Anda di halaman 1dari 36

Cindy, Yuliana, Bramantyo,

Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 1
BAB I
PENDAHULUAN


Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu
Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian bahwa kejahatan tersebut memang
benar terjadi. Adanya kaitan antara ilmu kedokteran dengan kejahatan seksual dapat
dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) serta KUHAP (Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana) yang memuat
ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam
pengertian kasus kejahatan seksual tersebut.
1
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di dalam
ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan demikian halnya dengan faktor waktu serta
faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari pelaku kejahatan
seksual itu sendiri.
1
Dengan demikian, upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus
kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah
seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.
2
Pemeriksaan kasus pesetubuhan yang merupakan tindak pidana, hendaknya dilakukan
dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yain akan semua bukti yang telah ditemukan
karena tidak ada kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih
banyak bukti. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter hendaknya tidak meletakkan
kepentingan korban di bawah kepentingan pemeriksaan. Terutama jika korban merupakan
anak-anak, pemeriksa sebaiknya tidak sampai menambah trauma psikis yang sudah
dideritanya.
2
Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk membebaskan
terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan hukuman. Di Indonesia,
pemeriksaan korban persetubuhan yang diduga merupakan tindak kejahatan seksual
umumnya dilakukan oleh dokter ahli Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di
tempat yang tidak ada doter ahli tersebut, maka pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter
umum.
3

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 2
Sebaiknya korban kejahatan seksual dianggap sebagai orang yang telah mengalami
cedera fisik dan atau mental sehingga lebih baik dilakukan pemeriksaan oleh dokter di klinik.
Penundaan pemeriksaan dapat memberi hasil yang kurang memuaskan.
3
































Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi
Kejahatan seksual merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan seksual,
komentar yang tidak diinginkan, perdangan seks dengan menggunakan paksaan, ancaman,
paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan dengan korban, dalam situasi
apapun yang tidak terbatas baik di dalam rumah maupun lingkungan lainnya. Kejahatan
seksual daapt dalam berbagai bentuk termasuk pemerkosaan, perbudakan seks dan atau
perdagangan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual, eksploitasi seksual dan atau
penyalahgunaan seks dan aborsi.
1

2.2 Epidemiologi
Sepanjang tahun 1998 hingga ahun 2011, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
perempuan mencatat terdapat 400.939 kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.
93.960 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap perempuan, tetapi hanya
8.784 kasus yang tercatat. Dari data tersebut, sebanyak 4.845 kasus merupakan pemerkosaan,
sebanyak 1.359 kasus merupakan perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, sebanyak
1.049 kasus merupakan pelecehan seksual, dan sebanyak 672 kasus merupakan kasus
penyiksaan seksual. Sisanya merupakan gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual,
dan eksploitasi seksual.

2.3 Klasifikasi
Kejahatan seksual diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu :
1. Perkosaan
Menurut KUHP pasal 285,
Perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menyetubuhi
seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori kekerasan disini
adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89
KUHP).
1,4
Hukuman maksimal untuk kasus perkosaan ini adalah 12 tahun kurungan penjara.



Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 4
2. Persetubuhan di luar perkawinan
Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia diatas 15
tahun tidak dapat duhukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap
wanita yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Untuk perbuatan yang terakhir ini, pelaku dapat dihukum maksimal 9 tahun
penjara (pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang
diketahui atau sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau beum
pantas dikawin maka pelakunya dapat diancam hukuman penjara maksimal 9
tahun.
1
Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarga korban
(pasal 287 KUHP). Khusus untuk yang usia dibawah 12 tahun makan penuntutan
tidak diperlukan adanya pengaduan.
1,4

3. Perzinahan
Merupakan persetubuhan antara pria dan wanita di luar perkawinan, dimana
salah satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Khusus untuk kejahatan ini penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang
telah kawin tersebut yang diajukan dalam 3 bulan disertai gugatan cerai/pisah
kamar/pisah ranjang. Perzinahan ini diancam dengan hukuman penjara maksimal
9 tahun penjara.
1,4,5

4. Perbuatan cabul
Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia
akan diancam dengan hukuman maksimal 9 tahun penjara (pasal 289 KUHP).
4
Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun jika dilakukan terhadap
orang yang sedang pingsan, tidak berdaya, dengan umur dibawah 15 tahun atau
belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290 KUHP). Sedangkan
perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang belum dewasa oleh sesame
jenis diancam penjara maksimal 5 tahun (pasal 291 KUHP).
1,4,6
Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang
atau barang, menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang
belum diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP).
6

Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak
yang belum dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 5
penjagaannya diserahkan kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum
dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun (pasal 294
KUHP).
1,4
Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi
penghubung bagi perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur
diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP).
1,4
Jika perbuatan ini dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan maka ancaman
hukumannya 1 tahun 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 15.000,-
1,4

2.4 Undang-Undang tentang Kejahatan Seksual
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh Undang-
Undang, dapat dinilai pada pasal-pasal yang tertera pada Bab XIV KUHP, yaitu Bab tentang
kejahatan terhadap kesusilaan; yang meliputi baik persetubuhan di dalam perkawinan maupun
persetubuhan di luar perkawinan.
1,4

KUHP pasal 284 :
(1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama sembulan bulan:
1a. Seorang pria yang telah kawin, yang melakukan gendak (overspel), padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgelyk Wetboek) berlaku baginya.
1b. Seorang wanita yang telah kawin, yang melakukan gendak (overspel), padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgelyk Wetboek) berlaku baginya.
2a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
yang turut bersalah telah kawin;
2b. Seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahui olehnya bahwa yang yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27
BW berlaku baginya
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti
dengan permintaan untuk bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72,73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam siding pengadilan belum
dimulai,
(5) Jika bagi suami-istri itu berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang
menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 6
Bagan 1 Kejahatan seksual dalam kaitan dengan persetubuhan yang dapat
dikenakan hukuman
1























Persetubuhan
Dalam
Perkawinan
(ps. 288)

Diluar Perkawinan
Dengan
persetujuan
perempuan
Tanpa
persetujuan
perempuan
Umur perempuan >
15 tahun (pasal 284)
Umur perempuan
belum cukup 15 tahun
(pasal 287)
Dengan kekerasan /
ancaman kekerasan
(pasal 285)
Perempuan dalam keadaan
pingsan / tidak berdaya
(pasal 286)
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 7























Pemerkosaan
Usia Perlakuan
KUHP pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan
seorang wanita di luar
perkawinan, padahal diketahui
atau sepatutnya harus diduga,
bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak
ternyata, bahwa belum mampu
dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas
pengaduan, kecuali jika umurnya
wanita belum sampai dua belas
tahun atau jika ada salah suatu
hal tersebut pasal 291 dan pasal
294.

