Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH TUTORIAL FARMAKOTERAPI SISTEM ORGAN 3

RHEUMATOID ARTHRITIS




Disusun oleh:
Irma Malinda 115070500111017
Nindy Della P 115070501111002
Kahfi Kurniawan 115070505111001
Dinda Permatasari 115070507111003



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
Maret 2014
A. DEFINISI RHEUMATOID ARTHRITIS
Rheumatoid arthrititis merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan karena
sistem imun salah mengenali target yang terdapat di dalam tubuh. Penyakit ini khususnya
menimbulkan efek pada lapisan sendi antar tulang. Gejala awal meliputi bengkak, rasa
panas, rasa sakit dan kekauan pada sendi.
Pada sejumlah kasus, ketika bengkak berkurang, bagian sendi menjadi renggang dan
tidak dapat kembali ke posisi semula. Akibatnya, sendi menjadi tidak stabil dan hal ini
menyebabkan sendi menjadi rusak. Beberapa orang dengan RA memiliki kerusakan pada
beberapa bagian sendi, dan sebagian lagi memiliki kerusakan berat di banyak bagian sendi.
Kadang, organ lain juga ikut mengalami inflamasi seperti mata, yang menyebabkan mata
menjadi kering dan iritasi. Inflamasi juga dapat mempengaruhi paru-paru dan kadang
membran di sekitar jantung. Rheumatoid nodule dapat muncul di bagian tangan dan kaki.
Kekurangan sel darah merah (anemia) sering terjadi akibat efek samping obat yang
digunakan untuk terapi RA, tapi dapat juga akibat penyakit itu sendiri (Arthritis New
Zealand, 2012)

Meskipun RA merupakan penyakit yang menyerang sendi, respon abnormal imun
dapat menyebabkan manifestasi extra-articular lainnya. Masih merupakan misteri, mengapa
sinovial merupakan target utama. Penyebab dari RA sendiri masih belum diketahui. Tetapi
berdasarkan studi yang pernah dilakukan, diketahui bahwa mediator molekul inflamasi,
autoantibodi, sitokin, faktor pertumbuhan, molekul adesi dan matriks metalloproteinases
(MMPs) berperan dalam penyebab RA. Sel sinovial dapat menyebabkan perkembangan
tumor, dimana dapat menyerang dan menghancurkan artikular kartilago, tulang subkondral,
tendon, dan ligamen (Firestein, 2008)
B. PATOFISIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS


RA merupakan akibat dari disregrulasi komponen humoral dan dimediasi sel sistem
imun. Kebanyakan pasien menghasilkan antibodi yang disebut faktor rheumatoid (RF).
Paien-pasien seropositif ini cenderung untuk lebih memiliki aggressive source dibandingkan
pasien yang seronegatif (Firestein, 2008).
Immunoglobulin dapat mengaktivasi sistem komplemen, yang melipatgandakan
respon imun dengan meningkatkan kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel
mononuklear yang kemudian disajikan kepada limfosit T. Antigen yang diproses dikenali
oleh protein major histocompatibility complex (MHC) pada permukaan limfodit, yang
berakibat pada aktivasi sel T dan B (Firestein, 2008).
Tumor nekrosis faktor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6)
merupakan sitokin proinflamasi yang penting dalam inisiasi dan kelanjutan inflamasi. Sel T
yang teraktivasi menghasilkan sitotoksin, yang secara langsung toksis terhadap jaringn, dan
sitokin, yang menstimulasi aktivasi lebih lanjut proses inflamasi dan menarik sel-sel ke
daerah inflamasi. Makrofag terstimulasi untuk melepaskan prostaglandin dan sitotoksin
(Firestein, 2008).
Sel B yang teraktivasi menghasilkan sel plasma, yang membentuk antibodi yang
dengan kombinasi dengan komplemen, mengakibatkan akumulasi polymorphonuclear
leukocyte (PMN). PMN melepaskan sitotoksin, radikal bebas oksigen, dan radikal hidroksil
yang mendukung kerusakan selular pada sinovium dan tulang. Substansi vasoaktif (histamin,
kinin, dan prostaglandin) dilepaskan pada daerah inflamasi, meningkatkan aliran darah dan
permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema, rasa hangat, eritema, dan rasa
sakit dan membuat granulosit lebih mudah untuk keluar dari pembuluh darah menuju daerah
inflamasi (Firestein, 2008).
Inflamasi kronik pada jaringan lapisan sinovial kapsul sendi menghasilkan proliferasi
jaringan (bentuk pannus). Pannus menyerang kartilago dan permukaan tulang, menghasilkan
erosi tulang dan kartilago dan menyebabkan destruksi sendi. Hasil akhir mungkin kehilangan
ruang sendi, kehilangan pergerakan sendi, fusi tulang (ankilosis), dislokasi sendi, penyusutan
tendon dan kelainan bentuk yang kronik (Dipiro, 2008)

