Anda di halaman 1dari 23

TEKNOLOGI PEMBAKARAN BATUBARA PADA PLTU

Oleh : imambudiraharjo on March 6, 2009


(http://imambudiraharjo.wordpress.com/2009/03/06/teknologi-pembakaran-pada-pltu-batubara)

PENDAHULUAN
Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian
secara ilmiah dalam hal ini berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan pembagian
berdasarkan tujuan penggunaannya. Berdasarkan urutan pembatubaraannya,
batubara terbagi menjadi batubara muda (brown coal atau lignite), sub bituminus,
bituminus, dan antrasit. Sedangkan berdasarkan tujuan penggunaannya, batubara
terbagi menjadi batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking
coal atau metallurgical coal), dan antrasit.
Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling luas.
Berdasarkan metodenya, pemanfataan batubara uap terdiri dari pemanfaatan
secara langsung yaitu batubara yang telah memenuhi spesifikasi tertentu langsung
digunakan setelah melalui proses peremukan (crushing/milling) terlebih dulu
seperti pada PLTU batubara, kemudian pemanfaatan dengan memproses terlebih
dulu untuk memudahkan penanganan (handling) seperti CWM (Coal Water
Slurry), COM (Coal Oil Mixture), dan CCS (Coal Cartridge System), dan
selanjutnya pemanfataan melalui proses konversi seperti gasifikasi dan pencairan
batubara
Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap
yang terdiri dari kelas sub bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat
tempat sebagai bahan bakar pada PLTU belakangan ini, seiring dengan
perkembangan teknologi pembangkitan yang mampu mengakomodasi batubara
berkualitas rendah.


GAMBAR 1
SKEMA PEMBANGKITAN LISTRIK PADA PLTU BATUBARA

(Sumber: The Coal Resource, 2004)
Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang
digunakan untuk mengubah air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut
menjadi uap, yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin dan
memutar generator. Kinerja pembangkitan listrik pada PLTU sangat ditentukan
oleh efisiensi panas pada proses pembakaran batubara tersebut, karena selain
berpengaruh pada efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya
pembangkitan. Kemudian dari segi lingkungan, diketahui bahwa jumlah emisi
CO2 per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak bila dibandingkan
dengan bahan bakar fosil lainnya, dengan perbandingan untuk batubara, minyak,
dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba yang mendapatkan hasil
bahwa kenaikan efisiensi panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi
CO2 sebesar 2,5%, maka efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi
beban lingkungan secara signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran (combustion technology)
merupakan tema utama pada upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara
secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke depannya.
Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu
pembakaran lapisan tetap (fixed bed combustion), pembakaran batubara serbuk
(pulverized coal combustion /PCC), dan pembakaran lapisan mengambang
(fluidized bed combustion / FBC). Gambar 3 di bawah ini menampilkan jenis
jenis boiler yang digunakan untuk masing masing metode pembakaran.
GAMBAR 2
TIPIKAL BOILER BERDASARKAN METODE PEMBAKARAN

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

PEMBAKARAN LAPISAN TETAP
Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses
pembakarannya. Sebagai bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang
tidak terlalu rendah dan berukuran maksimum sekitar 30mm. Selain itu, karena
adanya pembatasan sebaran ukuran butiran batubara yang digunakan, maka perlu
dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut tercampur ke dalam batubara
tersebut. Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu
rendah adalah karena pada metode pembakaran ini, batubara dibakar di atas
lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api (traveling fire grate) pada stoker
boiler. Bila kadar abunya sangat sedikit, lapisan abu tidak akan terbentuk di atas
kisi tersebut sehingga pembakaran akan langsung terjadi pada kisi, yang dapat
menyebabkan kerusakan yang parah pada bagian tersebut. Oleh karena itu, kadar
abu batubara yang disukai untuk tipe boiler ini adalah sekitar 10 15%. Adapun
tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk pembakaran adalah 5cm.
GAMBAR 3
STOKER BOILER

