Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 1 BAB I PENDAHULUAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian bahwa kejahatan tersebut memang benar terjadi. Adanya kaitan antara ilmu kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) serta KUHAP (Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana) yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual tersebut. 1 Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan demikian halnya dengan faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari pelaku kejahatan seksual itu sendiri. 1 Dengan demikian, upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak. 2 Pemeriksaan kasus pesetubuhan yang merupakan tindak pidana, hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yain akan semua bukti yang telah ditemukan karena tidak ada kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter hendaknya tidak meletakkan kepentingan korban di bawah kepentingan pemeriksaan. Terutama jika korban merupakan anak-anak, pemeriksa sebaiknya tidak sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya. 2 Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk membebaskan terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan hukuman. Di Indonesia, pemeriksaan korban persetubuhan yang diduga merupakan tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh dokter ahli Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada doter ahli tersebut, maka pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter umum. 3
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 2 Sebaiknya korban kejahatan seksual dianggap sebagai orang yang telah mengalami cedera fisik dan atau mental sehingga lebih baik dilakukan pemeriksaan oleh dokter di klinik. Penundaan pemeriksaan dapat memberi hasil yang kurang memuaskan. 3
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kejahatan seksual merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan seksual, komentar yang tidak diinginkan, perdangan seks dengan menggunakan paksaan, ancaman, paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan dengan korban, dalam situasi apapun yang tidak terbatas baik di dalam rumah maupun lingkungan lainnya. Kejahatan seksual daapt dalam berbagai bentuk termasuk pemerkosaan, perbudakan seks dan atau perdagangan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual, eksploitasi seksual dan atau penyalahgunaan seks dan aborsi. 1
2.2 Epidemiologi Sepanjang tahun 1998 hingga ahun 2011, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan mencatat terdapat 400.939 kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. 93.960 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap perempuan, tetapi hanya 8.784 kasus yang tercatat. Dari data tersebut, sebanyak 4.845 kasus merupakan pemerkosaan, sebanyak 1.359 kasus merupakan perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, sebanyak 1.049 kasus merupakan pelecehan seksual, dan sebanyak 672 kasus merupakan kasus penyiksaan seksual. Sisanya merupakan gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual.
2.3 Klasifikasi Kejahatan seksual diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu : 1. Perkosaan Menurut KUHP pasal 285, Perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP). 1,4 Hukuman maksimal untuk kasus perkosaan ini adalah 12 tahun kurungan penjara.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 4 2. Persetubuhan di luar perkawinan Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia diatas 15 tahun tidak dapat duhukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Untuk perbuatan yang terakhir ini, pelaku dapat dihukum maksimal 9 tahun penjara (pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui atau sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau beum pantas dikawin maka pelakunya dapat diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun. 1 Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarga korban (pasal 287 KUHP). Khusus untuk yang usia dibawah 12 tahun makan penuntutan tidak diperlukan adanya pengaduan. 1,4
3. Perzinahan Merupakan persetubuhan antara pria dan wanita di luar perkawinan, dimana salah satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Khusus untuk kejahatan ini penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang telah kawin tersebut yang diajukan dalam 3 bulan disertai gugatan cerai/pisah kamar/pisah ranjang. Perzinahan ini diancam dengan hukuman penjara maksimal 9 tahun penjara. 1,4,5
4. Perbuatan cabul Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia akan diancam dengan hukuman maksimal 9 tahun penjara (pasal 289 KUHP). 4 Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun jika dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya, dengan umur dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290 KUHP). Sedangkan perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang belum dewasa oleh sesame jenis diancam penjara maksimal 5 tahun (pasal 291 KUHP). 1,4,6 Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP). 6
Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak yang belum dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 5 penjagaannya diserahkan kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun (pasal 294 KUHP). 1,4 Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi penghubung bagi perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP). 1,4 Jika perbuatan ini dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan maka ancaman hukumannya 1 tahun 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 15.000,- 1,4
2.4 Undang-Undang tentang Kejahatan Seksual Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh Undang- Undang, dapat dinilai pada pasal-pasal yang tertera pada Bab XIV KUHP, yaitu Bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan; yang meliputi baik persetubuhan di dalam perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan. 1,4
KUHP pasal 284 : (1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama sembulan bulan: 1a. Seorang pria yang telah kawin, yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgelyk Wetboek) berlaku baginya. 1b. Seorang wanita yang telah kawin, yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgelyk Wetboek) berlaku baginya. 2a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; 2b. Seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan untuk bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga. (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72,73, dan 75. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam siding pengadilan belum dimulai, (5) Jika bagi suami-istri itu berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap. Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 6 Bagan 1 Kejahatan seksual dalam kaitan dengan persetubuhan yang dapat dikenakan hukuman 1
Persetubuhan Dalam Perkawinan (ps. 288)
Diluar Perkawinan Dengan persetujuan perempuan Tanpa persetujuan perempuan Umur perempuan > 15 tahun (pasal 284) Umur perempuan belum cukup 15 tahun (pasal 287) Dengan kekerasan / ancaman kekerasan (pasal 285) Perempuan dalam keadaan pingsan / tidak berdaya (pasal 286) Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 7
Pemerkosaan Usia Perlakuan KUHP pasal 287 (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah suatu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294.
