Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dan segala isinya.
Geologi sendiri mempunyai berbagai cabang disiplin ilmu lainnya. Untuk menjadi
sukses dibidangnya, seorang geologist harus mampu mengembangkan potensi diri
dan imajinasinya. Saat ini bidang ilmu geologi mulai memiliki peranan sangat
penting dikalangan masyarakat, khususnya informasi mengenai kondisi geologi
yang berkembang didaerah tersebut. Dari perkembangan dan kemajuan ilmu ini
akan mendorong para geologist untuk melakukan penelitian secara regional.
Dalam memahami ilmu geologi, seorang mahasiswa geologi tidak cukup
hanya dengan menerima materi kuliah dilingkungan kampus saja, namun
diperlukan pula aplikasinya dilapangan. Untuk menggabungkan kedua hal tersebut
maka dilakukanlah kegiatan penelitian atau pemetaan geologi. Melalui pemetaan
geologi kita dapat mengidentifikasi kondisi geologi di suatu daerah hingga
merekonstruksi kejadian geologi yang pernah terjadi di masa lampau pada daerah
tersebut.
Pemetaan geologi lanjut ini dilaksanakan di daerah Purwokerto, karena
daerah tersebut memiliki kondisi geologi yang menarik untuk dipelajari. Pemetaan
geologi lanjut ini ditunjang oleh teori-teori geologi yang selama ini diperoleh di
bangku kuliah serta data dan informasi lapangan serta litelatur sehingga
diharapkan dapat menjelaskan kondisi geologi daerah tersebut yang dituangkan
dalam bentuk peta geologi dan laporan.
Hasil penelitian lapangan dan pengolahan data-data lapangan ditunjang
dengan penguasaan ilmu yang diterima selama ini diharapkan dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan daerah, khususnya Desa Sawangan, Kecamatan Rawalo,
Banyumas.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan geologi suatu daerah yang dibahas dalam penelitian
ini meliputi :
1. Bagaimana geomorfologi daerah penelitian dan apa proses-proses yang
mempengaruhinya ?
2. Bagaimana stratigrafi, variasi litologi, dan hubungan antar batuan di daerah
penelitian?
3. Bagaimana struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian ?
4. Bagaimana sejarah geologi pada daerah penelitian ?
5. Apa saja bahan galian yang dapat dimanfaatkan dan diolah di daerah
penelitian?
1.3. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari Pemetaan Geologi Lanjut ini adalah untuk mempelajari dan
mengungkap aspek-aspek geologi daerah penelitian, antara lain :
1. Aspek geomorfologi, yang meliputi unsur-unsur geomorfologi, proses-
proses geomorfologi yang telah dan sedang berlangsung, dan membuat
satuan-satuan geomorfologi berdasarkan unsur-unsurnya.
2. Aspek litologi, yaitu mendeskripsi karakteristik batuan, kemudian
mengelompokkan menjadi satuan-satuan batuan bernama berdasarkan
aturan sandi stratigrafi yang baku, menelusuri penyebarannya,
menganalisis umur, hubungan antar satuan, dan lingkungan
pengendapannya.
3. Aspek fisik dan karakter batuan, meliputi struktur sedimen, kandungan
fosil, kandungan mineral, ketebalan, serta kontak antara satuan batuan.
4. Aspek struktur geologi, meliputi jenis, waktu pembentukannya, serta
menelusuri hubungan kejadian dengan tektonik yang terjadi di daerah
penelitian.
5. Aspek sejarah geologi, yaitu untuk mengungkapkan sejarah geologi daerah
penelitian yang berlangsung mulai saat pembentukan daerah ini hingga
keadaan akhir yang ditemukan sekarang.
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan bekal
pengalaman bagi penulis sebelum terjun di tengah-tengah masyarakat sebagai
seorang ahli geologi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat
memberikan informasi mengenai kondisi geologi pada daerah penelitian yang jika
dibutuhkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menunjang
pembangunan dan pengembangan ilmu geologi pada daerah penelitian.