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly
ash jumlahnya sedikit, hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian dengan
upaya seperti pembakaran NOx dua tingkat, kadar NOx dapat diturunkan hingga
sekitar 250 300 ppm. Sedangkan untuk menurunkan SOx, masih diperlukan
tambahan fasilitas berupa alat desulfurisasi gas buang.
PEMBAKARAN BATUBARA SERBUK (PULVERIZED COAL
COMBUSTION/PCC)
Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih
menggunakan metode PCC pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena
sistem PCC merupakan teknologi yang sudah terbukti dan memiliki tingkat
kehandalan yang tinggi. Upaya perbaikan kinerja PLTU ini terutama dilakukan
dengan meningkatkan suhu dan tekanan dari uap yang dihasilkan selama proses
pembakaran. Perkembangannya dimulai dari sub critical steam, kemudian super
critical steam, serta ultra super critical steam (USC). Sebagai contoh PLTU yang
menggunakan teknologi USC adalah pembangkit no. 1 dan 2 milik J-Power di
teluk Tachibana, Jepang, yang boilernya masing masing berkapasitas 1050 MW
buatan Babcock Hitachi. Tekanan uap yang dihasilkan adalah sebesar 25 MPa
(254.93 kgf/cm2) dan suhunya mencapai 600/610 (1 stage reheat cycle).
Perkembangan kondisi uap dan grafik peningkatan efisiensi pembangkitan pada
PCC ditunjukkan pada gambar 4 di di bawah ini.
GAMBAR 4
PERKEMBANGAN KONDISI UAP PLTU
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal
pulverizer (coal mill) sampai berukuran 200 mesh (diameter 74m), kemudian
bersama sama dengan udara pembakaran disemprotkan ke boiler untuk dibakar.
Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas batubara yang digunakan,
terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar
air (moisture content). Batubara yang disukai untuk boiler PCC adalah yang
memiliki sifat ketergerusan dengan HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas 40
dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2.
Pembakaran dengan metode PCC ini akan menghasilkan abu yang terdiri diri
dari clinker ash sebanyak 15% dan sisanya berupa fly ash.
GAMBAR 5
PCC BOILER

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Ketika dilakukan pembakaran, senyawa Nitrogen yang ada di dalam
batubara akan beroksidasi membentuk NOx yang disebut dengan fuel NOx,
sedangkan Nitrogen pada udara pembakaran akan mengalami oksidasi suhu tinggi
membentuk NOx pula yang disebut dengan thermal NOx. Pada total emisi NOx
dalam gas buang, kandungan fuel NOx mencapai 80 90%. Untuk mengatasi
NOx ini, dilakukan tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat proses pembakaran
berlangsung, dengan memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam batubara.