C. MANIFESTASI KLINIK RHEUMATOID ARTHRITIS
Manifestasi Klinik dari Rheumatoid Arthritis, antara lain (Kimble, 2009):
a. Morning stiffness pada sendi lebih dari 1 jam
b. Pembengkakan pada jaringan lunak (arthritis) pada lebih dari tiga sendi, dari hasil
pemeriksaan tenaga medis.
c. Arthritis simetris
d. Adanya Subcutaneous nodules
e. RF positif
f. Adanya erosi pada hasil radiografi atau osteopenia periartikular pada tangan atau sendi
pergelangan tangan.
Manifestasi Klinik pada rheumatoid arthritis, yaitu (Dipiro, 2008):
Poliartritis akut yg berkembang cepat dlm beberapa hari. Pada umumnya berkembang
secara perlahan dalam beberapa minggu.
Dini: palindromic rheumatism; monoartritis yg hilang timbul yg berlangsung antara 3 5
hari yg diselingi masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yg khas. Atau
pauci articular rheumatism; gejala poliartritis yg melibatkan 4 persendian atau kurang
Manifestasi artikuler:
o InflamasiAktifitas sinovitis, bersifat reversible, dapat diobati dengan
medikamentosa
o Kerusakan struktur persendianAkibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang
periartikular, bersifat irreversible, memerlukan pembedahan rekonstruktif

D. EPIDEMIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS
Beberapa insiden dan prevalensi studi rheumatoid arthritis ( RA ) telah dilaporkan
selama dekade terakhir , menunjukkan variasi yang cukup besar terjadinya penyakit di antara
populasi yang berbeda . Mayoritas studi kari di daerah Eropa dan Amerika Utara Northern
memperkirakan prevalensi 0,5-1 % , dan kejadian tahunan rata-rata 0,02-0,05 % . Terjadinya
penyakit ini tampaknya menjadi lebih rendah di bagian lain dunia . Beberapa penelitian dari
Amerika Utara , Eropa Utara , dan populasi Jepang menunjukkan penurunan baik prevalensi
dan kejadian penyakit setelah tahun 1960-an . RA berhubungan dengan peningkatan
mortalitas , dan kelangsungan hidup diharapkan pasien RA cenderung menurun 3-10 tahun .
Ada bukti epidemiologis bahwa faktor genetik terkait dengan peningkatan risiko RA .
Namun, RA dianggap sebagai penyakit multifaktorial , hasil dari interaksi faktor genetik dan
lingkungan , yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut dan ekspresi . Faktor risiko
utama untuk penyakit ini termasuk kerentanan genetik , jenis kelamin dan usia , merokok ,
agen infeksi , hormonal , makanan , sosial ekonomi , dan faktor etnis . Sebagian besar dari
faktor-faktor ini mungkin terkait dengan kedua terjadinya penyakit dan tingkat keparahan
(Alamanos, 2005).
Rheumatoid arthritis diperkirakan memiliki prevalensi 1 % sampai 2 % dan tidak
memiliki predilections rasial . Hal ini dapat terjadi pada semua usia , dengan peningkatan
prevalensi sampai dekade ketujuh kehidupan . Penyakit ini tiga kali lebih sering terjadi pada
wanita . Pada orang usia 15 sampai 45 tahun , perempuan mendominasi dengan sex rasio
kira-kira sama antara pasien dalam dekade pertama kehidupan dan pada mereka yang lebih
tua dari usia 60 tahun .Data epidemiologis menunjukkan bahwa predisposisi genetik dan
paparan faktor lingkungan yang tidak diketahui mungkin diperlukan untuk ekspresi penyakit
. Molekul-molekul major histocompatibility complex , terletak pada limfosit T , tampaknya
memiliki peran penting dalam sebagian besar pasien dengan rheumatoid arthritis . Molekul-
molekul ini dapat dicirikan dengan menggunakan limfosit manusia antigen ( HLA )
mengetik . Sebagian besar pasien dengan rheumatoid arthritis memiliki HLA - DR4 , HLA -
DR1 , atau keduanya antigen di kawasan kompleks utama histocompatibility . Pasien dengan
HLA - DR4 antigen adalah 3,5 kali lebih mungkin untuk mengembangkan rheumatoid
arthritis dibandingkan pasien yang memiliki antigens.1 HLA - DR lainnya. Meskipun
wilayah kompleks histokompatibilitas utama adalah penting, itu bukan satu-satunya penentu
, karena pasien dapat memiliki penyakit tanpa jenis HLA tersebut . Rheumatoid arthritis
adalah enam kali lebih umum di antara kembar dizigot dan anak-anak tidak kembar dari
orang tua dengan rheumatoid factor - positif , erosif Rheumatoid arthritis bila dibandingkan
dengan anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki penyakit. Jika salah satu dari sepasang
kembar monozigot dipengaruhi , kembar lain memiliki 30 kali risiko lebih besar terkena
penyakit rheumati arthritis (Dipiro, 2008)

E. ETIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIs
Rheumatoid arthritis adalah sebuah penyakit autoimun yang disebabkan oleh
predisposisi genetik dan paparan dari lingkungan yang tidak diketahui jelas yang dapat memicu
kelainan tersebut. Pada pasien yang menderita RA membunyai karakteristik HLA-DR4, HLA-
DR1 atau keduanya pada kompleks molekul yang terdapat pada sel limfosit T (Dipiro, 2008).
Etiologi Rheumatoid arthritis (RA) tidak diketahui, namun ada yang mengatakan bahwa
RA terjadi pada individu yang memiliki faktor risiko keturunan genetik dan telah terpapar oleh
lingkungan yang dapat memicu terjadinya RA. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
terjadinya RA antara lain (Karlson, 2012):
a. Merokok
Salah satu faktor lingkungan yang merupakan faktor risiko dari RA adalah merokok.
Berdasarkan multiple case-control dan prospective cohort studies menunjukkan bahwa
merokok merupakan faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap terjadinya RA,
dan dari seluruh populasi 25% untuk seluruh RA dan 35% untuk seropositif rheumatoid
factor (RF+) dan anti-citrullinated protein antibody positive (ACPA+) RA. Resiko ini lebih
tinggi pada pria daripada wanita. Mekanisme terjadinya RA karena merokok masih belum
diketahui. Namun, jika dihubungkan dengan patogenesis RA, merokok dapat berhubungn
dengan peningkatan level dari protein citrullinated maupun ekspresi dari peptidyl arginin
deiminase 2 (PADI2) pada sel paru-paru melaui bronchoalveolar lavage. Disamping itu,
resiko dari seropositif RA berhubungan dengan merokok tercatat tinggi dan pada pembawa
HLA-DRB1 shared epitope (HLA-SE). Pada prospektif SERA project, merokok berasosiasi
dengan RF positif pada subjek yang memiliki HLA-SE, tetapi tidak memiliki gejala RA,
merokok mungkin bekerja pada awal disregulasi imun dan menyebabkan RA di masa
mendatang. Merokok juga berasosiasi dengan abnormalitas sistem imun secara umum
termasuk perubahanfungsi sel T, reduksi pada NK sel, impairment pada imunitas humoral,
dan peningkatan level marker inflamasi seperti IL-6 dan C-reaktif protein maupun
peningkatan RF (Karlson, 2012).
b. Debu Silica, Mineral, Pelarut Organik
Paparan dari debu silica merupakan faktor risiko hanya pada RF+ dan ACPA+ RA
serta tidak untuk seronegatif RA. Paparan dari debu silica mengganggu pada saluran
respiratory. Tingginya paparan debu silica dapat menyebabkan inflamasi dan fibrosis pada
paru-paru dan organ lainnya, dan mungkin ini dapat menjadi pencetus inflamasi pada respon
imun humoral dan meningkatkan risiko seropositif RA. Faktor lain, seperti mineral oil (jalur
paparannya di pari-paru dan kulit) juga diinvestigasi dalam EIRA dan paparan ini juga
berasosiasi dengan peningkatan risiko RF+/ACPA+ RA. Mineral oil juga dapat menginduksi
RA pada eksperimen terhadap hewan pengerat dan mungkin memiliki efek yang sama pada
manusia. Paparan substansi yang dapat terhirup seperti pelarut organik, seperti pelapis pada
kain, hair-dressing, dan beton dapat meningkatkan risiko terjadinya RA (Karlson, 2012).
c. Faktor Reproduktif dan Hormonal
Wanita dua sampai empat kali lebih berisiko daripada pria untuk terjadinya RA. Pada
wanita, frekuensi RA meningkat ketika hormon steroid meningkat, seperti pada post partum
dan perimenopaus. Beberapa studi menyebutkan bahwa penurunan risiko RA dengan
peningkatan durasi menyusui. Terapi esterogen eksogen pada post menopause tidak
menurunkan risiko RA. Hormon atau faktor yang terkait dengan kontrasepsi oral berguna
pada awal RA-related immune dysregulation untuk menurunkan risiko formasi autoantibodi
(Karlson, 2012).
d. Infeksi, Inflamasi mukosa, dan Inisiasi RA-related autoimmunity
RA terkait autoimun berasosiasi dengan bebrapa organisme seperti inflamasi jaringan
dan lokasi luka selain sendi, termasuk paru-paru, saluran genitourinary, dan peridontal.
Mungkin infeksi berhubungan dengan dengan formasi autoantibodi dan inflamasi pada
bagian ekstra-artikular, merupakan salah satu faktor etiologi. Contoh spesifik dari infeksi
dan inflamasi mukosa yang berkaitan dengan RA adalah periodontal disease. Inflamasi pada
gusi dan infeksi partikular karena Porphyromonas gingivalis (Pging) berpengaruh pada
patofisiologi RA (Karlson, 2012).
e. Diet
Vitamin D diimplikasikan dengan etiologi dan terapi pada beberapa autoimun disease
termasuk sklerosis, DM tipe 1, dan SLE. Vitamin D memiliki efek pleotropic pada sistem
imun, menghambat proinflamasi seperti sitokin, regulasi sitokin, dan regulasi sistem imun
innate serta adaptive melalui reseptor vitamin D. Vitamin D mencegah terjadinya inflamasi
artritis pada kolagen pada tikus. Pada studi dengan 1200 individu sehat dengan risiko RA
karena faktor genetik (HLA DR4 allele atau riwayat keluarga). 76 individu yang positif RA
terkait autoantibodi anti CCP dan RF, tidak ada hubungan antara autoantibodi dengan level
plasma vitamin D. Ada beberapa studi menyatakan bahwa tingginya vitamin D dan
penurunan aktivitas dari RA setelah di diagnosis. Omega-3 fatty acid berefek pada jalur
leukotriene dan prostaglandin, menurunkan mediator inflamasi dan beberapa known
antiinflamatory. Komsumsi ikan dapat memperbaiki gejala RA dan melambatkan progresi
RA (Karlson, 2012).
f. Protein dan Besi
Tingginya konsumsi daging merah dan protein berasosiasi dengan risiko RA,
komponen lain dalam daging tidak memiliki asosiasi dengan RA. Namun, tidak ada asosiasi
yang jelas antara diet protein, besi ataupun daging merah dengan risiko RA (Karlson, 2012).