KUHP pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan, dengan
pidana penjara paling lama dua
belas tahun.

Kekerasan
fisik
Kekerasan
psikis
KUHP pasal 89
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan
KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun

KUHP pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka
berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun.
(2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 285, 286, 287, dan 290 itu mengakibatkan mati,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 8

BW pasal 27
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu
perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebgai
suaminya.
KUHP pasal 288
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

KUHP pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.

KUHP pasal 290
Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang padahal diketahui, bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
3. Barang siapa membujuk seorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau kalu umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu
dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh
di luar perkawinan dengan orang lain.

KUHP pasal 292
Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin,
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 9

2.5 Tatalaksana kasus Kejahatan Seksual di Indonesia

Dalam penanganan korban (hidup) perkosaan, dokter memiliki peran ganda yaitu
sebagai pemeriksa yang membuat visum et repertum (VeR) serta tenaga medis yang
mengobati dan merawat korban.
1

Pemeriksaan secara medis pada korban perkosaan sebaiknya dilakukan secara
cepat dan tertutup pada tempat pemeriksaan terpisah. Segera tangani korban dengan
keadaan kritis dan lakukan pemeriksaan forensik setelah keadaan stabil. Korban
sebisanya tidak pergi ke kamar mandi, mandi, makan, atau minum sampai pemeriksaan
selesai. Keluarga, teman, perawat, atau petugas dapat menemani bila perlu. Yang penting,

KUHP pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan menyesatkan sengaja
menggerakkan seorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang
belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan
pidana penjara lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan
dan 12 bulan.

KUHP pasal 294
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang
belum cukup umur pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan
kepadanya:
2. Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit
ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya.

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 10

korban tidak ditinggalkan sendirian, tetapi ditemani orang yang juga berperan sebagai
saksi dalam pemeriksaan. Yakinkan korban tentang keamanannya dan jelaskan prosedur
pemeriksaan yang akan dilakukan.
1-3
o Anamnesis :
Umur
Status perkawinan
Haid : siklus dan hari pertama haid terakhir
Penyakit kelamin dan kandungan
Penyakit lain seperti ayan dan lain-lain
Riwayat persetubuhan sebelumnya, waktu persetubuhan terakhir dan
penggunaan kondom
Waktu kejadian
Tempat kejadian
Ada tidaknya perlawanan korban
Ada tidaknya penetrasi
KUHP pasal 295
(1) Diancam:
1: Dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya,
anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum
cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya,
pendidikan, atau penjagaannya diserahkan kepadanya, atau pun oleh bujangnya atau
bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
2: Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali tersebut ke-1 di atas
yang dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang
sepatutnya harus diduga demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang bersalah, melakukan keahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka
pidana dapat ditambah sepertiga.
3:
KUHP pasal 296
Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang
lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, atau denda paling banyak

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 11
Ada tidaknya ejakulasi
Tanyakan kepada pasien :
Telah mandi, membersihkan diri, mengganti pakaian, atau minum obat-
obatan sejak kejadian tersebut.
Apakah korban pingsan dan tanyakan penyebabnya . hal ini untuk
membedakan apakah korban pingsan karena ketakutan atau dibuat pingsan
dengan obat tidur atau obat bius.
o Pemeriksaan fisik
Korban
Pemeriksaan pakaian :
Robekan lama / baru / memanjang / melintang
Kancing putus
Bercak darah, sperma, lumpur dll.
Pakaian dalam rapih atau tidak
Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence
Pemeriksaan badan :
Umum :
1. Rambut atau wajah rapi atau kusut.
2. Emosi tenang atau gelisah
3. Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah
4. Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha
5. Trace evidence yang menempel pada tubuh
6. Perkembangan seks sekunder
7. Tinggi dan berat badan
8. Pemeriksaan rutin lainnya
Genitalia :
1. Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat
akibat zat iritan, infeksi atau iritan)
2. Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)
3. Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi
atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan)
4. Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
5. Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna)
6. Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
7. Kongesti vena atau pooling vena (juga ditemuka pada konstipasi)
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 12
8. Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti
uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma
yang aksidental).
9. Pemeriksaan selaput dara.
Tabel 1. Jenis hymen berdasarkan bentuk
1-3
Bentuk Hymen Keterangan Bentuk Hymen Keterangan

Hymen anular dimana lubang
hymen, berbentuk cincin. ketika
hymen mulai robek entah oleh
karena hubungan seksual atau
aktivitas lain, maka lubang
tersebut tidak berbentuk cincin
lagi.

Hymen yang jarang,
hymen subsepta, mirp
dengan hymen bersepta
hanya septa tidak
menyebrangi seluruh
lubang vagina

Hymen crescentic, atau
lunar.Berbentuk bulan sabit

Hymen cribriform yang
jarang,dikarakteristikkan
oleh beberapa lubang
kecil

Hymen seorang wanita yang
pernah melakukan hubungan
seksual atau masturbasi
beberapa kali.

Hymen denticular yang
jarang, berbentuk seperti
satu set gigi yang
mengelilingi lubang
vagina

Hymen seorang wanita yang
hanya pernah melakukan
aktivitas seksual sedikit atau
pernah kemasukan benda.

