Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

LATAR BELAKANG


1.1 Latar Belakang
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini
mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas.
Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman
ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun
secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung
kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri
sering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat
berdesakan,memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai
pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu
yang belum mendapat imunisasi. Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah
suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala
obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai afoni, stridor
inspirasi, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan
apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis
karena hipoksia. (Guilfoile, 2009).
Gejala pada difteri hampir mirip dengan gejala yang terjadi pada orang yang
terkena faringitis, dimana faringitis adalah suatu peradangan pada tenggorokan
(faring) yang biasanya disebabkan oleh infeksi akut. Biasanya disebabkan oleh
bakteri streptokokus grup A. Namun bakteri lain seperti n. gonorrhoeae, c.
diphtheria, h. influenza juga dapat menyebabkan faringitis. Apabila disebabkan oleh
infeksi virus biasanya oleh rhinovirus, adenovirus, parainfluenza virus dan coxsackie
virus. Yang sering muncul pada faringitis adalah nyeri tenggorokan dan nyeri
menelan, Tonsil (amandel) yang membesar Selaput lendir yang melapisi faring
mengalami peradangan berat atau ringan dan tertutup oleh selaput yang berwarna
keputihan atau mengeluarkan nanah Demam, Pembesaran kelenjar, getah bening
di leher, Peningkatan jumlah sel darah putih. Gejala tersebut bisa ditemukan pada
infeksi karena virus maupun bakteri, tetapi lebihmerupakan gejala khas untuk infeksi
karena bakteri (kazzi et. all, 2006).
Diet merupakan hal penting dalam proses penyembuhan penyakit karena
makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderitaakan
semakin turun sehingga proses penyembuhan akan semakin lama. Diet pada pasien
ini berfungsi untuk memenuhi kebutuuhan makan penderita dan mencegah
kekambuhan (inawati,2008)
Berdasarkan latar belakang di atas, terapi gizi sangat diperlukan untuk
pengelolaan penyakit yang dimiliki pasien, yaitu suspect difteri + faringitis.
Diharapkan terapi diet dan terapi edukasi dapat meningkatkan derajat kesehatan
pasien dan mencegah timbulnya komplikasi.






















BAB II
NUTRITIONAL CARE PROCESS (NCP)


2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Z
Umur : 14 Bulan
Jenis kelamin : Laki Laki
Agama : Islam
Pekerjaan Orang tua : Ibu rumah tangga
Status Pasien : keluarga TNI
Diagnosa Medis Awal : suspect difteri
Diagnosa medis Akhir : Faringitis
No. Rekam Medis : 178594
Dokter : dr.Zainudin, Sp. A
Tanggal MRS : 22 maret 2014
Alamat : Yon Arhanudri 2 kostrad

2.2 ASSESSMENT
2.2.1 Antropometri
BB = 10 kg
TL = 73 cm
BBI = 2n + 8 = 2 (1) + 8 = 10kg
Status gizi = Status gizi berdasarkan CDC
Weight for age (BB/U) Normal
Stature for age (TB/U) Normal
BMI for age (BBI/U) Normal






2.2.2 Biokimia
Tabel 2.1 Pemeriksaan Biokimia
Data Laboratorium Nilai Nilai Normal Interpretasi
Hemoglobin 11,1 12 17 mg/dl Normal
Leukosit 9.900 4000 10.000/cmm Normal
Trombosit 208.000 150.000 450.000 Normal
PCV 34,2 40 50 %
SWAB
Difteri Tidak ditemukan kuman difteri -
leko 1-2 -
epitel + -
Bakteri lain Coccus 3+ -



2.2.3 Fisik Klinis
Tabel 2.2 Pemeriksaan fisik klinis
Jenis Pemerikasaan Hasil Analisa Data
Kesadaran CM Compos mentis : sadar
sepenuhnya
Nafsu makan Menurun Terjadinya penurunan
nafsu makan
dikarenakan terjadi
kesulitan menelan

Jenis Pemerikasaan Hasil Nilai Normal
Nadi 110x/menit 80-120/menit
Suhu 37,6
0
C 37,5
0
C
RR 22x/menit 20-30x/menit




2.2.4 Dietary Assessment
Riwayat Gizi Dahulu:
Pola makan pasien , yaitu 2 3 kali sehari
Pasien mengonsumsi makanan pokok berupa nasi 2 3 sehari (50
gram),
Lauk hewani yang dikonsumsi adalah ceker ayam 3 kali/minggu (50
gram), bakso 5x seminggu (100 gram), ayam 3 kali seminggu (50 gram)
Lauk nabati yang sering dikonsumsi adalah tahu dan tempe 1kali sehari
(25 gram)
Pengolahan lauk hewani dan nabati paling sering adalah digoreng
Sayur yang sering dikonsumsi adalah wortel, kubis, kentang, buncis
(30 gram) yang dimasak sop 3 kali/minggu, bayam 3 kali seminggu (
25gram).
Pasien suka mengonsumsi buah berupa pisang, pepaya dan pisang 3
kali/minggu (25 gram)
Pasien mengonsumsi susu bebelac 3-4 botol perhari (150cc perbotol)
Pengolahan makanan pasien menggunakan penyedap rasa setiap
sayur yang di konsumsi
Pasien sering membeli makanan warung seperti chiki dan wafer setiap
hari (50gram)
Pasien sudah tidak diberi ASI oleh ibu sejak umur 6 bulan

