Anda di halaman 1dari 3

Kolonisasi Ruang Publik : Relasi Antara Wacana dan Kuasa

Ruang publik yang muncul di awal abad ke-18 menurut Habermas berfungsi sebagai
mediasi antara urusan privat individu di dalam kehidupan individu atau keluarga dilawankan
dengan tuntutan dan urusan kehidupan sosial dan publik. Tujuannya adalah mengatasi
kepentingan dan opini privat guna menemukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus
sosial. Dimana terjadi diskusi, sosial-politik, kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi
dalam debat politik dijunjung tinggi. Pengetahuan mengenai kepentingan umum, yang diukur
dengan sejauh mana kepentingan umum terwakili olehnya menjadi fondasi pengambilan
konsesus yang rasional. Berbicara ruang publik yang demikian tidak terlepas dari peran
wacana yang berkembang di pentas ruang publik. Di era demokrasi liberal dan pasar bebas
sekarang, konsepsi ruang publik mengalami pergeseran yang radikal. Dimana kini ruang publik
di ambil alih oleh korporasi-korporasi besar serta kaum elite dominan. Begitu juga berpengaruh
terhadap wacana yang berkembang di dalam ruang publik. Wacana yang berkembang di dalam
ruang public pun tidak lagi terbentuk lewat perdebatan dan konsensus, melainkan wacana yang
dibentuk oleh kelompok elite media, politik, dan ekonomi. Disinilah relasi antara wacana dan
kuasa saling bertemu. Dimana wacana di bentuk sesuai dengan kepentingan penguasa media.
Dalam hal ini, wacana akan membentuk perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar.
Persepsi tentang suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan
sesuatu bahwa ini benar dan yang lain tidak sesuai kehendak penguasa. Maka wacana akan
mengarahkan, membatasi, dan mengkonstruksi realitas ke dalam narasi tertentu. Sehingga di
harapkan wacana ini dalam praktiknya akan mengarahkan dalam membentuk praktik sosial yang
diinginkan oleh penguasa.
Lebih jauh lagi, wacana akan apa yang di katakan Foucault membentuk sebuah kerangka
episteme. Episteme menentukan bagaimana cara kita melihat dan mengalami kenyataan.
Melalui episteme sesuatu realitas dapat dipahami dan dimengerti dengan pernyataan dan
pandangan tertentu, dan bukan yang lain. Episteme itulah mengendalikan dan mengontrol
pengetahuan manusia. Yang akhirnya menentukan berbagai aspek tatanan, sistem nilai, maupun
berbagai aspek terkait dengan benar-salah, baik-buruk, jahat-tidak jahat, dan lain-lain. Disinilah
kuasa tidak di jalankan dengan cara yang negatif dan represif melainkan dengan ciri positif dan
produktif. Bahkan kuasa memproduksi realitas dan ritus-ritus kebenaran.
Terlihat geliat media massa dewasa ini, dimana ia selalu menampilkan propaganda-
propaganda serta serangan-serangan politik yang syarat akan kepentingan golongan tertentu.
Terbukti dengan di ungkap secara gamblang serta di kuliti habis kasus-kasus yang menimpa
Partai Demokrat dan PKS. Jika kita perhatikan dengan saksama berita-berita di media massa,
kedua partai inilah yang digempur habis-habisan. Sedangkan yang lain tidak. Hampir secara
bergiliran kasus-kasus dari kedua Partai Politik ini di ekspose secara massif. Demokrat yang
notabene adalah partai juara pertama di pemilu 2009 (dengan jumlah 20,66% suara versi LSI) di
telanjangi elektabilitasnya. Sedangkan PKS yang notabene adalah partai yang mempunyai basis
politik yang kuat dan rapi. Dimana telah mengembangkan berbagai organisasi kepanduan yang
berfungsi sebagai "sayap partai" yang berafiliasi secara formal dengan partai serta teritorial
politik dan berhubungan dengan kelompok pemikir yang berafiliasi formal atau tidak formal
dengan PKS yang menghasilkan kader PKS yang militan. PKS menjadi partai Islam paling
moncer, kalau bukan paling prospektif. Kedua partai inilah yang berpotensi suaranya di caplok di
pemilu 2014. Hal ini dapat dikatakan sebagai upaya memupuk kemuakan masyarakat terhadap
parpol, yang memunculkan semacam banalitas. karena masyarakat sudah disuguhkan oleh
kejahatan sebagai realitas yang sering terjadi. Meluapnya kejahatan sebagai sebuah hal yang
wajar karena ia telah digadai dalam cara berpikir parpol yang sempit dan pendek. Pada
puncaknya angka golput pemilukada Jateng diperkirakan mencapai 50 persen (versi
merdeka.com).
Berbeda dengan nasib parpol, nasib para sosok tokoh yang selalu di citrakan positif di
media massa, selalu di iklankan terpuji di televisi bagaikan nabi tanpa sedikitpun kesalahan di
publikasi telah mendapat simpati yang luar biasa dari publik. Siapa lagi kalau bukan Jokowi,
Prabowo, Wiranto, dan Aburizal Bakrie. Indonesia Research Centre (IRC) yang melakukan
survei di 11 kota besar di Indonesia (Bandung, DKI Jakarta, Lampung, Makassar, Denpasar,
Medan, Palembang, Samarinda, Semarang, Surabaya dan Tangerang) pada 8-11 Juli 2013.
Sebagian besar publik memilih Jokowi (32%) sebagai presiden. Kemudian berturut-turut muncul
nama Prabowo (8,2%), Wiranto (6,8%), Aburizal Bakrie (3,3%) yang dipilih sebagai presiden.
Disinilah jelas bahwa media telah mengkolonisasi ruang publik dimana pruduksi wacana selalu
berbanding lurus dengan dijalankannya praktek kekuasaan melalui regulasi kesadaran
masyarakat. Ruang publik kini makin tidak demokratis dan bebas. Ruang publik dan kesadaran
masyarakat hanya menjadi rangkaian permainan kepentingan dan perebutan kekuasaan elit
dominan.

Anda mungkin juga menyukai