F. PERMASALAHAN DAN SOLUSI KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS
Ny W (58 th) memiliki riwayat RA selama 6 tahun terakhir mendatangi ahli
reumatologi yang ada di klinik anda akibat rasa nyeri yang semakin meningkat pada sendi
disertai dengan bengkak sendi dan morning stiffness yang semakin lama. Saat ini pasien
mendapatkan terapi berupa Celebrex 100 (celecoxib 100 mg), prednison 60 mg/hari, dan
methotrexat. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun terakhir dan diberikan terapi
HCT, namun TD pasien belum terkontrol hingga saat ini TD berkisar antara 140/90-160/100
mmHg.
1. Apa saja permasalahan yang terjadi pada pasien tersebut? Adakah problem pengobatan pada
pasien?
Permasalahan yang terjadi:
riwayat RA selama 6 tahunterakhir
rasa nyerisendi yang semakin meningkat
bengkak sendi
morning stiffness yang semakin lama
memiliki riwayat hipertensisejak 2 tahun terakhir.
Hipertensi Stage 1 belum terkontrol
Px belum mengatur pola hidup sesuai dengan kondisi Px yang memiliki Hipertensi dan RA
Masalah pengobatan pada pasien:
Penggunaan Celebrex 100 (celecoxib 100 mg), yang kontraindikasi dengan Px hipertensi
yang tidak terkontrol, Px aterosklerosis, dan Px angina pektoris.
Penggunaan dosis glukokortikosteroid prednisone untuk RA seharusnya 10 mg qd tapi
dugunakan 60 mg/hari
Penggunaan Tx Hipertensi yang kurang adekuat dengan kondisi Px karena hanya
menggunakan HCT.
Dosis methotrexate (DMARDs Non-biologi) tidak dicantumkan.
Efek samping prednisone yaitu hipertensi