Tabel 2.3 Semi-quantitative Food Frequency Questionnaire
Bahan
makanan
Frekuensi Jumlah
(g)
Bahan
makanan
Frekuensi Jumlah
(g) TP J S TP J S
Nasi 75 Sayuran A 30
Roti 25 Sayuran B 30
Mie 80 Pisang 75
Umbi 50 Pepaya 75
Tempe 25 Santan 10
Tahu 25 Minyak 10
D. sapi 35 Kecap 5
D. ayam 50 Susu 400
Telur ayam 50 -
Keterangan:
TP : Tidak pernah
J : Jarang (1-2 kali seminggu)
S : Sering ( lebih dari 2 kali seminggu)

Riwayat Gizi Sekarang :
Berdasarkan 24-h recall pada tanggal 22 april 2014 didapatkan jumlah
asupan sebagai berikut

Tabel 2.4 Recall Intake (22 april 2014)
Zat Gizi Intake Kebutuhan % Kategori
Energi (kkal) 151 1000 15.1 % Defisit berat
Protein (gram) 3,2 20 14,4 % Defisit berat
Lemak (gram) 6,2 22 31 % Defisit berat
Karbohidrat
(gram)
20,9 180
11,6 %
Defisit berat
Keterangan:
Diatas Kebutuhan : 120%
Normal : 90 119%
Defisit ringan : 80-89%
Defisit sedang : 70-79%
Defisit berat : <70%

Perhitungan kebutuhan Zat Gizi Pasien
Energi untuk umur snsk 1-3 tahun adalah 100kkal/kg BB
100 x BBA
100 x 10 = 1000 kkal

Perhitungan kebutuhan protein
Protein = 2 x BBA
= 2 x 10
= 20 gram
Perhitungan kebutuhan lemak
Lemak = 20% x energi
= 20% x 1000
= 200 :9
= 22,2 gram
Perhitungan kebutuhan karbohidrat
KH = sisa dari Protein dan lemak
= 1000 ( 80kkal+ 200kkal)
= 720 kkal : 4
= 180 gram
- Perhitungan kebutuhan Cairan
= 100 ml x BB
= 100x 10 =1000 ml


2.2.5 Obat yang Digunakan

Tabel 2.5 Interaksi Obat dan Makanan
Nama Obat Indikasi Efek Samping Interaksi dengan Makanan
Injeksi ranitidine Obat golongan H2
antagonis, diberikan
untuk mengurangi
sekresi asam
lambung.
Konstipasi, diare,
pusing, mual,
muntah, sulit tidur
Tidak ada interaksi dengan
makanan
Azitromisin Golongan obat
tetrasiklin
Mual dan muntah - Hindari makanan yang
mengandung kalsium,
seperti susu , yogurt,
vitamin atau mineral yang
mengandung zat besi dan
antasida karena akan
menurunkan kadar obat
dalam tubuh secara
bermakna
- minum obat dalam
keadaan perut kosong 1
jam sebelum atau 2 jam
setelah makan.
Cefotaxime Antibiotik golongan
cephalosporin yang
membunuh bakteri
dengan
menghancurkan
dinding sel.
Menangani infeksi
yang disebabkan
bakteri, mencegah
infeksi bakteri
sebelum, saat dan
setelah operasi.
Efek samping
ringan yang
ditimbulkan
adalah mual,
muntah dan diare
Konsumsi saat perut
kosong, 1 jam sebelum atau
2 jam setelah makan.
Apabila terjadi upset
stomach, konsumsi obat
bersama makanan.
Konsumsi 1 jam setelah
obat antasida.

2.2.6 Sosial Ekonomi
Ayah pasien adalah TNI dan ibu pasien adalah ibu rumah tangga
Pasien diasuh oleh ibu kandungnya.
Pasien 2 bersaudara dan memiliki kakak

Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit tertentu, hanya demam biasa
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien demam sejak 3 hari yang lalu, demam naik turun, pasien juga ada
pilek, nafsu makan turun,tidak mau minum, BAK berkurang dan BAB
sedikit.
2.3 DIAGNOSA
2.3.1 Daftar Masalah
Berdasarkan assessment antropometri, biokimia, fisik/klinis dan
dietary, didapatkan beberapa masalah gizi, perilaku dan klinis sebagai
berikut
Masalah Gizi:
Asupan oral kurang, yaitu intake energi defisit berat (15,1 %), intake
protein defisit berat (14,4%), intake lemak defisit berat (31 %), intake
karbohidrat defisit berat (11,6 %)
Pasien mengalami nafsu makan yang menurun sejak sakit
Sering mengkonsumsi chiki, wafer dan membeli makanan diluar
Pasien sudah tidak diberi ASI

Masalah Klinis:
Pasien didiagnosis suspect difteri
Kadar PCV atau hematokrit rendah (34,2%) menandakan pasien
mengalami anemia akibat adanya perdarahan
Masalah Behavior:
Masalah dari pola asuh pasien yang kurang tepat yaitu pasien sering
dengan bebas memilih jajanan dari luar yang di sukai yaitu berbagai chiki
dan wafer, dan ibu pasien sering membeli makanan dari luar untuk makanan
sehari hari misalnya bakso dan rawon.