1.4. Metode Pemetaan Geologi
Pemetaan geologi merupakan suatu kegiatan untuk memetakan kondisi
geologi suatu daerah sehingga menghasilkan peta geologi yang bertujuan untuk
menyingkap sejarah dan proses geologi daerah penelitian yang bersangkutan.
1.4.1. Objek Penelitian
Objek penelitian pada suatu pemetaan geologi meliputi :
1. Geomorfologi, digunakan untuk penentuan proses geomorfologi, tingkat erosi,
pola pengaliran yang berkembang serta memperkirakan indikasi adanya
struktur geologi yang aktif di daerah pemetaan.
2. Litologi, meliputi seluruh jenis batuan beserta seluruh karakteristik fisik,
tekstur, dan struktur yang tersingkap di daerah pemetaan dan merupakan
batuan yang masih segar dan insitu, yaitu batuan yang belum mengalami
pelapukan dan perpindahan tempat.
3. Stratigrafi, yaitu meliputi perlapisan batuan dari batuan tertua sampai termuda
dengan menyertakan fosil sebagai salah astu aspek penunjang untuk
menentukan umur dan lingkungan pengendapan satuan batuan sedimen.
4. Struktur geologi dan indikasinya, yang dapat di gunakan untuk menentukan
pola tegasan dan gaya yang terjadi pada masa lampau, jenis struktur geologi
serta pola struktur geologi, yaitu sesar, kekar, dan perlipatan yang berkembang
pada darah pemetaan.
5. Geologi mineral ekonomi di daerah pemetaan, untuk memperkirakan bahan
galian yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya.
1.4.2. Alat-Alat yang Digunakan
1.4.2.1. Tahap persiapan
Pada tahap persiapan, dilakukan pembuatan peta dasar untuk melakukan
penandaan dari setiap stasiun pengamatan di lapangan. Peta dasar yang digunakan
adalah peta topografi dengan skala 1:25.000 hasil digitasi Peta Rupabumi Digital
Indonesia no. 1308-612 dan 1308-334 dengan skala 1:25.000.
1.4.2.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan
1. Alat-alat lapangan yang terdiri dari GPS, kompas geologi, palu geologi
terdiri atas palu beku dan palu sedimen, pita ukur 50m, komparator besar
butir dan mineral, loupe perbesaran 10x dan 20x, kamera, HCl 0,1 Normal,
kantong sample.
2. Alat-alat tulis yang terdiri dari ballpoint, pensil, pensil warna, spidol,
mistar, busur derajat, buku lapangan, lembar deskripsi dan papan kerja.
3. Alat-alat penunjang pekerjaan lapangan lainnya seperti ransel, daypack,
pakaian lapangan, sepatu lapangan, dan lain sebagainya.
1.4.2.3. Tahap Pengerjaan Laboratorium
Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrofosil adalah:
1. Lumpang besi dan mortar.
2. Jarum, kuas, tatakan sample, tempat fosil, lem.
3. Mikroskop binokuler perbesaran 10x, 20x dan 40x.
4. Alat-alat tulis dan gambar.
5. Kamera digital.
Alat-alat yang digunakan dalam petrografi sayatan tipis adalah:
1. Penyayat batuan (dimiliki dan dioperasikan oleh instansi).
2. Mikroskop polarisasi beserta komparator.
3. Diagram klasifikasi petrografi batuan.
4. Alat tulis dan alat gambar.
5. Kamera digital.
1.4.2.4. Tahap Pengerjaan Studio
Peralatan studio meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa (S. Asikin dkk, 1992) skala 1 :
100.000
2. Citra DEM SRTM.
3. Seperangkat komputer dan printer.
Adapun software yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. MapInfo Profesional 8.0 SCP, digunakan dalam penggambaran dan
modifikasi peta.
2. Global Mapper 10 termasuk paket citra DEM SRTM (Digital Elevation
Modelling Shuttle Radar Topography Mission) pulau jawa dengan resolusi
30 m, sebagai alat bantu kenampakan 3 dimensi dan untuk melihat
kenampakan indikasi struktur geologi yang berkembang di daerah
penelitian.
3. Dips 5.1 yang digunakan untuk menentukan nilai rata-rata dari kedudukan
dominan kumpulan data unsur-unsur struktur geologi, melalui
kenampakan diagram rosette dan proyeksi stereografinya.
4. Sofware pendukung seperti Corel Draw X3 yang digunakan untuk
pembuatan graphic log dan ilustrasi-ilustrasi yang diperlukan dalam
laporan, Microsoft Excel 2010 untuk pengolahan spredsheet atau data
numerik, Microsoft Word 2010 sebagai media pembuatan laporan,
Microsoft Power Point 2010 sebagai media pembuatan slide persentasi.
1.4.3. Langkah-Langkah Penelitian
Secara garis besar pelaksanaan pemetaan dibagi kedalam lima tahapan,
yaitu :
1. Tahap persiapan,
2. Tahap pengumpulan data lapangan,
3. Tahap pekerjaan laboratorium,
4. Tahap analisis data dan
5. Tahap bimbingan dan penyusunan laporan