GAMBAR 6
PROSES DENITRASI PADA BOILER PCC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran batubara
serbuk dan udara ke dalam boiler dikurangi sehingga pengapian bahan bakar dan
pembakaran juga melambat. Hal ini dapat menurunkan suhu pembakaran, yang
berakibat pada menurunnya kadar thermal NOx.
Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 6 di atas, bahan bakar tidak
semuanya dimasukkan ke zona pembakaran utama, tapi sebagian dimasukkan ke
bagian di sebelah atas burner utama. NOx yang dihasilkan dari pembakara utama
selanjutnya dibakar melalui 2 tingkat. Di zona reduksi yang merupakan
pembakaran tingkat pertama atau disebut pula pembakaran reduksi (reducing
combustion), kandungan Nitrogen dalam bahan bakar akan diubah menjadi N2.
Selanjutnya, dilakukan pembakaran tingkat kedua atau pembakaran oksidasi
(oxidizing combustion), berupa pembakaran sempurna di zona pembakaran
sempurna. Dengan tindakan ini, NOx dalam gas buang dapat ditekan hingga
mencapai 150 200 ppm. Sedangkan untuk desulfurisasi masih memerlukan
peralatan tambahan yaitu alat desulfurisasi gas buang.
PEMBAKARAN LAPISAN MENGAMBANG (FLUIDIZED BED
COMBUSTION/FBC)
Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu
dengan menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25mm. Tidak seperti
pembakaran menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api
selama pembakaran atau metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara
dan udara pada saat pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi
mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan tertentu dari bagian
bawah boiler. Keseimbangan antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya
gravitasi akan menjaga butiran batubara tetap dalam posisi mengambang sehingga
membentuk lapisan seperti fluida yang selalu bergerak. Kondisi ini akan
menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna karena posisi
batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik dan
mencukupi untuk proses pembakaran.
Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi
bahan bakar yang akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode
pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada pembatasan yang khusus untuk
kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan kadar abu.
Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun dapat dibakar
dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan
dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya (free moisture)
diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di atas, nilai tambah dari metode
FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta
ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak.
Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 1500, maka pada
FBC, suhu pembakaran berkisar antara 850 900 saja sehingga
kadarthermal NOx yang timbul dapat ditekan. Selain itu, dengan mekanisme
pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx total dapat lebih dikurangi
lagi.
Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx
pada metode pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat
terjadi bersamaan dengan proses pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan dengan
cara mencampur batu kapur (lime stone, CaCO3) dan batubara kemudian secara
bersamaan dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan selama proses
pembakaran, akan bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat).
Selain untuk proses desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai media
untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak sehingga pipa pemanas (heat
exchanger tube) yang terpasang di dalam boiler tidak mudah aus.
GAMBAR 7
TIPIKAL BOILER FBC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2
yaitu Bubbling FBC dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada
gambar 7 di atas. Dapat dikatakan bahwa Bubbling FBC merupakan prinsip dasar
FBC, sedangkan CFBC merupakan pengembangannya.
Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler
yaitu cyclone suhu tinggi. Partikel media fluidized bed yang belum bereaksi dan
batubara yang belum terbakar yang ikut terbang bersama aliran gas buang akan
dipisahkan di cyclone ini untuk kemudian dialirkan kembali ke boiler. Melalui
proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat
berlangsung lebih optimal, dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat
tercapai. Oleh karena itu, selain batubara berkualitas rendah, material seperti
biomasa, sludge, plastik bekas, dan ban bekas dapat pula digunakan sebagai bahan
bakar pada CFBC. Adapun abu sisa pembakaran hampir semuanya berupa fly
ash yang mengalir bersama gas buang, dan akan ditangkap lebih dulu dengan
menggunakan Electric Precipitator sebelum gas buang keluar ke cerobong asap
(stack).
GAMBAR 8
CFBC BOILER

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar,
disebut dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih
tinggi dari pada tekanan udara luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized
FBC (PFBC).
Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap
perkembangan teknologi FBC ini. Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC
menjadiAdvanced PFBC (A-PFBC), sedangkan untuk CFBC selanjutnya
berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian Pressurized ICFBC
(PICFBC).
Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan
air menjadi uap untuk memutar turbin uap, dihasilkan pula gas hasil pembakaran
yang memiliki tekanan tinggi yang dapat memutar turbin gas, sehingga PLTU
yang menggunakan PFBC memiliki efisiensi pembangkitan yang lebih baik
dibandingkan dengan AFBC karena mekanisme kombinasi (combined cycle) ini.
Nilai efisiensi bruto pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai 43%.
Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan pada
PFBC dapat ditekan dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan dengan
pembakaran di dalam boiler, sedangkan NOx dapat ditekan dengan pembakaran
pada suhu relatif rendah (sekitar 860) dan pembakaran 2 tingkat. Karena gas
hasil pembakaran masih dimanfaatkan lagi dengan mengalirkannya ke turbin gas,
maka abu pembakaran yang ikut mengalir keluar bersama dengan gas tersebut
perlu dihilangkan lebih dulu. Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter) dapat
menangkap abu ini secara efektif. Kondisi bertekanan yang menghasilkan
pembakaran yang lebih baik ini secara otomatis akan menurunkan kadar emisi
CO2 sehingga dapat mengurangi beban lingkungan.
GAMBAR 9
PRINSIP KERJA PFBC