KUHP pasal 285 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Kekerasan fisik Kekerasan psikis KUHP pasal 89 Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan KUHP pasal 286 Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun
KUHP pasal 291 (1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun. (2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, dan 290 itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 8
BW pasal 27 Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebgai suaminya. KUHP pasal 288 (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
KUHP pasal 289 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
KUHP pasal 290 Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya; 2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin. 3. Barang siapa membujuk seorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalu umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
KUHP pasal 292 Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 9
2.5 Tatalaksana kasus Kejahatan Seksual di Indonesia
Dalam penanganan korban (hidup) perkosaan, dokter memiliki peran ganda yaitu sebagai pemeriksa yang membuat visum et repertum (VeR) serta tenaga medis yang mengobati dan merawat korban. 1
Pemeriksaan secara medis pada korban perkosaan sebaiknya dilakukan secara cepat dan tertutup pada tempat pemeriksaan terpisah. Segera tangani korban dengan keadaan kritis dan lakukan pemeriksaan forensik setelah keadaan stabil. Korban sebisanya tidak pergi ke kamar mandi, mandi, makan, atau minum sampai pemeriksaan selesai. Keluarga, teman, perawat, atau petugas dapat menemani bila perlu. Yang penting,
KUHP pasal 293 (1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan menyesatkan sengaja menggerakkan seorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan pidana penjara lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. (3) Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan dan 12 bulan.
KUHP pasal 294 Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya: 2. Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 10
korban tidak ditinggalkan sendirian, tetapi ditemani orang yang juga berperan sebagai saksi dalam pemeriksaan. Yakinkan korban tentang keamanannya dan jelaskan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan. 1-3 o Anamnesis : Umur Status perkawinan Haid : siklus dan hari pertama haid terakhir Penyakit kelamin dan kandungan Penyakit lain seperti ayan dan lain-lain Riwayat persetubuhan sebelumnya, waktu persetubuhan terakhir dan penggunaan kondom Waktu kejadian Tempat kejadian Ada tidaknya perlawanan korban Ada tidaknya penetrasi KUHP pasal 295 (1) Diancam: 1: Dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan, atau penjagaannya diserahkan kepadanya, atau pun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain; 2: Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali tersebut ke-1 di atas yang dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang sepatutnya harus diduga demikian, dengan orang lain. (2) Jika yang bersalah, melakukan keahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga. 3: KUHP pasal 296 Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, atau denda paling banyak
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 11 Ada tidaknya ejakulasi Tanyakan kepada pasien : Telah mandi, membersihkan diri, mengganti pakaian, atau minum obat- obatan sejak kejadian tersebut. Apakah korban pingsan dan tanyakan penyebabnya . hal ini untuk membedakan apakah korban pingsan karena ketakutan atau dibuat pingsan dengan obat tidur atau obat bius. o Pemeriksaan fisik Korban Pemeriksaan pakaian : Robekan lama / baru / memanjang / melintang Kancing putus Bercak darah, sperma, lumpur dll. Pakaian dalam rapih atau tidak Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence Pemeriksaan badan : Umum : 1. Rambut atau wajah rapi atau kusut. 2. Emosi tenang atau gelisah 3. Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah 4. Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha 5. Trace evidence yang menempel pada tubuh 6. Perkembangan seks sekunder 7. Tinggi dan berat badan 8. Pemeriksaan rutin lainnya Genitalia : 1. Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat zat iritan, infeksi atau iritan) 2. Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan) 3. Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan) 4. Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal) 5. Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna) 6. Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal) 7. Kongesti vena atau pooling vena (juga ditemuka pada konstipasi) Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 12 8. Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental). 9. Pemeriksaan selaput dara. Tabel 1. Jenis hymen berdasarkan bentuk 1-3 Bentuk Hymen Keterangan Bentuk Hymen Keterangan
Hymen anular dimana lubang hymen, berbentuk cincin. ketika hymen mulai robek entah oleh karena hubungan seksual atau aktivitas lain, maka lubang tersebut tidak berbentuk cincin lagi.
Hymen yang jarang, hymen subsepta, mirp dengan hymen bersepta hanya septa tidak menyebrangi seluruh lubang vagina
Hymen crescentic, atau lunar.Berbentuk bulan sabit
Hymen cribriform yang jarang,dikarakteristikkan oleh beberapa lubang kecil
Hymen seorang wanita yang pernah melakukan hubungan seksual atau masturbasi beberapa kali.
Hymen denticular yang jarang, berbentuk seperti satu set gigi yang mengelilingi lubang vagina
Hymen seorang wanita yang hanya pernah melakukan aktivitas seksual sedikit atau pernah kemasukan benda.
Hymen fimbria yang jarang, dengan bentuk yang ireguler mengelilingi lubang vagina
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 13
Vulva dari seorang wanita yang pernah melahirkan. Hymen secara lengkap hilang atau hampir hilang seluruhnya
Hymen yang terlihat seperti bibir vulva
Satu dari 2000 anak perempuan dilahirkan dengan hymen imperforate
Beberapa gadis lahir hanya dengan lubang sempit pada hymen sehingga memerlukan operasi
Hymen bersepta yang jarang sekali oleh karena adanya jembatan yang menyeberangi lubang vagina
Pemeriksaan Ekstra-Genital 1. Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh 2. Deskripsi luka 3. Pemeriksa rongga mulut pada kasus oral sex 4. Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma 5. Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku Pelaku Pemeriksaan tubuh Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin. Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 14 Pemeriksaan pakaian Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Jika fasilitas pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara pembungkusan dan penyegelan. Menurut Idries, terdapat beberapa hal penting yang harus ditentukan dan dievaluasi pada korban kejahatan seksual, yaitu 3
Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan Memperkirakan umur Menentukan pantas tidaknya korban buat kawin.
