Anda di halaman 1dari 2

DINAMIKA DEMOKRASI DALAM

PEMERINTAHAN DESA
Oleh Wayan Gede Suacana
Pergantian kekuasaan pemerintahan Orde Baru oleh pemerintahan reformasi juga berimplikasi
pada perubahan kehidupan demokrasi di desa. Setidaknya hal itu tampak dari semangat adaptasi
atas demokrasi yang cukup besar mulai tahun 1999. Bisa disimak kehadiran Badan Perwakilan
Desa (BPD-1) dan kemudian menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2), yang bertindak
sebagai badan legislatif baru di desa, menggantikan peran Lembaga Musyawarah Desa (LMD)
sebelumnya yang dianggap bersifat monolitik dan lebih berorientasi ke atas atau supradesa.
Praktek demokrasi desa di bawah UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
memberikan landasan yang kuat bagi tegak kokohnya kekuasaan sentralistik Orde Baru bagi
pengaturan pemerintahan di tingkat desa. Karakter evolusi kehidupan demokrasi kebanyakan
masih bersifat seragam, tidak banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. Begitu pula
istilah, struktur dan mekanisme pemerintahan desa telah dibakukan. Namun, ketika kekuasan
otoritarian Orde Baru berakhir, maka bermunculanlah semangat anti sentralisme diiringi dengan
semakin menguatnya isu federalisme. Kebijakan depolitisasi yang semula diterapkan hingga ke
tingkat desa diantaranya dengan adanya politik massa mengambang (floating mass) guna
mengantisipasi dampak sosial politik lalu menjadi jauh lebih longgar.
Perubahan dalam kehidupan politik yang sangat mendasar tersebut juga akibat adanya
pergeseran paradigmatik politik pemerintahan desa. Pergeseran itu terlihat dari dikeluarkannya
UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU Nomor 5 tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan sekaligus juga UU Nomor 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Perbedaan prinsip dalam demokrasi desa dengan perubahan
regulasi ini diantaranya penggantian LMD menjadi BPD-1 yang bersifat lebih liberal.
Hubungan Subordinatif
Kedudukan Kepala Desa menjadi lebih berorientasi ke bawah. Bupati/ Walikota hanya
mengesahkan (tidak mengangkat lagi) Kepala Desa yang telah dipilih langsung oleh rakyat.
Jabatan Kepala Desa maksimal 10 tahun atau dua kali masa jabatan, namun Pemerintah
Kabupaten dapat mengatur sendiri lamanya masa jabatan tersebut sesuai kondisi sosial budaya
setempat. Tampak adanya kondisi yang lebih fleksibel dalam hal masa jabatan Kepala Desa
dibandingkan dengan era sebelumnya yang diseragamkan maksimal 16 tahun (2 kali masa
jabatan) untuk semua desa.
Nuansa lebih demokratis juga tampak dalam BPD-1. Dalam era ini, seseorang bisa menjadi
anggota BPD-1 berdasarkan hasil pemilihan, bukan dengan penunjukkan sebagaimana yang
dilakukan dalam LMD. Begitu pula pimpinan BPD-1 dipilih dari dan oleh anggota BPD-1. Pada
era sebelumnya Kepala Desa dan Sekretaris Desa secara ex oficio menjadi Ketua dan Sekretaris
LMD. BPD-1 memiliki fungsi legislasi, pengawasan (era sebelumnya tidak ada) dan budgeter.
Namun, yang paling membuat fungsi BPD-1 sangat kuat adalah atas nama rakyat dapat meminta
pertanggungjawaban kepala desa, sesuatu yang tidak pernah dimiliki sebelumnya. Dengan
demikian, bisa dikatakan Kepala Desa berkedudukan sebagai subordinasi, karena tunduk dan
bertanggung jawab kepada BPD-1.
Apabila dicermati dalam era ini telah terjadi dinamika dalam kehidupan demokrasi desa.
Pertama, adanya keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang
disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warganya. Kedua, penghargaan
terhadap keanekaragaman dan otonomi asli dengan membuka peluang munculnya istilah lain
untuk nama institusi dan jabatan desa seperti di Bali: keprebekelan untuk desa dinas, perbekel
untuk kepala desa, banjar dinas untuk dusun, klian banjar dinas untuk kepala dusun. Ketiga,
kehadiran BPD-1 yang sangat demokratis memungkinkan terjadinya penyebaran kekuasaan di
tingkat desa dari kekuasaan monolitik di tangan kepala desa ke relasi kuasa yang lebih
berorientasi pada rakyat
Pembatasan Hak
Namun, penerapan demokrasi di/ dari bawah itu tidak berlangsung lama. Seiring dengan
pemberlakuan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 72 tahun
2007 tentang Desa, kondisi legislative heavy tersebut dibatasi. BPD-1 diganti menjadi BPD-2
yang berfungsi (hanya) menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD-2 ini ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat
untuk masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jadi,
masa jabatannya maksimal 12 tahun, lebih lama 2 tahun dari era sebelumnya.
Namun, hubungan Kepala Desa dengan BPD-2 kembali diserahkan serta diatur lebih jauh
dalam Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dalam kenyataannya hubungan yang terjadi
adalah sebatas koordinasi sehingga antara Kepala Desa dengan BPD-2 berkedudukan sejajar.
Fungsi BPD-1 yang sangat kuat sebelumnya yakni atas nama rakyat dapat meminta
pertanggungjawaban Kepala Desa dihilangkan atau tidak dimiliki lagi. Bila sebelumnya Kepala
Desa berkedudukan sebagai subordinasi BPD-1, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada
BPD-1, sekarang hubungan keduanya menjadi mitra sejajar dan sebatas koordinatif.
Tampak ada dinamika demokrasi dalam sistem pemerintahan desa khususnya dalam hal
kedudukan, tugas pokok dan fungsi Lembaga Perwakilan Desa. Dari sentralistis-monolitik
(Lembaga Musyawarah Desa: LMD-UU No. 5/ 1979) menjadi liberal-demokratis (Badan
Perwakilan Desa: BPD-1-UU No. 22/ 1999) dan akhirnya menjadi demokratis-prosedural (
Badan Permusyawaratan Desa: BPD-2-UU No. 32/ 2004 dan PP No. 72/ 2007)

Anda mungkin juga menyukai