(Sumber: Coal Note, 2001)
Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian (partial
gasifier) yang menggunakan teknologi gasifikasi lapisan mengambang (fluidized
bed gasification) kemudian ditambahkan pada unit PFBC. Dengan kombinasi
teknologi gasifikasi ini maka upaya peningkatan suhu gas pada pintu masuk
(inlet) turbin gas memungkinkan untuk dilakukan.
Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi karbon yang
dicapai adalah sekitar 85%. Nilai ini dapat ditingkatkan menjadi 100% melalui
kombinasi dengan pengoksidasi (oxidizer). Pengembangan lebih lanjut dari PFBC
ini dinamakan dengan Advanced PFBC (A-PFBC), yang prinsip kerjanya
ditampilkan pada gambar 10 di bawah ini. Efisiensi netto pembangkitan (net
efficiency) yang dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai 46%.
GAMBAR 10
PRINSIP KERJA A-PFBC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)



ICFBC
Penampang boiler ICFBC ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini.
GAMBAR 11.
PENAMPANG BOILER ICFBC

(Sumber: Coal Note, 2001)
Seperti terlihat pada gambar, ruang pembakaran utama (primary
combustion chamber) dan ruang pengambilan panas (heat recovery
chamber) dipisahkan oleh dinding penghalang yang terpasang miring. Kemudian,
karena pipa pemanas (heat exchange tube) tidak terpasang langsung pada ruang
pembakaran utama, maka tidak ada kekhawatiran terhadap keausan pipa sehingga
pasir silika digunakan sebagai pengganti batu kapur untuk media FBC. Batu kapur
masih tetap digunakan sebagai bahan pereduksi SOx, hanya jumlahnya ditekan
sesuai dengan keperluan saja.
Di bagian bawah ruang pembakaran utama terpasang windbox untuk
mengalirkan angin ke boiler, dimana angin bervolume kecil dialirkan melalui
bagian tengah untuk menciptakan lapisan bergerak (moving bed) yang lemah, dan
angin bervolume besar dialirkan melewati kedua sisi windbox tersebut untuk
menimbulkan lapisan bergerak yang kuat. Dengan demikian maka pada bagian
tengah ruang pembakaran utama akan terbentuk lapisan bergerak yang turun
secara perlahan, sedangkan pada kedua sisi ruang tersebut, media FBC akan
terangkat kuat ke atas menuju ke bagian tengah ruang pembakaran utama dan
kemudian turun perlahan lahan, dan kemudian terangkat lagi oleh angin
bervolume besar dari windbox. Proses ini akan menciptakan aliran berbentuk
spiral (spiral flow) yang terjadi secara kontinyu pada ruang pembakaran utama.
Mekanisme aliran spiral dari media FBC ini dapat menjaga suhu lapisan
mengambang supaya seragam. Selain itu, karena aliran tersebut bergerak dengan
sangat dinamis, maka pembuangan material yang tidak terbakar juga lebih mudah.
Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di
bagian atas dinding penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke ruang
pengambilan panas. Karena pada ruang pengambilan panas tersebut juga dialirkan
angin dari bagian bawah, maka pada ruang tersebut akan terbentuk lapisan
bergerak yang turun perlahan juga. Akibatnya, media FBC akan mengalir dari
ruang pembakaran utama menuju ke ruang pengambilan panas kemudian kembali
lagi ke ruang pembakaran utama, membentuk aliran sirkulasi (circulating flow) di
antara kedua ruang tersebut. Menggunakan pipa pemanas yang terpasang pada
ruang pengambilan panas, panas dari ruang pembakaran utama diambil melalui
mekanisme aliran sirkulasi tadi.
Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang
pengambilan panas berbanding lurus dengan koefisien hantar panas secara
keseluruhan. Dengan demikian maka hanya dengan mengatur volume angin
tersebut, tingkat keterambilan panas serta suhu pada lapisan mengambang dapat
dikontrol dengan baik, sehingga pengaturan beban dapat dilakukan dengan mudah
pula.
Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC
kemudian diberi tekanan dengan cara memasukkan unit ICFBC ke dalam wadah
bertekanan (pressurized vessel), yang selanjutnya disebut
dengan Pressurized ICFBC (PICFBC). Dengan mekanisme ini maka selain uap
air, akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran bertekanan tinggi yang dapat
digunakan untuk memutar turbin gas sehingga pembangkitan secara kombinasi
(combined cycle) dapat diwujudkan.
PEMBANGKITAN KOMBINASI DENGAN GASIFIKASI BATUBARA
Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui
pemanfaatan gas sintetis hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya
mengarahkan teknologi pembangkitan untuk lebih mengintensifkan penggunaan
teknologi gasifikasi batubara ke dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya
menghasilkan sistem pembangkitan yang disebut dengan Integrated
Coal Gasification Combined Cycle (IGCC).
Karena tulisan ini hanya membahas perkembangan teknologi
pembangkitan listrik, maka penjelasan tentang bagaimana proses gasifikasi
batubara berlangsung tidak akan diterangkan disini.
IGCC
Garis besar diagram alir pembangkit listrik sistem IGCC ditampilkan pada gambar
12 di bawah ini.
GAMBAR 12
TIPIKAL IGCC