Hymen fimbria yang
jarang, dengan bentuk
yang ireguler
mengelilingi lubang
vagina

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 13

Vulva dari seorang wanita yang
pernah melahirkan. Hymen
secara lengkap hilang atau
hampir hilang seluruhnya

Hymen yang terlihat
seperti bibir vulva


Satu dari 2000 anak perempuan
dilahirkan dengan hymen
imperforate

Beberapa gadis lahir
hanya dengan lubang
sempit pada hymen
sehingga memerlukan
operasi


Hymen bersepta yang jarang
sekali oleh karena adanya
jembatan yang menyeberangi
lubang vagina




Pemeriksaan Ekstra-Genital
1. Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada
tubuh
2. Deskripsi luka
3. Pemeriksa rongga mulut pada kasus oral sex
4. Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma
5. Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh
pelaku
Pelaku
Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan
persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina
pada glans penis. Pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya
penyakit kelamin.
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 14
Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian
sehingga tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena
kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Penentuan golongan darah
penting untuk dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika
terjadi persetubuhan harus diperiksa. Jika fasilitas pemeriksaan tidak ada,
kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran
Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara pembungkusan dan
penyegelan.
Menurut Idries, terdapat beberapa hal penting yang harus ditentukan dan dievaluasi pada
korban kejahatan seksual, yaitu
3

Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Memperkirakan umur
Menentukan pantas tidaknya korban buat kawin.

1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke
dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa
terjadinya pancaran air mani, sehingga besarnya zakar dengan ketegangannya, sampai
seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan
mempengaruhi hasil pemeriksaan.
3
Tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat dipastikan bahwa pada
wanita tidak terjadi penetrasi, sebaliknya adanya robekan pada hymen hanya
merupakan pertanda adanya sesuatu benda (penis atau benda lain), yang masuk ke
dalam vagina.
3
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat
tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan
tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma maka
pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
terhadap ejakulat tersebut. Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat
diperiksa adalah enzim asam fosfatase, kholin dan spermin. Ketiganya bila
dibandingkan dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendah oleh karena ketiga
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 15
komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat
diandalkan, oleh karena kadar asam fosfatase yang normalnya juga terdapat dalam
vagina, kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang
berasal dari kelenjar prostat.
3
Dengan demikian, apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara pasti pula
menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan. Maksimal dokter harus
mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksa itu tidak ditemukan tanda-tanda
persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada
persetubuhan, dan kedua, persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak dapat
ditemukan.
3
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan harus pula ditentukan. Hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan. Sperma di dalam liang vagina masih dapat
bergerak dalam waktu 4-5 jam setelah persetubuhan. Sperma masih dapat ditemukan
tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan pada korban yang
hidup. Sedangkan pada orang yang mati sperma masih dapat ditemukan dalam vagina
paling lama sampai 7-8 hari setelah persetubuhan. Perkiraan saat terjadinya
persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek,
yang pada umumnya penyembuhan akan dicapai dalam waktu 7-10 hari setelah
persetubuhan.
1-3

Tabel 2. Hasil pemeriksaan yang diharapkan pada korban kejahatan seksual
3
Penyebab Hasil pemeriksaaan yang diharapkan
Penetrasi zakar
o Robekan pada selaput dara
o Luka-luka pada bibir kemaluan dan dinding vagina
Pancaran air mani
(ejakulasi)
o Sperma di dalam vagina
o Asam fostase, kholin dan sperma di dalam vagina
o Kehamilan
Penyakit kelamin
o G.O. (kencing nanah)
o Lues (sifilis)

2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 16
Beberapa lokasi luka yang sering ditemukan untuk pembuktian adanya kekerasan
yaitu pada daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal
paha serta di sekitar dan pada alat genital, dan biasanya berbentuk luka-luka lecet bekas
kuku, gigitan serta luka memar.
1-3
Di dalam hal pembuktian adanya kekerasan, tidak selamanya kekerasan tersebut
meninggalkan jejak atau bekas berbentuk luka. Oleh karena itu tidak ditemukannya
luka tidak berarti bahwa tidak terjadi kekerasan, sehingga penting bagi dokter untuk
berhati-hati mengggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan dalam VeR yang dibuat.
Oleh karena tindakan pembiusan dikategorikan pula sebagai tindakan kekerasan maka
diperlukan pemeriksaan toksikologi pada korban untuk menentukan ada tidaknya obat
atau racun yang kiranya dapat membuat wanita menjadi pingsan.
1-3


3. Memperkirakan umur
Tujuan pemeriksaan untuk memperkirakan umur korban salah satunya mengacu
pada pasal 287 KUHP bahwa barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita
diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-
undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di
atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan
(delik aduan).
1-3
Selain itu, pentingnya memperkirakan umur korban juga didasarkan pada pasal 81
Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa:
4

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 17
Pada kasus dimana umur korban belum jelas, maka memperkirakan umur
merupakan pekerjaan yang paling sulit, karena tidak ada satu metodepun yang dapat
memastikan umur seseorang dengan tepat. Dengan teknologi kedokteran yang canggih
pun maksimal hanya sampai pada perkiraan umur saja.
1-3
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan yang
meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau
penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan yang memerlukan
berbagai sarana serta keahlian seperti pemeriksaan keadaan pertumbuhan gigi atau
tulang dengan menggunakan rontgen.
1-3
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan
bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan perkembangan
payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan. Ditentukan apakah
gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira 12
tahun, sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih). Juga
harus ditanyakan apakah korban sudah pernah menstruasi bila umur korban tidak
diketahui.
1-3
Selain itu perkiraan umur pada korban kejahatan seksual adalah dengan
memperhatikan ciri-ciri seks sekunder. Dalam hal ini termasuk perubahan pada
genitalia, payudara dan tumbuhnya rambut-rambut seksual yang pertama tumbuh
hampir selalu di daerah pubis.
2,3,6
Sexual Maturation Rate (SMR) atau dikenal juga dengan Tanner Staging
merupakan penilaian ciri seks sekunder. SMR didasarkan pada penampakan rambut
pubis, perkembangan payudara dan terjadinya menarke pada perempuan. SMR stadium
1 menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan prapubertal, sedangkan stadium 2-5
menunjukkan pubertas progress. SMR stadium 5 pematangan seksual sudah sempurna.
Pematangan seksual berhubungan dengan pertumbuhan liniar, perubahan berat badan
dan komposisi tubuh, dan perubahan hormonal.