Gambar 1.1. Alur pengerjaan penelitian
1.4.3.1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dilakukan sebelum pekerjaan lapangan. Pada tahap
persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi mengenai
daerah pemetaan yang berasal dari berbagai sumber sebagai referensi dan untuk
mengetahui lebih dalam mengenai kondisi geologi daerah yang akan dipetakan.
Persiapan sebelum melakukan pekerjaan lapangan meliputi :
1. Penentuan batas daerah penelitian berdasarkan koordinat yang telah
ditentukan sebelumnya
2. Pembuatan Peta Dasar, dari Peta Topografi skala 1:25.000.
3. Studi pustaka, yakni untuk mengetahui gambaran umum daerah penelitan
secara regional, yang mencakup fisiografi regional, stratigrafi regional,
geomorfologi regional, dan geologi struktur regional daerah penelitian.
4. Analisis kemiringan lereng dan pengelompokkan pola pengaliran daerah
penelitian.
5. Penafsiran Peta Topografi, analisa pola pengaliran sungai dan topografi
serta rencana lintasan.
6. Perizinan.
1.4.3.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan
Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pelaksanaan penelitian di
lapangan, maka dilakukan metode-metode penelitian sebagai berikut :
1. Metode GPS
Metode ini dilakukan dengan cara plotting melalui alat bantu berupa GPS.
Koordinat yang didapat dari GPS ini diplot pada peta. Sehingga dengan
cara yang singkat didapatkan koordinat titik pengamatan yang didapatkan
dari satelit dengan jelas dan cepat.
2. Metode Orientasi Lapangan
Metode ini dilakukan dengan cara mencocokan kondisi alam sebenarnya
yang disesuaikan pada peta dan yang dapat diamati dari titik pengamatan
terhadap suatu objek yang jelas, seperti sungai, jalan, jembatan, gunung,
dan lain-lain.
Pengamatan yang dilakukan selama di lapangan antara lain :
Plotting singkapan, untuk penempatan setiap lokasi pengamatan pada peta.
Pengamatan terhadap singkapan batuan meliputi jenis, karakteristik fisik
secara megaskopis, pengukuran arah dan kemiringan perlapisan, ketebalan
lapisan dan struktur sedimen, sehingga dapat dikelompokkan menjadi satuan-
satuan batuan.
Pengamatan terhadap indikasi yang dapat menunjukkan adanya perubahan
litologi dan struktur geologi.
Pengambilan contoh batuan yang dianggap mewakili satuan-satuan batuan
untuk selanjutnya dianalisa di laboratorium.
Penggambaran sketsa dan pengambilan foto.
Pengukuran penampang stratigrafi pada lintasan yang tegak lurus arah
penyebaran batuan serta pada perubahan satuan batuan.
1.4.3.3. Tahap Pekerjaan Laboratorium
Pekerjaan laboratorium yang dilakukan pada penelitian kali ini dibagi
menjadi kegiatan di laboratorium Paleontologi dan Petrografi. Pengamatan di
laboratorium Paleontologi memungkinkan kita untuk mengetahui umur relatif
suatu satuan batuan diendapkan dan juga lingkungan pengendapannya. Batuan
yang dianalisa adalah batuan sedimen yang mengandung fosil. Kegiatan ini
terbagi menjadi dua tahap, yang pertama adalah picking atau pemisahan fosil dari
sedimen yang kemudian akan dideterminasi menggunakan mikroskop binokuler.
Sedangkan kegiatan laboratorium petrografi bertujuan untuk mendeskripsi
dan mengetahui jenis batuan berdasarkan sayatan tipis. Pada tahap ini juga
dilakukan pengerjaan studio merupakan tahap pengolahan data lapangan yang
meliputi analisis stratigrafi, analisis struktur geologi, dan analisis sejarah geologi
daerah penelitian. Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan dengan tahap
pengerjaan laboratorium, sehingga hasil analisis paleontologi dapat diintegrasikan
menjadi rumusan pembahasan ke-tiga analisis di atas, disamping mengevaluasi
hasil analisis geomorfologi yang telah dilaksanakan pada tahap persiapan, juga
dengan menyusun peta tematik berupa peta pola jurus dan kemiringan perlapisan
batuan serta peta geologi. Keseluruhan dari kegiatan ini dapat dijadikan sebagai
pedoman pada tahap penyusunan laporan.
1.4.3.4. Tahap Analisis Data
Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis data, antara lain analisis
geomorfologi, analisis stratigrafi, analisis geologi struktur, analisis paleontologi
dan analisis geologi sejarah.
1.4.3.4.1. Analisis Geomorfologi
Analisis geomorfologi dilakukan sebelum penelitian di lapangan, yaitu dengan
mengelompokkan daerah penelitian berdasarkan empat aspek utama geomorfologi
yakni aspek morfografi, morfometri, morfogenetik dan material penyusun yang
nantinya dikaitkan dengan litologi daerah penelitian.
Aspek morfografi adalah aspek yang memberikan gambaran tentang
bentuk permukaan bumi yang secara garis besar terdiri dari :
1. Bentuk lahan dataran, dengan kemiringan lereng 0%-2%, terdiri dari
bentuk lahan asal marin, fluvial, campuran (delta) dan bentuk lahan plato.
2. Bentuk lahan perbukitan, dengan kemiringan lereng 7%-20% dan
ketinggian 50-500 meter.
3. Bentuk lahan pegunungan, dengan kemiringan lereng lebih dari 20%-55%
dan ketinggian lebih dari 500-1000 meter.
4. Bentuk lahan gunung api, dengan kemiringan lereng 56%-140% dan
ketinggian lebih dari 1000 meter.
5. Lembah, terdiri atas lembah bentuk U, V tumpul dan V tajam.
6. Bentuk lereng, terdiri atas bentuk lereng cembung, lurus dan cekung.
7. Pola punggungan, terdiri dari pola punggungan paralel, berbelok dan
melingkar.
8. Pola pengaliran, merupakan kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di
suatu daerah yang alur pengalirannya tetap mengalir meski dipengaruhi
atau tidak dipengaruhi curah hujan (Howard, 1967).