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Seperti terlihat pada gambar, pada sistem ini terdapat alat gasifikasi
(gasifier) yang digunakan untuk menghasilkan gas, umumnya bertipe entrained
flow. Yang tersedia di pasaran saat ini untuk tipe tersebut misalnya Chevron
Texaco (lisensinya sekarang dimiliki GE Energy), E-Gas (lisensinya dulu dimiliki
Dow, kemudian Destec, dan terakhir Conoco Phillips ), dan Shell. Prinsip kerja
ketiga alat tersebut adalah sama, yaitu batubara dan oksigen berkadar tinggi
dimasukkan kedalamnya kemudian dilakukan reaksi berupa oksidasi sebagian
(partial oxidation) untuk menghasilkan gas sintetis (syngas), yang 85% lebih
komposisinya terdiri dari H2 dan CO. Karena reaksi berlangsung pada suhu
tinggi, abu pada batubara akan melebur dan membentuk slag dalam kondisi
meleleh (glassy slag). Adapun panas yang ditimbulkan oleh proses gasifikasi
dapat digunakan untuk menghasilkan uap bertekanan tinggi, yang selanjutnya
dialirkan ke turbin uap.
Oksigen yang digunakan untuk proses gasifikasi dihasilkan dari
fasilitas Air Separation Unit (ASU). Unit ini berfungsi untuk memisahkan oksigen
dari udara melalui mekanisme cryogenic separation, menghasilkan oksigen
berkadar sekitar 95%. Selain oksigen, pada ASU juga dihasilkan nitrogen yang
digunakan sebagai media inert untuk feeding batubara ke gasifier, selain dapat
pula digunakan untuk menurunkan suhu pada combustor sehingga emisi NOx
dapat terkontrol.
Pada gas sintetis, selain H2 dan CO juga dihasilkan unsur lain yang tidak
ramah lingkungan seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char. Oleh
karena itu, gas harus diproses terlebih dulu untuk menghilangkan bagian tersebut
sebelum dikirim ke turbin gas. Gas buang dari turbin gas kemudian mengalir
ke Heat Recovery Steam Generator (HRSG) yang berfungsi mengubah panas dari
gas tersebut menjadi uap air, yang selanjutnya dialirkan menuju turbin uap.
Dengan mekanisme seperti ini, efisiensi netto pembangkitan yang dihasilkan juga
jauh melebihi pembangkitan pada sistem biasa (PCC) yang saat ini mendominasi.
Selain efisiensi pembangkitan, kelebihan lain IGCC adalah sangat rendahnya
kadar emisi polutan yang dihasilkan, fleksibilitas bahan bakar yang dapat
digunakan, penggunaan air yang 30-40% lebih rendah dibanding PLTU
konvensional (PCC), tingkat penangkapan CO2 yang signifikan,slag yang dapat
dimanfaatkan untuk material pekerjaan konstruksi, dan lain lain.
Sebagai contoh adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda,
berkapasitas 250MW. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43%
(Low Heating Value), dengan performansi baku mutu lingkungan yang sangat
bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm,
kemudian efisiensi pembuangan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa
klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah
yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke
lingkungan.
Di samping kelebihan tersebut, terdapat pula kelemahan pada sistem IGCC
yang dikembangkan saat ini, misalnya, besarnya kapasitas pembangkitan yang
ditentukan berdasarkan banyaknya unit dan model turbin gas yang akan
digunakan. Contohnya untuk turbin gas GE Frame 7FA yang berkapasitas
275MW. Apabila IGCC akan dioperasikan dengan kapasitas pembangkitan
275MW, berarti cukup 1 unit yang dipasang. Bila 2 unit yang akan digunakan,
