Disusun oleh :
UNIVERSITAS BATURAJA
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Tahun Akademik 2009/2010
ASAL USUL BAHASA INDONESIA
BAHASA adalah yang paling baik dalam menunjukkan identitas kultural suatu
bangsa.Dengan kata lain bahasa menunjukkan bangsa. Itu sebabnya penting bagi bangsa
Melanesia melestarikan sekitar 250 bahasa etnisnya dari arus besar dominasi ‘bahasa
Indonesia’. Sejauh mana dominasi itu? Apa dampaknya? Bagaimana proses historisnya?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting sebagai upaya melestarikan identitas
bangsa Melanesia, yang selama ini ‘lebur’ dalam “NKRI” dan dalam banyak hal justru
mengalami Jawanisasi. Ini kontradiktif dengan gagasan Indonesia yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika.
Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi
Republik Indonesia Kata "Indonesia" berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos
yang berarti "India" dan nesos yang berarti "pulau". Jadi kata Indonesia berarti kepulauan
India, atau kepulauan yang berada di wilayah India
Pada umumnya orang mengetahui bahwa bahasa lndonesia yang sekarang berasal dari
bahasa Melayu. Istilah bahasa Melayu sendiri mengacu pada bahasa Melayu Riau, yaitu
bahasa Melayu yang diajarkan di sekolah-sekolah sebelum Perang Dunia II berkecamuk.
Beberapa bahasa daerah juga memberikan sumbangan kepada bahasa Indonesia, seperti
bahasa Jawa, Sunda, dan lain-lain. Bahkan, bahasa Indonesia juga mendapat sumbangan
dari bahasa Barat. Penerbitan buku di Leiden dengan judul European Loan Words in
Indonesian: A Checklist of Words of European Origin in Bahasa Indonesia and
Traditional Malay tahun 1983 mengingatkan tentang sumbangan bahasa-bahasa Barat
kepada bahasa Indonesia.“Apa sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap bahasa
Indonesia? Akankah semua kata yang berada dalam kamus Melayu dimasukkan ke dalam
bahasa Indonesia? Bagaimana dengan tata bahasanya?” Penulis memperkirakan hal ini
sama dengan berbagai buku tentang gramatika bahasa Melayu yang juga dapat dianggap
membicarakan bahasa Indonesia. Kalau demikian jalan pikiran kita, maka kita hanya
mengganti nama saja, yaitu dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Akan tetapi,
cara seperti ini tentunya bukan satu-satunya jalan untuk melihat persoalan
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang
digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal
penanggalan modern.
Kerajaan Sriwijaya (dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa
Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia
berdekatan yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu. Pada
saat itu bahasa Melayu yang digunakan bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa
Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan di kepulauan ini (Nusantara), para
pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa
Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan berbagai varian lokal dan
temporal, yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti.
Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9)
dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran
penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat
Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah
itu dengan Sriwijaya.
Kajian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua
dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang berdekatan. Sayang sekali,
bahasa Melayu Kuno tidak meninggalkan catatan dalam bentuk kesusasteraan meskipun
laporan-laporan dari Tiongkok menyatakan bahwa Sriwijaya memiliki perguruan agama
Buddha yang bermutu.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu
karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu
Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa,
dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih halus, penuh sindiran, dan tidak
seekspresif Bahasa Melayu Pasar.[rujukan?]
Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Hindia-Belanda melihat bahwa bahasa Melayu
(Tinggi) dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi.
Promosi bahasa Melayu dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan
karya sastra dalam bahasa Melayu. Pada periode ini mulai terbentuklah "bahasa
Indonesia" yang secara perlahan terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa "Malaka
adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah
kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang
terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang
menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang
disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara
bahasa-bahasa di Timur Jauh."
Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di
bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di
bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[6]
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan
Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada
Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : "Jika mengacu pada
masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua
bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu.
Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa
pergaulan atau bahasa persatuan."[7]