4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin
Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin diperlukan untuk menentukan
pasal mana yang paling tepat dikenakan bagi si pelaku. Sebab, bila korban dikawin
disaat ia belum memenuhi syarat secara hukum dan undang-undang yang berlaku,
maka si pelaku harus dipidana. Terlebih lagi apabila korban masih di bawah umur,
maka pelaku dapat dikenakan sanksi sesuai pasal dalam KUHP maupun Undang-
Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
1-3
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 18
Penentuan pantas tidaknya seseorang untuk dikawin sangat tergantung dari banyak
hal, salah satunya dari segi mana seseorang tersebut ingin dilihat, apakah dari segi
biologis, sosial atau sebagai manusia seutuhnya serta berdasarkan undang-undang yang
berlaku.
1
Secara biologis jika persetubuhan dilakukan untuk mendapatkan keturunan,
pengertian pantas tidaknya buat kawin tergantung dari apakah korban telah siap untuk
dibuahi yang dimanifestasikan dengan sudah pernah mengalami menstruasi atau belum.
Bila dilihat dari segi perundang-undangan, yaitu undang-undang perkawinan pada Bab
II (Syarat-syarat perkawinan) pada pasal 7 ayat (1) berbunyi: perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun. Dengan demikian terbentur lagi pada masalah penentuan umur korban.
4


Gambar 1 Sexual Maturating Rate(SMR) meliputi perubahan rambut pubis pada
perempuan.
6


Tabel 2 Sexual Maturating Rate(SMR) pada perempuan
6
Tahap
SMR
Rambut Pubis Payudara
1 Pre-remaja Pre-remaja
2
Jarang, kurang berpigmen, lurus, tepi
medial labia
Payudara dan papilla menonjol seperti bukit
kecil, diameter areola bertambah
3 Lebih gelap, mulai keriting, makin lebat Payudara dan areola membesar, tidak ada
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 19
pemisahan kontur
4
Kasar, keriting, lebat, tetapi kurang lebat
dibandingkan dengan orang dewasa
Areola dan papilla membentuk bukit kecil
sekunder
5
Segitiga peminim dewasa, menyebar ke
permukaan medial paha
Matur, putting menonjol, areola merupakan
bagian dari kontur payudara keseluruhan


(Sumber: Behrman & Kliegman, 2000)
Gambar 2 Sexual Maturating Rate(SMR) meliputi perkembangan payudara pada
perempuan
6
Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan darah
o Pemeriksaan cairan mani (semen)
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 20
o Pemeriksaan kehamilan
o Pemeriksaan VDRL, GO, HIV
o Pemerikaan serologi Hepatitis
o Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka

Penatalaksanaan Korban Kejahatan Seksual Menurut WHO
Seorang korban kejahatan seksual sebaiknya dilakukan pemeriksaan forensik medis
secara keseluruhan. Adapun komponen yang dilakukan pada pemeriksaan adalah
8-10
o Penilaian awal, termasuk persetujuan medis.
o Riwayat medis, termasuk gambaran terjadinya peristiwa kejahatan seksual
o Pemeriksaan genito-anal secara terperinci.
o Mencatat dan mengkalisifikasikan cedera.
o Mengumpulkan spesimen medis untuk keperluan diagnostik
o Pelabelan, pengemasan, dan pengangkutan spesimen forensik.
o Pemberian terapi
o Follow up
o Penyimpanan dokumentasi
o Pembuatan laporan medikolegal

o Penilaian Awal
Perhatian utama pada tahap awal dan harus dinilai sesegera mungkin. Korban sering
berada dalam tingkat emosional yang tinggi setelah serangan akibat meningkatnya
hormon stress. Untuk itu, pekerja kesehatan harus memilih kata-kata yang lembut dan
menenangkan dan hati-hati ketika berhadapan dengan pasien korban kejahatan seksual.
Penggunaan bahasa yang sensitif dapat berkontribusi tekanan tidak hanya untuk pasien
selama pemeriksaan tetapi juga menghambat pemulihan jangka panjang. Sangat penting
bahwa semua korban kekerasan seksual diperlakukan dengan hormat dan bermartabat
seluruh pemeriksaan seluruh terlepas dari mereka status sosial, ras, agama, budaya,
orientasi seksual, gaya hidup, seks atau pekerjaan.
8

Persetujuan Medik
Persetujuan medik merupakan bukti persetujuan sebelum melakukan pemeriksaan
dan untuk mendapatkan informasi tentang kejadian yang dialami oleh pasien, yang
merupakan bagian medikolegal yang penting, dan pasien menandatangani formulir
persetujuan tersebut. Pasien dijelaskan jika dia memutuskan untuk mengejar tindakan
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 21
hukum terhadap pelaku, informasi apapun yang diberikan kepada Anda dalam
pemeriksaan dapat menjadi bukti.
8
Pemeriksa tidak diperbolehkan memaksa seseorang untuk memberikan informasi
tanpa persetujuan. Jika hal ini terjadi, pemeriksa dapat didakwa dengan pelanggaran
hukum.
8

o Riwayat Medis Umum.
Tujuan utama untuk mendapatkan informasi yang akan membantu penatalaksanaan
terhadap pasien atau dapat membantu menjelaskan temuan berikutnya. Setidaknya
riwayat medis umum dapat mengetahui masalah kesehatan umum (termasuk alergi),
status imunisasi, dan pengobatan.
8
Riwayat Ginekologi
Riwayat ginekologi adalah bagian yang penting pada kasus kejahatan seksual. Pertanyaan
yang harus ditanyakan meliputi ;
6,8-10
Tanggal menstruasi terakhir
Status pernikahan pasien.
Apakah pasien pernah melakukan hubungan seksual sebelum kejadian ? Jika ya,
kapan terakhir berhubungan seksual yang disetujui ?
Apakah pasien pernah hamil? jika ya, sudah berapa kali dan bagaimana proses
kelahiran bayi tersebut? Apakah terdapat komplikasi selama melahirkan ?
Penggunaan alat kontrasepsi
Jumlah anak saat ini
Riwayat operasi panggul