berarti kapasitas pembangkitan menjadi 550MW, dan bila 3 unit maka akan
menjadi 825MW. Kemudian bila kapasitas pembangkitan yang diinginkan adalah
di bawah 200MW, maka model yang dipakai bukan lagi GE Frame 7FA, tapi GE
7FA yang berkapasitas 197MW. Demikian pula bila menghendaki kapasitas
pembangkitan yang lebih kecil lagi, maka GE 6FA yang berkapasitas 85MW
dapat digunakan.
Dengan kombinasi antara model dan banyaknya unit turbin gas yang akan
digunakan ini, selain akan membatasi kapasitas pembangkitan pada IGCC,
sebenarnya juga akan mempersempit rentang operasi. Misalnya ketika akan
menurunkan beban pada saat operasi puncak, hal itu mesti dilakukan dengan
menurunkan beban pada turbin gas. Penurunan beban turbin gas ini otomatis akan
menurunkan efisiensi pembangkitan dan akibat yang kurang baik pada emisi
polutan yang dihasilkan. Kelemahan lain yang perlu dicermati dari sistem IGCC
saat ini adalah ongkos pembangkitan per kW dan operation &maintenance (O &
M) yang lebih mahal, serta availability factor (AF) yang lebih rendah dibanding
PCC.
Sejarah IGCC dimulai pada tahun 1970 ketika perusahaan STEAG dari
Jerman Barat mengembangan IGCC berkapasitas 170MW. Jauh setelahnya,
proyek demonstration plant IGCC bernama Cool Water diluncurkan di AS pada
tahun 1984, yang mengoperasikan IGCC berkapasitas 120MW sampai dengan
tahun 1989. Sampai tulisan ini dibuat, sebenarnya belum ada unit IGCC yang
murni komersial. Penyebab utamanya adalah investasi pembangunannya yang
besar, serta teknologi IGCC yang belum terbukti. Teknologi IGCC disini
maksudnya adalah rangkaian proses dari keseluruhan bangunan (building block)
yang membentuk sistem IGCC utuh. Hal ini perlu ditekankan karena teknologi
dari masing masing unit pada IGCC misalnya gasifier, HRSG, turbin gas, turbin
uap, dan yang lainnya merupakan teknologi yang sudah terbukti. Selama
perkembangan yang berlangsung sekitar 20 tahun lebih sejak proyekCool Water,
unit IGCC yang beroperasi secara komersial saat ini baik di AS maupun di Eropa
pada awalnya berstatus demonstration plant. Contoh beberapa plant IGCC
tersebut adalah :
1. Tampa Electric Polk 250MW IGCC Power Station, terletak di Florida, AS.
IGCC ini beroperasi sejak September 1996 dibawah proyek Tampa,
menggunakan gasifier dari Chevron Texaco (sekarang GE Energy). Bahan
bakar yang digunakan adalah batubara dan petroleum coke (petcoke).
Masalah yang dihadapi adalah lebih rendahnya tingkat konversi karbon
dibandingkan dengan nilai yang direncanakan. Pernah pula
terjadi fauling padagas cooler.
2. Wabash River 260MW IGCC Power Station, terletak di Indiana, AS.
Beroperasi sejak September 1995 dibawah proyek Wabash River,
pembangkit ini menggunakan teknologi gasifikasi dari Global Energy (saat
ini bagian dari Conoco Phillips). Sejak berakhirnya proyek dari
Departemen Energi AS (DOE) pada tahun 2001, bahan bakar yang
digunakan adalah petcoke 100%.
3. Nuon 250MW IGCC Power Station, terletak di Buggenum, Belanda.
IGCC ini bermula dari proyek Demkolec yang dimulai pada bulan Januari
1994. Teknologi yang digunakan adalah dari Shell, yang bahan bakarnya
adalah batubara dicampur dengan biomassa (sludge dan sampah kayu)
untuk lebih mengurangi emisi CO2. Masalah yang pernah terjadi adalah
kebocoran pipa gas cooler dan timbulnya fauling pada gas cooler ketika
campuran sludge sekitar 4-5%.
GAMBAR 13
NUON IGCC, BUGGENUM