2. Buatlah therapeutic plan (beserta regimen) untuk pasien ini mengingat tidak adekuatnya
terapi yang sudah diberikan selama ini.
Design Terapi untuk Ny. W:
a. Untuk mengatasi gejala
Terapi sebelumnya adalah celebrex 100 diganti dengan NSAID non selektif, karena
pasien menderita hipertensi. Celebrex 100 (celecoxib) merupakan COX-2 selektif inhibitor,
dimana akan menghambat produksi prostaglandin pada pembulih darah aferen, sehingga
darah ke ginjal menurun. Karena penurunan darah ke ginjal tubuh akan mengkompensasi
dengan meningkatkan produksi renin. Renin merupakan vasokonstriktor sehingga
diharapkan suplai darah ke ginjal meningkat karena Cardiac Output juga meningkat. Namun,
pada pasien hipertensi peningkatan Cardiac Output akan meningkatkan tekanan darah.
NSAID non selektif, yaitu Ketoprofen. Ketoprofen digunakan untuk menurunkan
inflamasi, nyeri, dan deman dengan menghambat aktivitas cyclooxygenase dan
prostaglandin.
Ketoprofen 75 mg 3 kali sehari maksimal 300 mg/hari. Maintenance 75 sampai 150
mg/ hari.
b. DMARDS
DMARD yang digunakan sebelumnya adalah methotrexate tidak adekuat. Karena pasien
menderita RA selama 6 tahun. DMARDS diganakan kombinasi,
Metotrexate p.o 7,5 mg per minggu,
Sulfasalazin p.o inisiasi dosis 0,5-1 g/hari untuk mengurangi intoleran GIT, dan
Hidroksikloroquin (Kina) p.o 400-600 mg/hari.
c. Hipertensi
Hipertensi pada pasien ini masih dalam stage 1, maka terapinya tunggal
Antihipertensi yang digunakan adalah golongan ACE inhibitor
Captopril p.o 25 mg dua sampai tiga kali sehari. Dosis maksimum 450 mg.
d. Prednison
Prednison di tapering off
3. Buatlah rancangan tapering off untuk prednisone mengingat pasien memiliki resiko tinggi
terjadinya osteoporosis.
Penggunaan prednison pada pasien ini dapat dihentikan, tetapi tidak dapat secara
langsung sehingga harus dilakukan tapering off. Hal ini karena penhentian secara alangsung
akan terjadi bone effect.
Menurut literatur, tahap tapering dilakukan dengan pedoman sebagai berikut:
1. Diturunkan 10 mg terlebih dahulu hingga dosis prednison < 40 mg
2. Diturunkan 5 mg hingga dosis prednison < 20 mg
3. Diturunkan 2.5 mg hingga dosis prednison < 10 mg
4. Diturunkan 1 mg hingga dosis prednison habis sama sekali
Tetapi, penurunan dosis yang tepat seharusnya dilakukan selama 3 hari/x dengan sistem
1-1-1,1-1-0,1-0-0,0-0-0. Pasien yang sudah lama menggunakan prednisosn sebaiknya
menerima asupan kalsium dan vitamin D untuk menghindari efek samping yaitu
osteopororsis.
4. Parameter klinik dan laboratorik yang sesuai untuk melihat efikasi terapi dan efek samping
yang mungkin terjadi akibat terapi yang diberikan.
a. Parameter efikasi terapi:
Gejala:
- Gejala nyeri sendi dan kekakuan berkurang dari 6 minggu, sudah tidak pusing, tidak lemah,
tidak demam, nafsu makan membaik, dan nyeri otot berkurang.
Tanda
- Tanda kemerahan dan bengkak di sendi sudah berkurang, distribusi nyeri sendi secara
simetris sudah berkurang.
Tes Laboratorium
- Reumatoid Faktor kurang dari 60-70%
- antiCCP antibodi (50%)
- LED kemabali normal atau menurun
- Px memiliki CBC normal (tidak anemia)
b. Monitoring efek samping

5. Buatlah perencanaan KIE untuk pasien terkait terapi baru yang diperoleh pasien.
Obat yang digunakan pasien adalah metotrexate, Sulfasalazin, Hidroksikloroquin,
Naproxen sebagai anti inflamasi, dan captopril untuk mengatasi hipertensi
Metotrexate :
Sebagai obat yang menghambat asam folat dan menurunkan fungsi imun
Diminum 7,5 mg per minggu 1-2 jam sebelum makan
Dipastikan fungsi ginjal Px > 60 mL/menit (tidak ada insufisiensi ginjal)
Tidak ada riwayat allergi dengan obat ini sebelumnya
Jangan mengkonsumsi vitamin saat terapi tanpa emberitahuan dokter
Mencegah konsumsi alkohol, salisilat, NSAID
Mengurangi paparan sinar matahari
Efek samping : mual, muntah, perdarahan GIT, batuk, kulit kemerahan, kerusakan liver,
kerusakan ginjal, mudah sakit.
Sulfasalazin (Anti-folat)
Sebagai obat yang menghambat asam folat
Diminum dosis awal 0,5-1 g/hari untuk mengurangi intoleran GIT, bisa ditingkatkan
menjadi 2g/hari di bagi dalam dua dosis. Diminum sesudah atau bersama makan.
Tablet tidak boleh digerus harus ditelan
Px tidak memmiliki riwayat alergi dan asma.
Mengurangi paparan sinar matahari
Kontraindikasi dengan HTZ
Efek samping : gangguan tidur, pusing, mual, muntah, anemia.
Hidroksikloroquin (Kina)
Mekanisme kerja menekan reaksi hipersensitivitas
Diminum 400-600 mg/hari dengan makanan atau susu
Perlu monitoring fungsi hati setelah pemakaian 3 bulan.
Apabila timbul nyeri di perut, mual, muntah, diare, dan nafsu makan menghilang aka obat
bisa dihentikan.
Mencegah konsumsi alkohol
Efek samping : sakit kepala, hipotensi, mual, muntah, gangguan tidur.
Naproxen
Mekanisme kerja sebagai anti inflamasi
Diminum 500 mg 2x/hari dengan maintenance dose 200-300 mg
Captopril
Untuk menurunkan tekanan darah pasien
Diminum 25 mg/hari
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, RF, CBC, AST, Creatinin dan efek samping dari
metotrexate. Melakukan olahraga secara teratur, menurunkan berat badan, makan makanan yang
mengandung vitamin B6 (neurotropik), B12 dan asam folat, vitamin C.