2.3.2 Analisa Masalah
Berdasarkan data kelainan tersebut, dapat ditarik masalah gizi,
behavior dan klinis sebagai berikut:
Masalah intake:
Intake makanan oral yang tidak adekuat
Dari hasil 24-h recall diketahui bahwa intake energi, protein, lemak dan
karbohidrat pasien mengalami defisit berat. ini disebabkan pasien tidak
nafsu makan karena kondisi tidak enak badan dan susah untuk menlan
makanan karena tiap makanan yang diberikan selalu dimuntahkan
kembali
Peningkatan kebutuhan zat gizi tertentu (protein)
Dari data biokimia didapatkan bahwa pasien mengalami infeksi,
sehingga protein yang tinggi diperlukan untuk meningkatkan sistem
imun tubuh., kadar PCV atau hematokrit rendah (34,8%) menandakan
pasien mengalami anemia akibat adanya perdarahan

Masalah behavior:
Kurangnya pengetahuan terkait gizi, ditandai dengan pasien dan
keluarga pasien belum pernah mendapat edukasi tentang gizi, dan
kebiasaan makan pasien yang tidak teratur (2 3 kali/hari), sering
mengonsumsi makanan yang digoreng, menggunakan penyedap rasa
dan kecap.
Masalah Klinis
Terjadi perubahan nilai laboratorium terkait gizi, yaitu, kadar PCV atau
hematokrit rendah (34,8%) menandakan pasien mengalami anemia
akibat adanya perdarahan

2.3.3 Diagnosa Gizi
NI-2.1 Ketidakcukupan intake oral, dihubungkan dengan nafsu makan pada pasien
menurun akibat susah menelan dan muntah yang di derita , ditandai dengan
recall intake energi defisit berat (15,1%), intake protein defisit berat (14,1%),
intake lemak defisit berat (31 %), intake karbohidrat defisit berat (11,6%)
NI-5.1 Peningkatan kebutuhan zat gizi tertentu (energi dan protein), dihubungkan
dengan pasien mengalami perdarahan, ditandai dengan kadar PCV atau
hematokrit rendah (34,2%) menandakan pasien mengalami anemia akibat
adanya perdarahan
NB-1.1 Kurangnya pengetahuan terkait gizi dan makanan, dihubungkan dengan
kurangnya informasi terkait gizi, ditandai dengan pasien belum pernah
mendapat edukasi, sering mengonsumsi makanan yang digoreng,
menggunakan penyedap rasa dan membeli makanan di luar serta sering
memberikan jajanan chiki dan wafer yang tidak sehat.


2.4 RENCANA INTERVENSI
2.4.1 Terapi Diet
a. Tujuan Diet
Mempertahankan status gizi pasien
Memberikan makanan sesuai kebutuhan pasien
b. Prinsip Diet
Tinggi Energi Tinggi protein
Porsi kecil tapi sering (3 kali makan utama dan 2 kali selingan)
Bentuk makanan lunak
c. Syarat Diet
NI 1.1 Pemberian Diet yang Seimbang
NI 1.2 Modifikasi bentuk, jenis dan jumlah makanan
Energi tinggi yaitu 1000 kkal. Energi diberikan cukup karena pasien
mengalami infeksi. Energi juga diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan basal dan untuk membantu mencapai berat badan normal.
Protein tinggi yaitu 2 gram/kg BB atau 20 gram. Protein diperlukan
untuk menjaga dan meregenerasi jaringan tubuh, memperbaiki fungsi
paru-paru serta meningkatkan sistem imun karena ada infeksi dan
perdarahan.
Lemak 35% dari total energi yaitu 68,7 gram. Lemak diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan basal tubuh. Kombinasi diet tinggi lemak dan
rendah karbohidrat dapat mengurangi sesak nafas pada penderita
gangguan paru kronis.
Karbohidrat rendah, 50% kebutuhan energi yaitu 217,5 gram.
Karbohidrat diberikan rendah untuk mengurangi sesak yang diderita
pasien. Karbohidrat yang rendah diharapkan tidak meningkatkan
repiratory quotient dan produksi karbon dioksida.
Cairan diberikan cukup, 100 ml/kg BB yaitu 1000 ml per hari.
Vitamin dan mineral antioksidan diberikan tinggi.
Makanan tidak boleh mengandung bahan yang merangsang,
menimbulkan gas, bersifat asam, mengandung minyak/ lemak secara
berlebihan, dan yang bersifat melekat. Selain itu, makanan tidak
boleh terlalu panas atau dingin. Makanan yang dihindari antara lain
garam, alkohol, rokok, kafein yang dapat ditemukan dalam kopi, teh
hitam, teh hijau, beberapa minuman ringan (soft drinks), dan coklat.
Bentuk makanan adalah lunak, yaitu nasi tim dengan lauk cincang,
untuk memperingan kerja lambung.

2.4.2 Terapi Edukasi
NE 1 Edukasi gizi singkat
a. Tujuan Edukasi
Memberikan informasi terkait tatalaksana dan diet untuk anak
dengan suspect difteri + faringitis
Menambah pengetahuan mengenai pemilihan jajanan sehat untuk
anak seusia pasien
Menambah pengetahuan tentang makanan sehat untuk anak seusia
pasien

b. Materi Edukasi
Penyebab suspect difteri + faringitis
Contoh makanan sehat untuk anak usai 1 tahun 2 bulan
Contoh menu sehari
Penecegahan suspect difteri + faringitis terkait kebersihan dan saniasi
makanan
c. Waktu edukasi
1 x 30 menit
d. Sasaran edukasi
Keluarga pasien
e. Tempat edukasi
Ruang Nusa Indah Rumah Sakit Militer Malang
f. Media edukasi
Leaflet diet anak, leaflet makanan seimbang dan sehat
g. Evaluasi
Menanyakan kembali kepada pasien tentang hal-hal yang telah
dijelaskan
Melakukan analisis terhadap intake makanan dengan 24-h recall