Beberapa Pertanyaan yang harus dicatat , yaitu :
10
Rincian terhadap pelaku
Rincian mengenai aktivitas
seksual
Gejala yang ditimbulkan
setelah kejadian
Tanggal, waktu, lokasi,
termasuk deskripsi tempat
terjadinya kejahatan
Nama, identitas dan jumlah
pelaku.
Kontak fisik dan rincian
kekerasan yang dilakukan
Penggunaan senjata.
Penetrasi vagina oleh pelaku
seperti; penis, jari, objek
lainnya terhadap korban.
Apakah terdapat penetrasi
anal terhadap korban. Selain
itu, tanyakan pula adakah
terdapat penetrasi oral
terhadap korban.
Pendarahan genital,
keluarnya cairan, gatal-
gatal, dan rasa nyeri.
Gejala berkemih
Nyeri anal ataupun
pendarahan.
Nyeri pada perut.

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 22
Penggunaan obat-obatan,
alkohol, dan substansi yang
dihirup.
Penggunaan kondom dan dan
cairan lubrikasi
Bagaimana cara pakaian
dilepaskan.
Adakah terdapat kontak oral
mulut pelaku terhadap wajah,
tubuh, atau bagian genito-
anal korban.
Adakah pemaksaan kontak
mulut korban terhadap
wajah, tubuh atau bagian
genitor-anal pelaku.
Adakah terdapat ejakulasi
pada vagina korban ataupun
tubuh korban saat kejadian.
Tindakan yang dapat
mengubah bukti
Mandi
Membersihkan daerah
genito-anal
Mengganti pakaian.

o Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Keadaan umum pasien, sikap dan fungsi mental pasien.
Jika, fungsi mental terganggu, cari penyebab. Apakah akibat penggunaan zat
tertentu seperti alcohol atau gejala dari penyakit yang sudah lama, seperti retardasi
mental.
Tanda vital pasien
Periksan pasien mulai dari kepala hingga kaki, termasuk area genirto-anal.
Catat dan deskripsi secara detail adakah terdapat luka pada tubuh. Gunakan body
map untuk menandakan lokasi dan ukuran dari luka tersebut. Jika terdapat luka
pada tubuh, foto luka tersebut.
Pemeriksaan Penunjang :
o Radiologi : untuk membantu diagnosis lainnya seperti patah tulang, cedera
kepala dan leher, otak, ataupun cedera medulla spinalis, ataupun cedera perut,
sesuai yang dibutuhkan.
o Pemeriksaan darah : tes HIV, Hepatitis B, dan penyakit menular lainnya.

Beberapa prinsip umum dan prosedur sebelum dilakukan pemeriksan dan observasi
terhadap pasien kejahatan seksual :
10
a. Beri kesempatan kepada pasien untuk bertanya, dan sebelum memulai pemeriksaan
fisik, jelaskan mengenai prosedur kepada pasien dan tujuan pemeriksaan dilakukan.
b. Mempersilahkan pasien untuk membawa anggota keluarga ataupun teman pada saat
pemeriksaan.
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 23
c. Jika pemeriksa laki-laki, disarankan mempunyai pendamping yang merupakan
seorang petugas kesehatan yang terlatih untuk memberikan rasa nyaman dan
mendukung pasien. Selain itu, pendamping juga melindungi pemeriksa dari tuduhan
perilaku yang tidak professional terhadap korban.
d. Lakukan persetujuan mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pada pasien,
alat yang digunakan, tanyakan kesediaannya. Jika pasien menolak semua atau
sebagian pemeriksaan fisik tersebut, pemeriksa harus menghormati keputusan pasien.
e. Idealnya, Ruangan yang dilakukan untuk pemeriksaan harus kedap suara dan
memiliki ruangan yang terpisah untuk melepaskan pakaian, seperti dibalik tirai, dan
pasien diberi kain penutup tubuh, cukup cahaya, hangat, bersih, dan tertutup.
f. Jika pasien masih menggunakan pakaian pada waktu kejadian, pasien harus
melepaskan pakaiannya diatas kertas putih yang lebar untuk mengumpulkan bukti
forensik. Beri sebanyak mungkin privasi terhadap pasien saat melepaskan pakaian.
Gunakan kain penutup.
g. Bukti-bukti medik dan spesimen forensik harus dikumpulkan selama pemeriksaan.
Pemeriksaan medik dan hukum harus dilakukan bersamaan waktu dan tempat agar
mengurangi jumlah pemeriksaan.
h. Setiap pemeriksa harus menggunakan alat proteksi diri seperti sarung tangan saat
memeriksa, mengganti sarung tangan pada pasien yang berbeda, mencuci tangan
degan air sabun dan air setelah terpapar cairan tubuh atau darah, menggunakan
kacamata proteksi dan masker.

Pemeriksaan fisik dari kepala hingga kaki pada pasien harus dilakukan secara sistematis.