G. TERAPI RHEUMATOID ARTHRITIS
a. Terapi Farmakologi
DMARDs dan biological


Diagnosa RA
Diagnosa RA - terapi kombinasi
- Active disease: penggunaan kombinasi
DMARDs sebagai terapi lini pertama
secepat mungkin, biasanya selama 3
bulan setelah awal gejala persisten

Recent-Onset RA
- Ketika kondisi penyakit telah semakin membaik, dosis obat dapat
diturunkan sedikit demi sedikit hingga mencapai maintain disease
control
Established RA
- Ketika penyakit mulai stabil, hati-hati dalam menurunkan dosis
DMARDs.
- Ketika menggunakan obat baru untuk meningkatkan kontrol
penyakit, perlu pertimbangan untuk menurunkan atau
menghentikan obat RA sebelumnya setelah penyakit terkontrol
- Perlu pertimbangan lebih lanjut jika dosis DMARDs/biological
diturunkan atau dihentikan
Diagnosa RA- monoterapi
- Mulai penggunaan DMARDs
monoterapi
- Perhatikan peningkatan cepat
hingga mencapai dosis efektif
Biological
1. Anakinra tidak direkomendasikan untuk menangani RA, kecuali untuk mengontrol, studi
klinik jangka panjang
2. Pasien yang telah menerima anakinra sebaiknya dilanjutkan terapinya hingga dokter
menyuruh untuk menghentikan penggunaan
3. Jangan mengombinasikan anakinra dengan tumour necrosis factor- (TNF- ) terapi
Glucocortikoid
1. Disarankan penggunaan untuk terapi jangka pendek
2. Pertimbangkan terapi jangka pendek jika pasien belum pernah menerima glukokortikoid
dalam penggunaan terapi kombinasi DMARDs
3. Melanjutkan terapi jangka panjang, hanya jika terjadi komplikasi dan semua terapi tidak
memberikan hasil yang diinginkan
Kontrol Gejala
1. Disarankan menggunakan analgesik jika pain control tidak adekuat
2. Jika menyarankan penggunaan NSAID atau COX2 inhibitor, gunakan obat standar
sebagai pilihan
3. Gunakan NSAID/COX 2 inhibitor pada dosis efektif terendah dengan penggunaan
jangka waktu yang pendek
4. Karena efeknya pada gastrointestinal, dan dapat menyebabkan toksik
- perlu pertimbangan terhadap faktor resiko pasien, termasuk umur ketika memilih obat
- pertimbangkan analgesik lain jika pasien pernah mengonsumsi aspirin dosis lain karena
kondisi lain
5. Jika NSAID/COX 2 inhibitor tidak dapat mengontrol gejala, review DMARD/biological
regimen
(NICE, 2009)
Disease-Modifying Antirheumatoid Drugs (DMARDs)
Merupakan pengobatan utama pada rematoid arthritis . Obat ini digunakan untuk
mengurangi gejala ,mengurangi kerusakan sendi ,dan meningkatkan fungsi sendi . Obat
obat ini harus sesegera mungkin dimulai pada awal pengobatan (Scott et. Al ,2010).
Contoh obat yang sering digunakan dari jenis DMARDs adalah methotrexate dan
yang lainnya biasanya digunakan sulfalazine dan leflunomide . Penggunaan sodium
aurothiomalate (Gold) dan cyclosporin jarang digunakan sebab banyak adanya laporan efek
samping . Obat obat ini sering digunakan dalam bentuk kombinasi . (Scott et. Al ,2010)
Methotrexate biasanya digunakan sebagai obat lini pertama dalam pengobatan
remathoid Arthritis (Chris et al ,2009) . Efek samping harus dimonitor secara berkala yang
berkaitan dengan saluran pencernaan ,hematologic ,,paru paru ,dan hepar . Efek samping
seperti mual ,muntah atau neri di bagian abdomen bisa dikurangi dengan mengkonsumsi
asam folat (Shea et. Al ,2013) . Efek yang sering tidak diinginkan dari pengobatan ini adalah
meningkatnya enzim hati sebesar 15% pada beberapa orang (DiPiro ,2008) . Maka dari itu
direkomendasikan bagi siapa yang mengalami adanya level yang tidak normal pada kadar
enzim di hati ,atau yang mempunyai riwayat penyakit hati atau mengkonsumsi alkohol
menggunakan biopsi hati (American College ,2002) . Metrotrexate juga dikatakan
teratogenik maka dari itu tidak dianjurkan untuk ibu hamil . (Amy ,2011)(DiPiro ,2008)
Obat obat agen biologis hanya boleh digunakan apabila Metotrxate dan obat obat
lainyya tidak efektif untuk pengobatan dalam jangka waktu 3 bulan (Moya et. Al ,2009) .
Obat obat yang dimaksud adalah tumor necrosis factor alpha (TNF) blocker ,seperti
infliximab ,kemudian Interleukin 1 blocker seperti anakinra , kemudian Monoclonal
Antibodies terhadap sel B seperti rituximab, (Edwards et. Al ,2004) kemudian dari T-cell
blocker seperti abatacept . Obat- obat tersebut biasanya dikombinaskan bersama Metotrexate
atau Leflunomide (Scott et. Al ,2010)
Anti-Inflamasi
Non-Steroid Ainti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) mengurangi rasa nyeri dan kaku
pada rematoid artritis (Scott et. Al ,2010) . Penggunaan obat obat ini harus diperhatikan
adanya efek samping di saluran pencernaan ,jantung ,dan ginjal (Radner et. Al
,2012)(McCormack ,2011)
COX-2 inhibitor ,seperti celexocib dan NSAIDs efeknya sama efektifnya (Chen et.
Al ,2008) . mereka mempunyai resiko lambung seperti NSAIDs ,juga sebagai proton pump
inhibitor (PPI) (Wang et. Al ,2011) . Glucocorticoid bisa digunakan untuk pengobatan cepat
jangka pendek ,disamping menunggu obat yang onsetnya lambat untuk mengeluarkan efek
(Scott et. Al ,2010) . Injeksi glucocorticoid pada sendi juga efektif Scott et. Al ,2010) .
Namun penggunaan jangka panjang obat ini menyebabkan osteoporosis ,maka dari itu tidak
direkomendasikan (Scott et. Al ,2010) .

b. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan kepada pasien adalah sebagai berikut:
Pengubahan Gaya Hidup
1. Istirahat dan latihan : Orang dengan RA membutuhkan istirahat dan latihan dalam
jumlah yang seimbang, dengan istirahat lebih ketika RA aktif dan banyak latihan ketika
RA tidak aktif. Istirahat berguna untuk meredakan inflamasi dan melawan kelelahan.
Lama istirahat dianjurkan tidak terlalu lama.
Latihan berguna untuk menjaga kesehatan dan kekuatan otot, menjaga mobilitas
sendi dan juga fleksibilitas. Latihan juga dapat membantu pasien tidur nyenyak,
mengurangi rasa nyeri, dan menjaga keoptimisan dan menurunkan berat badan.
2. Perawatan sendi : Beberapa orang menggunakan splint untuk waktu yang singkat di
sekitar sendi yang nyeri dengan mendukung sendi tersebut dan membiarkannya istirahat.
Splint banyak digunakan di daerah pergelangan tangan dan tangan, akan tetapi ada juga di
bagian lutut dan pergelangan kaki.
3. Reduksi stres : Orang dengan RA biasanya mengalami stres emosional seperti pada
penyakit lainnya. Emosi yang mereka rasakan karena ketakutan, kemarahan, dan frustasi
terhadap penyakit yang dideritanya ditambah dengan kecacatan yang dia derita. Stres akan
berpengaruh pada rasa nyeri atau sakit yang dirasakan. Berbagai teknik dilakukan untuk
mengatasi stress ini, misalnya relaksasi,
4. Diet sehat : Sejauh ini peneliti belum menemukan kejadian untuk makanan yang dapat
membantu atau memperparah kondisi RA ini, kecuali pada beberapa tipe minyak. Akan
tetapi, asupan makanan yang cukup (meliputi kalori, protein, dan kalsium) ini penting.
Beberapa pasien dengan obat tertentu untuk RA dilarang mengkonsumsi alkohol, seperti
methrotexat yang berefek jangka panjang pada kerusakan hati.
5. Hydrotherapy: menjalani latihan dan relaksasi di air hangat. Berada di air dapat
menurunkan berat dari sendi. Hangatnya air membantu merelaksasi otot dan membantu
mengatasi nyeri
(Arthritis New Zealand, 2012)

H. MATERI KONSELING
Metotrexate :
Sebagai obat yang menghambat asam folat dan menurunkan fungsi imun
Diminum 7,5 mg per minggu 1-2 jam sebelum makan
Dipastikan fungsi ginjal Px > 60 mL/menit (tidak ada insufisiensi ginjal)
Tidak ada riwayat allergi dengan obat ini sebelumnya
Jangan mengkonsumsi vitamin saat terapi tanpa emberitahuan dokter
Mencegah konsumsi alkohol, salisilat, NSAID
Mengurangi paparan sinar matahari
Efek samping : mual, muntah, perdarahan GIT, batuk, kulit kemerahan, kerusakan liver,
kerusakan ginjal, mudah sakit.

Sulfasalazin (Anti-folat)
Sebagai obat yang menghambat asam folat
Diminum dosis awal 0,5-1 g/hari untuk mengurangi intoleran GIT, bisa ditingkatkan
menjadi 2g/hari di bagi dalam dua dosis. Diminum sesudah atau bersama makan.
Tablet tidak boleh digerus harus ditelan
Px tidak memmiliki riwayat alergi dan asma.
Mengurangi paparan sinar matahari
Kontraindikasi dengan HTZ
Efek samping : gangguan tidur, pusing, mual, muntah, anemia.
Note : Konsumsi dengan metotrexate menyebabakan peningkatan supresi tulang belakang.

Hidroksikloroquin (Kina)
Mekanisme kerja menekan reaksi hipersensitivitas
Diminum 400-600 mg/hari dengan makanan atau susu
Perlu monitoring fungsi hati setelah pemakaian 3 bulan.
Apabila timbul nyeri di perut, mual, muntah, diare, dan nafsu makan menghilang aka obat
bisa dihentikan.
Mencegah konsumsi alkohol
Efek samping : sakit kepala, hipotensi, mual, muntah, gangguan tidur.
Disarankan untuk selalu latihan ringan dan relaksaasi, hindari stress, mencegah minum
alkohol, dijaga nutrisi makanan untuk dikonsumsi, menurunkan berat badan, dan
menggunakan penyangga bila pasien sudah mulai susah untuk berjalan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Alamanos, Yanis, 2005, Epidemiology of Adult Rheumatoid Arthritis,
http://www.sciencedirect.com/, diunduh Jumat 21 Maret 2014, pukul 20.05 WIB
Arthritis New Zealand, 2012, Rheumatoid Arthritis, http://www.arthritis.org.nz/,
diunduh Sabtu 22 Maret, pukul 09.00 WIB
Dipiro, Joseph T, 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Rheumatid
Arthritis, The McGraww Hill Companies, New York
GS, Budd RC, Harris, Jr DE et al, 2008, Textbook of Rheumatology Kelley
8
th
edition, Saunders Elsevier, Philadelphia
Karlson, E. W., Deane, K, 2012, Enviromental and Gene-environment Interactiond
and Risk of Rheumatoid Arthritis, Rheum Dis Clin North Am. 2012 May; 38(2): 405-426.
Kimble, K., Anne, M., et al, 2009, Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs,
9th Edition, Lippincott William & Wilkins
Scott, DL; Wolfe, F; Huizinga, TW, 2010, Rheumatoid Arthritis, Lancet 376 (9746):
1094108.
Chris Deighton, Rachel OMahony, Jonathan Tosh, Claire Turner, Michael Rudolf,
and Guideline Development Group, 2009, Management of rheumatoid arthritis: summary of
NICE guidance".British Medical Journal 338: 710712.
Amy M. Wasserman, 2011, "Diagnosis and Management of Rheumatoid
Arthritis". American Family Physician 84 (11): 12451252.
Shea, B; Swinden, MV; Tanjong Ghogomu, E; Ortiz, Z; Katchamart, W; Rader, T;
Bombardier, C; Wells, GA; Tugwell, P, 2013, "Folic acid and folinic acid for reducing side
effects in patients receiving methotrexate for rheumatoid arthritis.". The Cochrane database
of systematic reviews 5: CD000951.
American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid Arthritis
Guidelines, 2002, "Guidelines for the management of rheumatoid arthritis: 2002
Update". Arthritis & Rheumatism 46 (2): 328346.
Task Force for the Diagnosis and Management of, Syncope; European Society of
Cardiology, (ESC); European Heart Rhythm Association, (EHRA); Heart Failure
Association, (HFA); Heart Rhythm Society, (HRS); Moya, A; Sutton, R; Ammirati, F;
Blanc, JJ; Brignole, M; Dahm, JB; Deharo, JC; Gajek, J; Gjesdal, K; Krahn, A; Massin, M;
Pepi, M; Pezawas, T; Ruiz Granell, R; Sarasin, F; Ungar, A; van Dijk, JG; Walma, EP;
Wieling, W (November 2009). "Guidelines for the diagnosis and management of syncope
(version 2009)
Edwards J, Szczepanski L, Szechinski J, Filipowicz-Sosnowska A, Emery P, Close
D, Stevens R, Shaw T, 2004, "Efficacy of B-cell-targeted therapy with rituximab in patients
with rheumatoid arthritis". N Engl J Med 350 (25): 257281.
Radner, H; Ramiro, S; Buchbinder, R; Landew, RB; van der Heijde, D; Aletaha, D
,2012, "Pain management for inflammatory arthritis (rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis,
ankylosing spondylitis and other spondylarthritis) and gastrointestinal or liver comorbidity".
McCormack, PL, 2011, "Celecoxib: a review of its use for symptomatic relief in the
treatment of osteoarthritis, rheumatoid arthritis and ankylosing spondylitis"
Chen, YF; Jobanputra, P; Barton, P; Bryan, S; Fry-Smith, A; Harris, G; Taylor, RS
(April 2008). "Cyclooxygenase-2 selective non-steroidal anti-inflammatory drugs (etodolac,
meloxicam, celecoxib, rofecoxib, etoricoxib, valdecoxib and lumiracoxib) for osteoarthritis
and rheumatoid arthritis: a systematic review and economic evaluation". Health technology
assessment (Winchester, England)
Wang, X; Tian, HJ; Yang, HK; Wanyan, P; Peng, YJ (October 2011). "Meta-
analysis: cyclooxygenase-2 inhibitors are no better than nonselective nonsteroidal anti-
inflammatory drugs with proton pump inhibitors in regard to gastrointestinal adverse events
in osteoarthritis and rheumatoid arthritis".European journal of gastroenterology &
hepatology

Anda mungkin juga menyukai