2.5 RENCANA MONITORING EVALUASI
Indikator Target Waktu


FI-1.1.1 Asupan energi total
FI-5.1.1 Asupan lemak total
FI-5.2.1 Asupan protein
total
FI-5.3.1 Asupan karbohidrat
total

BE-1.2 Pengetahuan
terkait gizi
S-3.1.3 Fungsi
gastrointestinal
(mual, muntah,
fungsi saluran
pencernaan)
S-3.1.7 Tanda vital ( suhu)
S-1.1.1 BMI (kg/m
2
)


Normal (75% kebutuhan)
Normal (75% kebutuhan)
Normal (75% kebutuhan)

Normal (75% kebutuhan)


Terjadi peningkatan

Muntah (-)




Suhu normal (36-37,5
0
)
Status gizi normal


Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari

Setiap hari


Setiap hari

Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari


Setiap hari
Setiap hari













BAB III
TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Difteri
3.1.1 Pengertian
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corybecterium diptheria. Mudah menular dan menyerang tertama saluran napas
bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomebran dan dilepaskannya
eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala dan lokal. Penularan umumnya melalui
udara. Berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalu benda atau makanan yang
terkontaminasi masa tuna 2-7 hari ( Acang,2007).

3.1.2 Gejala
Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai
afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan
interkostal, dan apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan
sianosis karena hipoksia Pada 1400 kasus difteri di Kalifornia, fokus infeksi primer
sekitar 94% adalah tonsil atau faring, sedangkan hidung dan laring merupakan dua
tempat berikutnya yang angka kejadiannya lebih jarang daripada tonsil dan faring.
Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri Bullneck dan miokarditis
menyebabkan kematian paling besar. Angka kematian kasus difteri saluran nafas
hampir 10%.

3.1.3 Faktor Risiko
Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan
kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT
secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi
DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari
pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang
menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi
yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang
berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.
4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi
rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.
5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya
cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu (Nasal,2005)

3.1.4 Patofisiologi
Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada masa
inkubasi, dan kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet infection Selain
7 itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi.1,4 Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal
melakukan invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang
lokal pada membran mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan
eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem
limfatik (Sing, 2005).
Kuman masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B
(carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida (gambar 5). Fragmen B
diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel
pejamu yang sensitif. Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya fragmen A dapat
melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan
efek toksik pada sel (Mizhusima,2011).
Reseptor toksin difteri pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit
dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini
memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel, dan selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan
toksin untuk melalui membran endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel (Mizhusima,2011).
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari ribosom.
Bila rangkaian asam amino ini ditambah asam amino lain untuk membentuk
polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari
kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase
(Elongation faktor-2) yang aktif (Deterding,2007).
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui proses : NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif (Sing,2005).
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, yang akan mengakibatkan sel mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman yang terjadi sebagai respon
terjadi inflamasi lokal dan bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuknya membran yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-
sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya
membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan (Sing,2005).
Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua
fenomena yang berbeda, yaitu :
1. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan proliferasi
bakteri.
2. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena terjadi
hambatan sintesa protein dalam sel.
Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun virulensi kuman
tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat bakteri berkembang biak,
toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan kematian dan kerusakan jaringan.
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa
reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit dan sel
epitel yang rusak bercampur, kemudian terbentuklah membran putih keabuabuan
(psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah
membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan
eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau
abu-abu, dan ini sering disebut dengan simple tonsilar exudate. Kerusakan
jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah sekitar membran, dan
apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan menyebabkan obstruksi jalan
nafas pada tracheo-bronchial atau laringeal (Mizhusima,2011).

Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan
menimbulkan bengkak pada laring.
3. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.

3.1.4 Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah
toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus yang akan
memperberat gejala Difteri
2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas
3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin4
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf
menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan.
Komplikasi berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah obstruksi
jalan nafas (Sing,2005).




3.1.5 Penatalaksanaan Difteri
1. Tujuan
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. mempertahankan / memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala / akibat yang timbul
2. Jenis Tindakan
a. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
b. Jamin intake cairan dan makanan
c. Bentuk makanan lunak, saring / cair, bila perlu sonde lambung jika ada
kesulitan menelan.

3.2 Faringitis
Faringitis adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri,
yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam,
pembesaran limfonodi leher dan malaise (Vincent,2004).

3.2.1. Anatomi
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi servikal ke-6. Ke atas faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan esofagus.panjang
dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian
fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-
unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. Bentuk mukosa
faring bervariasi, tergantung letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk
respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan epitelnya torak berlapis yang
mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring,
karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena
itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan. (Rusmarjono,et.al.,
2001)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak atas silia dan bergerak
sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk
menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut ini
mengandungenzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi. (Rusmarjono,et.al.,
2001).