(Sumber: Thomas Chhoa, Shell Gas & Power, 2005)
4. Elcogas 300MW IGCC Power Station, terletak di Puertollano,
Spanyol. Pembangkit IGCC ini beroperasi sejak Juni 1996 dibawah
proyek Puertollano, menggunakan teknologi gasifikasi dari Prenflow (saat
ini bagian dari Shell). Bahan bakarnya berupa campuran petcoke dan
batubara berkadar abu 40% dengan perbandingan 50:50. Di bawah
program dari Uni Eropa, plant ini direncanakan sebagai tempat untuk
proyek pengambilan CO2 (CO2 recovery) dan produksi H2.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya efisiensi
pembangkitan yang tinggi, faktor ramah lingkungan, dan teknologi gasifikasi
yang sudah terbukti, upaya untuk lebih mengurangi kelemahan IGCC sudah mulai
dilakukan.
Selain dari segi biaya, dilakukan pula upaya untuk lebih meningkatkan
efisiensi pembangkitan, yaitu dengan menambahkan sel bahan bakar (fuel cell) ke
dalam sistem IGCC. Dengan demikian, akan terdapat 3 jenis kombinasi
pembangkitan pada sistem yang baru ini yaitu turbin gas, turbin uap, dan fuel cell.
Metode pembangkitan ini disebut dengan Integrated Coal Gasification Fuel Cell
Combined Cycle (IGFC), yang diagram alirnya ditampilkan pada gambar 16 di
bawah ini.
GAMBAR 14
IPIKAL IGFC