Gambar 1.2. Pola pengaliran menurut Howard (1967); A. Pola pengaliran dasar, B dan C pola
pengaliran modifikasi
Berikut pola pengaliran dasar dan karakteristiknya menurut Van Zuidam
(1985), adalah sebagai berikut:
1. Dendritik, bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan
kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif datar serta tahan
akan pelapukan, dengan kemiringan landai.
2. Paralel, bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang sampai agak
curam, terdapat pada perbukitan memanjang dipengaruhi perlipatan,
merupakan transisi pola dendritik dan trelis.
3. Trelis, bentuk memanjang sepanjang arah jurus perlapisan batuan
sedimen, induk sungainya seringkali membentuk lengkungan menganan
memotong kepanjangan dari alur jalur punggungannya. Batuan sedimen
dengan kemiringan atau terlipat, batuan volkanik serta batuan
metasedimen berderajat rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas.
Jenis pola pengalirannya berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.
4. Rektangular, induk sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah
lengkungan menganan, pengontrol struktur atau sesar yang memiliki sudut
kemiringan, tidak memiliki perulangan perlapisan batuan dan sering
memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus.
5. Radial, bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah
intrusi, kerucut volkanik dan bukit yang berbentuk kerucut serta sisa-sisa
erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan arah penyebaran keluar dari
pusat (berbentuk kubah) dan sentripetal dengan arah penyebaran menuju
pusat (cekungan).
6. Anular, bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai,
sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak lurus.
Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau terkikis dimana
disusun perselingan batuan keras dan lunak.
7. Multibasinal, endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan
perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan daerah
gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan gamping serta lelehan salju atau
permafrost.
8. Kontorted, terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, vein
yang menunjukkan daerah yang relatif keras batuannya, anak sungai yang
lebih panjang ke arah lengkungan subsekuen, umumnya menunjukkan
kemiringan lapisan batuan metamorf dan merupakan pembeda antara
penunjaman antiklin dan sinklin.
9. Subdendritik, Umumnya struktural.
10. Pinnate, Tekstur batuan halus dan mudah tererosi.
11. Anastomatik, Dataran banjir, delta, atau rawa.
12. Dikhotomik, Kipas aluvial dan delta seperti penganyaman.
13. Subparalel, Lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuk lahan
memanjang.
14. Kolinier, Kelurusan bentuk lahan bermaterial halus dan beting pasir.
15. Trellis Berbelok, perlipatan memanjang.
16. Trellis Sesar, Percabangan menyatu atau berpencar, sesar paralel.
17. Trellis Kekar, Sesar paralel dan atau kekar.
18. Angulate, Kekar dan sesar pada daerah berkemiringan.
19. Karst, Batugamping.
Aspek morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan, sehingga
didapatkan klasifikasi dengan angka-angka yang jelas.
Tabel 1.1 Hubungan kelas relief, Kemiringan lereng, dan Perbedaan Ketinggian (Van Zuidam,
1985)
Klasifikasi
Kemiringan Beda Tinggi
(m)
Warna
Persen (%) Derajat (
o
)
Datar 0 2 0 2 < 5 m Hijau
Agak Landai 2 7 2 4 5 25 m Hijau muda

Untuk mendapatkan persentase kemiringan lereng seperti yang tercantum
dalam tabel digunakan rumus:
sp dx
100 Ic 1 n
s
.
% ). (


Keterangan:
s = kemiringan lereng (%)
Ic = interval kontur (cm)
dx = jarak tertinggi dengan jarak terendah (cm)
n = banyak nya kontur dalam grid 2cm x 2cm
sp = skala peta
Dalam morfometri juga terdapat ketinggian absolut yang diukur dari atas
permukaan laut.


Landai 7 15 4 8 25 -75 m Kuning
Agak Curam 15 30 8 16 75 200 m Jingga
Curam 30 -70 16 35 200 500 m Merah muda
Terjal 70 -140 35 55 500 1000 m Merah
Sangat Terjal > 140 > 55 > 1000 m Ungu
Tabel 1.2 : Hubungan Ketinggian Absolut dengan Morfografi (Van Zuidam, 1985)
Ketinggian Absolut (meter)
Unsur Morfografi
< 50
Dataran rendah
50 - 100 Dataran rendah pedalaman
100 - 200 Perbukitan rendah
200 - 500 Perbukitan
500 - 1.500 Perbukitan tinggi
1.500 - 3.000 Pegunungan
> 3.000


Pegunungan tinggi




Beberapa pembagian dan klasifikasi seperti yang telah disebutkan di atas
menjadi dasar dalam pembuatan peta geomorfologi daerah penelitian.
Aspek morfogenetik mempengaruhi kenampakan bentuk lahan pada muka
bumi, hal itu disebabkan oleh dua proses yakni: proses endogenik yaitu
merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan dari dalam kerak bumi dan
proses eksogenik yang merupakan proses yang dipengaruhi dari luar seperti iklim,
vegetasi, erosi, perbuatan manusia.
Salah satu hasil dari proses endogenik adalah struktur geologi, yang secara
luas meliputi kegiatan tektonik dan vulkanik dan merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap evolusi bentuk lahan yang tampak sekarang.
Tabel 1.3 Satuan bentuk lahan dengan morfogenetik (Van Zuidam, 1985)
Satuan Bentuk Lahan Warna
Satuan Bentuklahan Struktural
Satuan Bentuklahan Vulkanik
Satuan Bentuklahan Denudasional
Satuan Bentuklahan Marin (Laut)
Satuan Bentuklahan Sungai
Satuan Bentuklahan gletser
Satuan Bentuklahan Aeolian
Satuan Bentuklahan Karst

1.4.3.4.2. Analisis stratigrafi
Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak
resmi, yaitu penamaan satuan batuan yang berdasarkan pada ciri fisik batuan
yang dapat diamati di lapangan, yang meliputi jenis batuan, keseragaman gejala
litologi, dan posisi stratigrafinya (Sandi Stratigrafi Indonesia, pasal 6).
Sedangkan penentuan batas penyebarannya harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Batas satuan litostratigrafi adalah bidang sentuh antara dua satuan yang
berlainan ciri fisik litologinya.
2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya atau
bila perubahan tersebut tidak nyata, maka batasnya merupakan bidang yang
diperkirakan kedudukannya.
3. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjari peralihannya dapat
dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan sandi.
4. Penyebaran satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh kelanjutan
gejala-gejala litologi yang menjadi cirinya.
5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh batasan
cekungan pengendapan atau aspek geologi lainnya.
6. Batas-batas daerah hukum tidak boleh digunakan sebagai alasan berakhirnya
penyebaran lateral suatu satuan.
Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan atas jenis litologi yang paling
dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di lapangan
dilakukan secara megaskopis meliputi warna batuan, ukuran butir, kebundaran,
kemas, pemilahan, kekerasan, struktur sedimen, dan lain-lain.
Indikasi sentuh stratigrafi yang ditemukan di lapangan sangat berguna
untuk menentukan hubungan antara satuan batuan dengan satuan batuan lainnya.
Adapun dasar penentuan jenis stratigrafi adalah :
1. Perlapisan merupakan sifat dari batuan sedimen yang memperlihatkan
bidang-bidang yang sejajar yang diakibatkan oleh proses sedimentasi.
Perlapisan terbentuk karena adanya perubahan-perubahan pada proses
sedimentasi, seperti pasang surut, banjir, perbedaan temperatur.
2. Bidang perlapisan adalah suatu bidang yang merupakan perlapisan dan
dapat diwujudkan berupa amparan dari suatu mineral tertentu, besar butir
atau bidang sentuh yang tajam antara 2 macam batuan yang berbeda.
3. Lapisan adalah satuan stratigrafi terkecil yang tersusun hanya dari satu
macam batuan yang homogen dimana bagian atas dan bagian bawahnya
dibatasi oleh bidang perlapisan secara tajam, erosional, ataupun berangsur.
Batas satuan stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri
satuan dan keseragaman secara lateral atau suatu lapisan tergantung dari jenis
litologi dan media pengendapan. Jadi kontak antar satuan batuan atau sentuh
stratigrafi dapat bersifat tajam ataupun berangsur. Ada dua macam hubungan
stratigrafi, yaitu :
1) Selaras : sedimentasi berlangsung menerus tanpa interupsi dari satuan
stratigrafi di bawah lapisan yang diatasnya.
2) Tidak selaras : terdapat empat jenis ketidakselarasan, yaitu :
1. Paraconfomity, dimana siklus sedimentasi tidak menerus atau terdapat
gap umur, sedangkan pola arah jurus dan kemiringan batuan relatif
sama.
2. Disconformity, dimana terjadi kontak erosional yang cukup berarti
antara dua satuan batuan.
3. Nonconformity, dimana terdapat kontak antara dua satuan batuan yang
berbeda genetik, seperti kontak antara batuan sedimen dengan batuan
beku, atau antara batuan sedimen dengan batuan metamorf, atau antara
batuan metamorf dengan batuan beku.
4. Angular Unconformity, dimana terdapat perbedaan pola arah jurus dan
kemiringan yang cukup signifikan antara dua satuan batuan.
Penentuan umur masing-masing satuan batuan didasarkan atas kandungan
fosil foraminifera planktonik dan posisi stratigrafinya. Kisaran umur fosil
foraminifera planktonik merujuk kepada Blow (1969). Untuk penentuan
lingkungan pengendapan, didasarkan pada fasies yang meliputi textural
properties, structural properties, facies assosiation, dan facies succesion yang
juga didukung oleh keberadaan fosil foraminifera bentonik untuk mengetahui
kisaran kedalamannya yang ditentukan berdasarkan tabel kisaran kedalaman
menurut Phleger (1969).
Analisis Paleontologi ini dilakukan untuk menganalisa fosil yang didapat
di lapangan, untuk mengetahui umur dan batimetri pada sampel batuan yang
dianalisis dengan dikontrol posisi stratigrafi. Analisis fosil foraminifera kecil
tediri atas dua tahapan kerja, yaitu pemisahan fosil dari batuan dan identifikasi
fosil dengan menggunakan mikroskop binokuler, yang kemudian digunakan untuk
menentukan umur relatif dan lingkungan pengendapan batuan. Fosil foraminifera
planktonik dideterminasi untuk menentukan umur berdasarkan zonasi Blow, 1969
(dalam Postuma, 1971), dan fosil foraminifera bentonik untuk penentuan
lingkungan pengendapan menggunakan klasifikasi Tipsword et al., (1966) ; dan
van Hinte , (1978) dalam Van Marley (1991).

Gambar 1.3. klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)
Analisis Petrografi ini adalah membuat sayatan tipis untuk batuan yang
padu kemudian di teliti di bawah mikroskop polarisasi untuk mengethui
komposisi dan jenis mineral dari setiap batuan sehingga dapat ditentukan jenis
batuannya. Adapun klasifikasi batuan yang dipakai terlihat pada gambar 1.4
sampai gambar 1.7.