1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani, sehingga besarnya zakar dengan ketegangannya, sampai seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan mempengaruhi hasil pemeriksaan. 3 Tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi, sebaliknya adanya robekan pada hymen hanya merupakan pertanda adanya sesuatu benda (penis atau benda lain), yang masuk ke dalam vagina. 3 Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut. Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah enzim asam fosfatase, kholin dan spermin. Ketiganya bila dibandingkan dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendah oleh karena ketiga Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 15 komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, oleh karena kadar asam fosfatase yang normalnya juga terdapat dalam vagina, kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar prostat. 3 Dengan demikian, apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan. Maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksa itu tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan, dan kedua, persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan. 3 Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan saat terjadinya persetubuhan harus pula ditentukan. Hal ini menyangkut masalah alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan. Sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam setelah persetubuhan. Sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan pada korban yang hidup. Sedangkan pada orang yang mati sperma masih dapat ditemukan dalam vagina paling lama sampai 7-8 hari setelah persetubuhan. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek, yang pada umumnya penyembuhan akan dicapai dalam waktu 7-10 hari setelah persetubuhan. 1-3
Tabel 2. Hasil pemeriksaan yang diharapkan pada korban kejahatan seksual 3 Penyebab Hasil pemeriksaaan yang diharapkan Penetrasi zakar o Robekan pada selaput dara o Luka-luka pada bibir kemaluan dan dinding vagina Pancaran air mani (ejakulasi) o Sperma di dalam vagina o Asam fostase, kholin dan sperma di dalam vagina o Kehamilan Penyakit kelamin o G.O. (kencing nanah) o Lues (sifilis)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 16 Beberapa lokasi luka yang sering ditemukan untuk pembuktian adanya kekerasan yaitu pada daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital, dan biasanya berbentuk luka-luka lecet bekas kuku, gigitan serta luka memar. 1-3 Di dalam hal pembuktian adanya kekerasan, tidak selamanya kekerasan tersebut meninggalkan jejak atau bekas berbentuk luka. Oleh karena itu tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa tidak terjadi kekerasan, sehingga penting bagi dokter untuk berhati-hati mengggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan dalam VeR yang dibuat. Oleh karena tindakan pembiusan dikategorikan pula sebagai tindakan kekerasan maka diperlukan pemeriksaan toksikologi pada korban untuk menentukan ada tidaknya obat atau racun yang kiranya dapat membuat wanita menjadi pingsan. 1-3
3. Memperkirakan umur Tujuan pemeriksaan untuk memperkirakan umur korban salah satunya mengacu pada pasal 287 KUHP bahwa barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang- undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan (delik aduan). 1-3 Selain itu, pentingnya memperkirakan umur korban juga didasarkan pada pasal 81 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa: 4
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 17 Pada kasus dimana umur korban belum jelas, maka memperkirakan umur merupakan pekerjaan yang paling sulit, karena tidak ada satu metodepun yang dapat memastikan umur seseorang dengan tepat. Dengan teknologi kedokteran yang canggih pun maksimal hanya sampai pada perkiraan umur saja. 1-3 Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan yang memerlukan berbagai sarana serta keahlian seperti pemeriksaan keadaan pertumbuhan gigi atau tulang dengan menggunakan rontgen. 1-3 Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah menstruasi bila umur korban tidak diketahui. 1-3 Selain itu perkiraan umur pada korban kejahatan seksual adalah dengan memperhatikan ciri-ciri seks sekunder. Dalam hal ini termasuk perubahan pada genitalia, payudara dan tumbuhnya rambut-rambut seksual yang pertama tumbuh hampir selalu di daerah pubis. 2,3,6 Sexual Maturation Rate (SMR) atau dikenal juga dengan Tanner Staging merupakan penilaian ciri seks sekunder. SMR didasarkan pada penampakan rambut pubis, perkembangan payudara dan terjadinya menarke pada perempuan. SMR stadium 1 menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan prapubertal, sedangkan stadium 2-5 menunjukkan pubertas progress. SMR stadium 5 pematangan seksual sudah sempurna. Pematangan seksual berhubungan dengan pertumbuhan liniar, perubahan berat badan dan komposisi tubuh, dan perubahan hormonal.