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Pada sel bahan bakar, pembangkitan listrik dilakukan secara langsung melalui
reaksi elektrokimia antara hidrogen dan oksigen sehingga tingkat kerugian
energinya sedikit dan efisiensi pembangkitannya tinggi. Hidrogen tersebut dapat
berasal dari gas alam, gas bio, atau gas hasil gasifikasi batubara. Berdasarkan
material yang digunakan untuk elektrolitnya, sel bahan bakar terbagi 4
yaitu Phosphoric-Acid Fuel Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel
Cell(MCFC), Solid-Oxide Fuel Cell (SOFC), dan Proton-Exchange Membrane
Fuel Cell (PEFC). Di bawah ini ditampilkan karakteristik dari keempat jenis sel
bahan bakar tersebut.
TABEL I
KARAKTERISTIK SEL BAHAN BAKAR

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Dari tabel di atas terlihat bahwa sel bahan bakar yang sesuai untuk
kombinasi pembangkitan dengan turbin gas adalah SOFC, karena reaksinya
menghasilkan suhu yang sangat tinggi.
Dibandingkan dengan PCC, pembangkitan dengan metode IGFC ini secara
teoretis mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 30%. Kelebihan lainnya adalah
tingginya efisiensi pembangkitan yang dapat dicapai yaitu minimal 55%.
Disamping kelebihan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebelum IGFC benar benar dapat diaplikasikan secara komersial. Yang pertama
adalah urgensi pematangan teknologi IGCC, karena IGFC pada dasarnya adalah
pengembangan dari IGCC. Kemudian, perlunya pengembangan sel bahan bakar
yang berefisiensi tinggi tapi murah, untuk mendukung biaya pembangkitan yang
kompetitif ke depannya.
PENUTUP
Perkembangan teknologi pembakaran pada PLTU batubara telah disajikan
di atas. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu teknologi yang berkembang
tidak terlepas dari hal pokok yang disebut 3E, yaitu Engineering (sisi
teknis), Economy (sisi ekonomis), dan Environment (sisi lingkungan). Pada tahap
awal, faktor Economy mungkin menjadi pertimbangan utama untuk pembangunan
fasilitas pembangkitan, diikuti Engineering, dan terakhir Environment. Namun
seiring dengan upaya pengurangan polusi atau pencemaran lingkungan yang
menyebabkan makin ketatnya baku mutu lingkungan, terlihat bahwa urutan 3E
tersebut mulai berubah. Faktor Environment secara perlahan menempati urutan
pertama dalam pertimbangan pengembangan teknologi, kemudian Engineering,
dan terakhir justru Economy.
Mengambil contoh IGCC, adalah wajar bila tahap awal perkembangannya
pasti memerlukan biaya yang besar. Namun seiring dengan menguatnya isu
lingkungan dan matangnya teknologi tersebut, biaya itu akan menurun dan pada
waktu tertentu akan kompetitif terhadap teknologi yang sudah ada. Sebaliknya,
teknologi pembangkitan yang ada, misalnya PCC yang saat ini mendominasi,
lambat laun akan semakin mahal untuk mengakomodasi standar mutu lingkungan
yang semakin ketat, dan pada akhirnya justru malah akan membebani dari segi
ekonomi. Di bawah ini ditampilkan perbandingan biaya pembangkitan antara
IGCC dan PCC di AS selama kurun 20 tahun terakhir, dan prediksinya di masa
depan.
GAMBAR 15
PERBANDINGAN BIAYA PEMBANGKITAN PER KW IGCC DAN PCC DI
AMERIKA SERIKAT

(Sumber: JCOAL Journal, vol.3, Jan. 2006)
Dari grafik di atas terlihat bahwa selama 20 tahun terakhir, biaya
pembangkitan untuk PCC meningkat sekitar 50%. Peningkatan tersebut
diakibatkan oleh penambahan peralatan untuk mengurangi beban lingkungan,
misalnya fasilitas desulfurisasi (FGD). Sebaliknya, biaya pembangkitan per kW
pada IGCC justru semakin menurun, dan diharapkan pada tahun 2010, nilainya
akan sama dengan pada PCC, yaitu sekitar $1200.
REFERENSI
1. Amick, Phil, Coal Gasification Flexibility for Fuels & Products,
ConocoPhillips, 2005
2. Baardson, John A., Coal to Liquids: Shell Coal Gasification with Fischer-
Tropsch Synthesis, Baardson Energy LLC, 2003.
3. Chhoa, Thomas, Shell Gasification Business in Action, Shell Gas &
Power, 2005.
4. JCOAL, Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center, 2005.
5. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 2, Nov. 2005, Japan Coal Energy Center,
2005.
6. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 3, Jan. 2006, Japan Coal Energy Center,
2006.
7. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 4, Mar. 2006, Japan Coal Energy Center,
2006.
8. Material Presentasi, Idemitsu Kosan Co., Ltd, 2003.
9. Sekitan no Kiso Chishiki, Sekitan Shigen Kaihatsu Kabushiki Kaisha.
10. Shigen Enerugi- Chou Shigen Nenryou Bu, Ko-ru No-to 2001 Nen Ban,
Shigen Sangyou Shinbunsha, 2001.
11. Sema, Tohru, Karyoku Hatsuden Souron, Denki Gakkai, 2002.
12. WCI, The Coal Resource, World Coal Institute, 2004.Samarinda, 2006.

Anda mungkin juga menyukai