Gambar 3 Pemeriksaan Fisik Top to toe
10

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 24
Tabel 3 Tahapan pemeriksaan fisik pada korban pejahatan seksual
10
Tahapan Keterangan
Tahap I Catat keadaan umum dan sikap pasien
Mulai pemeriksaan dari tangan, karena membuat pasien merasa aman.
Pemeriksa tanda vital
Lihat kedua tangan pasien. Adakah terdapat luka? Bekas ikatan pada
pergelangan tangan? Catat jika terdapat bukti jejas
Tahap II Pada lengan bawah : perhatikan adakah luka tangkisan saat pasien mengangkat
lengannnya? Adanya luka memar, lecet, robek, dan tusuk.
Pada orang kulit hitam luka memar sulit dilihat dengan demikian rasa nyeri dan
pembengkakan merupakan bukti yang penting. Tusukan jarum intravena harus
dicatat juga.
Tahap III
Lengan atas : permukaan dalam lengan atas dan ketiak di amati dengan hati-hati
jika terdapat luka memar.
Adanya memar pada lengan atas sering ditunjukan jika korban menahan
tangannya. Jika pakaian ditarik ke atas, dapat terlihat segaris bercak merah.
Tahap IV Wajah : apakah terdapat perdarahan pada hidung? Lakukan rabaan secara gentle
pada daerah rahang, mata, apakah terdapat nyeri yang menandakan adanya
memar.
Mulut : dilihat secara hati-hati dan di amati apakah terdapat luka memar, lecet
pada mukosanya, atau adanya gigi patah?. Adanya bercak perdarahan pada atap
mulut menandakan adanya penetrasi. Lakukan swab oral jika ada indikasinya.
Tahap V Telinga : daerah belakang telinga apakah apakah terdapat bayangan memar,
gunakan otoskop untuk melihat gendang telinga
Tahap VI Kulit : raba kulit kepala untuk adakah pembengkakan ataupun nyeri, curiga
adanya hematoma.
Jika terdapat rambut rontok, harus dikumpulkan dengan sarung tangan.
Tahap VII Leher : jika terdapat memar dapat menunjukkan serangan ganas. Jejak memar
dapat dilihat dari kalung dan perhiasan pada telinga dan leher.
Memar bekas gigitan harus di catat dan lakukan swab air liur sebelum menyentuh
leher pasien
Tahap VIII
Tahap IX Perut : Pasien berbaring, lihat apakah terdapat luka. Perabaan pada daerah perut
harus dilakukan kecuali ada cedera internal atau untuk mendeteksi kehamilan.
Tahap X Kaki : di mulai dari bagian depan kaki.
Paha bagian dalam : adakah luka memar bekas jari-jari pelaku dan adanya trauma
tumpul. Pola luka memar biasanya simetris.
Lutut : adakah luka lecet di lutut pasien.
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 25
Pergelangan kaki : Sangat penting untuk melihat adanya perlawanan.Telapak kaki
juga penting di periksa.
Tahap XI Disarankan, jika mungkin lakukan pemeriksaan belakang kaki dan pemeriksaan
bokong.
Beberapa bukti harus dikumpulkan menggunakan kapas basah ( seperti semen, air
liur dan darah ) atau pinse ( untuk rambut, rumput, dan tanah.
Adanya tato juga harus didokumentasikan dalam catatan pemeriksa bersamaan
dengan deskripsi singkat tentang ukuran dan bentuk tato.
Lampu wood digunakan untuk mendeteksi adanya semen pada kulit .

Pemeriksaan Genito-Anal
Pasien harus berbaring terlentang dengan posisi litotomi. Pencahayaan harus
diarahkan ke daerah vulva pasien. Cedera pada daerah genital atau anal dapat
menyebabkan rasa sakit ketika disentuh. Pada beberapa kasus daerah pemeriksaan dapat
terbatas, selain itu pemberian analgetik mungkin diperlukan.
10


Gambar 4 Pemeriksaan rutin genito-anal
10

Tabel 4 Tahapan pemeriksaan rutin genito-anal
10
Tahapan Keterangan
Tahap I Periksa genital bagian luar dan anus.
Inspeksi : mons pubis, vestibula vagina seperti pada labia mayora, labia minora,
klitoris, selaput dara atau sisa-sisa selaput dara, dan perineum.
Swab pada genitalia bagian luar dilakukan sebelum pemeriksaan spekulum.
Peregangan pada daerah labium pudenda dapat mengalami luka dan sulit untuk
dilihat karena tertutup adanya pembengkakan jaringan mukosa. Secara gentle
tariklah labia untuk melihat hymen.
Tahap II Swab secara hati-hati jika terdapat darah segar, lihat asal darah tersebut apakah dari
vulva atau dari bagian dalam vagina.
Tahap III Dengan speculum, periksa pada dinding vagina, apakah ada tanda cedera, termasuk
luka lecet atau luka memar. (penggunaan spekulum plastik transparan sangat
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 26
membantu melihat dinding vagina). Selain itu, juga periksa kanalis endoservikalis.
Bukti seperti benda asing dan rambut mungkin dapat ditemukan dan dikumpulkan.
Kejadian > 24 jam - < 96 jam : pemeriksaan endoservikal kanal swab sebaiknya
dilakukan terlebih dahulu untuk pemeriksaan semen. Jika pemeriksaan spekulum
tidak bisa dilakukan (karena pasien menolak) masih memungkinkan untuk
dilakukan blind vaginal swab.
Tahap IV Pemeriksaan anal dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi lithotomi, namun
lebih mudah untuk melakukan pemeriksaan ini pada pasien dengan posisi miring ke
kiri. Perlu dijelaskan kepada pasien untuk menahan panggulnya sehingga anus
tampak jelas.
Tahap V Jika terdapat kecurigaan benda asing yang masuk ke lubang anus dapat dilakukan
pemeriksaan colok dubur dan dilakukan sebelum pemeriksaan anoscopy. Jari
pemeriksa diletakkan pada jaringan perianal untuk menimbulkan relaksasi spingter,
saat relaksasi terjadi jari dapat dimasukkan kedalam anus.
Tahap VI Proctoscopy hanya perlu dilakukan untuk kasus pendarahan anus atau nyeri anus
berat setelah kekerasan atau jika dicurigai terdapat benda asing dalam rectum.











Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 27

(a) (b)

(c) (d)


(e) (f)

(g) (h)

Gambar 5 Pemeriksaan luka bagian tubuh terhadap korban
10

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 28
Cedera Daerah Genito-anal Akibat Penetrasi
Trauma genitalia dan anus perempuan dapat disebabkan akibat paksaan penetrasi.
Penetrasi dapat berupa penis yang ereksi ataupun semiereksi, bagian tubuh lain seperti
jari dan lidah, atau benda lainnya. Daerah frenulum posterior , labia mayora dan minora,
hymen dan perianal merupakan lokasi cedera yang paling sering ditemukan.
10

Bentuk Cedera dan Klasifikasinya
Klasifikasi luka, tergantung pada karakteristiknya dapat memungkinkan beberapa
kesimpulan untuk menggambarkan penyebabnya. Kekerasan dapat menyebabkan banyak
jenis luka, bergantung pada jenis kekerasan yang menyebabkannya.
10

Pemeriksaan Penunjang
Tergantung pada jenis kejahatan dan beratnya cedera yang terjadi, beberapa
pemeriksaan penunjang terhadap pasien mungkin dapat dilakukan seperti pemeriksaan
Rontgen, CT scan dan USG. Selain itu, beberapa pemeriksaan spesimen dapat dilakukan
tes medis seperti tes kehamilan dan penyakit menular seksual.
10

Pemeriksaan Spesimen Forensik
Tujuan
Tujuannya untuk membuktikan atau menyingkirkan kontak fisik antara individu
dengan objek/benda dan dengan suatu tempat. Temuan yang dekat antara pemerkosa,
korban dan tempat kejadian perkara dapat menunjukkan titik temu dalam melacak jejak
barang bukti (Locards principle).
10
Spesimen biologi (seperti rambut, darah, semen, sisa-sisa kulit) dapat ditemukan pada
korban dan pelaku, misalnya, darah korban mungkin menempel pada pakaian pelaku.
Fragmen dari tempat kejadian perkara (seperti lumpur, tumbuh-tumbuhan)
menghubungkan antara korban, pelaku dengan lokasi tertentu atau, mungkin saja bekas
pakaian atau specimen biologi dapat tertinggal di tempat kejadian perkara tersebut.
10
Karena banyaknya bukti dan informasi yang dapat diperoleh dari korban dan
penyelidik (investigator), petugas kesehatan harus menentukan specimen mana yang akan
dikumpulkan dari setiap orang yang terlibat dalam kejadian. Poin-poin penting yang perlu
diingat saat melakukan pemeriksaan terhadap korban kejahatan seksual agar dapat
memperoleh bukti forensik terangkum dalam tabel dibawah ini.
10-11


Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 29
Tabel 4 Tindak kekerasan yang memungkinkan terbentuknya pola cedera
10



Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 30


5.2 Teknik Pengumpulan Spesimen Forensik
Hal-hal berikut harus diperhatikan dalam pengumpulan spesimen
10-11

Avoid
contamination
Pastikan spesimens tidak terkontaminasi oleh material lain. Gunakan sarung
tangan. Sistem DNA assay modern sangat sensitif dan mampu mendeteksi
material selain spesimen walaupun dalam jumlah kecil.
Collect early
Usahakan memperoleh spesimens forensik secepat mungkin karena material
yang dapat menjadi barang bukti akan menghilang sesuai dengan berjalannya
waktu. Idealnya, specimens sebaiknya dikumpulkan dalam 24 jam setelah
kejadian
Handle
appropriately
Pastikan spesimens dikemas, disimpan, dan ditransportasikan dengan tepat.
Untuk spesimen berupa cairan(fluids) didinginkan, sedangkan untuk spesimen
yang lainnya disimpan dalam keadaan kering.
Label accurately
Semua spesimen harus dilabel secara jelas dengan nama pasien, tanggal lahir,
nama petugas, jenis spesimen, dan waktu(tanggal dan jam) pengumpulan
spesimen.
Ensure security
Spesimen sebaiknya dikemas rapi untuk memastikannya aman dan tahan
terhadap kerusakan. Hanya pihak berwenang yang dipercayakan untuk
menangani spesimen.
Maintain
continuity
Jika ada perpindahan dari tangan satu orang ke orang berikutnya haruslah di
catat. Detail proses transfer spesimen antara individu juga perlu dicatat.
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 31
Document
collection
Sebaiknya semua spesimen yang dikumpulkan dan rincian kapan, dan kepada
siapa dipindahtangankan perlu disusun dengan rapi.

Prosedur umum yang digunakan pada teknik swab untuk pengumpulan berbagai
macam material guna analisis forensik:
10
Gunakan kapas swab yang steril. Jangan letakkan swab pada medium yang akan
menyebabkan tumbuhnya bakteri dan merusakan material yang telah diperoleh. Swab
yang ditempatkan dalam medium hanya digunakan untuk pengumpulan spesimen
bakteriologis.
Basahi swab dengan air steril atau larutan salin ketika mengumpulkan material dari
permukaan yang kering (e.g. kulit, anus).
Jika dilakukan pemeriksaan mikroskop (e.g. untuk memeriksa ada atau tidaknya
spermatozoa), perlu dipersiapkan sediaan (slide). Beri label sediaan dan setelah
mengumpulkan swab, oleskan ujung swab pada kaca sediaan. Lalu kirim swab dan slide
ke laboratorium untuk diperiksa.
Semua swab dan slide sebaiknya dikeringkan sebelum ditutup dalam wadah yang tepat.
Dalam kasus dimana pasien telah memperoleh obat-obatan dalam selang waktu 12-14
jam, sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah. Namun jika sudah cukup lama, mungkin
dapat dilakukan pemeriksaan urin.
Jika ada kemungkinan material asing telah menempel pada kulit korban ataupun pakaian
korban, korban sebaiknya diminta melepaskan pakaiannya di atas selembar kertas yang
cukup lebar supaya material yang mudah lepas akan jatuh ke atas kertas sehingga bisa di
ambil dengan penjepit ataupun kertas tersebut dapat langsung dilipat dan segera dikirim
ke laboratorium.
Rambut pubis korban perlu disisir untuk menemukan rambut pubis pelaku, dan sisir yang
digunakan juga dikirim ke laboratorium dalam wadah yang steril.
Pengambilan swab buccal (permukaan dalam pipi) yang cukup kuat akan memberikan
material selular yang cukup guna analisis DNA korban. Kemungkinan lain adalah
pengambilan darah korban untuk kemudian diperiksa. Swab buccal mungkin akan
mengering setelah diambil. Swab buccal tidak boleh dilakukan jika curiga terdapat
material asing di dalam mulut korban (e.g. jika ejakulasi terjadi di dalam mulut korban).
Jika korban sempat mencakar pelaku, materi dari bawah kuku korban dapat diambil untuk
pemeriksaan analisis DNA.
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 32
Pembalut sebaiknya dikeringkan di udara. Kemudian dibungkus dengan tisu dan
dimasukkan ke dalam kantong keras.
Terdapatnya semen paling baik dibuktikan dengan mengambil swab kemudian diperiksa
secara mikroskopis.


Gambar 6 (a) teknik pengambilan Blind vaginal swab (b) Swab Mulut untuk
memperoleh Spermatozoa
10

Tabel 5 Macam spesimen forensik yang khas pada kasus kekerasan seksual,
disertai teknik pengumpulan yang tepat dan tingkat relevansinya.
10


Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 33

Tata Laksana dan follow up
Pencegahan dan Penatalaksanaan Kehamilan
10
Jika korban datang dalam beberapa jam hingga 5 hari setelah kejadian,
pemberian kontrasepsi emergensi dapat diberikan. Jika korban datan lebih dari 5
hari setelah kejadian, disarankan untukn kembali untuk mengikuti tes kehamilan
apabila periode menstruasinya terlambat.


Penyakit menular seksual
Infeksi yang paling sering di tularkan pada korban adalah :
Chlamydia
Gonorrhea
Syphilis
Trichomoniasis

Kontrasepsi
emergensi
Guna : menunda ovulasi, mencegah fertilisasi, dan menghalangi
implantasi.
Dosis : terdapat dua kategori, yaitu kombinasi esterogen dan
progesterone, dan pil progestin (lebih sering digunakan)
Manajemen
dan tes
kehamilan
Sarankan pasien untuk memeriksa kehamilan apabila dia terlambat
haid berikutnya.
1. Apabila pasien ternyata hamil berikan 2 pilihan yaitu:
Mempertahankan kehamilannya, adakah tetap menjaga anak
atau memberikan anaknya untuk diadopsi.
Terminasi kehamilan.
Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 34
Korban kejahatan seksual dapat juga berisiko terinfeksi Human Papilloma virus (HPV),
herpes simplex virus tipe 2 (HSV 2), HIV dan hepatitis B.

Pemeriksaan penyakit menular
Apabila fasilitas tersedia beberapa pemeriksaan di bawah ini dapat dilakukan :
10
Kultur kuman Neisseria gonnorhoeae and Clamydia trachomatis
Kultur Trichomonas Vaginalis.
Sampel darah untuk pemeriksaan Sifilis, HIV, dan Hepatitis B.
Hasil (+) : tatalaksana sesuai regimen.
Hasil (-) : pemeriksaan follow up diperlukan untuk melihat adanya infeksi, karena infeksi
kuman dapat memiliki masa inkubasi 3 hari hingga 3 bulan untuk dapat teridentifikasi.

Hepatitis B
Korban kejahatan seksual berisiko terinfeksi Hepatitis B dan harus dilakukan
pemeriksaan serta imunisasi. Beberapa jenis vaksin dengan berbagai jenis dosis dan
jadwal imunisasi tersedia di dunia.Petugas kesehatan dapat menggunakan jenis vaksin
yang sesuai dengan tipe vaksin, dosis, dan jadwal imunisasi di wilayahnya.
10

Pemeriksaan Lanjutan (Follow Up Care)
Follow up direkomendasikan selama 2 minggu , 3 bulan , dan 6 bulan setelah kejadian.
10

Konseling dan dukungan sosial
Dukungan sosial dan konseling psikologi yang dibutuhkan korban sangat bervariasi,
tergantung dari derajat trauma psikologi dan kemampuan korban untuk menghadapinya.
Besar dan lamanya dukungan sosial dan konseling psikologi diperlukan bergantung pada
derajat trauma psikologi yang terjadi pada korban.
10

Rujukan
Pasien seharusnya dirujuk kepada fasilitas pendukung :
Rape crisis center
Shelter atau safe houses
Konseling HIV / AIDS
Lembaga pendukung sosial
Lembaga dukungan financial

Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 35
BAB III
PENUTUP

Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu
Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut
memang telah terjadi.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-
undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP, tentang Kejahatan
Terhadap Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun
di luar perkawinan yang mencakup persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287
KUHP) serta persetubuhan tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286).
Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual
sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada
tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu
memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung adanya
persetubuhan.




















Cindy, Yuliana, Bramantyo,
Kejahatan Seksual Forsalina, Melisa, Shereen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang
Periode 24 Maret 2014 19 April 2014 36

DAFTAR PUSTAKA



1. Budiyanto A, Widiatmaka W, et al, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Dahlan, Sofwan. 2008. Ilmu Kedokteran Forensik : Pedoman bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Semarang: BP, UNDIP, 2008.
3. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa
Aksara.
4. Anonim, 1994, Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
5. http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf [diunduh tanggal 8
April 2014]
6. Syamsudin K, 2004, Persetubuhan Melawan Hukum. Palembang: Departemen
Obstetri dan Ginekologi Universitas Sriwijaya.
7. Khumaini K, 2009, Lemahnya Sanksi Bagi Pelaku Pemerkosaan & Pelecehan
Seksual, [online], The Aceh Institute. Dari http://id.acehinstitute.org [diunduh tanggal
8 April 2014]
8. Treatment Recommendations for Sexually Abused Adult Patients [online] Dari:
http://www.medscape.org/viewarticle/749056 [diunduh tanggal 8 April 2014]
9. Sexual Assault and Abuse [online] Dari:
http://www.emedicinehealth.com/sexual_assault/article_em.html [diunduh tanggal 8
April 2014]
10. http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/924154628X.pdf?ua=1 diunduh tanggal 8
April 2014
11. http://www.who.int/publications/cra/chapters/volume2/1851-1940.pdf diunduh
tanggal 8 April 2014

Anda mungkin juga menyukai