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin diperlukan untuk menentukan pasal mana yang paling tepat dikenakan bagi si pelaku. Sebab, bila korban dikawin disaat ia belum memenuhi syarat secara hukum dan undang-undang yang berlaku, maka si pelaku harus dipidana. Terlebih lagi apabila korban masih di bawah umur, maka pelaku dapat dikenakan sanksi sesuai pasal dalam KUHP maupun Undang- Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. 1-3 Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 18 Penentuan pantas tidaknya seseorang untuk dikawin sangat tergantung dari banyak hal, salah satunya dari segi mana seseorang tersebut ingin dilihat, apakah dari segi biologis, sosial atau sebagai manusia seutuhnya serta berdasarkan undang-undang yang berlaku. 1 Secara biologis jika persetubuhan dilakukan untuk mendapatkan keturunan, pengertian pantas tidaknya buat kawin tergantung dari apakah korban telah siap untuk dibuahi yang dimanifestasikan dengan sudah pernah mengalami menstruasi atau belum. Bila dilihat dari segi perundang-undangan, yaitu undang-undang perkawinan pada Bab II (Syarat-syarat perkawinan) pada pasal 7 ayat (1) berbunyi: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dengan demikian terbentur lagi pada masalah penentuan umur korban. 4
Gambar 1 Sexual Maturating Rate(SMR) meliputi perubahan rambut pubis pada perempuan. 6
Tabel 2 Sexual Maturating Rate(SMR) pada perempuan 6 Tahap SMR Rambut Pubis Payudara 1 Pre-remaja Pre-remaja 2 Jarang, kurang berpigmen, lurus, tepi medial labia Payudara dan papilla menonjol seperti bukit kecil, diameter areola bertambah 3 Lebih gelap, mulai keriting, makin lebat Payudara dan areola membesar, tidak ada Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 19 pemisahan kontur 4 Kasar, keriting, lebat, tetapi kurang lebat dibandingkan dengan orang dewasa Areola dan papilla membentuk bukit kecil sekunder 5 Segitiga peminim dewasa, menyebar ke permukaan medial paha Matur, putting menonjol, areola merupakan bagian dari kontur payudara keseluruhan
(Sumber: Behrman & Kliegman, 2000) Gambar 2 Sexual Maturating Rate(SMR) meliputi perkembangan payudara pada perempuan 6 Pemeriksaan Laboratorium o Pemeriksaan darah o Pemeriksaan cairan mani (semen) Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 20 o Pemeriksaan kehamilan o Pemeriksaan VDRL, GO, HIV o Pemerikaan serologi Hepatitis o Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka
Penatalaksanaan Korban Kejahatan Seksual Menurut WHO Seorang korban kejahatan seksual sebaiknya dilakukan pemeriksaan forensik medis secara keseluruhan. Adapun komponen yang dilakukan pada pemeriksaan adalah 8-10 o Penilaian awal, termasuk persetujuan medis. o Riwayat medis, termasuk gambaran terjadinya peristiwa kejahatan seksual o Pemeriksaan genito-anal secara terperinci. o Mencatat dan mengkalisifikasikan cedera. o Mengumpulkan spesimen medis untuk keperluan diagnostik o Pelabelan, pengemasan, dan pengangkutan spesimen forensik. o Pemberian terapi o Follow up o Penyimpanan dokumentasi o Pembuatan laporan medikolegal
o Penilaian Awal Perhatian utama pada tahap awal dan harus dinilai sesegera mungkin. Korban sering berada dalam tingkat emosional yang tinggi setelah serangan akibat meningkatnya hormon stress. Untuk itu, pekerja kesehatan harus memilih kata-kata yang lembut dan menenangkan dan hati-hati ketika berhadapan dengan pasien korban kejahatan seksual. Penggunaan bahasa yang sensitif dapat berkontribusi tekanan tidak hanya untuk pasien selama pemeriksaan tetapi juga menghambat pemulihan jangka panjang. Sangat penting bahwa semua korban kekerasan seksual diperlakukan dengan hormat dan bermartabat seluruh pemeriksaan seluruh terlepas dari mereka status sosial, ras, agama, budaya, orientasi seksual, gaya hidup, seks atau pekerjaan. 8
Persetujuan Medik Persetujuan medik merupakan bukti persetujuan sebelum melakukan pemeriksaan dan untuk mendapatkan informasi tentang kejadian yang dialami oleh pasien, yang merupakan bagian medikolegal yang penting, dan pasien menandatangani formulir persetujuan tersebut. Pasien dijelaskan jika dia memutuskan untuk mengejar tindakan Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 21 hukum terhadap pelaku, informasi apapun yang diberikan kepada Anda dalam pemeriksaan dapat menjadi bukti. 8 Pemeriksa tidak diperbolehkan memaksa seseorang untuk memberikan informasi tanpa persetujuan. Jika hal ini terjadi, pemeriksa dapat didakwa dengan pelanggaran hukum. 8
o Riwayat Medis Umum. Tujuan utama untuk mendapatkan informasi yang akan membantu penatalaksanaan terhadap pasien atau dapat membantu menjelaskan temuan berikutnya. Setidaknya riwayat medis umum dapat mengetahui masalah kesehatan umum (termasuk alergi), status imunisasi, dan pengobatan. 8 Riwayat Ginekologi Riwayat ginekologi adalah bagian yang penting pada kasus kejahatan seksual. Pertanyaan yang harus ditanyakan meliputi ; 6,8-10 Tanggal menstruasi terakhir Status pernikahan pasien. Apakah pasien pernah melakukan hubungan seksual sebelum kejadian ? Jika ya, kapan terakhir berhubungan seksual yang disetujui ? Apakah pasien pernah hamil? jika ya, sudah berapa kali dan bagaimana proses kelahiran bayi tersebut? Apakah terdapat komplikasi selama melahirkan ? Penggunaan alat kontrasepsi Jumlah anak saat ini Riwayat operasi panggul
Beberapa Pertanyaan yang harus dicatat , yaitu : 10 Rincian terhadap pelaku Rincian mengenai aktivitas seksual Gejala yang ditimbulkan setelah kejadian Tanggal, waktu, lokasi, termasuk deskripsi tempat terjadinya kejahatan Nama, identitas dan jumlah pelaku. Kontak fisik dan rincian kekerasan yang dilakukan Penggunaan senjata. Penetrasi vagina oleh pelaku seperti; penis, jari, objek lainnya terhadap korban. Apakah terdapat penetrasi anal terhadap korban. Selain itu, tanyakan pula adakah terdapat penetrasi oral terhadap korban. Pendarahan genital, keluarnya cairan, gatal- gatal, dan rasa nyeri. Gejala berkemih Nyeri anal ataupun pendarahan. Nyeri pada perut.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 22 Penggunaan obat-obatan, alkohol, dan substansi yang dihirup. Penggunaan kondom dan dan cairan lubrikasi Bagaimana cara pakaian dilepaskan. Adakah terdapat kontak oral mulut pelaku terhadap wajah, tubuh, atau bagian genito- anal korban. Adakah pemaksaan kontak mulut korban terhadap wajah, tubuh atau bagian genitor-anal pelaku. Adakah terdapat ejakulasi pada vagina korban ataupun tubuh korban saat kejadian. Tindakan yang dapat mengubah bukti Mandi Membersihkan daerah genito-anal Mengganti pakaian.
o Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Keadaan umum pasien, sikap dan fungsi mental pasien. Jika, fungsi mental terganggu, cari penyebab. Apakah akibat penggunaan zat tertentu seperti alcohol atau gejala dari penyakit yang sudah lama, seperti retardasi mental. Tanda vital pasien Periksan pasien mulai dari kepala hingga kaki, termasuk area genirto-anal. Catat dan deskripsi secara detail adakah terdapat luka pada tubuh. Gunakan body map untuk menandakan lokasi dan ukuran dari luka tersebut. Jika terdapat luka pada tubuh, foto luka tersebut. Pemeriksaan Penunjang : o Radiologi : untuk membantu diagnosis lainnya seperti patah tulang, cedera kepala dan leher, otak, ataupun cedera medulla spinalis, ataupun cedera perut, sesuai yang dibutuhkan. o Pemeriksaan darah : tes HIV, Hepatitis B, dan penyakit menular lainnya.
Beberapa prinsip umum dan prosedur sebelum dilakukan pemeriksan dan observasi terhadap pasien kejahatan seksual : 10 a. Beri kesempatan kepada pasien untuk bertanya, dan sebelum memulai pemeriksaan fisik, jelaskan mengenai prosedur kepada pasien dan tujuan pemeriksaan dilakukan. b. Mempersilahkan pasien untuk membawa anggota keluarga ataupun teman pada saat pemeriksaan. Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 23 c. Jika pemeriksa laki-laki, disarankan mempunyai pendamping yang merupakan seorang petugas kesehatan yang terlatih untuk memberikan rasa nyaman dan mendukung pasien. Selain itu, pendamping juga melindungi pemeriksa dari tuduhan perilaku yang tidak professional terhadap korban. d. Lakukan persetujuan mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pada pasien, alat yang digunakan, tanyakan kesediaannya. Jika pasien menolak semua atau sebagian pemeriksaan fisik tersebut, pemeriksa harus menghormati keputusan pasien. e. Idealnya, Ruangan yang dilakukan untuk pemeriksaan harus kedap suara dan memiliki ruangan yang terpisah untuk melepaskan pakaian, seperti dibalik tirai, dan pasien diberi kain penutup tubuh, cukup cahaya, hangat, bersih, dan tertutup. f. Jika pasien masih menggunakan pakaian pada waktu kejadian, pasien harus melepaskan pakaiannya diatas kertas putih yang lebar untuk mengumpulkan bukti forensik. Beri sebanyak mungkin privasi terhadap pasien saat melepaskan pakaian. Gunakan kain penutup. g. Bukti-bukti medik dan spesimen forensik harus dikumpulkan selama pemeriksaan. Pemeriksaan medik dan hukum harus dilakukan bersamaan waktu dan tempat agar mengurangi jumlah pemeriksaan. h. Setiap pemeriksa harus menggunakan alat proteksi diri seperti sarung tangan saat memeriksa, mengganti sarung tangan pada pasien yang berbeda, mencuci tangan degan air sabun dan air setelah terpapar cairan tubuh atau darah, menggunakan kacamata proteksi dan masker.
Pemeriksaan fisik dari kepala hingga kaki pada pasien harus dilakukan secara sistematis.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 24 Tabel 3 Tahapan pemeriksaan fisik pada korban pejahatan seksual 10 Tahapan Keterangan Tahap I Catat keadaan umum dan sikap pasien Mulai pemeriksaan dari tangan, karena membuat pasien merasa aman. Pemeriksa tanda vital Lihat kedua tangan pasien. Adakah terdapat luka? Bekas ikatan pada pergelangan tangan? Catat jika terdapat bukti jejas Tahap II Pada lengan bawah : perhatikan adakah luka tangkisan saat pasien mengangkat lengannnya? Adanya luka memar, lecet, robek, dan tusuk. Pada orang kulit hitam luka memar sulit dilihat dengan demikian rasa nyeri dan pembengkakan merupakan bukti yang penting. Tusukan jarum intravena harus dicatat juga. Tahap III Lengan atas : permukaan dalam lengan atas dan ketiak di amati dengan hati-hati jika terdapat luka memar. Adanya memar pada lengan atas sering ditunjukan jika korban menahan tangannya. Jika pakaian ditarik ke atas, dapat terlihat segaris bercak merah. Tahap IV Wajah : apakah terdapat perdarahan pada hidung? Lakukan rabaan secara gentle pada daerah rahang, mata, apakah terdapat nyeri yang menandakan adanya memar. Mulut : dilihat secara hati-hati dan di amati apakah terdapat luka memar, lecet pada mukosanya, atau adanya gigi patah?. Adanya bercak perdarahan pada atap mulut menandakan adanya penetrasi. Lakukan swab oral jika ada indikasinya. Tahap V Telinga : daerah belakang telinga apakah apakah terdapat bayangan memar, gunakan otoskop untuk melihat gendang telinga Tahap VI Kulit : raba kulit kepala untuk adakah pembengkakan ataupun nyeri, curiga adanya hematoma. Jika terdapat rambut rontok, harus dikumpulkan dengan sarung tangan. Tahap VII Leher : jika terdapat memar dapat menunjukkan serangan ganas. Jejak memar dapat dilihat dari kalung dan perhiasan pada telinga dan leher. Memar bekas gigitan harus di catat dan lakukan swab air liur sebelum menyentuh leher pasien Tahap VIII Tahap IX Perut : Pasien berbaring, lihat apakah terdapat luka. Perabaan pada daerah perut harus dilakukan kecuali ada cedera internal atau untuk mendeteksi kehamilan. Tahap X Kaki : di mulai dari bagian depan kaki. Paha bagian dalam : adakah luka memar bekas jari-jari pelaku dan adanya trauma tumpul. Pola luka memar biasanya simetris. Lutut : adakah luka lecet di lutut pasien. Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 25 Pergelangan kaki : Sangat penting untuk melihat adanya perlawanan.Telapak kaki juga penting di periksa. Tahap XI Disarankan, jika mungkin lakukan pemeriksaan belakang kaki dan pemeriksaan bokong. Beberapa bukti harus dikumpulkan menggunakan kapas basah ( seperti semen, air liur dan darah ) atau pinse ( untuk rambut, rumput, dan tanah. Adanya tato juga harus didokumentasikan dalam catatan pemeriksa bersamaan dengan deskripsi singkat tentang ukuran dan bentuk tato. Lampu wood digunakan untuk mendeteksi adanya semen pada kulit .
Pemeriksaan Genito-Anal Pasien harus berbaring terlentang dengan posisi litotomi. Pencahayaan harus diarahkan ke daerah vulva pasien. Cedera pada daerah genital atau anal dapat menyebabkan rasa sakit ketika disentuh. Pada beberapa kasus daerah pemeriksaan dapat terbatas, selain itu pemberian analgetik mungkin diperlukan. 10
Gambar 4 Pemeriksaan rutin genito-anal 10
Tabel 4 Tahapan pemeriksaan rutin genito-anal 10 Tahapan Keterangan Tahap I Periksa genital bagian luar dan anus. Inspeksi : mons pubis, vestibula vagina seperti pada labia mayora, labia minora, klitoris, selaput dara atau sisa-sisa selaput dara, dan perineum. Swab pada genitalia bagian luar dilakukan sebelum pemeriksaan spekulum. Peregangan pada daerah labium pudenda dapat mengalami luka dan sulit untuk dilihat karena tertutup adanya pembengkakan jaringan mukosa. Secara gentle tariklah labia untuk melihat hymen. Tahap II Swab secara hati-hati jika terdapat darah segar, lihat asal darah tersebut apakah dari vulva atau dari bagian dalam vagina. Tahap III Dengan speculum, periksa pada dinding vagina, apakah ada tanda cedera, termasuk luka lecet atau luka memar. (penggunaan spekulum plastik transparan sangat Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 26 membantu melihat dinding vagina). Selain itu, juga periksa kanalis endoservikalis. Bukti seperti benda asing dan rambut mungkin dapat ditemukan dan dikumpulkan. Kejadian > 24 jam - < 96 jam : pemeriksaan endoservikal kanal swab sebaiknya dilakukan terlebih dahulu untuk pemeriksaan semen. Jika pemeriksaan spekulum tidak bisa dilakukan (karena pasien menolak) masih memungkinkan untuk dilakukan blind vaginal swab. Tahap IV Pemeriksaan anal dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi lithotomi, namun lebih mudah untuk melakukan pemeriksaan ini pada pasien dengan posisi miring ke kiri. Perlu dijelaskan kepada pasien untuk menahan panggulnya sehingga anus tampak jelas. Tahap V Jika terdapat kecurigaan benda asing yang masuk ke lubang anus dapat dilakukan pemeriksaan colok dubur dan dilakukan sebelum pemeriksaan anoscopy. Jari pemeriksa diletakkan pada jaringan perianal untuk menimbulkan relaksasi spingter, saat relaksasi terjadi jari dapat dimasukkan kedalam anus. Tahap VI Proctoscopy hanya perlu dilakukan untuk kasus pendarahan anus atau nyeri anus berat setelah kekerasan atau jika dicurigai terdapat benda asing dalam rectum.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 27
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g) (h)
Gambar 5 Pemeriksaan luka bagian tubuh terhadap korban 10
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 28 Cedera Daerah Genito-anal Akibat Penetrasi Trauma genitalia dan anus perempuan dapat disebabkan akibat paksaan penetrasi. Penetrasi dapat berupa penis yang ereksi ataupun semiereksi, bagian tubuh lain seperti jari dan lidah, atau benda lainnya. Daerah frenulum posterior , labia mayora dan minora, hymen dan perianal merupakan lokasi cedera yang paling sering ditemukan. 10
Bentuk Cedera dan Klasifikasinya Klasifikasi luka, tergantung pada karakteristiknya dapat memungkinkan beberapa kesimpulan untuk menggambarkan penyebabnya. Kekerasan dapat menyebabkan banyak jenis luka, bergantung pada jenis kekerasan yang menyebabkannya. 10
Pemeriksaan Penunjang Tergantung pada jenis kejahatan dan beratnya cedera yang terjadi, beberapa pemeriksaan penunjang terhadap pasien mungkin dapat dilakukan seperti pemeriksaan Rontgen, CT scan dan USG. Selain itu, beberapa pemeriksaan spesimen dapat dilakukan tes medis seperti tes kehamilan dan penyakit menular seksual. 10
Pemeriksaan Spesimen Forensik Tujuan Tujuannya untuk membuktikan atau menyingkirkan kontak fisik antara individu dengan objek/benda dan dengan suatu tempat. Temuan yang dekat antara pemerkosa, korban dan tempat kejadian perkara dapat menunjukkan titik temu dalam melacak jejak barang bukti (Locards principle). 10 Spesimen biologi (seperti rambut, darah, semen, sisa-sisa kulit) dapat ditemukan pada korban dan pelaku, misalnya, darah korban mungkin menempel pada pakaian pelaku. Fragmen dari tempat kejadian perkara (seperti lumpur, tumbuh-tumbuhan) menghubungkan antara korban, pelaku dengan lokasi tertentu atau, mungkin saja bekas pakaian atau specimen biologi dapat tertinggal di tempat kejadian perkara tersebut. 10 Karena banyaknya bukti dan informasi yang dapat diperoleh dari korban dan penyelidik (investigator), petugas kesehatan harus menentukan specimen mana yang akan dikumpulkan dari setiap orang yang terlibat dalam kejadian. Poin-poin penting yang perlu diingat saat melakukan pemeriksaan terhadap korban kejahatan seksual agar dapat memperoleh bukti forensik terangkum dalam tabel dibawah ini. 10-11
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 29 Tabel 4 Tindak kekerasan yang memungkinkan terbentuknya pola cedera 10
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 30
5.2 Teknik Pengumpulan Spesimen Forensik Hal-hal berikut harus diperhatikan dalam pengumpulan spesimen 10-11
Avoid contamination Pastikan spesimens tidak terkontaminasi oleh material lain. Gunakan sarung tangan. Sistem DNA assay modern sangat sensitif dan mampu mendeteksi material selain spesimen walaupun dalam jumlah kecil. Collect early Usahakan memperoleh spesimens forensik secepat mungkin karena material yang dapat menjadi barang bukti akan menghilang sesuai dengan berjalannya waktu. Idealnya, specimens sebaiknya dikumpulkan dalam 24 jam setelah kejadian Handle appropriately Pastikan spesimens dikemas, disimpan, dan ditransportasikan dengan tepat. Untuk spesimen berupa cairan(fluids) didinginkan, sedangkan untuk spesimen yang lainnya disimpan dalam keadaan kering. Label accurately Semua spesimen harus dilabel secara jelas dengan nama pasien, tanggal lahir, nama petugas, jenis spesimen, dan waktu(tanggal dan jam) pengumpulan spesimen. Ensure security Spesimen sebaiknya dikemas rapi untuk memastikannya aman dan tahan terhadap kerusakan. Hanya pihak berwenang yang dipercayakan untuk menangani spesimen. Maintain continuity Jika ada perpindahan dari tangan satu orang ke orang berikutnya haruslah di catat. Detail proses transfer spesimen antara individu juga perlu dicatat. Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 31 Document collection Sebaiknya semua spesimen yang dikumpulkan dan rincian kapan, dan kepada siapa dipindahtangankan perlu disusun dengan rapi.
Prosedur umum yang digunakan pada teknik swab untuk pengumpulan berbagai macam material guna analisis forensik: 10 Gunakan kapas swab yang steril. Jangan letakkan swab pada medium yang akan menyebabkan tumbuhnya bakteri dan merusakan material yang telah diperoleh. Swab yang ditempatkan dalam medium hanya digunakan untuk pengumpulan spesimen bakteriologis. Basahi swab dengan air steril atau larutan salin ketika mengumpulkan material dari permukaan yang kering (e.g. kulit, anus). Jika dilakukan pemeriksaan mikroskop (e.g. untuk memeriksa ada atau tidaknya spermatozoa), perlu dipersiapkan sediaan (slide). Beri label sediaan dan setelah mengumpulkan swab, oleskan ujung swab pada kaca sediaan. Lalu kirim swab dan slide ke laboratorium untuk diperiksa. Semua swab dan slide sebaiknya dikeringkan sebelum ditutup dalam wadah yang tepat. Dalam kasus dimana pasien telah memperoleh obat-obatan dalam selang waktu 12-14 jam, sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah. Namun jika sudah cukup lama, mungkin dapat dilakukan pemeriksaan urin. Jika ada kemungkinan material asing telah menempel pada kulit korban ataupun pakaian korban, korban sebaiknya diminta melepaskan pakaiannya di atas selembar kertas yang cukup lebar supaya material yang mudah lepas akan jatuh ke atas kertas sehingga bisa di ambil dengan penjepit ataupun kertas tersebut dapat langsung dilipat dan segera dikirim ke laboratorium. Rambut pubis korban perlu disisir untuk menemukan rambut pubis pelaku, dan sisir yang digunakan juga dikirim ke laboratorium dalam wadah yang steril. Pengambilan swab buccal (permukaan dalam pipi) yang cukup kuat akan memberikan material selular yang cukup guna analisis DNA korban. Kemungkinan lain adalah pengambilan darah korban untuk kemudian diperiksa. Swab buccal mungkin akan mengering setelah diambil. Swab buccal tidak boleh dilakukan jika curiga terdapat material asing di dalam mulut korban (e.g. jika ejakulasi terjadi di dalam mulut korban). Jika korban sempat mencakar pelaku, materi dari bawah kuku korban dapat diambil untuk pemeriksaan analisis DNA. Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 32 Pembalut sebaiknya dikeringkan di udara. Kemudian dibungkus dengan tisu dan dimasukkan ke dalam kantong keras. Terdapatnya semen paling baik dibuktikan dengan mengambil swab kemudian diperiksa secara mikroskopis.
