jatuh dari sungai, dan korban longsor
mengakibatkan perdarahan intraabdomen sebanyak 2 orang , prolaps ileum
dan ruptur hepar masing-masing 12 orang.
4.8 Angka Mortalitas Trauma Abdomen
Dari 42 kasus trauma abdomen yang didapatkan di RSUP NTB periode tahun
2009 sampai tahun 2010, tercatat 2 orang yang meninggal karena trauma
abdomen diantaranya 1 orang meninggal karena trauma tumpul abdomen dan
1 orang meninggal karena truma tembus abdomen. Kematian akibat trauma
tumpul abdomen disebabkan karena kecelakaan lalu lintas dengan patologi
perforasi jejunum sedangkan kematian akibat trauma tembus abdomen
30
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Angka kejadian trauma abdomen yang tercatat di RSUP NTB selama
periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2010 adalah 42 pasien dari
total 2659 kasus trauma.
2. Jumlah kasus trauma abdomen berjenis kelamin laki-laki lebih banyak bila
dibandingkan dengan perempuan yaitu sebanyak 37 orang (88,1 %) untuk
laki-laki dan 5 orang (11,9%) untuk perempuan
3. Kelompok umur yang paling banyak mengalami trauma abdomen adalah
kelompok umur 15-25 tahun sebesar 20 orang (47,62%)
4. Trauma tumpul abdomen merupakan jenis trauma abdomen terbanyak
yaitu 32 orang (76,2%) dan trauma tembus abdomen sebanyak 10 orang
(23,8%)
5. Trauma tumpul abdomen paling banyak menyebabkan cedera pada organ
padat abdomen sebanyak 16 (57,14%)
6.
Cedera organ padat yang paling banyak didapatkan adalah ruptur hepar
sedangkan pada cedera organ padat berongga yang paling banyak
didapatkan adalah perforasi ileum.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi dalam sistem pencatatan Rekam Medik RSUP
NTB baik Instalasi Gawat Darurat maupun Rawap Inap secara lengkap
meliputi jumlah kasus trauma abdomen pertahun, penyebab trauma
abdomen, dan angka kematian akibat trauma abdomen.
2. Untuk jangka panjang, penelitian ini sebaiknya terus dilanjutkan dan
diperluas cakupan sebagai salah satu sumber informasi kejadian trauma
abdomen.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2004. Trauma dan Bencana. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
2. Udeani. 2008. Abdominal Trauma, Blunt. Department of Emergency
Medicine, Charles Drew University of Medicine and Science, University of
California,
Los.
Available
from
:
http://emedicine.medscape.com/article/433404-overview. (Accesed 2011, 7
January )
3. Ahmadsyah, Ibrahim. Abdomen Akut. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.
4. Wikipedia.
2010.
Abdominal
Trauma.
Available
from
:
http://en.wikipedia.org/wiki/Abdominal_trauma. (Accesed 2011, 7 January)
5. Maxey. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Surgery,
Indiana
University
School
of
Medicine.
Available
from
:
http://emedicine.medscape.com/article/433554-overview. (Accesed 2011, 7
January)
6. Cheng. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Emergency
Medicine, New York University, Bellevue Medical Center. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/822099-overview. (Accesed 2011, 7
January)
7. Salomone. 2009. Abdominal Trauma, Blunt. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/821995-overview. (Accesed 2011, 7
January)
8. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Trauma
Abdomen. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
9. Feliciano & Rozycki. 2003. Evaluation of Abdominal Trauma. American
College
of
Surgeons.
Available
from
:
http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf (Accesed 2011, 21
January)
10. Sabiston. 1995. Buku Ajar Bedah. Cetakan II. Penerbit EGC : Jakarta
11. Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit EGC
12. Poletti et al. 2003. Blunt Abdominal Trauma:Should US Be Used to Detect
Both
Free
Fluid
and
Organ
Injuries?
Available
from:
http://radiology.rsna.org/content/227/1/95.full.pdf+html (Accesed 2011, 30
January)
13. Carlos et al. 2005. Hemodynamically Stable Patients With Peritonitis After
Penetrating
Abdominal
Trauma.
Available
from:
http://highwire.stanford.edu/cgi (Accesed 2011, 30 January)
33
Normal
Observasi
Negatif
Operasi
Operasi
Jika perdarahan tidak aktif
maka dilakukan manajemen
non-operatif
Positif
1
Dikutip dan diterjemahkan dari: Feliciano & Rozycki (2003) http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf
Hasil pemeriksaan
normal
Observasi 2 x 24 jam
Luka tembak
Observasi
Lakulan
pemeriksaan CTscan dengan
menggunakan dua
atau tiga kontras
Lakukan tindakan
laparoskopi
Pertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan DPL
atau tindakan laparoskopi
Operasi jika:
Peritonitis
Hipotensi
Positif
Positif
Laparotomi
Operasi
Dikutip dan diterjemahkan dari: Feliciano & Rozycki (2003) http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf