Anda di halaman 1dari 61

Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 1

PRESENTASI KASUS
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RSPI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
__________________________________________________________________________

I. DATA IDENTITAS
I.1. IDENTITAS MAHASISWA
Nama Lengkap : Daniel Aditya
NIM : 406112007
Periode : 13 Mei 2013 20 Juli 2013
Pembimbing : dr. Sri Sulastri, Sp.A
Topik : Demam Berdarah Dengue

I.2. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Dimas Putranta
No. Rekam Medis : 30.85.34
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 11 tahun 10 bulan
Agama : Islam
Alamat : Jl Angkasa I / MNA No. 32, Kemayoran, Jakarta
Pendidikan : SD kelas IV

I.3. IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah : Tn. Vicky Widia Dewata
Umur : 33 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Jl Angkasa I / MNA No. 32, Kemayoran, Jakarta
Agama : Islam
Bangsa/ Suku : Jawa
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 2

Nama Ibu : Ny. Nurdianah
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl Angkasa I / MNA No. 32, Kemayoran, Jakarta
Agama : Islam
Bangsa/ Suku : Jawa
Hubungan dengan orang tua : anak kandung.

II. ANAMNESA
Tanggal masuk rumah sakit : 9 Mei 2013, pukul 23:45 WIB
Tanggal keluar rumah sakit : 17 Mei 2013 (dirawat selama 8 hari di RSPI SS)
Tanggal pemeriksaan : 16 Mei 2013, pukul 14.00 WIB
Diambil dari : Autoanamnesis dan
Alloanamnesis ( Ibu dan Kakek pasien)
Keluhan Utama : Bercak - bercak kemerahan sejak 2 hari yang lalu
Keluhan Tambahan : Tampak melepuh pada pergelangan tangan kiri, luka
bekas tusukan jarum suntik sejak 3 hari lalu

II.1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluh tampak bercak bercak berwarna kemerahan sejak 2 hari yang
lalu. Bercak kemerahan tersebut dirasa pasien semakin hari semakin jelas, berbatas tegas dan
tidak hilang ketika kulit diregangkan. Tidak nyeri dan tidak terasa panas. Tampak jelas pada
daerah kulit di kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas, serta beberapa bagian tubuh
pasien lainnya. Bercak-bercak kemerahan itu muncul pada hari ke-7 pasca demam.
Kakek pasien mengatakan bahwa tampak adanya lepuhan yang dikelilingi kulit
berwarna ungu kemerahan pada pergelangan tangan kiri pasien sejak beberapa hari yang lalu
(kakek pasien lupa persisnya kapan). Ukuran sekitar 1,5 x 2 cm, isi cairan, warna putih
jernih, nyeri dan terasa panas. Saat ini kulit yang melepuh tersebut sedikit membaik daripada
hari sebelumnya dan telah diolesi obat kemudian dibungkus oleh kasa perban.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 3

Terlihat pula luka bekas tusukan jarum suntik di bagian lipat siku kanan dan kiri,
pergelangan tangan kiri sejak 3 hari lalu. Luka berwarna ungu kemerahan dengan diameter
3 - 4 cm. Terasa agak nyeri saat siku ditekuk, sedikit bengkak dan panas pada daerah
sekitar luka tersebut. Pasien mengaku bahwa luka bekas suntikan tersebut semakin hari
semakin membaik.
Pasien datang ke RSPI SS (9/5/13) dengan keluhan penurunan kesadaran, disertai
kaku pada leher bagian belakang. Penurunan kesadaran sejak kamis (9/5/13) pagi dan sempat
dirawat di RS Mitra Kemayoran sebelum dirujuk ke RSPI. Pasien tidak sadarkan diri kurang
lebih selama 3 hari hingga sabtu (11/5/13) malam, disertai dengan perasaan gelisah. Pada
sabtu malam, pasien berangsur-angsur mulai sadar dengan kondisi yang masih tampak lemah.
Kesadarannya terus bertambah baik hingga saat ini pasien telah pulih kesadarannya. Pasien
juga sempat kejang ketika berada di RS Mitra Kemayoran, kejang kaku pada kedua lengan
dan tungkai, selama 10 menit, pada saat sebelum kejang dan setelah kejang pasien tetap
tidak sadarkan diri. Riwayat kejang sebelumnya disangkal. Riwayat mendapat obat selama di
RS Mitra Kemayoran: Stesolid supp 10 mg sebanyak 1x, Stesolid injeksi 2,5 mg sebanyak
3x, Kalmetasone injeksi 5 mg sebanyak 1x dan Proris supp 125 mg sebanyak 1x.
Sebelum dibawa ke RS, pasien panas tinggi mendadak sejak 7 Mei 2013 siang (2
hari SMRS, saat ini sudah hari ke-10). Panas sepanjang hari, berkurang setelah minum obat
penurun panas namun beberapa saat panas kembali tinggi. Panas mereda pada 10 Mei 2013
sore atau sekitar 3 hari setelahnya. Pada saat awal panas tersebut disertai dengan nyeri kepala,
daerah belakang mata, leher dan pundak. Nyeri pada daerah ulu hati. Ada mual dan muntah,
muntah pada 2 hari pertama panas, 3 x/hari, jumlah 1 gelas air mineral setiap kali
muntah, dengan ampas, isi makanan yang dimakan, dan tidak menyemprot. Badan terasa
lemas dan nafsu makan menurun sejak pasien mulai panas. Ketika berada di RS keluhan
muntah dan nyeri belakang mata, leher, pundak sudah tidak ada, namun pasien masih merasa
panas, pusing, mual, dan nyeri daerah ulu hati. Saat ini keluhan tersebut sudah tidak ada,
hanya nafsu makan masih sedikit berkurang.
Riwayat BAK dan BAB saat di rumah baik, jumlah sesuai dengan pemasukan dari
minum dan makan pasien. Namun pada saat hari ke-2 panas, jumlah urin yang dikeluarkan
mulai berkurang, kira-kira sebanyak 2 - 3 gelas air mineral per hari dengan jumlah minum 2
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 4

botol air mineral sedang. Semakin hari selama perawatan di RS jumlah urin yang dikeluarkan
semakin sedikit. BAB mencret pada hari jumat (10/5/13) dengan frekuensi 3-4x/hari, jumlah
sekitar gelas air mineral (120 cc) setiap kali mencret, cair, warna jernih sedikit
kekuningan, disertai ampas sedikit, tanpa lendir dan darah. Mencret selama 4 hari hingga
senin malam dengan jumlah dan frekuensi semakin hari semakin berkurang. Saat ini BAK
dan BAB pasien telah normal kembali.
Riwayat pemasangan selang makan dan kateter urin selama beberapa hari berada di
rumah sakit. Menurut kakek pasien pemasangan dilakukan pada hari jumat siang pada saat
kesadaran pasien masih belum pulih total. Tampak adanya keluar cairan berwarna merah
kecokelatan kadang disertai darah warna merah segar melalui selang makan pada jumat
(panas hari ke-3), dengan jumlah kira-kira 1 sendok makan per hari, semakin hari jumlah
darah yang keluar semakin bertambah hingga mencapai 3 sendok makan per hari. Pada
kateter juga tampak adanya urin disertai darah berwarna merah tua, jumlah kira-kira 2 sendok
makan per kantung urin. Urin berwarna kuning kecokelatan, sedikit pekat, keruh dengan
jumlah urine rata-rata per hari kurang dari 1 kantung urin ( 3/4 nya). Kakek pasien
mengatakan telah mendapatkan penjelasan dari perawat bahwa ada perdarahan di saluran
pencernaan dan urin, maka kakek pasien menyetujui untuk dibawa ke ICU pada keesokan
harinya (minggu, 12/3/13). Selama di ICU pasien sempat diberikan trombosit konsentrat
sebanyak 6 kantung TC. Dan sekitar 4 jam pasien berada di ICU, perdarahan di lambung dan
urin berhenti. Setelah keluar dari ICU selang untuk makan dan kateter sudah tidak terpasang
lagi. Saat selang makan dilepas, pasien mulai diberi susu formula diselingi makan bubur tim
dengan frekuensi 5-6 x/hari. Sekarang nafsu makan pasien telah membaik. Mimisan, gusi
berdarah, perdarahan kulit lainnya disangkal.
Menurut ibu pasien, di lingkungan keluarga, tetangga dan teman pasien tidak ada
yang menderita sakit demam berdarah dengue seperti yang dialami anaknya. Riwayat
bepergian ke Pulau Seribu, Indonesia bagian timur dalam 1 bulan terakhir disangkal. Ibu
pasien mengaku baru pertama kali anaknya terdiagnosa DBD.
Riwayat pengobatan selama di rumah sakit: Cairan yang dipakai berupa cairan
kristaloid (RL, RA, Asering, KaEn 3B) dan koloid (WIDAHES), Parasetamol (3 x 500 mg),
Taxegram (2 x 1 g IV), Luminal (75 mg IM 2 x 45 mg PO), Kloramfenikol (4 x 500 mg),
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 5

Thyamicin forte (3 x II cth), Kalmetason (3 x 1 ampul), Lacto B (3 x 1 sachet), Zinkid (1 x 1
tab), Puyer 3 x 1 (Cefixime, B Complex dan CTM).

II.2. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit dan belum pernah menderita penyakit
DBD sebelumnya. Riwayat kejang, asma, alergi makanan, alergi obat dan penyakit paru
disangkal.

II.3. RIWAYAT KELUARGA
Ayah pasien bernama Tn. Vicky Widia Dewata berusia 33 tahun, bekerja sebagai
pegawai swasta. Ibu pasien bernama Ny. Nurdianah berusia 37 tahun, dengan pekerjaan
sebagai ibu rumah tangga.

II.4. DATA PERUMAHAN
Pasien tinggal pada keadaan rumah yang cukup baik untuk menampung seluruh
anggota keluarga, keadaan rumah bersih dan pencahayaan cukup. Tempat penampungan air
tertutup baik. Lingkungan sekitar rumah pasien bersih dan tertata rapi.

II.5. RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN
Kehamilan
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter, tidak mengalami gangguan
atau kelainan selama proses kehamilan.
Kelahiran
Tempat kelahiran : Rumah Sakit
Penolong persalinan : Dokter
Cara persalinan : Spontan
Masa gestasi : Cukup bulan
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : Tidak tahu
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 6

Lingkar kepala : Tidak tahu
Langsung menangis : Iya
Nilai APGAR : Tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada

II.6. RIWAYAT IMUNISASI DASAR
Pasien mendapat imunisasi lengkap sesuai dengan jadwal imunisasi dasar.
BCG : (+)
DPT : (+), ibu pasien lupa berapa kali dan waktunya secara tepat
Hepatitis B : (+), ibu pasien lupa berapa kali dan waktunya secara tepat
Polio : (+), ibu pasien lupa berapa kali dan waktunya secara tepat
Campak : (+)

II.7. RIWAYAT PERTUMBUHAN
Menurut ibu pasien pertumbuhan anaknya cukup baik, berat badan dan tinggi badan
bertambah seiring bertambahnya usia. Tidak ada gangguan selama periode perumbuhan
pasien hingga saat ini.

II.8. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama: tidak tahu
Gangguan perkembangan mental dan emosi: tidak ada
Psikomotor:
Tengkurap : tidak tahu
Duduk : tidak tahu
Berdiri : usia 12 bulan
Berjalan : usia 18 bulan
Berbicara : tidak tahu
Membaca dan menulis : saat TK ( 5 tahun)


Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 7

II.9. RIWAYAT MAKANAN
Pasien mengkonsumsi ASI sejak lahir hingga usia 2 tahun, dengan ASI eksklusif
selama 6 bulan pertama. Kemudian secara bertahap pasien mengkonsumsi biskuit, bubur
susu, nasi tim dan makanan untuk dewasa dalam porsi yang cukup hingga saat ini. Ketika
pasien berusia lebih dari 1 tahun, pasien mengkonsumsi bervariasi jenis makanan. Setiap hari
pasien makan nasi dengan frekuensi 3/hari, porsi cukup. Dengan sumber protein yang dimakan
biasanya berasal dari daging dan telur, kadang disertai dengan tahu, tempe serta sayur-sayuran. Susu
sapi bubuk dan cair hampir setiap hari dikonsumsi oleh pasien.
Umur
(bln)
ASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0-2
2-4
4-6
6-8
8-10
10-12

III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada hari : Kamis, 16 Mei 2013 (pukul 14.00)

III.1. PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg, pada lengan kanan
Nadi : 96 x/menit, pada arteri radialis, teraba kuat dan teratur
Pernafasan : 22 x/menit, tipe abdominal-thorakal
Suhu : 36,7
o
C, pada axila kanan
Berat badan : 50 kg (saat pasien pertama masuk R.S.)
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 8

Tinggi badan : tidak dilakukan pengukuran
Keadaan gizi : Baik

III.2. PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala : Bentuk normal, ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut hitam,
terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan,
ubun- ubun besar sudah menutup
Mata : Kelopak mata tidak ada kelainan, konjungtiva tidak anemis dan tidak
hiperemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor diameter 3 mm, refleks
cahaya +/+
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak terlihat sekret, tidak terlihat
serumen, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada nyeri tarik aurikuler, KGB
pre, retro dan infraauriculer tidak teraba membesar
Hidung : Bentuk normal, sekret (-), tidak ada septum deviasi , pernapasan cuping
hidung (-)
Tenggorok : Faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang tidak hiperemis
Mulut : Mukosa bibir basah, tidak tampak perioral sianosis, lidah tidak kotor
Leher : Trakea di tengah, kelenjar thyroid tidak teraba membesar, kelenjar getah
bening submandibular, supra-infraclavicular tidak teraba membesar
Dinding toraks : Ukuran normal, tidak ada retraksi otot supraclavicula, intercostalis dan
subcostalis, rash konvalesen (+) pada daerah infraclavicula
Paru :
Inspeksi : Simetris dalam diam dan pergerakan nafas
Palpasi : Stem fremitus kanan kiri, depan belakang sama kuat
Perkusi : Sonor, batas paru hepar ICS VI garis midclavicularis dextra
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 9

Jantung :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis di ICS V garis midclavicularis
sinistra
Palpasi : Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V garis midclavicularis sinistra, 2
cm ke arah medial
Perkusi : Redup, batas jantung kanan ICS IV garis parasternal dextra, batas
jantung kiri ICS IV garis midclavicularis sinistra, batas pinggang jantung ICS II garis
parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, ballotemen (-), tidak
ada nyeri tekan epigastrium
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+), normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema, rash konvalesen pada
extremitas atas proximal dan distal, extremitas bawah bagian proximal
Tulang belakang: Bentuk normal, tidak skoliosis, tidak lordosis, tidak kifosis
Kulit : Rash konvalesen pada kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas,
sedikit pada daerah sekitar infraclavicula. Hematoma pada lipat siku kanan dan
kiri, serta pergelangan tangan kiri bagian ekstensor. Bullae dengan ukuran 1,5
x 2 cm pada daerah pergelangan tangan kiri bagian ekstensor

III.3. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Rangsang Meningeal : (-)
Refleks Fisiologis:
- Biceps : tidak dilakukan pemeriksaan
- Triceps : +/+, normal
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 10

- Patela : +/+, normal
- Tendo Achilles : +/+, normal
Refleks Patologis : (-)
Parese : (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel Pemeriksaan Laboratorium Darah (16 Mei 2013)
Hematologi Hasil Nilai normal
Leukosit 5,5 4,5 13,5 ribu/L
Eritrosit 4,17 4,4 5,9 juta/L
Hb 10,9 11 15 g/dL
Ht 32 40 52 %
Trombosit 114 156 408 ribu/L
MCV 77 69 93 fL
MCH 26 22 34 pq
MCHC 34 32 36 g/dL
LED 8 (14/5/13) 0 10 mm

Tabel Pemeriksaan Hitung Jenis Leukosit (14 Mei 2013)
Hitung Jenis Hasil Nilai Normal
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 11

Basofil 0 0 1 %
Eosinofil 1 1 5 %
Batang 1 3 6 %
Segmen 62 25 - 60 %
Limfosit 34 25 50 %
Monosit 2 1 6 %

Tabel Pemeriksaan Urine Lengkap (13 Mei 2013)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Urinalisa
Berat jenis 1,025 1,003 - 1,035
pH 6,5 4,5 8,0
Lekosit esterase ++ Negatif /L
Nitrit - Negatif
Albumin - Negatif mg/dL
Glukosa - Negatif mg/dL
Keton + Negatif mg/dL
Urobilinogen + 1 mg/dL
Bilirubin - Negatif mg/dL
Darah ++++ Negatif /L
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 12

Sedimen Mikroskopis
Eritrosit 60 < 3 /L
Lekosit 12 < 10 /L
Silinder - 0 1 /LP
Epitel +
Bakteri +
Kristal -
Makroskopis
Warna Kuning
Kejernihan Keruh

Tabel Pemeriksaan Laboratorium Faal Hati dan Faal Ginjal (13 Mei 2013)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Faal Hati
SGOT 108 0,00 47,00 U/L
SGPT 35 0,00 39,00 U/L
Gamma GT 136 0,00 17,00 U/L
Alkaline Fosfatase 82 0,00 720,00 U/L
Bilirubin total 1,62 0,00 1,00 mg/dL
Bilirubin direk 1,36 < 0,2 mg/dL
Bilirubin indirek 0,26 g/dL
Protein total 4,37 6,00 8,00 g/dL
Albumin 2,46 3,00 5,00 g/dL
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 13

Globulin 1,91 1,8 4 mg/dL
Faal Ginjal
Ureum / BUN 23 < 48 mg/dL
Creatinin 0,45 0,00 1,00 mg/dL
Glukosa Sewaktu 85 60,00 100,00 mg/dL

Tabel Pemeriksaan Kimia Darah dan Elektrolit (14 Mei 2013)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
PH 7,435 7,35 -7,45
PCO
2
29,9 33 44 mmHg
PO
2
100,5 71 104 mmHg
HCO
3
19,7 22 29 mmol/L
Total CO
2
20,6 21 27 mmol/L
BE -3,3 (-2) (+3) mmol/L
SaO
2
97,9 94 98 %
Natrium 143 135 145 mmol/L
Kalium 3,37 3,5 5,0 mmol/L
Chlorida 102 94 - 111 mmol/L

Pemeriksaan Laboratorium Serologi (12 Mei 2013)
DHF / Dengue IgG : (+) Positif
DHF / Dengue IgM : (-) Negatif
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 14

Pemeriksaan Laboratorim (10 Mei 2013)
NS
1
: (-)
Leptospira IgM : (-)
Leptospira IgG : (-)
CRP : (+), titer 18,76
Hasil Roentgen Thorax dan CT Scan (10 Mei 2013): dalam batas normal, tidak ditemukan
kelainan seperti efusi pleura maupun perdarahan intrakranial.

V. RINGKASAN
Dari Anamnesa
Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia 11 tahun 10 bulan secara
autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 16 Mei 2013 pukul 14.00, dengan keluhan
saat ini berupa:
Pasien mengeluh tampak bercak bercak berwarna kemerahan sejak 2 hari yang
lalu. Bercak kemerahan tersebut dirasa pasien semakin hari semakin jelas, berbatas
tegas, dan tidak hilang ketika kulit diregangkan. Tidak nyeri dan tidak terasa panas.
Tampak jelas pada daerah kulit di kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas,
serta beberapa bagian tubuh pasien lainnya. Bercak-bercak kemerahan itu muncul
pada hari ke-7 pasca demam.
Lepuhan yang dikelilingi kulit berwarna ungu kemerahan pada pergelangan tangan
kiri pasien sejak beberapa hari yang lalu (kakek pasien lupa persisnya kapan).
Ukuran sekitar 1,5 x 2 cm, isi cairan, warna putih jernih, nyeri dan terasa panas.
Saat ini kulit yang melepuh tersebut sedikit membaik daripada hari sebelumnya dan
telah diolesi obat kemudian dibungkus oleh kasa perban.
Luka bekas tusukan jarum suntik di bagian lipat siku kanan dan kiri, pergelangan
tangan kiri sejak 3 hari lalu. Luka berwarna ungu kemerahan dengan diameter 3
- 4 cm. Terasa agak nyeri saat siku ditekuk, sedikit bengkak dan panas pada daerah
sekitar luka tersebut. Pasien mengaku bahwa luka bekas suntikan tersebut semakin
hari semakin membaik.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 15

Sebelum muncul bercak-bercak merah, pasien memiliki riwayat panas tinggi selama
3 hari disertai nyeri kepala, daerah belakang mata, leher dan pundak, serta nyeri ulu
hati. Nafsu makan menurun. Terjadi penurunan kesadaran pada hari ke-2 panas
dengan perasaan gelisah, kaku pada leher bagian belakang serta kejang. Penurunan
kesadaran selama 3 hari. Kejang selama 10 menit, kejang kaku pada kedua lengan
dan tungkai, pada saat sebelum dan setelah kejang pasien tetap tidak sadarkan diri.
Riwayat kejang sebelumnya disangkal.
Riwayat pemasangan selang makan dan kateter urin selama beberapa hari di rumah
sakit. Pada selang makan tampak adanya cairan berwarna merah coklat kadang
disertai darah warna merah segar saat panas hari ke-3, dengan jumlah kira-kira 1
hingga 3 sendok makan per hari. Kateter tampak urin disertai darah merah segar,
jumlah kira-kira 2 sendok makan per kantung urin. Urin warna kuning kecokelatan,
sedikit pekat, keruh dengan jumlah rata-rata per hari kurang dari 1 kantung urin (
3/4 nya). Perdarahan tersebut berlangsung selama 3 hari hingga pasien memerlukan
perawatan di ICU. Mimisan, gusi berdarah dan perdarahan kulit lainnya disangkal.
Riwayat pengobatan pasien selama di rumah sakit: Cairan yang dipakai berupa
cairan kristaloid (RL, RA, Asering, KaEn 3B) dan koloid (WIDAHES),
Parasetamol (3 x 500 mg), Taxegram (2 x 1 g IV), Luminal (75 mg IM 2 x 45 mg
PO), Kloramfenikol (4 x 500 mg), Thyamicin forte (3 x II cth), Kalmetason (3 x 1
ampul), Lacto B (3 x 1 sachet), Zinkid (1 x 1 tab), Puyer 3 x 1 (Cefixime, B
Complex dan CTM).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
Keadaan umum : Tampak sakit ringan, compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg, pada lengan kanan
Nadi : 96 x/menit, pada arteri radialis, teraba kuat dan teratur
Pernafasan : 22 x/menit, tipe abdominal-thorakal
Suhu : 36,7
o
C, pada axila kanan
Kepala:
Mata : CA -/-, SI -/-, pupil isokor, refleks cahaya +/+
Telinga: serumen -/-
Hidung: sekret -/-
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 16

Mulut : mukosa mulut dan lidah basah, faring tidak hiperemis, lidah tidak
kotor, tidak tampak sianosis
Leher : KGB tidak teraba pembesaran
Thorax : rash konvalesen pada dinding thorax superior, cor dan pulmo: dbN
Abdomen: Datar, supel, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, tidak ada nyeri tekan,
timpani, bising usus (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema, rash konvalesen pada
extremitas atas proximal dan distal, extremitas bawah bagian proximal
Kulit : Rash konvalesen pada kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas,
sedikit pada daerah sekitar infraclavicula. Hematoma pada lipat siku kanan dan kiri,
serta pergelangan tangan kiri bagian ekstensor. Bullae dengan ukuran 1,5 x 2 cm pada
daerah pergelangan tangan kiri bagian ekstensor
Pemeriksaan neurologis: Rangsang meningeal (-), refleks fisiologis (+), refleks
patologis (-)
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan:
Leukosit : 5.500 /mm
3

Hb : 10,9 g/dL
Ht : 32 % (nilai tertinggi: 45 %)
Trombosit : 114.000 / L (nilai terendah: 10.000 / L)
LED : 8
CRP : (+), titer 18,76 (10 Mei 2013)
NS
1
: (-), tanggal 10 Mei 2013 (panas hari ke-3)
Dengue IgM : (-), tanggal 12 Mei 2013 (panas hari ke-5)
Dengue IgG : (+), tanggal 12 Mei 2013 (panas hari ke-5)

VI. DIAGNOSA SAAT INI DAN DIAGNOSA BANDING
Diagnosa : Dengue Haemorragik Fever grade III Fase Konvalesen
Phlebitis
Diagnosa Banding : -


Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 17

VII. PENATALAKSANAAN
NON-FARMAKOLOGI
Memberitahukan cara mengompres dan mengoleskan obat salep kulit pada area lesi
secara benar dan teratur
Mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan
3M; yaitu menutup, menguras, mengubur barang-barang yang dapat menampung air
Menganjurkan agar pasien memakai repellent untuk mencegah gigitan nyamuk,
khususnya saat berada di lingkungan sekolah
FARMAKOLOGI
Phlebitis : Kompres air hangat
Tromboprop gel
Gentamicin salep (dioleskan 3x sehari)
Metcovazin salep (dioleskan pada bullae 1x kemudian ditutup kasa
dan perban, diamkan selama 3 hari)

VIII. PROGNOSIS
Dengue Haemorragik Fever grade III Fase Konvalesen
Ad vitam : ad bonam
Ad function : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Phlebitis
Ad vitam : ad bonam
Ad function : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

IX. RIWAYAT RAWAT INAP
Jumat, 17 Mei 2013; pukul 08.00 (rawat hari ke-8)
S : Masih tampak bercak bercak kemerahan, tidak nyeri dan tidak terasa panas. Bercak
kemerahan telah tampak sedikit berkurang dari sehari sebelumnya. Luka bekas
tusukan jarum suntik masih sama dari hari sebelumnya, masih belum ada perbaikan.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 18

Lepuhan di pergelangan tangan kiri masih nampak. Nafsu makan dan minum baik.
BAB dan BAK normal.
O : KU : Tampak sakit ringan
KS : Compos mentis
TD : 120/75 mmHg Nadi : 94 x/menit
RR : 24 x/menit Suhu : 36
o
C
Mata : CA -/-, SI -/-, pupil isokor, refleks cahaya +/+
Mulut : mukosa mulut dan lidah basah, faring tidak hiperemis, lidah tidak kotor,
tidak tampak sianosis
Thorax: rash konvalesen pada dinding thorax superior, cor dan pulmo: dbN
Abdomen: Datar, supel, hepar dan lien tidak teraba pembesaran, tidak ada nyeri
tekan, timpani, bising usus (+) normal
Extremitas: rash konvalesen pada extremitas atas proximal dan distal, extremitas
bawah bagian proximal
Kulit : Rash konvalesen pada kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas,
sedikit pada daerah sekitar infraclavicula. Hematoma pada lipat siku kanan dan
kiri, serta pergelangan tangan kiri bagian ekstensor. Bullae dengan ukuran 1,5
x 2 cm pada daerah pergelangan tangan kiri bagian ekstensor
A : Dengue Haemorragik Fever grade III Fase Konvalesen
Phlebitis
P : Kompres dengan menggunakan air hangat
Tromboprop gel
Gentamicin salep
Metcovazin salep
Boleh pulang

X. RESUME SAAT PASIEN PULANG
Nama : Dimas Putranta
Usia : 11 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal MRS : 9 Mei 2013
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 19

Tanggal keluar : 17 Mei 2013
Diagnosa akhir : DHF grade III, Ensefalopati dengue, Perdarahan saluran cerna,
Perdarahan saluran kencing, Hypoalbuminemia, Hypokalemia,
Phlebitis.
Operasi : Pemasangan CVP di ICU

RINGKASAN RIWAYAT & PENEMUAN FISIK PENTING
Riwayat : Panas tinggi mendadak 3 hari, nyeri kepala, belakang bola mata, nyeri
daerah ulu hati, mual, muntah, nafsu makan menurun. Penurunan
kesadaran, gelisah, kejang selama 10 menit. Cairan NGT warna merah
kecokelatan kadang disertai darah merah segar 1 -3 sendok makan
per hari. Kateter keluar darah warna merah tua 2 sendok makan.
Pemeriksaan fisik: Kesadaran: delirium, TD: 92/78 mmHg, Nadi: 139 x/menit,
RR: 29 x/menit, Suhu: 39
o
C. Lingkar perut: 90 cm.
Abdomen: Distensi abdomen, nyeri tekan epigastrium
Kulit: Rash konvalesen pada keempat ekstremitas, hematoma lipat siku
kanan dan kiri, serta pergelangan tangan kiri, bullae di pergelangan
tangan kiri
Hasil pemeriksaan laboratorium, radiologi dan konsultasi yang penting:
Dengue IgG (+)
Trombositopenia: 11.000 /L
Hemokonsentrasi (+); Ht: 45%
Albumin: 2,46 g/dL
Kalium : 2,67 mmol/L
Keadaan saat pulang: perbaikan.
Pengobatan saat keluar R.S.: Tromboprop gel, Gentamicin salep.





Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 20

PEMBAHASAN KASUS

PERJALANAN PENYAKIT

Gambar. Perjalanan Penyakit DBD
Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu tubuh
sangat tinggi hingga 40
o
C dan tidak membaik dengan obat penurun panas. Fase ini biasanya
akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka kemerahan, eritema, nyeri seluruh
tubuh, mialgia, artralgia, dan nyeri kepala. Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri
tenggorokan atau mata merah (injeksi konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan
penyakit lainnya secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini
meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat dijadikan
parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan tidak gawat. Oleh karena
itu, memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning signs) dan parameter lain sangat penting
untuk mengenali progresi ke arah fase kritis. Warning signs meliputi:
Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan mukosa,
pembesaran hati > 2 cm
Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 21

Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa
(hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam, namun
dapat juga dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5 demam. Perdarahan vagina masif pada
wanita usia subur dan perdarahan gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi
walau lebih jarang. Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet positif, menandakan
adanya peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD
mempunyai hasil positif.
Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam.
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari
hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae. Pada sebagian kecil dapat
ditemukan ikterus. Penemuan laboratorium yang paling awal ditemui adalah penurunan
progresif leukosit, yang dapat meningkatkan kecurigaan ke arah dengue.
Dari anamnesa didapatkan gejala pada fase febris seperti demam tinggi mendadak
selama 3 hari, dengan suhu panas tertinggi mencapai 39
o
C, dan tidak membaik setelah
minum obat penurun panas. Didapatkan pula nyeri kepala, belakang bola mata,
epigastrium, namun tidak didapatkan muka kemerahan, eritema, mialgia, artralgia, nyeri
tenggorokan atau mata merah.
Warning sign dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium dimana terjadi penurunan
kadar trombosit (147 102 89 75 x10
3
/L) dan peningkatan hematokrit (40
41 44 vol%) dalam darah.

Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam mulai
cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini harus diwaspadai
sebagai awal kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga dibawah 37,5 - 38
o
C yang
biasanya terjadi pada hari ke 3-7, peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan
ini berbanding lurus dengan peningkatan hematokrit. Periode kebocoran plasma yang
signifikan secara klinis biasanya terjadi selama 24-48 jam.
Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat merupakan
tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi. Temuan efusi pleura
dan asites secara klinis bergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
Derajat peningkatan hematokrit sebanding dengan tingkat keparahan kebocoran plasma.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 22

Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis akibat
kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat tanda kegagalan
sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. Saat terjadi syok
berkepanjangan, organ yang mengalami hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi
(impairment), asidosis metabolik, dan koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini
menyebabkan perdarahan hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan
syok hebat.
Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat dikatakan
menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang menjadi fase kritis
kebocoran plasma tanpa penurunan demam sehingga pada pasien perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya kebocoran plasma.
Terjadi penurunan suhu pasien menjadi 36,6
o
C pada demam hari ketiga dari semula 38,8
o
C. Pada demam hari keempat didapatkan peningkatan kadar Ht secara signifikan (45
vol%) dari hari-hari sebelumnya.
Terdapat pula tanda kebocoran plasma pada hari keempat dan kelima demam, seperti
leukopenia progresif (2.300/L) dan penurunan kadar platelet yang cepat (11.000/ L).
Tanda-tanda syok mulai nampak sejak demam hari ke-5 dan 6. Ditandai dengan
penurunan tekanan nadi ( 20 mmHg 92/78 mmHg hari ke-6) dan denyut nadi yang
cepat (112-150 x/mnt).
Pada pemeriksaan fisik adanya distensi abdomen, lingkar perut yang bertambah 79 83
90 cm yang mengarah ke asites.

Fase Penyembuhan (Recovery)
Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi gradual
cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum pasien membaik, nafsu
makan kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status hemodinamik meningkat, dan
diuresis normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam kulit putih yang dikelilingi area
kemerahan disekitarnya dan pruritus generalisata. Bradikardia dan perubahan
elektrokardiografi juga sering ditemukan pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih
rendah karena efek dilusi yang disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan
meningkat segera setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 23

Pemberian cairan pada fase ini perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan
edema paru atau gagal jantung kongestif.
Pada fase penyembuhan (hari ke-8 setelah demam), keadaan umum pasien tersebut mulai
membaik yang ditandai dengan nafsu makan mulai baik, status hemodinamik meningkat,
dan diuresis kembali normal (3,98 cc/kgBB/jam). Timbul ruam / bercak-bercak
kemerahan pada keempat ekstremitas dan beberapa pada bagian tubuh pasien pada hari
ke-8 setelah demam.
Terjadi reabsorbsi cairan: kadar hematokrit menjadi lebih rendah dari normal (30 vol%)
karena terjadi hemodilusi.

DIAGNOSA
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium. Apabila
ditemukan dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi
sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD.
Gejala klinis:
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari disertai gejala klinis
yang tidak spesifik seperi anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi dan
kepala.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji torniquet positif dan salah satu bentuk
perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
hematemesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati (tanpa disertai ikterus). Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila
semula hati tidak teraba kemudian selama perawatan membesar dan / atau pada
saat masuk rumah sakit hati sudah teraba dan selama perawatan menjadi lebih
besar dan kenyal, hal ini merupakan tanda terjadinya syok.
4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (
20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80 mmHg) didertai kulit
yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien
menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
Laboratorium:
1. Trombositopenia ( 100.000 / L)
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 24

2. Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan nilai hematokrit 20%
dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa
konvalesen.
Pada kasus pasien tersebut didiagnosis DBD karena memenuhi tiga dari patokan klinis
ditambah dengan hasil laboratorium.
Panas yang tinggi mendadak dimulai sejak tanggal 7 Mei hingga 10 Mei 2013 (selama
3 hari), disertai dengan penurunan nafsu makan (anoreksia), nyeri kepala, nyeri
daerah belakang bola mata, nyeri ulu hati.
Manifestasi perdarahan spontan nyata berupa perdarahan saluran cerna yang dilihat
dari adanya cairan berwarna merah kecokelatan pada selang NGT, hematuria pada
pemeriksaan urinalisa ditemukan darah dalam urine dan secara mikroskopik urine
ditemukan eritrosit 60 /L.
Tanda-tanda syok seperti penurunan kesadaran, gelisah, tekanan nadi menurun 20
mmHg (92/78 mmHg).
Trombositopenia dengan jumlah trombosit 11.000 /L darah.
Hemokonsentrasi yang ditandai dengan peningkatan nilai hematokrit 30%

Manifestasi klinis DBD dibagi dalam 4 derajat:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau perdarahan lain.
Derajat III : Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin,
lembab, dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV : Syok berat, nadi tidak terba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
Pada kasus pasien tersebut merupakan DBD dengan derajat III karena ditemukan tanda-
tanda kegagalan sirkulasi seperti tekanan nadi menurun dan pasien menjadi gelisah.

PEMERIKSAAN SEROLOGIS
Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima setelah onset
penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar IgM meningkat dengan
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 25

cepat dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan menurun hingga tak terdeteksi lagi
setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG muncul beberapa hari setelah IgM dan pada infeksi primer,
produksi IgG lebih rendah dibandingkan IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam
sirkulasi, bahkan seumur hidup. Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih
banyak dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG merupakan
antibodi predominan pada infeksi sekunder.

Sumber: Dengue, Tropical Medicine: Science and Practice
Pada pasien tersebut dilakukan pemeriksaan Dengue IgM dan IgG pada demam hari
kelima (Minggu, 12 Mei 2013) dan didapatkan hasil IgG (+), sedangkan hasil IgM (-)
maka berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pasien tersebut diduga menderita
infeksi dengue sekunder. Akan tetapi menurut ibu pasien, anaknya baru pertama kali
menderita DBD dan dirawat akibat DBD. Dapat disimpulkan bahwa kemungkinan pasien
ini pernah menderita infeksi virus dengue dengan manifestasi klinis yang ringan
sehingga pasien tidak menyadari bahwa dirinya terkena demam dengue dan saat ini
pasien terkena infeksi sekunder dengue dengan manifestasi klinis yang lebih nyata.

Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik virus
dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA, antigen NS1
dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke-12 demam pada infeksi
primer dengue atau sampai hari ke-5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga
dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
Pemeriksaan dilakukan pada hari ketiga demam dan didapatkan hasil (-)



Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 26

TATALAKSANA

Sindrom syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil,
lembut atau tidak teraba, tekanan nadi menyempit ( 20 mmHg), bibir biru, tangan kaki
dingin, tidak ada produksi urin.
1. Segera beri infus kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 20 ml/kgBB secepatnya
(diberikan dalam bolus selama 30 menit), dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat
(DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur), berikan ringer laktat 20
DBD derajat III & IV
1. Oksigenasi
2. Penggantian volume (cairan kristaloid isononis)
Ringer laktat/NaC. 0,9%
20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit,apakah syok teratasi?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balans selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi > 20 mmHg
Tidak sesak napas/sianosis
Ekstremitas hangat
Diuresis cukup 2 ml/kgBB/jam
Cairan dan tetesan disesuaikan
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Hb, Ht, trombosit
Stabil dalam 24 jam
Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Ht stabil dalam 2x pemeriksaan
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi
Syok tidak teratasi
1. Lanjutkan cairan
20 ml/kgBB/jam
2. Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FPP
10-20 (max30) ml/kgBB/jam
3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok teratasi
Syok belum teratasi
Ht turun
Ht tetap tinggi/naik
Transfusi darah segar 10
ml/kgBB diulang sesuai
kebutuhan
Koloid 20 ml/kgBB
Kesadaran menurun
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi < 20 mmHg
Distres pernapasan/sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstreminitas dingin
Periksa kadar gula darah
1. Oksigenasi (berikan O
2
2-4 l/menit)
2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaC. 0,9%
20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 27

ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi setiap 15 menit, hematokrit dan
trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat dilanjutkan
20 ml/kgBB ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (dextran 40)
sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus
yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum,
tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam.
Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah.
a) Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin / hematokrit,
tekanan nadi > 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10
ml/kgBB/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabil dan
hematokrit menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7
ml/kgBB/jam sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil, kemudian secara
bertahap cairan diturunkan 5 ml/kgBB/jam dan seterusnya 3 ml/kgBB/jam.
Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi.
Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiap jam
(uasahakan urin 1 ml/kgBB/jam, BD urin < 1,020), dan pemeriksaan
hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
b) Apabila syok belum teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi
masih > 40 vol%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kgBB. Apabila
tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20 ml/kgBB dan lanjutkan
cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8 cm
H
2
O) pada syok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan.
Pada pasien ini BB dihitung berdasarkan rumus 2n + 8 = (2 x 11) + 8 = 30 kg
Ketika pasien mulai mengalami penurunan tekanan darah (pada demam hari ke-4) 96/46
mmHg dengan nadi: 129 x/mnt dan diuresis 0,8 cc/jam pada Sabtu, 11 Mei 2013 pukul
13.40 diberikan loading cairan ringer asetat sebanyak 20 cc/kgBB/jam = 600 cc/jam
kemudian diturunkan 300 cc/jam selama 3 jam, kemudian pada pukul 19.30 pasien
mendapatkan loading 2 jalur cairan RA lagi sebanyak 300 cc selama jam, selanjutnya
2 jalur 150 cc selama 1 jam. Setelah itu cairan dipertahankan sebanyak 10 cc/kgBB/jam.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 28

Minggu, 12 Mei 2013 diperiksa darah rutin dan didapatkan kadar Ht masih > 40% (43%)
dan tekanan darah yang masih menurun menjadi 88/65 mmHg sehingga diberikan
loading larutan koloid (Widahes) sebanyak 20 cc/kgBB atau 600 cc selama jam.
Kemudian di cek TD menjadi 108/63 dan keadaan klinis stabil sehingga cairan diganti
RA 10 cc/kgBB, pada pukul 17.00 cairan diturunkan menjadi 7 cc/kgBB/jam, kemudian
keadaan klinisnya stabil dilanjutkan 5 cc/kgBB/jam. Pasien juga sempat mendapatkan
transfusi TC sebanyak 88 cc, transfusi dilakukan karena kadar trombosit yang terus
menurun (11.000/L) dan masih ditemukan perdarahan masif dari saluran cerna dan urin.
Pemberian jumlah cairan diturunkan menjadi: 1160 cc/kgBB/hari atau 1,6 cc/kgBB/jam
pada hari Senin dengan perimbangan keadaan klinis yang terus membaik (penurunan
kadar Ht dan perdarahan mulai berhenti). Pada hari Selasa mendapatkan 1500
cc/kgBB/hari dan larutan infus dihentikan setelah 2 hari setelah keadaan klinis stabil.

ENSEFALOPATI DENGUE
Manifestasi klinis pasien ensefalopati dengue pada semua pasien mengalami demam
dengan lama demam sekitar 3 - 6 hari. Kadang disertai nyeri kepala, muntah, diare, kejang,
hepatomegali, defisit neurologi. Perdarahan saluran cerna yang bersamaan dengan terjadinya
epistaksis dan petekie. Penurunan kesadaran biasanya terjadi pada hari sakit ke 2-8 hari dan
lama penurunan kesadaran sekitar 1-6 hari.
Diagnosis ensefalopati dengue berdasarkan diagnosis klinis DBD menurut kriteria
WHO (1997) dengan keterlibatan susunan saraf pusat terdiri dari onset mendadak,
hiperpireksia, perubahan kesadaran sementara (gelisah, iritabel atau koma), nyeri kepala,
muntah, dengan atau tanpa kejang, serta profil cairan serebrospinal (CSS) normal. Diagnosis
akhir ensefalopati dengue dikonfirmasi dengan pemeriksaan IgM dan IgG anti dengue.
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah
teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO
3
-
, dan jumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan ringer laktat dekstrosa segera ditukar dengan larutan NaCl 0,9% :
Glukosa 5% = 3:1. Untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila
terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat
disfungsi hati, maka diberikan vitamin K IV 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah
diusahakan > 60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan intrakranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 29

nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi
bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi
ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat.
Dari anamnesa pasien didapatkan tanda-tanda terjadinya ensefalopati dengue, dengan
manifestasi klinis berupa demam hari ke- 2, nyeri kepala dan kejang sebanyak 1x, selama
10 menit. Terjadi pula penurunan kesadaran (delirium) selama 3 hari, disertai dengan
perasaan yang gelisah.
Diagnosis berdasarkan temuan klinis perubahan kesadaran sementara (gelisah), nyeri
kepala dan disertai kejang. IgG anti dengue (+). Tidak diketemukan kelainan pada
pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras.
Terapi yang diberikan O
2
1 liter per menit, IVFD RL 1700 cc/hari, Taxegram
(Cefotaxim) 2 x 1 g, Chloramphenicol 4 x 500 mg.

PHLEBITIS
Phlebitis merupakan inflamasi pada vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun
mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah merah, nyeri dan pembengkakan di
daerah penusukan atau sepanjang vena. Phlebitis kimia dapat terjadi akibat pemberian cairan
dengan kadar osmolaritas yang tinggi atau kecepatan pemberian larutan intravena juga
dianggap sebagai penyebab utama phlebitis kimia. Penempatan atau pemasangan katheter
intravena pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis mekanik, oleh karena
pada saat ekstremitas digerakkan, katheter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan
trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga
dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease Control and Prevention, 2002)
Pada kasus pasien tersebut terdapat luka bekas tusukan jarum suntik di bagian lipat siku
(fleksi) kanan dan kiri, serta pergelangan tangan kiri. Adanya daerah luka berwarna ungu
kemerahan dengan diameter 3 - 4 cm. Terasa agak nyeri saat siku ditekuk, sedikit
bengkak dan panas pada daerah sekitar luka tersebut.



Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 30

KESIMPULAN

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam
dengue, demam berdarah dengue sampai demam berdarah dengue disertai syok (DSS).
Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung
es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang
terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue infection dan
demam dengue) merupakan dasarnya.
Pada kasus pasien di atas merupakan kasus DBD grade III dengan manifestasi
perdarahan pada saluran cerna dan saluran kemih, disertai juga dengan komplikasi berupa
ensefalopati dengue. Beberapa gejala klinis yang khas pada DBD seperti demam tinggi
mendadak, manifestasi perdarahan spontan yang masif, tanda-tanda pre-syok, serta dari
pemeriksaan laboratorium tampak penurunan jumlah trombosit dan terjadi hemokonsentrasi
nyata pada pasien tersebut. Perjalanan penyakitnya juga beragam mulai pada fase febris,
kritis dan penyembuhan sesuai dengan teori yang ada.
Penting diperhatikan dalam menangani kasus DBD terutama dengan syok adalah
kebutuhan cairan (terapi suportif) untuk mengatasi kehilangan cairan plasma akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Terapi cairan pada pasien
tersebut sesuai dengan tatalaksana







TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI VIRUS DENGUE

PENDAHULUAN
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 31

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam
dengue, demam berdarah dengue sampai demam berdarah dengue disertai syok (DSS).
Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung
es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang
terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue infection dan
demam dengue) merupakan dasarnya.

EPIDEMIOLOGI
Istilah haemorrhagik fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada
tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun
1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain di
Asia Tenggara, di antaranya di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) yang
disebabkan virus dengue tipe 2, dan Calcuta (1963) dengan virus dengue tipe 2 dan
chikungunya berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai
di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1969.
Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi
pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul
oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di
Kalimantan Selatan dan NTB. Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di
Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun
1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD,
Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-
rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,65 (1983), dan mencapai
angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita
sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia Tenggara,
Pasifik Barat dan daerah Karibia.
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat
penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara
keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih
banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 32

negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan
anak berumur < 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan
usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu
jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari
dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.


ETIOLOGI
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang disebabkan
oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai genus Flavivirus. Virus ini memiliki
empat jenis serotipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari
infeksi salah satu jenis serotipe tidak memberikan perlindungan yang memadai untuk serotipe
lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan paling banyak menimbulkan
manifestasi klinis yang berat.
Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti (biasanya menghisap darah manusia pada siang dan sore hari). Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.


Virus dengue merupakan virus RNA, berbentuk batang, mempunyai ukuran 40 nm,
termolabil dan stabil pada suhu 70 C. Virus dengue disusun oleh protein struktural dan
protein non struktural. Protein struktural terdiri dari protein C (Capsid), protein M
(membrane) dan protein E (envelope). Protein C akan melindungi materi genetik virus
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 33

dengue. Protein M akan melindungi protein C dan materi genetik virus dengue. Protein E
terletak di membran virus dengue. Untuk kelangsungan hidup virus dengue memerlukan
protein non struktural yaitu terdiri dari protein NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B dan
NS5.

PATOFISIOLOGI
VOLUME PLASMA
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan
volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan
volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin
sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai
dari pemulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat,
syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus
syok menimbulkan dugaan bahwa syokterjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah
ekstra vaskular (ruang interstitial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang
mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukan cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikardium yang pada otopsi
ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema.
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan
yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat
dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yamg
bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan
fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang
bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut
memperlihatkan kerusakan endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka
bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau
dibuat keadaan trombositopenia.

Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 34

TROMBOSITOPENIA
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian
besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa syok. Jumlah tombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen
dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya
masa hidup trombosit diduga akibatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain
trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan
hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih
lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan
fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.

SISTEM KOAGULASI DAN FIBRINOLISIS
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan
fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products
(FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas
antitrombin III. Di samping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas faktor VII, faktor
II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya
diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis.
Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor
dan penurunan aktifitas plasminogen.
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah
terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagualation (DIC)
secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC
tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 35

akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki
syok irreversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya
diakhiri dengan kematian. (3) Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor
kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor
pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama
yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. (4) Antitrombin III yang
merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons
pemberian heparin akan berkurang.

SISTEM KOMPLEMEN
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3
proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat
hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini
menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur
klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa
penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan
oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anfilatoksin C
3a
dan C
5a
yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk
melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan
permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga
bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.
Di samping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti
tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1).
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah
(1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalan urin 24 jam, (2) adanya kompleks
imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun
berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat
penyakit.

RESPON LEUKOSIT
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 36

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan
limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan Longsaman
menyebutkan sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga pada sediaan hapus buffy
coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%).
Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-
10%). Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai
limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam
keenam. Selanjutnya dibutikan pula bahwa sampai hari keempat sampai kedelapan demam
terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Namun,
antara hari kedua sampai dengan hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan perbedaan
bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji diagnostik maka
dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai titik potong itu secara praktis mampu
membantu dignosis dini infeksi dengue dan sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan
untuk membedakan infeksi dengue dan non-dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan
bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T. Definisi LPB ialah
limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya ukuran lebih besar atau sama dengan
limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah
perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulatoval atau
berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di dalam inti terdapat nukleoli.
Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak
melekuk dan tidak bertambah biru.



PATOGENESIS
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD
belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapat model binatang percobaan yang
dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis and
the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 37

seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan
virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.

The Immunological Enchancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enchancing-antibody dan
neutralizing antibodi. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu (1) Kelompok
monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus,
dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi
non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya
kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula
yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe berbeda
cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi
imunologis (The immunological enchancement hypothesis) yang berlangsung sebagai
berikut:
a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel Kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat
(sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue
pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme
aferen.
c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah
terinfeksi.
d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus,
hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter
perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena
infeksi.
e) Sel monosit yang telah teraktifasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral
dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi
permeabilitas kapiler dan mengativasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 38


Aktifasi Limfosit T
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat rangsang
monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan
interferon (IFN- dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan
infeksi pertama), limfosit T CD
4
+
dan CD
8
+
spesifik virus dengue, monosit akan mengalami
lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotipe
virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat
serotipe / galur serotipe virus dengue yang paling virulen.

MANIFESTASI KLINIS
DEMAM DENGUE (DENGUE FEVER)
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit
biasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian
tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tingg,
nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam (rash). Rua timbul pada 6-12 jam sebelum
suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen,
menyebar ke anggota gerak dan muka.
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak disertai
peningkatan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, punggung, otot, sendi, dan
disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang
menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak
ditemukan pada setiap pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, selain itu rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium disertai kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini sering
timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah
fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam
menghilang secara lisis, disertai keluanya banyak keringat. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelanis sign,
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 39

sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis
banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun1789 melaporkan
pasien demam dengue dengan perdarahan yang kemudian meninggal. Bentuk perdarahan lain
yang dilaporkan ialah menoragi dan menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan
lahir rendah, mungkin sekali akibat perdarahan uterus.
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama periode pra-demam
dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan
limfositosis pada periode puncak penyakit dan masa konvalesen. Eosinofil menurun atau
menghilang pada permulaan dan puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri
selama periode demam, sel plasma meningkat selama periode memuncaknya penyakit dengan
terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.
Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkitis atau ovaritis,
keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan, diantaranya menurunnya
kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara, meningismus, dan ensefalopati.
Diagnosis banding mencakup infeksi virus (termasuk chikungunya), bakteri dan parasit yang
memperlihatkan sindrom serupa. Menegakan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan
adalah mustahil, terutama pada kasus-kasus sporadis.

DEMAM BERDARAH DENGUE
Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi,
perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagaan peredaran darah
(circulatory failure). Fenomena patofisiologi utama yang menetukan derajat penyakit dan
membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif, memar, dan perdarahan
pada tempat pengambilan darah vena. Petekie halus yang tersebar di anggota gerak, muka,
aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan
dapat etrjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai,
sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebuh jarang lagi dan biasanya timbul setelah
renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva kadang-
kadang ditemukan. Pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan
atau telapak kaki.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 40


SINDROMA SYOK DENGUE
Pada SSD, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-
tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di
antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi
imunologis. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit
terasa lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak
tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh
nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Fabie (1966) mengemukakan bahwa nyeri perut
hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa
sebab yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang hebat.
Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
Di samping kegagalan sirkulasi, syok ditandai dengan nadi lembut, cepat, kecil
sampai tidak teraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan
sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila
terlambat pasien akan mengalami syok berat (profound syok), tekanan darah tidak dapat
diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan
komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis
buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera terjadi
masa penyembuhan yang cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan membaik
merupakan petunjuk prognosis baik.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Jumlah trombosit 100.000 /L ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar
hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus
derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang
sering ditemukan ialah hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan ure
nitrogen darah meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah
leukosit bervariasi antara leukopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan
albuminuria ringan yang bersifat sementara.

DIAGNOSIS
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 41

Klinis:
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji torniquet positif dan salah satu bentuk
perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis
dan atau melena.
3. Pembesaran hati (tanpa disertai ikterus). Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila
semula hati tidak teraba kemudian selama perawatan membesar dan / atau pada saat
masuk rumah sakit hati sudah teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan
kenyal, hal ini merupakan tanda terjadinya syok.
4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun ( 20
mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80 mmHg) didertai kulit yang
teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi
gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
Laboratorium:
1. Trombositopenia ( 100.000 / L)
2. Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan nilai hematokrit 20%
dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen.
Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini
87% kasus tersangka DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan
serologis, dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.

WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau perdarahan lain.
Derajat III : Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin,
lembab, dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV : Syok berat, nadi tidak terba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

Demam
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 42

DBD didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak spesifik
seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi dan kepala. Demam sebagai gejala
utama terdapat pada semua kasus. Lama demam sebelum dirawat berkisar antara 2-7 hari.
Alasan mengapa orang tua membawa anaknya berobat oleh karena khawatir akan keadaan
anak yang demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada kaki dan tangan, gejala-gejala ini
sebenarnya mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan manifestasi
perdarahan di kulit menjadi nyata.

Manifestasi perdarahan
Uji torniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat dinilai sebagai
uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari pertama demam. Di daerah endemis
DBD, uji troniquet, merupakan pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DBD
apabila dilakukan pada penderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang jelas. Uji
torniquet seyogyanya dilakukan sesuai dengan ketentuan WHO. Pemeriksaan dilakukan
dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara
sistolik dan diastolik pada alat ukur yang dipasang pada lengan di atas siku, tekanan ini
diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, perhatikan
timbulnya petekie di bagian volar lengan bawah. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inci
persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekie (WHO, 1975). Pada DBD, uji torniquet
pada umumnya memberikan hasil positif. Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif
atau positif lemah selama masa syok. Apabila pemeriksaan diulangi setelah syok
ditanggulangi, pada umumnya akan didapatkan hasil positif, bahkan posit kuat.

Pembesaran hati
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan
pembesaran hati ini tidak sesuai dengan beratnya penyakit; nyeri tekan seringkali ditemukan
tanpa disertai ikterus. Hati pada anak umur 4 tahun dan / atau lebih dengan gizi baik biasanya
tidak dapat diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba
membesar kemudian selama perawatan membesar dan / atau pada saat masuk rumah sakit
hati sudah teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal, hal ini merupakan
tanda terjadinya syok.

Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 43

Syok
Manifestasi syok pada anak terdiri atas:
1. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung
sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisiensi yang
menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.
2. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun
menjadi apatis, soopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.
3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut
sampai tida dapat diraba oleh karena kolaps sirkulasi.
4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
5. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis.
Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung beberapa hari,
keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam
menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut
saat sebelum syok timbul. Syok yang terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai
prognosis buruk. Tatalaksana syok harus dilakukan secara tepat, oleh karena bila tidak pasien
dapat masuk dalam syok berat (profound syok), tekanan darah tidak dapat terukur dan nadi
tidak dapat diraba. Lama syok singkat; pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau
menyembuh.
Nyeri abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita DSS.
Ditemukannya gejala ini pada kasus DSS merupakan tanda bahaya oleh karena kemungkinan
besar terjadi perdarahan gastrointestinal. Terjadinya kejang dengan hiperpireksia disertai
penurunan kesadaran pada beberapa kasus seringkali mengelabui sehingga ditegakkan
diagnosis kemungkinan ensefalitis.

PERJALANAN PENYAKIT
Setelah masa inkubasi berkisar 315 hari (rata-rata 58 hari), penyakit ini diikuti
oleh tiga fase, yaitu febris, kritis, dan recovery (penyembuhan).
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 44


Gambar perjalanan penyakit DBD

Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu tubuh
sangat tinggi hingga 40
o
C dan tidak membaik dengan obat penurun panas. Fase ini biasanya
akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka kemerahan, eritema, nyeri seluruh
tubuh, mialgia, artralgia, dan nyeri kepala. Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri
tenggorokan atau mata merah (injeksi konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan
penyakit lainnya secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini
meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat dijadikan
parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan tidak gawat. Oleh karena
itu, memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning signs) dan parameter lain sangat penting
untuk mengenali progresi ke arah fase kritis. Warning signs meliputi:
Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan mukosa,
pembesaran hati > 2 cm
Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa
(hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam, namun
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 45

dapat juga dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5 demam. Perdarahan vagina masif pada
wanita usia subur dan perdarahan gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi
walau lebih jarang. Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet positif, menandakan
adanya peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD
mempunyai hasil positif.
Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam.
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari
hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae. Pada sebagian kecil dapat
ditemukan ikterus. Penemuan laboratorium yang paling awal ditemui adalah penurunan
progresif leukosit, yang dapat meningkatkan kecurigaan ke arah dengue.

Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam mulai
cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini harus diwaspadai
sebagai awal kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga dibawah 37,5-38
o
C yang
biasanya terjadi pada hari ke 3-7, peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan
ini berbanding lurus dengan peningkatan hematokrit. Periode kebocoran plasma yang
signifikan secara klinis biasanya terjadi selama 24-48 jam.
Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat merupakan
tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi. Temuan efusi pleura
dan asites secara klinis bergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
Derajat peningkatan hematokrit sebanding dengan tingkat keparahan kebocoran plasma.
Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis akibat
kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat tanda kegagalan
sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.Saat terjadi syok
berkepanjangan, organ yang mengalami hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi
(impairment), asidosis metabolik, dan koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini
menyebabkan perdarahan hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan
syok hebat.
Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat dikatakan
menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang menjadi fase kritis
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 46

kebocoran plasma tanpa penurunan demam sehingga pada pasien perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya kebocoran plasma.

Fase Penyembuhan (Recovery)
Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi gradual
cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum pasien membaik, nafsu
makan kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status hemodinamik meningkat, dan
diuresis normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam kulit putih yang dikelilingi area
kemerahan disekitarnya dan pruritus generalisata. Bradikardia dan perubahan
elektrokardiografi juga sering ditemukan pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih
rendah karena efek dilusi yang disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan
meningkat segera setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian.
Pemberian cairan pada fase ini perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan
edema paru atau gagal jantung kongestif.


DIAGNOSA BANDING
Demam pada fase akut mencakup infeksi bakteri dan virus yang luas. Pada hari
pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan idiopathic thrombocytopenic
purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD
akan lebih besar, apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran
hati menjadi nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD
dengan sepsis; dalam hal ini trombositopenia dan hemokonsentrasi disamping penilaian
gejala klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat membantu.

ENSEFALOPATI DENGUE
Dalam dua dekade terakhir, makin banyak laporan DBD yang disertai gejala
ensefalopati ditemukan dari berbagai negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Kecuali
kejang, gejala ensefalopati lain tidak / jarang menyertai DBD. Dari beberapa contoh kasus
ensefalopati dengue yang dilaporkan, ternyata kadangkala para dokter sangat terpukau oleh
kelainan neurologis sehingga apabila tidak waspada, diagnosis DBD / DSS tidak terpikirkan.
Data itu juga memberikan suatu keyakinan bahwa pada DBD perlu dipikirkan diagnosis
banding dengan ensefalitis virus lain. Contoh kasus ensefalopati dengue memperlihatkan
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 47

bervariasinya gejala klinis pasien DBD dan bahwa patokan klinis yang digariskan oleh WHO
tidak selalu dijumpai. Tingginya persentase ensefalopati dengue pada umur 1-4 tahun (yaitu
pada golongan umur tersering terjadinya kejang demam pertama kali) memerlukan
peningkatan kewaspadaan. Oleh karena itu di daerah endemis DBD perlu diperhatikan (1)
pada setiap kasus demam disertai kejang dan pasien dengan diagnosis ensefaltis perlu dicari
kemungkinan adanya menifestasi perdarahan dan (2) sekiranya pasien jatuh dalam syok kita
harus waspada terhadap kemungkinan DSS.

TATALAKSANA
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien
DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal
yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD
sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam
waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD /
DSS terletak pada keterampilan dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase
demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok dengan baik).

Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan tirah baring, selama masih demam, obat antipiretik atau kompres hangat diberikan
apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi < 39
o
C, dianjurkan pemberian
parasetamol. Asetosal / salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) karena dapat menyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis. Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus
buah, sirop, susu, selain air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Tidak
boleh dilupakan monitor suhu, trombosit serta kadar hematokrit sampai normal kembali. Pada
pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun
demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 48

hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan
DD dengan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas pada saat suhu turun, yaitu
pada DD akan terjadi penyembuhan, sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan
sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar
hitam, atau terdapat perdarahan kulit atau mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi
bila disertai berkeringat atau kulit dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga
harus segera dibawa ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah
suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Pada saat kita menjumpai pasien tersangka
infeksi dengue, maka bagan 1 dapat dipergunakan.

Demam berdarah dengue
Ketentuan umum
Perbedaan patofisiologi utama antara DD/DBD/DSS dan penyakit lain, ialah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Gamabaran klinik DBD/DSS sangat khas, yaitu demam tinggi mendadak, diatesis
hemoragik, heptomegali dan kegagalan sirkulasi. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada
bagaimana mendeteksi secara dini fase kritis, yaitu saat suhu turun (the time of defevescence)
yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis
disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak
pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
meningkatnya kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit. Fase kritis pada umumnya
terjadi pada sakit hari ketiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/L atau < 1-2
trombosit / LPB ( rata-rata hitung pada 10 LPB) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan
sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% mencerminkan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal sebagai
pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonik atau ringer laktat, yang
kemudian dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit. Pada DBD derajat I dan II, cairan
intravena dapat diberikan selama 12-24 jam. Perhatian khusus pada kasus dengan
peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/L.
Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas.

Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 49

Fase demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam
pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39
o
C
dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali atau dapat disederhanakan seperti tertera pada tabel 2.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, teh manis, sirup, susu, serta larutan
oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan
dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kgBB dalam 24 jam
berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap harus diberikan di samping larutan oralit. Bila
terjadi kejang demam, di samping antipiretik diberikan antikonvulsif selama masih demam.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah
waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium plasma dan pedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai
perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali
sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak
tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif.

Penggantian volume plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah
penggantian volume plasma yang hilang. Walau demikian, penggantian cairan harus
diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3
jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesn
dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit
dan jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 50

mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum secara per oral, ditakutkan
terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) nilai hematokrit cenderung
meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl
0,9%. Bila terdapat asidosis, dari jumlah cairan total dikeluarkan dan diganti dengan
larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9% +
glukosa ditambah natrium bikarbonat). Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20%
atau lebih, maka komposisi cairan yang diperlukan harus sama dengan plasma. Volume dan
komposisi yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai
sedang, yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%) seperti tertera pada tabel ini.
Tabel kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit cairan 5-8%)
Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg berat badan per hari
< 7 220
7 11 165
12 18 132
> 18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat
badan pasien serta derajat kehilangan cairan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk
anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Tabel kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
> 20 1500 + 50 x kg (di atas 20kg)

Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 51

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + (50 x
20) = 2500 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan
perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu
turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapat perhatian
bahwa penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah perembesan plasma
berhenti akan mengakibatkan distres pernafasan akibat udem paru. Demikian pula pada saat
fase konvalesens terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular, akan menyebabkan edema paru dan
distres pernafasan apabila cairan intravena tetap diberikan.
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letagi/lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosi, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar
hematokrit atau hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan
intravena.

Jenis cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasikan WHO adalah larutan ringer laktat (RL)
atau dexstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA) atau dexstrosa 5%
dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dexstrosa dalam larutan garam faali.
Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah.

Sindroma syok dengue
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang
utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.

Penggantian volume plasma segera
Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kriastaloid 20 ml/kgBB dengan
tetesan secepatnya (diberikan secara bolus selama 30 menit). Apabila syok belum dapat
teratasi dan/atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan
diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah
maksimal 30 ml/kgBB. Setelah tejadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 52

kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgBB. Apabila setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid
dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi
perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap
> 40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kgBB/jam), tetapi apabila terjadi
perdarahan masif berikan 20 ml/kgBB. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan
dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit.

Kadar hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam .
Pemasangan CVP kadangkala diperlukan pada pasien DSS berat, untuk mengetahui
kebutuhan cairan.
Cairan intravena dapat diberikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%. Jumlah
urin 12 ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada
umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap
diberikan pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari eksravaskular (ditandai dengan penurunan
kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia,
dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat
reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh
hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.

Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/DSS, maka
pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat.
Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memicu terjadinya DIC sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan
sebagai akibat DIC tidak akan terjadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Sedatif
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 53

Pada pasien gelisah dapat diberikan sedatif untuk menenagkan pasien. Diusahakan
jangan memberikan obat yang bersifat hepatotoksik. Kloral hidrat diberikan per oral atau per
rektal dengan dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak melebihi 1 gram). Keadaan gelisah sebagai
akibat dari keadaan perfusi jaringan yang kurang baik akan menghilang setelah pemberian
cairan yang adekuat.

Pemberian oksigen
Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu diberikan pada pasien syok. Dianjurkan
pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged syock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan intern apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit
(misalnya dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang
mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk
menaikkan konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna
untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan masif. DIC biasanya terjadi pada
syok berat dan menyebabkan perdarahan masif dan dapat menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, dan
fibrinogen degradation products (FDP) harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya DIC. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.

Kelainan ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 54

belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya.

Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dieveluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah nadi,
tekanan darah, respirasi dan tempeatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering,
sampai syok dapar teratasi, kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan
klinis pasien stabil. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi,
jumlah serta frekuensi diuresis.

KRITERIA MEMULANGKAN PASIEN
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah
syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000/L dan cenderung meningkat, serta tidak dijumpai
distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis).

ENSEFALOPATI DENGUE
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah
teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO
3
-
, dan jumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan laktat ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan NaCl 0,9% :
Glukosa 5% = 3:1. Untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila
terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat
disfungsi hati, maka diberikan vitamin K IV 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah
diusahakan > 60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan intrakranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan
nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi
bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi
ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila diperlukan transfusi tukar, pada
masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 55


PEMERIKSAAN SEROLOGIS
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti oleh
pembentukan IgM antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relatif singkat dan akan
disusul segera oleh pembentukkan IgG. Pada kira-kira hari kelima infeksi terbentuklah
antibodi yang bersifat menetralisasi virus (neutralizing antibody / NT). Titer antibodi NT
akan naik dengan cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu lama, biasanya
seumur hidup. Setelah antibodi NT, akan timbul antibodi yangmempunyai sifat menghambat
hemaglutinasi sel darah merah angsa (haemaglutination inhibiting antibody = HI). Titer
antibodi HI itu naik sejajar dengan antibodi NT, kemudian turun secara perlahan-lahan, tetapi
lebih cepat daripada NT. Antibodi yang terakhir, yaitu antibodi yang mengikat komplemen
(complement fixing antibody = CF), timbul pada sekitar hari keduapuluh. Titer antibodi itu
naik setelah perjalanan penyakit mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian
turun secara cepat dan menghilang setelah 1-2 tahun. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi
infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil pemeriksaan serologik atau hasil isolasi virus.
Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibodi pada masa akut dengan
konvalesen. Teknik pemeriksaan serologi yang dianjurkan WHO ialah pemeriksaan HI dan
CF. Kedua cara itu membutuhkan 2 contoh darah. Contoh darah pertama diambil pada waktu
demam akut, sedangkan yang kedua pada masa konvalesen, 1-4 minggu dalam perjalanan
penyakit.

UJI SEROLOGI HI
Pemeriksaan serologi HI dapat dilakukan dengan sampel serum atau
mempergunakan kertas saring filter paper disc. Hasil yang diperoleh dari penggunaan kertas
saring cukup baik, apabila cara pengisian dilakukan secara benar. Pada pemeriksaan serologi
tes HI, serum diencerkan mejadi kelipatan 2x, dimulai dengan pengenceran 1:10, 1:20, 1:40,
dan seterusnya.
Interpretasi hasil pemeriksaan didasarkan atas kriteria WHO, sebagai berikut:
1. Pada infeksi primer, titer antibodi HI pada masa akut, yaitu apabila serum diperoleh
sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer akan naik 4x atau lebih pada
masa konvalesen, tetapi tidak akan melebihi 1:1280.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 56

2. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection) ditandai oleh
titer antibodi HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa konvalesen
titer bernilai sama atau lebih besar daripada 1:2560. Tanda lain infeksi sekunder ialah
apabila titer antibodi akut sama atau lebih besar daripada 1:20 dan titer akan naik 4x
atau lebih pada masa konvalesen.
3. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive diagnosis)
ditandai oleh titer antibodi HI yang sama atau lebih besar daripada 1:1280 pada masa
akut ,dalam hal ini tidak diperlukan kenaikkan titer 4x atau lebih pada masa
konvalesen. Metode pemeriksaan yang mampu mendeteksi antibodi anti dengue
dalam serum penderita pada masa akut yang tepat terus dikembangkan. Pada saat ini
telah terdapat metode untuk membuat diagnosis infeksi dengue pada masa akut
melalui deteksi IgM dan antigen virus, baik sendiri-sendiri maupun dalam bentuk
kompleks IgM-antigen, dengan teknik ELISA mikro. Disamping itu secara komersial
telah beredar dengue blot yang dapat digunakan sebagai uji diagnostik yang cepat
pada masa akut untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi dengue sekunder.

PEMBERANTASAN
Strategi pemberantasan penyakit DBD lebih ditekankan pada (1) upaya preventif,
yaitu melaksanakan penyemprotan massal sebelum musim penularan penyakit di
desa/kelurahan endemis DBD, yang merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah
lainnya. (2) strategi ini diperkuat dengan menggalakan pembinaan peran serta masyarakat
dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), (3) melaksanakan penanggulangan
fokus di rumah pasien dan di sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian
luar biasa (KLB), dan (4) melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai
media.
Kewajiban pelaporan kasus / tersangka dalam tempo 24 jam ke Dinkes Dati
II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut
penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan
kasus pada Puskesmas/Dinkes Dati II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan
penyelidikan epidemiologi dan sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan
resiko penularan.
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 57

Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan
DBD, maka Puskesmas/Dinkes Dati II akan melakukan langkah-langkah upaya
penanggulangan berupa (1) foging fokus, (2) abatisasi selektif. Tujuan abatisasi selektif ialah
membunuh larva dengan butir-butir abate sand granule (SG) 1% pada tempat enyimpanan air
dengan dosis ppm (part per million), yaitu 10 gram meter 100 liter air, (3) menggalakkan
masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam PSN.








LAMPIRAN

Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 58


Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD





tanda syok
muntah terus-menerus
kejang
kesadaran menurun
muntah darah
berak hitam
Tersangka DBD
demam tinggi, mendadak terus-menerus
<7 hari tidak disertai infeksi saluran nafas
bagian atas, badan lemah & lesu
Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan
periksa uji
tourniquet
jumlah trombosit
? 100.000/l
jumlah trombosit
> 100.000/l
uji torniquet (+) uji torniquet (-)
Rawat jalan
Rawat inap
minum banyak 1,5-2 liter/hr
parasetamol
kontrol tiap hari sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap kali
parasetamol
kontrol tiap hari sampai
demam hilang
nilai tanda klinis,
periksa trombosit &
Ht bila demam
menetap setelah
hari sakit ke-3
Lab. Hb & Ht naik,
Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit
Rawat jalan
Perhatian untuk orang tua:
pesan bila timbul tanda syok, yaitu
gelisah, lemah, kaki/tangan dingin, nyeri
perut, berak hitam, bak kurang
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 59


Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan derajat II
tanpa peningkatan hematokrit





DBD derajat I atau derajat II tanpa peningkatan hematokrit
Gejala Klinis:
demam 2-7 hari
uji tourniquet positif atau perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
trombositopeni (ringan)
Pasien masih dapat minum
Beri minum sebanyak 1-2 liter/hari
atau satu sendok makan tiap 5 menit
Jenis minuman: air bening, teh manis,
sirup, jus buah, susu, oralit.
Bila suhu >380C beri parasetamol
Bila kejang beri obat antikonvulsif
Pasien tidak dapat minum
Pasien muntah terus-menerus
Monitor gejala klinis dan laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
Pulang (kriteria pulang)
- tidak demam selama 24 jam tanpa antiprelik
- nafsu makan membaik
- secara klinis tampak perbaikan
- Ht stabil
- tiga hari setelah syok teratasi
- jumlah trombosit > 50.000/ml
- tidak dijumpai distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Ht naik dan atau trombosit turun
Perbaikan klinis dan laboratoris
Pasang infus NaCl 0,9%:
dekstrosa 5% (1:3), tetesan rumatan sesuai
berat badan
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
Infus ganti ringer laktat (RL)
(tetesan disesuaikan)
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 60


Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II
dengan peningkatan hemokonsentrasi 20%




DBD derajat I dengan peningkatan HT 20% Ht normal
Monitor tanda-tanda vital / nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam
tidak gelisah
nadi kuat
tekanan darah stabil
diuresis cukup
(12 ml/kgBB/jam)
Ht turun
(2 kali pemeriksaan)
gelisah
distres pernapasan
frekuensi nadi naik
Ht tetap tinggi/naik
diuresis kurang/tidak ada
Tanda vital memburuk
Ht meningkat
5 ml/kgBB/jam
Sesuaikan tetesan
3 ml/kgBB/jam
bila tanda vital/Ht stabil dan
diuresis cukup
Cairan awal
RL / RA / NaCl 0,9% atau RLD5 / NaCl 0,9% +
D5, 6-7 ml / kgBB / jam
Perbaikan
Tidak ada perbaikan
Tetesan dikurangi
Perbaikan
IVFD stop pada 24-48 jam
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam Perbaikan
Tanda vital tidak stabil
Distres pernafasan
Ht naik
Tek. Nadi 20 mmHg
Ht turun
Transfusi darah segar
Koloid
20-30 ml/kgBB
10 ml/kgBB
Perbaikan
Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 61



Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
DBD derajat III & IV
1. Oksigenasi
2. Penggantian volume (cairan kristaloid isononis)
Ringer laktat/NaC. 0,9%
20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit,apakah syok teratasi?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balans selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi > 20 mmHg
Tidak sesak napas/sianosis
Ekstremitas hangat
Diuresis cukup 2 ml/kgBB/jam
Cairan dan tetesan disesuaikan
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Hb, Ht, trombosit
Stabil dalam 24 jam
Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Ht stabil dalam 2x pemeriksaan
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi
Syok tidak teratasi
1. Lanjutkan cairan
20 ml/kgBB/jam
2. Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FPP
10-20 (max30) ml/kgBB/jam
3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok teratasi
Syok belum teratasi
Ht turun
Ht tetap tinggi/naik
Transfusi darah segar 10
ml/kgBB diulang sesuai
kebutuhan
Koloid 20 ml/kgBB
Kesadaran menurun
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi < 20 mmHg
Distres pernapasan/sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstreminitas dingin
Periksa kadar gula darah
1. Oksigenasi (berikan O
2
2-4 l/menit)
2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaC. 0,9%
20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Anda mungkin juga menyukai