Gambar 6 (a) teknik pengambilan Blind vaginal swab (b) Swab Mulut untuk memperoleh Spermatozoa 10
Tabel 5 Macam spesimen forensik yang khas pada kasus kekerasan seksual, disertai teknik pengumpulan yang tepat dan tingkat relevansinya. 10
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 33
Tata Laksana dan follow up Pencegahan dan Penatalaksanaan Kehamilan 10 Jika korban datang dalam beberapa jam hingga 5 hari setelah kejadian, pemberian kontrasepsi emergensi dapat diberikan. Jika korban datan lebih dari 5 hari setelah kejadian, disarankan untukn kembali untuk mengikuti tes kehamilan apabila periode menstruasinya terlambat.
Penyakit menular seksual Infeksi yang paling sering di tularkan pada korban adalah : Chlamydia Gonorrhea Syphilis Trichomoniasis
Kontrasepsi emergensi Guna : menunda ovulasi, mencegah fertilisasi, dan menghalangi implantasi. Dosis : terdapat dua kategori, yaitu kombinasi esterogen dan progesterone, dan pil progestin (lebih sering digunakan) Manajemen dan tes kehamilan Sarankan pasien untuk memeriksa kehamilan apabila dia terlambat haid berikutnya. 1. Apabila pasien ternyata hamil berikan 2 pilihan yaitu: Mempertahankan kehamilannya, adakah tetap menjaga anak atau memberikan anaknya untuk diadopsi. Terminasi kehamilan. Cindy, Yuliana, Bramantyo, Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 34 Korban kejahatan seksual dapat juga berisiko terinfeksi Human Papilloma virus (HPV), herpes simplex virus tipe 2 (HSV 2), HIV dan hepatitis B.
Pemeriksaan penyakit menular Apabila fasilitas tersedia beberapa pemeriksaan di bawah ini dapat dilakukan : 10 Kultur kuman Neisseria gonnorhoeae and Clamydia trachomatis Kultur Trichomonas Vaginalis. Sampel darah untuk pemeriksaan Sifilis, HIV, dan Hepatitis B. Hasil (+) : tatalaksana sesuai regimen. Hasil (-) : pemeriksaan follow up diperlukan untuk melihat adanya infeksi, karena infeksi kuman dapat memiliki masa inkubasi 3 hari hingga 3 bulan untuk dapat teridentifikasi.
Hepatitis B Korban kejahatan seksual berisiko terinfeksi Hepatitis B dan harus dilakukan pemeriksaan serta imunisasi. Beberapa jenis vaksin dengan berbagai jenis dosis dan jadwal imunisasi tersedia di dunia.Petugas kesehatan dapat menggunakan jenis vaksin yang sesuai dengan tipe vaksin, dosis, dan jadwal imunisasi di wilayahnya. 10
Pemeriksaan Lanjutan (Follow Up Care) Follow up direkomendasikan selama 2 minggu , 3 bulan , dan 6 bulan setelah kejadian. 10
Konseling dan dukungan sosial Dukungan sosial dan konseling psikologi yang dibutuhkan korban sangat bervariasi, tergantung dari derajat trauma psikologi dan kemampuan korban untuk menghadapinya. Besar dan lamanya dukungan sosial dan konseling psikologi diperlukan bergantung pada derajat trauma psikologi yang terjadi pada korban. 10
Rujukan Pasien seharusnya dirujuk kepada fasilitas pendukung : Rape crisis center Shelter atau safe houses Konseling HIV / AIDS Lembaga pendukung sosial Lembaga dukungan financial
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 35 BAB III PENUTUP
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang- undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP, tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun di luar perkawinan yang mencakup persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP) serta persetubuhan tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286). Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak. Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung adanya persetubuhan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 36
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, et al, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Dahlan, Sofwan. 2008. Ilmu Kedokteran Forensik : Pedoman bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: BP, UNDIP, 2008. 3. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa Aksara. 4. Anonim, 1994, Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia. 5. http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf [diunduh tanggal 8 April 2014] 6. Syamsudin K, 2004, Persetubuhan Melawan Hukum. Palembang: Departemen Obstetri dan Ginekologi Universitas Sriwijaya. 7. Khumaini K, 2009, Lemahnya Sanksi Bagi Pelaku Pemerkosaan & Pelecehan Seksual, [online], The Aceh Institute. Dari http://id.acehinstitute.org [diunduh tanggal 8 April 2014] 8. Treatment Recommendations for Sexually Abused Adult Patients [online] Dari: http://www.medscape.org/viewarticle/749056 [diunduh tanggal 8 April 2014] 9. Sexual Assault and Abuse [online] Dari: http://www.emedicinehealth.com/sexual_assault/article_em.html [diunduh tanggal 8 April 2014] 10. http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/924154628X.pdf?ua=1 diunduh tanggal 8 April 2014 11. http://www.who.int/publications/cra/chapters/volume2/1851-1940.pdf diunduh tanggal 8 April 2014