3.2.2 Etiologi

1. Arcanobacterium Chlamydia pneumoniae (5%), gejala mirip dengan M
pneumoniae. Faringitis biasanya mendahului terjadinya peradangan pada
paru.
2. Corynebacterium diphtheria
Bakteri yang jarang namun dapat dijumpai pada faringitis yaitu Borrelia
species, Francisella tularensis, Yersinia species, and Corynebacterium
ulcerans.
3. Corynebacterium haemolyticus (5%) banyak terjadi pada dewasa
muda,gejalanya mirip dengan infeksi GABHS, berupa ruam scarlatiniform.
Pasien sering mengeluh batuk.
4. Mycoplasma pneumoniae, pada dewasa muda dengan headache, faringitis,
and nfeksi pernafasan bawah. Kira-kira 75% pasien disertai batuk.
5. Viral pharyngitis
o Adenovirus (5%):
o Herpes simplex (< 5%):
o Coxsackieviruses A and B (< 5%):
o Epstein-Barr virus (EBV):
o CMV.
o HIV-1

6. Penyebab lain
o Candida sp. Pada pasien-pasien dengan riwayat pengbatan penekan sistem
imun. Banyak terjadi pada anak dengan gambaran plak putih pada orofaring.
o Udara kering, alergi (postnasal tetes), trauma kimia, merokok, neoplasia
(Kazzi,et.al.,2006).

3.2.3 Patofisiologi
Pada infeksi faringitis, virus atau bakteri secara langsung menginvasi mucosa
pada rongga tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal. berbeda
halnya dengan virus, seperti rhinovirus,dapat mengiritasi mukosa rongga
tenggorokan. Streptococcal infeksi/peradangan ditandai oleh pelepasan dan
invasi toksin ekstra seluler lokal dan proteases (Kazzi, et.al.,2006).
.
3.2.4 Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda faringitis akut adalah nyeri tenggorok, sulit menelan
demam, mual dan kelenjar limfe leher membengkak. Pada pemeriksaan tampak
hiperemis, udem dan dinding posterior faring bergranular. Streptococcus group A
merupakan bakteri penyebab faringitis akut yang paling sering, kira-kira 15
sampai 30 % kasus pada anak-anak, dan 5 sampai 10 % pada oang dewasa.
Biasanya terdapat riwayat infeksi tenggorokan oleh bakteri Streptococcus
sebelumnya. Insidensi faringitis yang disebabkan oleh streptococcus meningkat
pada musim dingin. Gejala dapat berupa rasa sakit pada tenggorokan, nyeri saat
menelan, demam, pusing, nyeri perut, mual dan muntah. Sedangkan tanda-
tanda yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada
faring dan tonsil, petechiae palatine, edema uvula, limfadenopati servikalis
anterior. Tidak semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut, banyak
pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa eksudatif. Anak-anak
dibawah tiga tahun dapat disertai coryza dan krusta hidung. Faringitis dengan
eksudat jarang terjadi pada umur ini.(Alan,et.al.,2001)
.Pada infeksi virus, gejala disertai dengan konjungtivitis, coryza, malaise,
fatigue, serak, dan demam yang tidak tidak terlalu tinggi (low-grade fever).
Faringitis pada anak dapat disertai dengan diare, nyeri perut, dan muntah
(Vincent, et.al., 2006).


3.2.5 Penatalaksanaan
Apabila penyebabnya diduga infeksi firus, pasien cukup diberikan analgetik
dan tablet isap saja. Antibiotika diberikan untuk faringitis yang disebabkan oleh
bakteri Gram positif disamping analgetika dan kumur dengan air hangat. Penisilin
dapat diberikan untuk penyebab bakteri GABHS, karena penisilin lebih
kemanjurannya telah terbukti, spektrum sempit,aman dan murah harganya. Dapat
diberikan secara sistemik dengan dosis 250 mg, 2 atau 3 kali sehari untuk anak-
anak, dan 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari selama 10 hari. Apabila
pasien alergi dengan penisilin, dapat diganti dengan eritromisin.(Alan,at.al.,2001).

3.2.6 Komplikasi
Komplikasi infeksi GABHS dapat berupa demam reumatik, dan abses peritonsiler.
Abses peritonsiler terjadi :
Komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena bakteri
yaitu : sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia.
Kekambuhan biasanya terjadi pada pasaien dengan pengobatan yang tidak
tuntas pada pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru.
Demam rheumatic akut(3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal
glomerulonephritis, dan toxic shock syndrome, peritonsiler abses.
Komplikasi infeks mononukleus meliputi: ruptur lien, hepatitis, Guillain Barr
syndrome, encephalitis, anemia hemolitik, myocarditis, B-cell lymphoma, dan
karsinoma nasofaring (Kazzi,at.al.,2006).