Gambar 1.4. Klasifikasi batuan beku berbutir kasar (kiri) dan batuan beku berbutir halus (kanan),
(Streckeisen, 1976)

Gambar 1.5. Klasifikasi batuan beku (Travis, 1955)

Gambar 1.6. Klasifikasi batupasir dan batulempung (Pettijohn, 1975 dalam Gillespie dan
Styles, 1999)

Gambar 1.7. Klasifikasi batuan vulkaniklastik (Schmidt, 1981)

Gambar 1.8. Klasifikasi tuff (Schmidt, 1981)
1.4.3.4.3. Analisis Struktur Geologi
Tahap pertama adalah inventarisasi data lapangan yang meliputi
pengukuran arah jurus dan kemiringan lapisan batuan, pengamatan terhadap
unsur-unsur struktur geologi yang ditemukan seperti cermin sesar, batuan sesar
dan indikasi struktur lainnya. Data yang diperoleh diplot dalam peta dasar.
Tahap berikutnya adalah interpretasi peta dasar berskala 1 : 25.000,
analisis ini diharapkan dapat memberikan petunjuk mengenai struktur yang
berkembang pada daerah pemetaan. Hal-hal yang diamati antara lain adalah
kelurusan sungai, kelurusan punggungan, belokan sungai yang tiba-tiba, gawir
dan lain sebagainya.
Adapun hal-hal yang perlu dicatat dalam mengamati singkapan untuk
analisis deskriptif dan kinematik struktur geologi adalah :
1. Lokasi singkapan.
2. Jenis singkapan, apakah berupa pergeseran batuan (offset litologi),
cermin sesar (slicken side), lipatan seret (drag fold), struktur kekar,
antiklin, sinklin, zona hancuran, bukit segitiga (triangular facet), air
terjun, kelurusan mata air panas.
3. Litologi setempat dengan pola indikasi strukur geologi yang variatif.
4. Luas dan geometri singkapan.
5. Pengukuran arah jurus dan kemiringan batuan.
6. Pengukuran arah jurus dan kemiringan bidang sesar.
7. Besarnya picth, pengukuran pitch yaitu sudut lancip antara arah jurus
dan gores garis sesar. Pada tahap akhir dilakukan rekonstruksi struktur
geologi berdasarkan hasil inventarisasi data lapangan yang telah
dilengkapi dengan data analisis peta topografi. Hasilnya ditampilkan
dalam bentuk peta pola jurus perlapisan batuan.
Data slicken side yang didapatkan di lapangan, kemudian diolah dengan
menggunakan stereogram untuk mengetahui arah tegasan relatifnya. Data
lapangan yang berupa data struktur geologi digunakan guna mengetahui tentang
mekanisme tektonik daerah pemetaan. Umur lipatan dan sesar ditentukan
berdasarkan umur satuan batuan penyusun daerah pemetaan yang terpengaruh
oleh stuktur yang berkembang dan didukung oleh data stratigrafi serta kontrol
oleh periode tektonik regional yang berpengaruh terhadap daerah pemetaan.
Moody & Hill (1959) mengemukakan bahwa sesar mendatar kemungkinan
adalah tipe sesar yang paling dominan terjadi pada kerak bumi. Moody & Hill
melakukan pembahasan ulang mengenai analisa sesar Anderson (1951) yang
memberikan pemahaman mekanika sesar, suatu dasar yang menjelaskan tentang
stress-stress yang membentuk satu set dari 3 sumbu yang saling tegak lurus.

Gambar 1.9. Teori orientasi sesar (Anderson, 1951)
Dalam sistem pergerakan sesar mendatar yang dikemukakan Moody &
Hill diawali dengan tegasan utama yang membentuk sesar mendatar berpasangan
(dekstral dan sinistral) dengan mengambil sudut geser dalam 30 sebagai nilai
rata-rata di modifikasi dari Hubbert (1951) dan Billings (1954). Menurut
McKinstry (1953) menuliskan jika suatu gaya atau pergerakan akan
menghasilkan sesar utama, stress-stress pada batuan akan berhubungan dan
memiliki orientasi yang disebabkan pasangan bidang pecah baru yang
berhubungan satu sama lain untuk menyeimbangkan salah satu sudut tajam
dengan pergeseran utamanya.