3.2. 7. Penatalaksanaan
a. Untuk Faringitis Akut
Jika di duga atau ditunjukkan adanya penyebab bakterial, pengobatan dapat
mencakup pemberian Agens antimicrobial untuk streptokukus group A, penisilin
merupakan obat pilihan. Untuk pasien alergi terhadap penisilin atau yang
mempunyai organisme resisten terhadap eritromisin digunakan sefalosporin.
Antibiotik di berikan selama sedikitnya 10 hari untuk menghilangkan streptokokus
group A dari orofaring.
Diet cair atau lunak diberikan selama tahap akut penyakit, tergantung pada nafsu
makan pasien dan tingkat rasa tidak nyaman yang terjadi bersama proses menelan.
Kadang tenggorok sakit sehingga cairan tidak dapat di minum dalam jumlah yang
cukup dengan mulut. Pada kondisi yang parah, cairan diberikan secara intravena.
Sebaliknya, pasien didorong untuk memperbanyak minum sedapat yang ia lakukan
dengan minimal 2 sampai 3 liter sehari.
b. Untuk Faringitis Kronik
Didasarkan pada penghitungan gejala, menghindari pemajanan terhadap iritan,
dan memperbaiki setiap gangguan saluran napas atas, paru atau jantung yang
mungkin mengakibatkan terhadap batuk kronik. Kongesti nasal dapat dihilangkan
dengan sprei nasal / obat-obatan yang mengandung epinefrin sulfat (Afrin) atau
fenilefrin hidroklorida (Neo-Synphrine). Jika terdapat riwayat alergi, salah satu
medikasi dekongestan antihistamin seperti Drixarol/ Dimentapp, diminum setiap
4-6 jam. Malaise secara efektif dapat dikontrol dengan aspirin / asetaminofen.
c. Pada Anak-anak
Bila anak menjadi gelisah, rewel, sulit tidur, lemah atau lesu karena gejala radang
tenggorokan ini, kita dapat membantu meredakan gejalanya. Tidak harus selalu
dengan obat, mungkin dengan tindakan yang mudah dan sederhana bisa
membantu menenangkan anak.
1). Nyeri menelan :
Banyak minum air hangat, obat kumur, lozenges, paracetamol untuk
meredakan nyeri.
2). Demam
Banyak minum, paracetamol, kompres hangat atau seka tubuh dengan air
hangat.
3). Hidung tersumbat dan berair (meler)
Banyak minum hangat, anak diuap dengan baskom air hangat, tetes hidung
NaCl. Dalam beberapa kasus, radang tenggorokan karena virus baru sembuh
setelah 2 minggu. Yang diperlukan adalah kesabaran dan pengawasan orang
tua terhadap gejala anak. Bawa anak ke dokter bila gejala terlihat makin berat;
anak tampak sulit bernapas, kebiruan pada bibir atau kuku, anak tampak
gelisah atau justru sangat mengantuk, atau anak batuk/demam
berkepanjangan. Karena hampir seluruh kasus disebabkan oleh virus, maka
antibiotik biasanya tidak dipergunakan. Infeksi oleh virus (misalnya batuk-pilek,
radang tenggorokan) sama sekali tidak bisa disembuhkan dengan antibiotik.
Infeksi virus akan sembuh dengan sendirinya, tubuh akan melawan dengan
sistem kekebalan tubuh. Penggunaan antibiotik yang berlebihan justru akan
merugikan karena akan membuat menjadi resisten dan antibiotik menjadi tidak
mempan untuk melawan infeksi saat dibutuhkan, terutama pada anak-anak.
.























BAB 4
HASIL


4.1 Monitoring dan Evaluasi Konsumsi Energi dan Zat Gizi
4.1.1 Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Gizi
Monitoring dan evaluasi intake dilakukan dengan 24-h recall sehari
sebelum pasien MRS (21 April 2014) dan dilanjutkan hingga 3 hari saat pasien
di RS (22-24 April 2014).Jumlah asupan didiapat dengan melakukan interview
kepada ibu pasien dan juga terkadang melakukan pengalaman langsung pada
plate waste. Hasil yang didapat kemudian dianalisa dengan menggunakan
nutrisurvey. Hasil yang didapat dibandingkan dengan kebutuhan pasien sehari
untuk mendapatkan tingkat konsumsi pasien. Berdasarkan Widya Karya Pangan
dan Gizi (2004), terdapat beberapa kategori persentase kebutuhan individu,
yaitu :

% Konsumsi Zat Gizi Kategori
>120% kebutuhan Berlebih
90 119 % Normal
80-90% Defisit Ringan
70- 79% Defisit Sedang
< 70% Defisit Berat









Tingkat konsumsi energi dan zat gizi pasien dapat dilihat di tabel 4.1.

Tabel 4.1 Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Gizi
Energi dan
Zat Gizi
Kebutuhan
Recall
(22/04/14)
Monev 1
(23/04/14)
Monev 2
(24/04/14)
Monev 3
(25/04/14)
Intak
e
%
Intak
e
%
Intak
e
% Intake %
Energi (kkal) 1000 151 521,9 733,0 899,4
Protein (gr) 20 3,2 11,2 15,2 20,2
Lemak (gr) 22,2 6,2 24,5 36,0 43,6
KH (gram) 180 20,9 65,6 90,4 110,5
Cairan (cc) 1000 200 1100 1200 1400

4.1.1.1 Asupan Energi
Hasil recall intake energi pasien sebelum dan setelah intervensi
disajikan pada gambar 4.1 di bawah.





Gambar 4.1 Grafik monitoring konsumsi energi dibandingkan kebutuhan


4.1.1.2 Asupan Protein
Hasil recall intake protein pasien sebelum dan setelah intervensi
disajikan pada gambar 4.2 di bawah.






recall monev 1 movev 2 monev 3
kebutuhan 1000 1000 1000 1000
intake 151 521.9 733 899.4
0
200
400
600
800
1000
1200
A
x
i
s

T
i
t
l
e

Chart Title

Gambar 4.2 Grafik monitoring konsumsi protein dibandingkan kebutuhan

Pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa intake protein pasien terus
mengalami peningkatan meskipun belum mencapai normal. Hal ini
disebabkan pasien mulai mau mengonsumsi lauk yang diberikan rumah
sakit. Selain itu keluarga pasien memberikan susu sebagai tambahan
sumber protein.

4.1.1.3 Asupan Lemak
Hasil recall intake lemak pasien sebelum dan setelah intervensi
disajikan pada gambar 4.3 di bawah.
recall monev 1 monev 2 monev 3
kebutuhan 20 20 20 20
Series 2 3.2 11.2 15.2 20.2
0
5
10
15
20
25


Gambar 4.3 Grafik monitoring konsumsi lemak dibandingkan kebutuhan

Dari gambar 4.3 dapat dilihat bahwa intake lemak pasien mengalami
peningkatan, meskipun masih jauh dari normal. Hal ini disebabkan pasien
hanya makan sedikit lauk, dan pengolahannya tidak pernah digoreng.

4.1.1.4 Asupan Karbohidrat
Hasil recall intake karbohidrat pasien sebelum dan setelah intervensi
disajikan pada gambar 4.4 di bawah.

recall monev 1 m0nev 2 monev 3
kebutuhan 22.2 22.2 22.2 22.2
intake 6.2 24.5 36 43.6
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50

Gambar 4.4 Grafik konsumsi karbohidrat dibandingkan kebutuhan

Dari grafik 4.4 dapat dilihat bahwa intake karbohidrat pasien
mengalami peningkatan, namun belum mencapai normal. Ini disebabkan
pasien hanya mau makan sedikit nasi yang disediakan rumah sakit, dan
sedikit makanan dari luar rumah sakit.

4.1.1.5 Asupan Cairan
Hasil recall intake cairan pasien sebelum dan setelah intervensi
disajikan pada gambar 4.5 di bawah.
recall monev 1 monev 2 monev 3
kebutuhan 180 180 180 180
intake 20.9 65.6 90.4 110.5
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200


Gambar 4.5 Grafik konsumsi Cairan dibandingkan kebutuhan

Dari gambar 4.5 dapat dilihat bahwa selama di rumah sakit intake
Natrium pasien di bawah ambang batas sehingga tergolong baik. Natrium
yang disajikan pada grafik adalah natrium yang terdapat pada bahan
makanan, dan belum dilakukan perhitungan terhadap penambahan garam
atau kecap pada diet pasien.

4.2 Monitoring dan Evaluasi Antropometri Fisik
Berikut merupakan tabel hasil pemeriksaan antropometri sebelum
dan setelah intervensi.
Tabel 4.2 Hasil pengukuran Antropometri

Pasien Masuk
Rumah sakit
Pasien Pulang
Rumah sakit
BB 10 kg 10 kg

Karena pengamatan dilakukan dalam waktu yang singkat, maka tidak
terjadi perubahan pada hasil pengukuran antropometri pasien.
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
recall monev 1 monev 2 monev 3
kebutuhan
intake

4.3 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Fisik Klinis
Tabel 4.3 Monev Hasil Pemeriksaan Fisik Klinis
Pemeriksaan Pra-
intervensi

Monev 1

Monev 2

Monev 3

Keadaan
Umum
CM CM CM CM
Nadi 110 104 104 108
Suhu 37,6 37,5 36 36
Respiratory
rate
22 22 24 30
Nyeri perut - - - -
demam - - - -
mual + + + -

4.4 Monitoring dan Evaluasi Hasil Edukasi
Monitoring dan evaluasi hasil edukasi gizi dilakukan dengan
menggunakan pre-test dan post-test lisan, wawancara dan observasi untuk
mengetahui perubahan pengetahuan dan perilaku pasien.






Tabel 4.4 Monev Hasil Edukasi (24 April 2014)
Materi Target
Sebelum
intervensi
Setelah
intervensi
Penjelasan mengenai diet
untuk anak yang seimbang
dan sehat
Pasien mengetahui pentingnya
pengaturan diet untuk penyakitnya -
Bahan makanan yang
dianjurkan, dibatasi dan
dihindari untuk penyakit
pasien
Pasien mengetahui bahan
makanan yang dianjurkan, dibatasi
dan dihindari untuk penyakit
pasien
-
Pasien membatasi bahan
makanan
-
Pasien membatasi bahan
makanan yang merangsang
-
Pasien makan utama 3 kali
dengan makanan selingan 3 kali
sehari
-


4.5 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Penunjang (jika ada)
Tidak ada hasil pemeriksaan penunjang hingga monitoring dan
evaluasi selesai dilakukan.



















BAB 5
PEMBAHASAN


Pasien membutuhkan zat gizi yang seimbang untuk dikonsumsi. Makanan
dalam upaya penyembuhan penyakit berfungsi sebagai salah satu bentuk terapi,
penunjang pengobatan atau tindakan medis. Pemberian makanan pada orang sakit
harus disesuaikan dengan keadaan penyakitnya dengan memperhatikan konsistensi
makanan dan kandungan gizinya agar orang sakit memperoleh zat gizi sesuai
kebutuhannya. Makanan merupakan suatu bentuk terapi yang bertujuan untuk
memelihara status gizi secara normal atau optimal walaupun terjadi peningkatan
kebutuhan gizi akibat penyakit yang dideritanya. Disamping itu untuk memperbaiki
terjadinya defisiensi zat gizi serta kelebihan dan kekurangan berat badan pasien.
(Rahmadani,2011).
Intake oral yang diterima pasien An. Z setelah masuk rumah sakit pertama
kali diberikan TETP berupa bubur di siang hari. Intake kebutuhan pasien selama 3
hari selalu lebih rendah daripada kaebutuhan dan masuk kategori defisit berat dan
defisit ringan disebabkan oleh kondisi pasien yang mengalami penurunan nafsu
makan. Penurunan nafsu makan pada anak yang mengalami suspect difteri +
faringitis disebabkan karena terjadi nyeri tenggorok, sulit menelan dan mual yang
terjadi pada anak tersebut.
Intake karbohidrat pada pasien mengalami peningkatan terus- menerus,
intake terendah karbohidrat pada pasien pada saat bentuk makanan dalam bentuk
bubur nasi , karena pasien tidak mau mengkonsumsi bubur dan akhirnya di gantikan
dengan bubur sumsum yang mana pasien lebih suka mengkonsumsi bubur
sumsum daripada bubur nasi.
Intake protein pada pasien mengalami peningkatan terus menerus, sebagian
besar disumbang dari susu yang di konsumsi oleh pasien yaitu susu bebelac yang
sudah sering dikonsumsi oleh pasien sebelumnya, dan makanan yang diberikan dari
rumah sakit hanya dikonsumsi bubur sumsum , sonde dan kuah sayurnya saja ,
untuk lauk hewani dan lauk nabati tidak pernah habis dan jarang di konsumsi oleh
pasien.
Intake lemak pada pasein mengalami peningkatan terus, dan bahkan
melebihi kebutuhan dari pasien karena pasien hanya banyak mengkonsumsi susu
yang diberikan ibunya sedangkan makanan dari rumah sakit di muntahkan kembali
oleh pasien.
Intake cairan








5.2 Edukasi
Proses konseling gizi yang dilakukan saat pasien dirawat di rumah sakit, bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan dan penambahan pasien dan keluarga pasien
dalam hal terkait gizi dan makanan yang dibuutuhkan pasien utnuk meningkatkan
intake agar dapat membantu memperbaiki atau memulihkan kondisi pasien.
Edukasi pada keluarga pasien dilakukan bertahab. Pada hari pertama edukasi
materi yang diberikan mengenai pentingnya makanan dalam mempercepat proses
penyembuhan pasien. Pada intervensi yang dilakuikan yaitu dukungan dan motivasi
kepada ibu pasien dan keluarga pasien untuk mau tetap memberikan anak makanan
pelan pelan dengan sabar, meski si anak tidak berselera makan. Pada hari kedua,
intervensi yang diberikan ditambahkan materi mengenai pentingnya menghabiskan
makanan dalam mempercepat proses penyembuhan Pada hari ketiga materi
edukasi ditambahkan kembali dilakukan dan pada edukasi ini ditambahkan kembali
mengenai peran makanan dalam tumbuh kembang anak.
Pemberian materi mengenai pentingnya pengaturan pemilihan jajanan sehat pada
anak disebabkan peningkatan nafsu makan terjadi pada anak batita, mereka akan
mengingkan makanan yang ada di sekitarnya dan teman sepermainannya
Hasil evaluasi yang dilakukan setelah proses konseling selesai, menunjukan bahwa
tingkat pemahaman keluarga pasien terhadap materi yang disampaikan meningkat.
Hasil yang dicapai ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pasien
dalam hal gizi dan makanannya, sehingga kondisi pasien lebih cepat membaik.




BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan
Diagnosa medis pasien adalah efusi pleura dan gastritis akut
Status gizi pasien termasuk gizi kurang
Diagnosa gizi pasien adalah:
NI-2.1 Ketidakcukupan intake oral, dihubungkan dengan kurangnya nafsu makan
akibat sesak nafas dan nyeri perut, ditandai dengan recall intake energi defisit
berat (22%), intake protein defisit berat (19,1%), intake lemak defisit berat
(15,9%), intake karbohidrat defisit berat (27,3%)
NI-5.1 Peningkatan kebutuhan zat gizi tertentu (energi dan protein), dihubungkan
dengan pasien mengalami infeksi dan perdarahan, ditandai dengan
peningkatan kadar leukosit (10.9000) yang menandakan pasien mengalami
infeksi, penurunan kadar trombosit (148.000) yang menandakan bahwa terjadi
perdarahan, kadar PCV atau hematokrit rendah (34,8%) menandakan pasien
mengalami anemia akibat adanya perdarahan
NI-5.2 Penurunan kebutuhan zat gizi tertentu (karbohidrat), dihubungkan dengan
sesak nafas, ditandai dengan respiratory rate tinggi (22 kali/menit) dan adanya
efusi pleura
NI-5.2 Penurunan kebutuhan zat gizi tertentu (natrium), dihubungkan dengan
hipertensi, ditandai dengan tekanan darah pasien 170/110 mmHg (hipertensi
stage 3), adanya riwayat hipertensi pada pasien
NB-1.1 Kurangnya pengetahuan terkait gizi dan makanan, dihubungkan dengan
kurangnya informasi terkait gizi, ditandai dengan pasien belum pernah
mendapat edukasi dan kebiasaan makan pasien yang tidak teratur (2 3
kali/hari), sering mengonsumsi makanan yang digoreng, menggunakan
penyedap rasa dan kecap

Monitoring dan Evaluasi yang dilakukan adalah
FI-1.1.1 Asupan energi total
FI-5.1.1 Asupan lemak total
FI-5.2.1 Asupan protein total
FI-5.3.1 Asupan karbohidrat total
FI-6.1 Intake vitamin mineral (natrium)
BE-1.2 Pengetahuan terkait gizi
S-3.1.3 Fungsi gastrointestinal (mual, muntah, fungsi saluran pencernaan)
S-3.1.7 Tanda vital (tekanan darah, respiratory rate)


6.2 Saran
Motivasi dan dukungan keluarga perlu tetap diberikan untuk menjaga
keberlanjutan intervensi

Anda mungkin juga menyukai