Gambar 1.10. Konsep sesar mendatar Moody & Hill (1959)
Shear orde kedua akan terbentuk tipe yang sama dari pergerakan orde
pertama, dan orde ketiga akan terbentuk tipe yang sama dari pergerakan orde
kedua dan terus berulang, dengan arah pergerakan yang semakin banyak tiap orde
nya. Shear orde kedua dan lipatan seret adalah manifestasi atau perwujudan dari
reorientasi tegasan satu blok sesar atau satu blok diantara 2 sesar yang paralel.
Wicox, Harding dan Seely (1973) merekonstruksi percobaan dengan
lempung untuk mengevaluasi bentuk-bentuk struktur yang berkembang pada
lapisan sedimen diatas dudukan dengan sesar mendatar. Gabungan sesar-sesar
menghasilkan hubungan bentuk dengan sudut awal perpotongan sekitar 60, dari 2
sesar tersebut salah satunya bergeser menyerupai zona sesar utama yang disebut
synthetic dan yang satunya bergeser berlawanan dari zona utama yang disebut
antithetic.
Hasil percobaan sesar ini menghasilkan geometri dan kinematik yang biasa
dikenal Riedel Shear, sesar mendatar syntethic adalah Riedel Shear (R-Shear) dan
membentuk sudut sekitar 15 dari garis utama. Susunan sesar itu adalah en
echelon yang berarti bahwa sesar tersebut parallel terhadap satu dan yang lainnya
disusun sepanjang garis tegasan umum. Sesar mendatar antithetic adalah
Conjugate Riedel Shear (R-Shear) dan membentuk sudut yang besar sekitar 75
dari garis sesar utama. Selanjutnya, berkembang bidang syntethic baru yang
dikenal P-Shear, dan membentuk sudut yang kecil sekitar 10 dari sesar utama.
Susunan-susunan dari R, R dan P adalah sebagai sesar minor, semua dapat
digunakan untuk interpretasi pergerakan dari garis sesar utama sebagai
keseluruhannya.

Gambar 1.11. Klasifikasi Sesar (Rickard (1972) dalam Berkman (1976)).

Gambar 1.12. Hubungan Riedel Shear dari Harding (1973) dengan konsep Moody & Hill (1959)

Tabel 1.4. Klasifikasi lipatan berdasarkan besar sudut interlimb (Fleuty, 1964).
Sudut Interlimb Klasifikasi Lipatan
180
0
- 120
0
Gentle
120
0
- 70
0
Open
70
0
- 30
0
Close
30
0
- 0
0
Tight
0
0
Isoclinal
Negatif Mushroom


Gambar 1.13. Klasifikasi lipatan meurut Fleuty, 1964
1.4.3.4.4. Analisis Geologi Sejarah
Analisis geologi sejarah merupakan penerapan penafsiran dari aspek
geologi berupa geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Hasil dari
pembahasan dari aspek tersebut disusun berdasarkan urutan kejadian dan waktu,
sehingga dapat diperkirakan proses sedimentasi, tektonik, dan erosi dalam kurun
waktu tersebut.
1.4.3.5. Tahap Bimbingan dan Pelaporan
Tahap bimbingan dan pelaporan merupakan tahap akhir dari penelitian ini. Pada
tahap ini dilakukan diskusi baik formal maupun non-formal kepada dosen
pembimbing 1 dan pembimbing 2 hingga tercapai penyelesaian mengenai
masalah-masalah yang dihadapi selama proses pengerjaan. Selain itu dilakukan
pula penyusunan laporan yang memuat seluruh data maupun analisis yang telah
dilakukan selama proses penelitian.

1.5. Geografi Umum
Secara administratif lokasi penelitian terletak di daerah Purwokerto dan sekitarnya
yang berada di kawasan Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Sedangkan secara geografis daerah penelitian ini terletak pada koordimat 109 8
33.702 BT - 109 14 4.8984 BT dan 7 25 54.1344 LS - 7 31 21.81 LS.
Lokasi penelitian ini dapat dicapai dengan menggunakan angkotan umum bus
jurusan Bandung Purwokerto dengan lama perjalanan kurang lebih 7 jam. Rata-
rata penduduk yang berada didaerah penelitian bermata pencaharian sebagai
petani dan berkebun.

Gambar 1.14. Peta adminstratif lokasi penelitian

1.6. Waktu Penelitian dan Kelancaran Kerja
Waktu penelitian yang digunakan dimulai dari bulan Maret 2013 sampai
bulan Desember 2013. Penelitian ini memiliki lima tahap, yaitu tahap
pengumpulan data lapangan, tahap pekerjaan laboratorium, tahap analysis data
dan tahap pelaporan yang dilakukan lebih kurang dalam waktu 9 bulan. Selama
penelitian di lapangan, basecamp berada di Desa Sawangan karena daerah tersebut
merupakan salah satu pemukiman yang dapat menjangkau akses untuk
pengambilan data di lapangan. Dalam pelaksanaannya, penelitian terkendala oleh
waktu yang bertabrakan dengan pengerjaan Tugas Akhir di salah satu perusahaan
Lokasi
penelitian
dan terkendala faktor fisik akibat kecelakaan peneliti yang memperpanjang waktu
penelitian yang telah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai