Anda di halaman 1dari 40

Bukan Si Miskin

Senin, 19 Mei 2014



Presiden yang menolak tinggal di istana dan memilih hidup di ladang dan menempati
rumahnya sendiri di lorong tak beraspal dan sehari-hari hanya dijaga dua pengawal di
kelokan jalan dan ditemani seekor anjing berkaki tiga yang setia dan kemana-mana
mengendarai sebuah VW kodok tahun 1987 berwarna kusam: ia bukan tokoh sebuah dongeng
Amerika Latin. Ia benar ada, di abad ke-21: Jos Mujica, Presiden Uruguay.
Pada usia 78 tahun, ia, yang dipanggil "Pepe", seorang kakek rombeng, dengan sepatu usang
dan baju acak-acakan. Ia bergaji 20 ribu dolar, tapi 90 persen dari uang itu ia berikan untuk
sumbangan buat orang-orang yang kekurangan. Sisanya praktis senilai pendapatan rata-rata
orang Uruguay. Bersama istrinya, Luca Topolansky, yang juga seorang senator, ia tetap
mengolah ladangnya yang ditanami kembang krisan, tanpa pembantu.
Ia tak peduli bila orang menyebutnya pak tua eksentrik. Ia tak mau disebut sebagai "presiden
paling miskin di dunia". Ia punya pengertian sendiri tentang "miskin". Orang yang paling
miskin, demikian katanya, "adalah orang yang punya banyak keinginan."
Mungkin ia terdengar seperti seorang Buddhis yang menganggap hasrat dan lobha (atau
"loba" dalam bahasa Indonesia) adalah pangkal penderitaan. Tapi orang Marxis (atau bekas
Marxis) ini tak menginginkan pencerahan. Mungkin ia terdengar seperti seorang pengikut
Gandhi yang melaksanakan "hidup di tingkat bawah, tapi pikiran di tingkat tinggi". Tapi Jos
Mujica bagi saya lebih menakjubkan ketimbang Gandhi.
Gandhi tak pernah duduk di takhta; Mujica justru persis berada di situ. Dengan kata lain, ia
berada di ruang kekuasaan dan pelbagai godaannya, sementara Gandhi tidak. Gandhi, yang di
masa mudanya seorang advokat yang hidup cukup, memilih kebersahajaan yang ekstrem
sebagai pernyataan politik dan spiritual. Mujica tak demikian. Ia tak mengubah dirinya.
"Gaya hidup saya adalah konsekuensi dari luka-luka saya," katanya kepada Jonathan Watts
dari The Guardian, akhir tahun lalu. "Saya anak sejarah saya sendiri."
Luka dalam sejarah itu cukup banyak; juga secara fisik. Sejak awal 1960-an ia bergabung
dengan gerilyawan Tupamaros yang merampok, menculik, dan mendapatkan uang tebusan
untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang melarat. Pada 1970 ia ditangkap buat pertama
kalinya. Ia melarikan diri dari penjara Punta Carretas dengan menggedor pintu bui. Sejak itu
ia beberapa kali kena tembak: ada enam luka di tubuhnya. Pada 1972 ia ditangkap dan
disekap selama 14 tahun. Dua tahun di antaranya ia dikungkung di dasar sumur, tempat ia,
agar tak jadi gila, berbincang dengan kodok dan cengkerik.
Mungkin itu sebabnya ia berkata, "Bertahun-tahun saya cukup bahagia dengan hanya
memiliki sepotong kasur." Dan kini rumahnya pun cuma punya satu kamar tidur. Tak perlu
lebih; tak ada orang lain yang tinggal. Presiden dan Ibu Negara Uruguay mencuci pakaian
mereka sendiri. Orang bisa melihatnya dijemur di gantungan di halaman.
Pepe tak menganggap kesederhanaan itu harus diajarkan kepada orang lain. "Kalau saya
minta orang lain hidup seperti ini, mereka akan membunuh saya," katanya. Tapi ia sadar,
seperti Gandhi: bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi yang
hanya satu ini tak akan memadaidan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Ia pernah
berkata, "Cukupkah sumber kekayaan planet ini jika sebagian besar orang hidup dengan
konsumsi setingkat penghuni negeri kaya?"
Dalam hal itu, cara hidupnya adalah perjuangan gerilya yang panjang melawan
kecenderungan konsumtifketika Pasar demikian berkuasa dan manusia seperti kerbau
dicocok hidungnya. Ia tetap melihat mala yang datang dari kapitalisme, tapi ia bukan seorang
Marxis lagi ketika tak membayangkan sebuah akhir sejarah di akhir revolusi. "Dunia
selamanya akan memerlukan revolusi," katanya. Revolusi tak berarti harus dengan kekerasan.
Ajaran Konghucu dan Kristen itu revolusioner, kata bekas gerilyawan bersenjata ini.
Tak aneh. Hidup dalam praxis bertahun-tahun, Pepe tak bisa setia mati kepada doktrin.
Dalam lakunya selalu ada semangat pembebasan, tapi ia gabungkan itu dengan tujuan praktis.
Ia undang modal asing, dengan tujuan menumbuhkan ekonomi, agar pemerataan tak berarti
pemelaratan. Ia bebaskan jual-beli mariyuana, dengan tujuan agar kartel narkoba tak bisa
memonopoli. Dan ia menjalani hidup yang begitu bersahaja, dengan tujuan ia (dan mudah-
mudahan manusia) bisa bebas dari benda-benda.
Di situ ia menghidupkan kembali ethos yang diajarkan agama-agama: hidup dirayakan, tapi
nafsu tamak diharamkan. Bedanya: Pepe tak percaya Tuhan. Ia hanya percaya ada rasa
keadilan dan kesetaraan dalam sejarah, dan manusia berbuat baik ke arah itu.

Goenawan Mohamad




Galau

Sabtu, 17 Mei 2014
Putu Setia, @mpujayaprema

Hidangan makan malam di rumah Romo Imam sangat beragam. Istrinya jago masak.
Sebelum mengambil piring, kami biasa bergurau. "Bu, saya lagi tak ada nafsu makan," kata
saya. "Sariawan?" Saya menggeleng: "Bukan, tak enak makan sebelum Jokowi
mengumumkan calon wakil presidennya."
Bu Imam tertawa. "Sama," sahutnya. "Kemarin ibu hampir luka ketika memotong cabe.
Pikiran menerawang, kok Demokrat begitu lambat bergerak. Mau merapat ke capres yang
sudah ada atau membuat poros baru? Pemenang konvensi pun diumumkan dengan setengah
hati."
Saya menunggu reaksi Romo Imam. Tapi Romo seperti tuli. Saya pun menggoda Bu Imam
lagi. "Ibu tak memikirkan Golkar dengan capresnya ARB?" Lagi-lagi Bu Imam tertawa:
"Golkar tak laku. Pemenang kedua kok miskin figur. Sekarang pasrah bongkokan mau
merapat ke Megawati. ARB lagi galau, tapi SBY lebih galau lagi."
"Apa kabar Hatta Rajasa?" tiba-tiba Romo Imam buka suara. Saya menyahut: "Sudah pamit
mundur sebagai menteri. Hatta Rajasa sudah dinyatakan sebagai cawapres Prabowo. Tapi,
ketika PPP dan PKS mempersoalkan, pimpinan Gerindra segera berdalih deklarasi belum
resmi. Lalu, PPP mengajukan cawapres ketua umumnya."
Romo mengambil piring, lalu berkata: "Hatta Rajasa patuh pada aturan. PP 18 Tahun 2013
menyebutkan menteri dan pejabat setingkat menteri harus mundur paling lambat seminggu
sebelum didaftarkan resmi sebagai capres atau cawapres. Jika Hatta Rajasa dibatalkan
sebagai cawapres, itu namanya sudah jatuh tertimpa tangga."
"Katanya koalisi tanpa syarat. Terserah yang dipilih oleh Jokowi maupun Prabowo," saya
menggugat. Ini komentar Romo: "Masih percaya omongan begitu? Tak ada dukungan yang
gratis. Kalau betul tanpa syarat, kenapa Hatta Rajasa dipersoalkan? Kenapa tiba-tiba ada
tokoh PKB yang mengusulkan agar Jokowi memilih Muhaimin sebagai cawapres? Kenapa
pimpinan NU bilang NU hanya mendukung Jokowi jika wakilnya Mahfud Md. atau Jusuf
Kalla? Ibarat promosi berhadiah, syarat dan ketentuan berlaku."
Bu Imam mengambil piring sambil nyerocos: "Saya sih tetap penasaran sama Demokrat.
Dahlan Iskan diumumkan sebagai pemenang, terus dapat apa?" Romo langsung menyambar:
"Dahlan sudah masuk kotak. Dia menteri seperti Hatta Rajasa. Kalau mau jadi capres atau
cawapres, harus mundur paling lambat seminggu sebelum didaftarkan resmi, begitu bunyi PP
18/2013. Pendaftaran terakhir 20 Mei, ya, tak keburu. Entah kenapa pengumuman konvensi
sengaja mepet, mungkin tahu kalau Dahlan yang belakangan tak dikehendaki, bisa menang.
Tapi alasan SBY masuk akal, Demokrat tak bisa mengusung capres, mau koalisi dengan
siapa?"
"Golkar yang malam ini Rapimnas," kata saya, memotong. Romo tertawa. "Golkar ini partai
yang selalu ingin berkuasa atau gabung dengan kekuasaan. Kalau dia lihat kemungkinan
menang tak ada, dia pilih merapat ke koalisi yang diyakini menang. Lagi pula, koalisi Golkar
dan Demokrat mau mengusung siapa? Figur yang populer sudah dikunci oleh Jokowi sebagai
kandidat cawapres. Mahfud Md., Jusuf Kalla, Abraham Samad pasti lebih baik menunggu
takdir ketimbang tertarik pada tawaran Demokrat. Dan Megawati pinter, gembok kunci baru
dibuka beberapa menit sebelum didaftarkan."
"Siapa tahu, demi harga diri, ARB tetap maju dan Demokrat ambil salah satu peserta
konvensi untuk cawapres. Karena Dahlan Iskan masuk kotak, ya, Pramono Edhie, ipar SBY.
Kedua partai Rapimnas hari ini, kita tunggu saja," kata saya. Romo Imam nyeletuk: "Kalau
begitu, namanya koalisi galau. ARB-Pramono hanya membuat pemilu presiden jadi boros."
















Strategi Militer dalam Politik

Senin, 19 Mei 2014
Seno Gumira Ajidarma, Wartawan


Terhadap strategi militer, telah dilakukan banyak adaptasi, agar strategi itu dapat diterapkan
dalam pertempuran di dunia sipil. Dengan kata lain, selain untuk bisnis dan manajemen,
strategi militer dapat diberlakukan dalam persaingan politik. Dari khazanah klasik, Seni
Perang karya Sun Tzu (544-496 SM) dan Buku Lima Cincin karya Miyamoto Musashi
(1584-1645) adalah yang paling populer, sehingga tergolong pembunuh waktu luang yang
banyak dijual di bandara. Tidak kurang dari pendiri pabrik kelontong elektronik Panasonic,
Konosuke Matsushita (1894-1989), mencatat: "Segenap anggota staf kami wajib membaca
Seni Perang karya Suhu Sun dan menerapkan ajarannya secara luwes, sehingga perusahaan
saya akan berkembang." (Minford, 2008: ix).

Sebaliknya, Mao Zedong (1893-1976), yang bersama Tentara Merah telah melakukan long
march selama setahun (1934-1935) dari Ruijin ke Xi'an, maupun berbagai pertempuran
melawan tentara fasis Jepang dan nasionalis Kuomintang, ternyata sampai 1936 belum
pernah membaca Sun Tzu-kecuali sejumlah kutipan dalam "Catatan-catatan dalam Kelas"
(Jikun, 1993: 4). Ini menunjukkan bahwa, bagi Mao, yang sebetulnya adalah pemimpin dan
ideolog partai, persoalannya bukanlah perbedaan militer dengan sipil, melainkan bahwa
dalam kedua ranah itu sama-sama diperlukan strategi. Meski disebut sebagai jenius strategi
perang, sebetulnya yang bekerja adalah imajinasi tentang strategi berdasarkan bakat politik
Mao.

Dengan begitu, strategi perang militer bisa diterapkan dalam politik, dan sebaliknya kiat-kiat
politik yang rumit bukan tak berguna dalam pemenangan perang. Dalam berbagai wacana
operasi militer, sering terdengar istilah "pendekatan teritorial" yang sangat politis, ketika
pihak militer dituntut untuk "bertempur" dengan memenangkan keberpihakan sipil di wilayah
yang dikuasainya. Bahkan Sun Tzu pun berpikir bahwa perang adalah kemungkinan terakhir,
sehingga, meskipun berjudul Seni Perang, konteks pertempurannya tak selalu dalam
pemahaman militer menghadapi medan.

Postulat Sun Tzu terkenal: "Bertempur seratus kali dan mendapat seratus kemenangan
bukanlah yang terbaik dari yang terbaik. Menundukkan lawan tanpa sekalipun bertempur
adalah yang terbaik dari yang terbaik." Artinya, betapa pun politik itu merupakan alternatif
yang lebih baik daripada perang. Ini juga mengarah kepada pengertian bahwa dunia politik
bisa menjadi penyaluran bakat para ahli siasat, ahli taktik, dan strategi militer. Baik dalam
keadaan para ahli ini sudah pensiun maupun karena kasus tertentu lantas tidak menjadi
anggota militer lagi. Keanggotaan terbatasi aturan, tapi militerisme jelas tak akan lepas hanya
karena berstatus sipil. Bukan tak mungkin, politik identitasnya di dunia politik justru
mengandalkan militerisme sebagai ideologi!

Masalahnya, benarkah alih wahana dari strategi militer menuju strategi politik ini bisa
menghilangkan ciri kekerasan yang merupakan unikum militer? Dalam hal orang sipil yang
terpaksa berperang seperti Mao, dikatakannya, "Kami tidak membawa satu pun buku ketika
kami bertempur. Yang kami lakukan adalah menganalisis situasi pertarungan antara musuh
dan diri kami, (yakni) kondisi aktualnya." (ibidem). Meskipun buku yang dimaksud Mao itu
adalah buku-buku siasat perang dari zaman klasik Tiongkok, misalnya Kisah Tiga Negara
(Luo Guanzhong, abad ke-14), tetapi yang harus dicatat: Mao tidak membawa-bawa
kesipilannya dalam ranah militer. Mungkinkah jika posisinya dibalik akan berlangsung
kesetaraan serupa, bahwa dalam ranah sipil para praktisi siasat militer melucuti diri dari
kemiliteran, dalam pengertian melepas faktor kekerasannya?

Perkara ini merupakan kasus adaptasi atau alih wahana. Dengan meminjam kasus alih
wahana dari teks ke film dan sebaliknya, dapat diacu bahwa secara teoretis terdapat tiga garis
besar tipe-tipe alih wahana, yakni (a) transposisi (nyaris tanpa penyesuaian), (b) commentary
(keasliannya dinegosiasikan), dan (c) analogi (terleburkan dalam wahana tujuan, sampai tak
dikenali meski tetap terhubungkan) (Cartmell & Whelehan, 1999: 8). Adapun alih wahana itu
sendiri merupakan proses hibrida, yang berlangsung dengan berbagai faktor determinan,
seperti (1) keaslian, (2) kesetiaan, dan (3) faktor sosial historis (ketiganya terhubungkan
kepada nostalgia sejarah), serta (4) pemujaan dan (5) ideologi (keduanya terhubungkan
kepada makna, kesenangan, dan kebutuhan akan identitas sosial).

Dalam penerapan strategi militer para eks-jenderal yang "mendadak dangdut" (baca:
mendadak jadi politikus) di dunia politik, para pengamat dapat membaca dan memperkirakan
strategi politiknya berdasarkan konstruksi teoretik tersebut. Akan dapat diperbincangkan,
apakah dalam strategi politik itu militerismenya masih dominan, bernegosiasi dengan cara-
cara sipil, atau melebur sama sekali.





Putin dan Elektabilitas

Senin, 19 Mei 2014
Idrus F Shahab, idrus@tempo.co.id


Di museum Pertempuran Borodino, sedikit di luar Kota Moskow, lamat-lamat terdengar
musik pembuka Overture 1812, karya komponis Rusia abad ke-19, Tchaikovsky. Kita tahu,
di atas partitur perlahan Tchaikovsky membangun suasana melalui sepotong melodi: nada-
nada awal yang rendah, berat, dimainkan berulang-ulang.

Di Borodino pada 1812, pasukan Rusia berhadap-hadapan dengan pasukan Prancis. Perang
tak dapat dihindari dan dua pasukan segera berbenturan. Tchaikovsky memperlakukan
karyanya layaknya sebuah rekonstruksi sejarah epos besar, sebuah kemenangan pasukan
Rusia atas gempuran serdadu Napoleon.

Overture 1812 adalah musik yang bergemuruh. Diawali dengan intro lambat, lalu perlahan-
lahan terseret berkembang jadi perubahan-perubahan dramatis, diakhiri dengan ledakan-
ledakan kanon dan lagu kebangsaan Rusia. Entah apakah karya ini pas menggambarkan
kebangkitan Rusia sekarang ini. Yang terang, itulah sebuah visualisasi musikal yang
fantastis!

Kejadian demi kejadian silih-berganti semenjak Revolusi Bolshevik 1917. Partai Komunis,
kediktatoran proletar, Perang Dingin, glasnost (keterbukaan), perestroika (restrukturisasi),
cita-cita masyarakat tanpa kelas yang kandas di tengah jalan, Vladimir Putin, dan sekarang:
ledakan kelas menengah Rusia yang membuat lalu lintas Moskow tak bisa bernapas.

Di sebuah titik di Moskow yang biasanya menjadi tempat orang makan es krim dan
memandang Moskow dari ketinggian, saya menyaksikan mereka. Mungkin lapisan teratas
dari mereka. Menjalankan Chevrolet delapan pintu berwarna silver lambat-lambat, di bawah
sinar terik matahari musim panas seraya memarkir kendaraan terbarunya di daerah yang bisa
dilihat semua orang. Di area parkir yang sama tampak pula sebuah Jaguar yang juga
berwarna silver, Mercedes-Benz hitam, dan sebuah BMW abu-abu. Orang yang sinis biasa
melontarkan komentar pendek, mereka pasti baru dari tempat penyewaan mobil.
Bagaimanapun, yang terang sebuah pameran kemewahan berlangsung, dengan pesan jelas:
aku salah seorang neuve richez.

Tapi gejala ledakan kelas menengah baru yang paling mencorong ada di jalan-jalan Kota
Moskow. Dan ini bukan jenis kemacetan yang biasa menghinggapi kota besar dunia. Di
jalan-jalan utama yang luar biasa lebar-biasanya enam jalur ke atas-kemacetan tak
membedakan rush hour, saat orang pergi atau pulang kerja. Kantor Wali Kota Moskow
pernah mengingatkan ada 180 ribu mobil yang setiap saat berseliweran di kota itu. Bahkan,
pada hari-hari tertentu, angka itu melonjak jadi 250 ribu. Ya, keberhasilan pun melahirkan
masalahnya sendiri-apalagi kegagalan.

Sejak Vladimir Putin memimpin, Rusia, yang mengandalkan minyak sebagai komoditas
ekspornya, mulai bangkit. Bersama itu bangkit pula harga diri dan rasa percaya dirinya
sebagai satu bangsa tua.

Mungkin Indonesia membutuhkan pemimpin macam Putin, mungkin juga tidak. Letih dengan
kekalahan tim nasional sepak bola dan bulu tangkis di arena internasional, tak berdaya
dengan rupiah yang kerap terhuyung-huyung di depan mata uang asing, capek menyaksikan
ketidakmampuan negara melindungi warganya, orang pun akan bergegas ke bilik suara pada
9 Juli nanti untuk memilih pemimpin yang kuat, dengan nasionalisme yang meletup-letup.

Calon pemimpin yang menjanjikan ketegasan-ketimbang keragu-raguan-mungkin tak lebih
dari cerita pelipur lara, hiburan sesaat. Orang menginginkan antitesis dari kepemimpinan
selama ini. Padahal yang dibutuhkan Indonesia sekarang bukan sekadar hiburan. Mungkin
kita telah bermain-main terlalu jauh. *









Mental Revolusi

Selasa, 20 Mei 2014
Candra Malik, Praktisi Tasawuf


Kita tidak punya musuh bersama. Karena itulah, kita saling memusuhi. Yang pada mulanya
kawan, pada akhirnya menjadi lawan. Takdir betapa tiada yang abadi dalam politik, selain
kepentingan, telah membuat kita menjadikan segala sesuatu sebagai politik. Setidaknya,
segala sesuatu itu wajar jika kita politisasi. Atas nama kepentingan, kita enteng menghalalkan
segala cara. Bahkan dengan menciptakan musuh bersama, meski ia bersih dari dosa sejarah.

Politik pencitraan berhadap-hadapan dengan kampanye hitam. Politik bukan lagi tentang
siapa bermain cantik, namun lebih tentang siapa berperan sebagai wasit. Tapi, wasit ternyata
tidak ada dalam politik. Semuanya, bahkan termasuk para penonton, adalah pemain. Setiap
penonton dihargai satu suara, yang dirumuskan dalam demokrasi sebagai "one man one
vote". Tidak ada peluit, kartu merah, kartu kuning, off-side, penalti, atau pelanggaran apa
pun.

Hampir semuanya kita langgar, baik secara terang-terangan maupun diam-diam.
Kemenangan dalam tanding politik sesungguhnya hanya seperti adu skor yang bisa kita atur
sejak awal. Selebihnya hanya formalitas. Tak mengherankan kita menyebutnya pesta
demokrasi. Padahal, tidak ada pesta dalam demokrasi, selain nyanyi lagu ulang tahun-kita toh
memang terus-menerus mengulang tradisi politik kotor tahun demi tahun-lalu tiup lilin dan
potong kue kekuasaan.

Pesta demokrasi tidak berlaku bagi rakyat. Jikapun menerima uang dari politikus, rakyat
dihantui kewajiban untuk mencoblos mereka. Kalaupun menerima uang, tapi menolak pesan
sponsor, rakyat tetap dijebloskan ke dalam permainan uang panas. Tidak ada keberkahan dari
kertas bernomor seri entah asli entah palsu itu. Sejak mau menerima duit politik, sejak itu kita
telah terjerumus dalam lingkaran setan. Kemurnian suara dari rakyat toh juga sirna sejak
dilebur dalam koalisi.

Tak ada keterwakilan dalam lembaga legislatif. Kalaupun ada yang dibela, mereka bukan
rakyat. Mereka adalah konstituen. Dan, bagi wakil rakyat, itu artinya pundi-pundi
kepentingan. Tak ada kepemimpinan dalam lembaga eksekutif pula. Kalaupun ada yang
dipimpin, mereka bukan kabinet. Tapi gerombolan penyamun dari gangster berlabel partai
politik. Jual-beli nama dan suara sudah terlalu menjenuhkan untuk dibicarakan, karena sudah
basi. Kita belum bergerak ke tema baru.

Revolusi mental mudah dipatahkan oleh mental revolusi. Ya, kita memang anak bangsa
dengan mental revolusi. Kita kuat bergerilya lama, bahkan demi pertempuran yang sejak awal
kita ketahui akan berakhir dengan kekalahan. Kalaupun tahu diri tak akan menang, kita masih
akan menawarkan peran merecoki, memecah konsentrasi, atau merusak kesepakatan. Dan, itu
ada harga tersendiri dalam politik. Toh, kita sama tahu politik bukan milik politikus,
melainkan milik pebisnis.

Pemilu diadakan sesuai dengan kepentingan, antara lain untuk judi, arisan, lelang, atau jual-
beli. Yang penting, pebisnis yang ikut bermain harus memiliki saham di perusahaan besar
bernama negara-lengkap dengan kop surat, stempel, dan tanda tangan eksekutif. Dan, setiap
pebisnis pada hakikatnya adalah petani: menanam politikus sejak benih karena yakin akan
panen kekuasaan. Lokomotif reformasi saja bisa kita jual ke mereka, apalagi cuma bordes
dan restorasi. Kita siap terima order.











Kampung!

Selasa, 20 Mei 2014
Heri Priyatmoko, Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM


Tanpa terasa dua windu telah lewat. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dibarengi aksi
kekerasan meninggalkan kenangan mendalam, barangkali kekal bagi mereka yang menjadi
korban.

Kala itu, kota dan banyak pertokoan besar terbakar. Tapi, eloknya, ruang kampung utuh.
Tiada yang berani menyentuhnya, apalagi membakar. Kampung malah menjelma menjadi
tempat berlindung yang aman bagi korban (rata-rata sahabat Tionghoa) dari amukan massa
yang kalap dan kelompok penjarah yang tak lagi punya hati nurani.

Kampung dan kota merupakan dua entitas yang sulit diceraikan lantaran punya relasi yang
bersifat komplementer. Kota terdiri atas banyak kampung. Secara teoretis, kampung semula
merupakan kumpulan rumah, sebagai kesatuan unit administrasi yang meliputi suatu area
yang terdiri atas permukiman inti dan beberapa permukiman yang lebih kecil. Adapun istilah
kampung pada zaman kolonial menunjukkan suatu wilayah hunian yang sering kali kumuh
dan mengepung kota-kota besar, yang tumbuh hampir tidak terkontrol, serta sering dianggap
tak sesuai dengan perencanaan kota, atau tak terencana (Amos Setiadi, 2010). Warisan
pemikiran kolonial itu mengakar, dan tampaknya mengakibatkan keberadaan kampung acap
diremehkan oleh pemerintah kota, baik segi penataan ruang maupun pemberdayaan
komunitas.

Bila berkaca dari realitas sejarah kelam kerusuhan Mei 1998 ini, sebenarnya kita disadarkan
bahwa kota adalah ruang yang rapuh. Miskin paseduluran (kerukunan) di sana, dan seolah
warga tak merasa handarbeni (memiliki) akan kota. Berbeda dengan kampung, kendati
perkembangannya dipengaruhi kota bertolak dari dampak globalisasi, lingkungan sosial
kampung tetap mampu mewadahi kerukunan warga yang terikat dalam hubungan
kekerabatan ataupun aneka kegiatan sosial semacam arisan, kerja bakti, dan ronda.

Selain memiliki kesatuan administrasi yang lebih kecil (rukun tetangga dan rukun warga),
kampung yang relatif bersifat tradisional ini masih mengamalkan ungkapan lokal. Misalnya,
warga percaya "pager mangkok luwih kuat tinimbang pager tembok". Terjemahan bebasnya,
dengan gemar memberi makanan kepada tetangga, mereka akan ikut menjaga harta dan
keamanan rumah kita. Dengan demikian, kampung bisa mempertahankan pola kehidupan
sosial dalam bentuk yang lebih fleksibel, atas dasar kerukunan dan saling menghargai.
Kenyataan inilah yang turut menjadi alasan mengapa kampung tak tersentuh kerusuhan.

Mulut gang kampung dijaga ketat. Orang lain yang bukan komunitasnya sulit masuk jika tak
sanggup memberi alasan jelas dan menunjukkan kartu identitasnya. Tiba-tiba rasa tepa selira
(toleransi) yang biasa ditemukan di jalan kampung menguap. Seketika yang muncul ialah
rasa waswas ketimbang tepa selira. Jalan kampung, yang sehari-hari bersifat publik dan
menjadi ruang ampuh untuk mempersatukan warga serta memelihara kerekatan sosial di
kampung, berubah menjadi privat bagi pengunjung. Dalihnya adalah demi menjaga
keamanan kampung, karena kota dinilai sudah tidak lagi aman.

Dari kilas balik ini, kita paham bahwa kampung bukan sekadar tempat bermukim dan
bersosialisasi. Pada saat genting, kampung merupakan benteng keamanan terakhir
masyarakat yang sebelumnya diikat oleh rasa solidaritas dan kerukunan yang dipupuk dalam
kehidupan sehari-hari. Kota bukanlah segala-galanya, bukan? *











Karpet Merah

Selasa, 20 Mei 2014
Toriq Hadad, Wartawan


ORANG menggelar karpet merah untuk dua maksud: menjebak dan menghormat. Keduanya
memiliki riwayat panjang.

Literatur Yunani yang ditulis pada 458 Sebelum Masehi berkisah tentang Agamemnon. Raja
Argos itu baru kembali dari Perang Trojan. Sebagai panglima perang, ia membunuh kepala
pasukan lawan, juga 15 prajurit Trojan. Clytemnestra, permaisuri, menggelar karpet merah,
dari tempat kereta kuda raja berhenti sampai gerbang istana.

Raja ternyata menolak. "Hanya Dewa yang layak mendapat penghormatan sebesar itu."
Firasatnya menangkap konspirasi jahat. Melalui karpet merah, Raja diarahkan memasuki
oikos. Di bangunan utama itu, ketika Raja berada di bak mandi, pembantaian keji dirancang:
jubah mandi dijaringkan untuk menutup muka, dan tiga tongkat pelekus dipakai untuk
menggebuki kepala raja yang meronta-ronta sampai benar-benar lunglai.

Agamemnon tak terpancing strategi durjana itu. Ia tahu istrinya menginginkan kematiannya.
Sebab, ia mengorbankan anak perempuannya, Iphigenia, kepada dewa dengan barter
bangkitnya semangat tempur pasukan Yunani. Ia juga tahu persis, sang istri menutupi
hubungan gelap dengan sepupunya, Aeghistus-yang ternyata ngebet mengincar takhta raja.
Toh, dalam kesempatan lain, akhirnya Agamemnon tewas. Clytemnestra dipercaya sebagai
dalang. Sampai sekarang, Agamemnon diceritakan sebagai pemberani, sombong, dan
sekaligus arogan. Malapetaka gampang datang dari sifat angkuh.

Karpet merah bukan hanya tentang jebakan, tapi juga penghormatan. Untuk pertama kali,
pada 1821, Presiden Amerika Serikat James Monroe mendapat penghormatan berupa
hamparan karpet merah dalam sebuah kunjungan. Pada 1902, The New York Central
Railroad membentangkan karpet merah untuk penumpang kereta api 20th Century Limited.

Kita bicara lagi soal karpet merah hari-hari ini, menjelang pemilihan presiden baru Republik.
Megawati, ketua umum Partai Banteng, telah menetapkan pilihan. Ketimbang untuk dirinya,
lebih baik menggelar hambal untuk Joko Widodo, Gubernur Jakarta. Jokowi-begitu Joko
Widodo biasa disapa-memang yang tertinggi tingkat keterpilihannya menurut survei. Banyak
yang berharap tak ada "niat lain" di balik keputusan ini. Jokowi bukanlah Raja Argos yang
mesti "dikendalikan" ketika ia melewati mulut gerbang "oikos". Rasionalitas dalam memilih
barisan koalisi penyokong Jokowi akan sangat menentukan. Jika partai itu abai pada suara
publik, selalu mendasarkan keputusan politik pada alasan pribadi atau trauma masa lalu
pemimpinnya, akibatnya bisa fatal. "Malapetaka" bisa mampir lewat keangkuhan sebagai
pengumpul suara terbanyak pemilu legislatif.

Kesempatan gelar babut merah sebenarnya dimiliki Partai Golkar dan Partai Demokrat. Itu
kalau keduanya mau melayani rakyat, bukan meladeni hasrat "pemilik" partai belaka. Golkar
merupakan "pemenang kedua" pemilu legislatif. Perolehan itu dipercaya sebagai hasil
kaderisasi yang cukup berjalan di partai yang lahir pada masa Orde Baru itu.

Bahwa dukungan rakyat terhadap Golkar tak serta-merta merupakan dukungan untuk
Aburizal Bakrie (ARB), ketua umum, sebagai calon presiden, tak terlalu sulit menerka
penyebabnya. Dukungan untuk ARB tak utuh. Pencalonannya semula bahkan ditentang
sebagian orang dalam. Ia juga memiliki "handicap", misalnya akibat penanganan kasus
Lumpur Lapindo. Belakangan, dalam penjajakan koalisi, "pinangan" ARB-kendati ia sudah
menurunkan syarat, bersedia cukup menjadi wakil presiden-ternyata tak membuat dua grup
koalisi besar, yakni PDI Perjuangan dan Gerindra, mengubah susunan calon presiden-wakil
presiden dengan memasukkan ARB.

Kalau kelak Golkar "berjodoh" dengan Partai Demokrat, itu pilihan kepepet. Hanya dengan
begitu keduanya memenuhi ketentuan batas suara untuk mencalonkan presiden. Kalau "poros
ketiga" terbentuk, pemilihan presiden mungkin akan berlangsung dua putaran. Artinya,
anggaran negara untuk tiga kali pemilu tahun ini sebesar lebih dari Rp 14 triliun seluruhnya
akan terpakai.

Padahal, survei menunjukkan, siapa pun pasangan yang diajukan "poros ketiga", peluang
menangnya sangat tipis. Peserta konvensi Demokrat suaranya telah diketahui amat tak
signifikan. ARB pun tingkat keterpilihannya di bawah Prabowo, apalagi Jokowi.

Bila tak ingin bergabung dengan dua koalisi besar, Golkar dan Demokrat bisa bersatu
menjadi "oposisi" di parlemen. Mengingat jam terbang kedua partai itu dalam memerintah,
mereka bisa mengajak rakyat membedah program-program strategis presiden terpilih kelak.
Akses dan pengetahuan yang lebih baik akan meningkatkan partisipasi publik dalam
membangun. Bukankah itu berarti menggelar "karpet merah" yang paling berharga untuk
rakyat? *



Strategi Pasar Politik NU

Flo. K. Sapto W., Praktisi Pemasaran

Di tengah kemeriahan koalisi parpol, baik yang sudah mengerucut dalam dua poros maupun
kemungkinan adanya poros tambahan, sebetulnya hampir semuanya terlihat melakukan hal
yang standar. Masing-masing sekadar melakukan lobi sana-sini dan berkunjung ke sana-
kemari. Sangat normatif.
Meski demikian, jika diamati dengan jeli, ada satu ormas yang terlihat cukup sistematis
mengusung sebuah strategi cerdas. Nahdlatul Ulama (NU) tidak lagi hendak terjebak dalam
sebuah rumah sempit bernama ormas maupun parpol.
Pernyataan NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana seolah telah menemukan
aktualisasinya. Apa esensi sosial-politis dari ungkapan itu?
Di dalam kajian pemasaran, fenomena ini kurang-lebih bisa disamakan dengan keberadaan
relasional antara manufaktur dan trader. Manufaktur adalah institusi yang menghasilkan
produk (kader). Sedangkan trader (parpol, ormas) adalah institusi yang menjadi saluran
distribusi/pemasaran produk ke end user.
NU sebagai manufaktur tidak perlu lagi selalu melabeli output-nya. Ormas yang bisa dirunut
sejarah berdirinya sejak 1916 (Nadhatul Wathan) ini bahkan menyediakan produknya untuk
diberi label apa saja oleh sejumlah trader.
Di dalam fase inilah, NU justru menunjukkan sebuah strategi pemasaran andal. Sebab,
produknya bisa dijual oleh trader mana saja dan dibeli oleh konsumen mana pun.
Hal terpenting adalah di dalam produk nahdliyin itu telah tersemat fitur-fitur paham dan
ajaran NU. Fitur-fitur tersebut adalah manifestasi dari paham Ahlussunah Wal Jamaah
(nu.or.id).
Lalu, apa saja keuntungan dari strategi pemasaran ini? Pertama, produk NU menjadi sangat
fleksibel di pasar. Kedua, produk NU menjadi kompetitif, karena tidak harus menanggung
biaya distribusi. Dua keuntungan tersebut kolaboratif telah menjadi keunggulan tersendiri.
Pada dasarnya NU sudah bertransformasi. Religiositas ke-NU-an tidak lagi terletak dalam
simbol-simbol identitas fisikal, melainkan lebih pada konsepsi pemikiran, tata perilaku, dan
arah tujuan imani.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan PKB? Sebagai ormas muslim terbesar, dengan
keberagaman pemahaman dan kedewasaan berpolitik warganya, NU tetap membutuhkan
sebuah rumah politik, baik sebagai persinggahan maupun pelatihan politik praktis. PKB
dengan demikian juga berfungsi sebagai pemberi identitas orisinal atas produk-produknya.
Dengan kata lain, NU-baik melalui PKB maupun tidak-tetap memiliki produk berlabel dan
produk tidak berlabel.
Saat ini memang PKB bersama NasDem sudah memutuskan untuk berkoalisi dengan PDIP.
Namun sebenarnya NU tidak hanya merujuk pada PDIP. Aktualisasi NU melalui para
nahdliyinnya bisa ke parpol apa pun.
Secara taktis, NU telah membuka jendela-jendelanya, sehingga roh NU bisa menyebar keluar
dari pesantren dan musala-musalanya menuju ke segala arah. Sangat cair dan fleksibel.
Sungguh hal ini sebuah perwujudan iman mendalam dalam kerendahan hati sejati. *


















Kelemahan Ujian Nasional

Selasa, 20 Mei 2014
Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan Tamansiswa


Hasil ujian nasional (UN) tingkat SMA, SMK, MA, dan MAK telah diumumkan, dan
nilainya ternyata tidak menggembirakan karena rata-rata hanya mencapai 6,12, jauh lebih
rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata ujian sekolah (US) yang mencapai 8,39.
Kesenjangan yang jauh antara nilai UN dan nilai US itu wajar, mengingat soal US dibuat oleh
guru sendiri yang sudah tahu kemampuan muridnya, sehingga tidak akan membuat soal yang
lebih rumit.

Muncul analisis bahwa penurunan nilai rata-rata UN tersebut disebabkan oleh adanya model
soal matematika dan IPA yang berlevel internasional, seperti standar PISA (The Programme
for International Student Assessment) dan TIMSS (The Trends in International Mathematics
and Science Study). Model soal tersebut baru diberitahukan kepada publik oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh melalui Twitter beberapa hari sebelum pelaksanaan UN.
Itulah yang kemudian menimbulkan protes para peserta UN. Bahkan ada seorang peserta UN
(Nurmillaty Abadiah, SMA Khadijah Surabaya) yang menulis surat terbuka kepada Menteri
Nuh dan menantangnya untuk duduk dan mengerjakan soal matematika bersamanya tanpa
melihat buku maupun Internet. Jika Mendikbud bisa menjawab benar lima puluh persen saja,
beliau pantas diakui menjadi Menteri Pendidikan.

Surat terbuka Nurmillaty Abadiah itu telah menimbulkan kehebohan tersendiri, bahkan
prahara baru dalam dunia pendidikan. Mendikbud sempat ragu surat terbuka tersebut ditulis
oleh seorang siswi SMA, padahal senyatanya ditulis oleh seorang siswi SMA yang merasa
frustrasi mengikuti UN, karena soal-soal yang dipelajari berbulan-bulan, termasuk ikut
bimbingan belajar, tidak keluar. Masalahnya, ya, itu, soal UN mengikuti model PISA.

Namun, bagi penulis, hasil UN tahun 2014 ini juga misteri besar. Ini mengingat, di banyak
tempat, soal UN betul-betul bocor. Di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, misalnya, 70
kepala sekolah dan guru berkomplot mencuri soal UN. Tapi mengapa hasil UN tidak tinggi?
Adakah pemerintah mengambil kebijakan mengurangi nilai pada daerah-daerah yang
dinyatakan bocor? Atau, ada kesenjangan antara nilai daerah satu dan daerah lain yang cukup
tinggi sehingga, ketika diambil nilai rata-rata, didapat angka 6,12? Bila hipotesis terakhir ini
yang terjadi, persoalan utama adalah adanya kesenjangan kualitas pendidikan antara satu
daerah dan daerah lain, bukan pada UN. Kesenjangan tersebut perlu dipecahkan agar tercipta
pemerataan kualitas pendidikan. Sayangnya, UN tidak mampu memecahkan masalah
kesenjangan, melainkan justru memperlebar kesenjangan.

Meskipun pelaksanaan UN bermasalah dan hasilnya jelek, Menteri Nuh menyatakan bahwa
seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) sepakat menggunakan hasil UN sebagai satu kesatuan
dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) bersama nilai rapor dan
prestasi akademik. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pengurus Majelis Rektor Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) Rochmat Wahab, yang juga Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta. Menurut dia, seluruh rektor PTN sudah sepakat mengintegrasikan nilai UN ke
dalam SNMPTN.

Bulatnya suara Kemdikbud dan Majelis Rektor PTN terhadap integrasi nilai UN ke dalam
SNMPTN itu menunjukkan sikap pemerintah untuk tetap menerapkan UN sebagai penentu
kelulusan. Suara masif yang menolak UN sebagai penentu kelulusan dianggap angin lalu saja.
Ketidakberdayaan para rektor perguruan tinggi negeri, termasuk PTN terkemuka, untuk
menolak kebijakan pengintegrasian nilai UN ke dalam SNMPTN, terjadi karena PTN itu
merupakan unit pengelola teknis (UPT) Kemdikbud dan jabatan rektor ditentukan oleh
Mendikbud. Padahal jelas, kredibilitas UN masih diragukan dan kredibilitas tes SNMPTN
telah teruji lebih dari 30 tahun, sejak bernama SKALU, Proyek Perintis, Sipenmaru, hingga
SPMB, dan kemudian berganti menjadi SNMPTN. Bila yang sudah terbukti kredibilitasnya
ini harus menyesuaikan diri dengan yang masih diragukan, apakah ini bukan prahara baru
dalam dunia pendidikan nasional sepanjang masa?

Penulis berharap para rektor perguruan tinggi negeri/perguruan tinggi swasta bisa lebih
independen dalam bersikap demi menjaga kualitas pendidikan tinggi ke depan. Seleksi masuk
PTN dengan model tes bersama, yang selama ini tidak pernah digugat kredibilitasnya, perlu
dipertahankan demi menjaga kualitas pendidikan tinggi negeri, bukan justru menyesuaikan
dengan UN. Menjadikan nilai UN sebagai dasar masuk ke PTN, sementara obyektivitas UN
masih dipersoalkan, jelas kekeliruan besar. Boleh saja nilai UN dijadikan prasyarat, tapi
penentu utama tetap hasil tes bersama. Nilai UN tidak bisa obyektif karena adanya perbedaan
standar proses, guru (tenaga kependidikan), sarana dan prasarana, pengelolaan, serta standar
pembiayaan antara daerah satu dan daerah lain. Karena itu, perlu hati-hati mempergunakan
hasil UN sebagai dasar penerimaan mahasiswa baru di PTN.





Pengembangan Pita Lebar

Selasa, 20 Mei 2014
Abdul Salam Taba, Alumnus The University of Newcastle, Australia.


Hari Telekomunikasi dan Masyarakat Informasi Sedunia tahun 2014 tidak hanya menjadi
momen bersejarah dan berharga bagi komunitas telekomunikasi dan masyarakat informasi,
tapi juga bagi komunitas pendukung pembangunan berkelanjutan.

Sebab, momen yang diperingati setiap 17 Mei ini, selain bertepatan dengan kelahiran
Organisasi Telekomunikasi Sedunia (International Telecommunication Union/ITU) di Paris,
Prancis, 149 tahun silam, juga ditandai oleh perhatian dan komitmen ITU bagi
pengembangan standar dan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (information
and communication technology/ICT) berbasis pita lebar untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan.

Indikasinya terlihat dari tema peringatan, "Broadband for Sustainable Development". Tema
ini menunjukkan keinginan ITU membantu setiap negara, terutama di negara berkembang
dan terbelakang, mengatasi hambatan pembangunan yang berkelanjutan melalui penggelaran
jaringan dan layanan berbasis pita lebar.

Penetapan tema bermakna strategis, karena menjadi panduan ITU dalam bertindak dan
memfokuskan kegiatan organisasi antarpemerintah tertua di dunia ini. Peringatan 2009
bertema "Protecting Children in Cyberspace", misalnya, mengajak setiap stakeholders
(regulator, operator, dan kalangan industri) ICT di dunia melindungi anak-anak dan remaja
dari eksploitasi seksual dan penyalahgunaan narkoba.

Kemajuan pesat teknologi telekomunikasi, penyiaran, multimedia, serta komunikasi dan
informasi--yang memungkinkan setiap orang bisa bermedia sosial, menerima panggilan
telepon, mendengarkan radio, menonton televisi, dan menjelajah dunia maya selama 24 jam
sehari secara serempak dan tanpa tunda--tidak lepas dari program konkret dan
berkesinambungan ITU.

Kegiatan itu bisa terwujud berkat dukungan perangkat ICT, seperti komputer, telepon (seluler
dan rumah), tablet, dan televisi yang tersebar di seluruh dunia, yang memungkinkan miliaran
manusia bisa terhubung lewat akses Internet. Juga, ICT meningkatkan aplikasi dan layanan e-
commerce, e-health, e-government, transportasi, layanan publik, pendidikan, dan pariwisata.

Keberadaan ITU dan perangkat ICT berperan signifikan meningkatkan peradaban dan
kehidupan manusia, serta tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni pertumbuhan
ekonomi, keterlibatan masyarakat, dan keseimbangan lingkungan. Karena itu, ITU meminta
stakeholders ICT di negara anggota dan sector members menggelar jaringan pita lebar, serta
membuat kebijakan alokasi frekuensi radio pita lebar, mekanisme pembiayaan inovatif, dan
solusi teknologi.

Di Indonesia, pembangunan berkelanjutan didukung pemerintah melalui pengembangan
smart city atau intelligent city (kota cerdas). Sebuah kota dikatakan "cerdas" jika bisa
menghadirkan kehidupan modern, dan menjamin kualitas hidup masyarakat serta
lingkungannya. Pun, kota cerdas ditentukan oleh kemampuan pemerintah berinovasi dan
menerapkan ICT guna mendongkrak kapasitas dan kesejahteraan masyarakatnya.

Upaya pemerintah mendukung pembangunan berkelanjutan berbasis pita lebar masih kurang
menggigit. Namun adalah kewajiban kita untuk memantau dan "mengarahkan" kebijakan
pemanfaatan ICT serta pembangunan berkelanjutan.











Gamelan dan Harmoni

Selasa, 20 Mei 2014
Bandung Mawardi, Penulis


Kita terus mengingat episode sejarah pengharapan bagi bumiputra untuk mengubah nasib
melalui organisasi bernama Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Pembentukan organisasi modern
membuktikan kaum elite terpelajar melek situasi zaman. Mereka berkeinginan mengalami
"kemadjoean" berbekal pendidikan modern bersesuaian latar adab-kultural dan angan-
kebangsaan.

Hari bersejarah tentu memiliki tokoh dan tema. Kita pun ingat Wahidin Soedirohoesodo,
penganjur pembentukan Boedi Oetomo. Akira Nagazumi (1989) menganggap Wahidin
Soedirohoesodo adalah tokoh berpekerti halus, pribadi dengan anutan tradisi Jawa tapi
berpendidikan modern. Penggambaran sifat digenapi tata laku keseharian sebagai
representasi tokoh beridentitas jamak: tradisionalis dan modern. Wahidin Soedirohoesodo
sering tampil berdaster dan berjas dari kain tenun buatan pribumi, berjalan tanpa alas kaki.
Beliau adalah pemain gamelan dan dalang.

Kemampuan seni menimbulkan gagasan harmoni. Wahidin Soedirohoesodo tampil dengan
sikap "mendua", memiliki ketaatan atas tradisi Jawa dan lihai mengafirmasi kebijakan politik
kolonial. Perbedaan atau pertentangan diusahakan tak menimbulkan konflik dan kekacauan.
Harmoni mengandung misi pembentukan mentalitas kaum bumiputra berorientasi
tradisionalitas dan modernitas. Gagasan harmoni dijadikan pijakan propaganda bagi kaum
terpelajar di STOVIA. Pendirian Boedi Oetomo berarti perwujudan ikhtiar harmoni.

Soetomo "mewarisi" gagasan Wahidin Soedirohoesodo dalam mengurusi Boedi Oetomo.
Harmoni dijelaskan melalui tulisan kecil berjudul "Gamelan dan Kewajiban", dimuat di buku
berjudul Puspa Rinontje. Agenda gerakan kebangsaan ibarat keharmonisan para seniman
dalam menabuh gamelan. Soetomo mengingatkan: "Jika setiap penabuh berdisiplin dan
bekerja sama, tentu menghasilkan pekerjaan serba harmonis dan dapat memperdengarkan
lagu gamelan dengan merdu, menggembirakan semua orang." Peringatan ini diarahkan ke
kaum pergerakan di pelbagai organisasi dan partai politik.

Sekarang, kita mengartikan "gamelan" dan "harmoni" berlatar kesibukan para tokoh politik
membentuk persekutuan untuk meraih kekuasaan. Mereka sedang bermain politik tanpa
bermaksud menggarap harmoni agar gamelan politik bersuara merdu bagi publik. Urusan
politik tak memerlukan keinsafan dan mawas diri. Perhitungan laba ditentukan jumlah suara,
popularitas, modal. Mereka tak bisa memainkan gamelan demi pemenuhan harapan-harapan
publik. Berpolitik pun mengumbar muslihat berdalih harmoni. Mereka membuat pengakuan
memiliki kesamaan visi dan misi dalam berkoalisi. Ah, harmoni ditampilkan secara picik.

Gerakan perubahan memerlukan "pekerti halus". Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo telah
mengawali agenda-agenda perubahan berpijak adab dan ilmu. Tata krama, tata bahasa, dan
tata pikiran diperlukan untuk mengajak publik mengubah nasib tanpa berhitung laba:
kekuasaan atau jabatan. Penggunaan bahasa dan simbol bereferensi ke alam pikir populis.
Perubahan dengan tamsil gamelan dan harmoni memang mengesankan ikhtiar tak
revolusioner.

Kita mengingat tokoh dan tema dari masa silam untuk memberi peringatan. Ambisi
pembentukan koalisi dan pemunculan tokoh sebagai capres-cawapres tampak abai pekerti
halus dalam berpolitik. Harmoni tak muncul. Permainan "gamelan politik" justru
menimbulkan suara-suara mblero alias sumbang. Indonesia menjadi negeri berisik tak
harmonis.

















Menyegel Masjid

Kamis, 22 Mei 2014
Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme


Bisakah rumah Tuhan itu disegel? Di Indonesia, mengunci rumah Tuhan dengan dalih berdiri
di atas kebenaran lumrah terjadi. Masjid bukan lagi sebagai tempat suci peribadatan, tapi
menjelma sebagai simbol persaingan manakala masing-masing kelompok memiliki cara
pandang dan ekspresi penghayatan beragama yang berbeda. Celakanya, rezim penguasa tidak
sekadar melakukan pembiaran, tapi justru turut serta melanggengkan praktek itu dengan
mendukung kelompok mayoritas memberangus hak beragama minoritas.

Pemerintah Kota Bekasi, misalnya, sudah empat kali menyegel Masjid Al-Misbah di Jalan
Pangrango Terusan, Kelurahan Jatibening, Kecamatan Pondokgede, Kota Bekasi, yang
menjadi tempat ibadah jemaah Ahmadiyah. Peristiwa mutakhir, meski putusan PTUN
Bandung belum berkekuatan hukum tetap, Pemerintah Kota Bekasi kembali menggembok
masjid tersebut hingga sekitar 50 anggota jemaah salat Jumat masuk dan keluar dengan
melompati pagar (Koran Tempo, 17 Mei).

Memang, tak dimungkiri masjid Ahmadiyah kerap menjadi sasaran amuk massa. Namun,
menyegelnya supaya tidak terjadi keributan adalah tindakan perampasan hak beragama dan
kewajiban menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Semestinya
pemerintah berdiri di atas semua golongan.

Atas penyegelan masjid Ahmadiyah, Pemerintah setempat terkesan tidak berdaya mengayomi
semua golongan sehingga mengambil jalan pintas dengan menggembok masjid. Padahal,
masjid, dalam sejarah perjalanannya, memberi keteladanan penting tentang inklusivisme
beragama dan pola interaksi antarsesama. Peristiwa penyegelan rumah Tuhan tersebut
menjadi preseden buruk yang memalukan sekaligus memilukan.

Rupanya keterikatan berlebihan terhadap simbol-simbol agama yang menjadi salah satu
tipologi keberagamaan kita saat ini sungguh sangat membahayakan. Simbol agama seperti
rumah ibadah telah bergeser sebagai perlambang kesombongan. Ketika rumah ibadah ada
yang menandingi, pemberangusan terjadi di mana-mana.

Betapa mirisnya jika umat Islam saat ini tengah terperangkap dalam pertikaian dan
perpecahan karena gagal mengelola perbedaan. Padahal kitab sucinya satu, Al-Quran. Nabi
yang dijunjung juga sama, Nabi Muhammad SAW. Lantas mengapa ini terjadi. Kenyataan ini
mengingatkan kita pada kisah dua orang buta yang ngotot menjelaskan bentuk gajah. Seorang
buta mengatakan bentuk gajah seperti bola, karena yang dipegang adalah perutnya. Seorang
buta lainnya mengatakan gajah seperti tongkat karena yang dipegang adalah belalainya. Tak
ada yang keliru dari keduanya karena perut dan belalai adalah bagian dari anggota tubuh
gajah. Tapi, jika mereka melihat gajah secara utuh, tentu kesimpulannya berbeda dan tidak
mungkin ada klaim bahwa dirinya yang paling benar. Sebab, dalam pendapatnya yang benar
itu, juga ada pendapat orang lain yang juga mengandung kebenaran.

Menyikapi "kelainan" dalam tubuh Ahmadiyah sebaiknya dibicarakan melalui dialog tanpa
akhir. Dialog adalah jalan manusiawi untuk tetap merawat perbedaan. Keputusasaan dalam
dialog adalah hambatan terbesar membangun mimpi Indonesia dalam bingkai keragaman.
Karena itu, Indonesia tak boleh dibajak oleh rezim yang pro anarki dan pemberangusan.
Pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk menindas dan tak menghormati konstitusi
selayaknya "disegel" dari sejarah perjalanan bangsa.











Cukup Dua Partai

Kamis, 22 Mei 2014
Putu Setia, @mpujayaprema


Akhirnya, sudah resmi ada dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang bertarung
pada 9 Juli nanti. Artinya, ini pemilihan presiden (pilpres) yang irit. Ini penting disebutkan
karena pilpres akan berlangsung satu putaran. Partai yang ada mampu berkoalisi dengan
dahsyat.

Poros PDIP yang mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkoalisi dengan Partai
NasDem, PKB, dan Hanura. Poros Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto dan Hatta
Rajasa berkoalisi dengan PAN, PKS, PPP, PBB, dan Golkar. Adapun Demokrat memilih
netral, sampai batas akhir tak punya teman koalisi dan sibuk mengurusi konvensi yang sudah
jelas tak ada manfaatnya. Satu partai kecil lagi, PKPI, tak ada kabar beritanya.

Proses koalisi menarik. PPP sempat pecah, namun belakangan mantap ke poros Gerindra.
PPP dan PKS sempat mengancam saat Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN, menjadi cawapres
Prabowo. Tapi akhirnya bisa menerima. Golkar, pemenang kedua, paling seru, ngebet betul
ke poros PDIP. Tapi, karena permintaannya banyak, sedangkan Jokowi mengisyaratkan
koalisi tanpa syarat, Aburizal Bakrie lari ke Gerindra. Prabowo menjanjikan Aburizal jabatan
menteri utama yang bertugas mengkoordinasi sejumlah menteri di bidang ekonomi. Golkar
pun bergabung.

Apa artinya? Koalisi itu memang untuk membagi kekuasaan. Koalisi di poros Jokowi pun tak
akan seratus persen tanpa syarat, itu hanya kata-kata indah. Kata indah lainnya adalah koalisi
terbentuk karena kesamaan platform partai. Bagaimana menjelaskan hal ini kalau bertahun-
tahun partai itu bersaing?

Pelajaran dari hiruk-pikuk koalisi ini, jumlah partai terlalu banyak, ada 12. Dua saja sudah
cukup. Atau, kalau ditambah, satu lagi. Caranya, resmikan koalisi saat ini sebagai partai baru.
Dengan dua atau tiga partai, kita lebih siap menyongsong Pemilu 2019 yang sudah ditetapkan
oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pemilu serentak. Artinya, tak ada lagi pemilu legislatif
dan pemilu presiden. Yang ada satu pemilu untuk memilih DPR, DPRD, DPD, dan Presiden.
Pasangan capres dan cawapres pun diusung oleh "partai atau gabungan partai peserta pemilu"
sesuai dengan bunyi konstitusi. Dengan dua atau tiga partai, jumlah pasangan capres dan
cawapres ada dua atau tiga pula. Bayangkan kalau partai itu tetap 12, berarti ada
kemungkinan pasangan capres dan cawapres juga 12, karena memang dibolehkan konstitusi.
Tak ada urusan lagi dengan jumlah kursi atau perolehan suara karena kursi atau suara itu
justru dicari pada saat yang bersamaan.

Memang koalisi boleh karena konstitusi menyebutkan pasangan capres dan cawapres bisa
diusung "gabungan partai". Tapi, kalau partai masih banyak, bagaimana caranya koalisi
sementara memilih DPR dan DPRD masing-masing partai bersaing. Tentu rumit, partai
berjuang untuk meraih kursi, sedangkan ada pasangan capres-cawapres yang diusung dengan
cara bergabung.

Pelajaran dari pemilihan presiden 2014 ini bisa dijadikan tonggak penyederhanaan partai.
Toh, koalisi saat ini juga banyak mengecewakan rakyat karena suara mereka seenaknya
digabung. Orang mencoblos partai A karena tak suka partai B, tiba-tiba A dan B koalisi,
suara rakyat dipermainkan. Mari ciutkan jumlah partai, hanya dua atau paling banyak tiga. Ini
bisa mengurangi hiruk-pikuk politik. *











Bangsa Hebat, Bangsa Pembuat

Kamis, 22 Mei 2014
Ade Febransyah, Prasetiya Mulya Business School


Inovasi dipuja; imitasi begitu dihina
Inovasi dirindukan; imitasi begitu dilupakan
Inovasi membuat kita terkesima; sedangkan imitasi sulit diterima
Dan inovasi adalah sebuah kemahakaryaan; sedangkan imitasi hasil dari kemalasan

Benarkah demikian? Silakan lihat di YouTube bagaimana seorang remaja 14 tahun, Tina S.
Cover, memainkan karya sulit milik salah satu dewa gitar, John Petrucci, personel band
Dream Theater. Secara teknik, dia luar biasa, penjiwaannya juga sudah dapat. Poinnya adalah
Tina dan beberapa orang lainnya di luar sana mampu mengikuti/mengimitasi karya
masterpiece seorang maestro.

Teringat kembali bagaimana ketika tablet Apple generasi pertama diluncurkan Steve Jobs
pada awal 2010. Hanya berselang dua bulan, sudah muncul tablet-tablet serupa versi Taiwan.
Juga lihat apa yang dilakukan oleh pabrikan mobil di Cina. Terakhir ada Landwind E32 yang
merupakan kembaran dari Range Rover Evoque. Mereka dapat membuat hampir apa saja.

Persaingan dalam dunia inovasi tidak ubahnya seperti balap F1. Penginovasi dan pengimitasi
berkejaran. Apa pun yang dilakukan oleh penginovasi akan selalu (dengan mudah) diikuti
oleh pengimitasi. Jika penginovasi lengah, pengimitasi justru bisa mengambil alih posisi.

Jadi, jangan anggap remeh pengimitasi. Tidak mudah untuk menjadi Tina S. Cover dan
pengimitasi lainnya. Pengimitasi sudah begitu berkeringat untuk membangun kapabilitasnya
yang menyerupai penginovasi. Segala kerja keras mereka juga perlu diacungi jempol.
Selanjutnya, jika mereka cerdas (smart imitator), dalam artian juga menghasilkan karya
orisinal sendiri, mereka dapat pindah kelas menjadi penginovasi sejati.

Di tengah kepungan penginovasi global lewat keunggulan berbagai produknya, masih
tersisakah peluang berinovasi untuk pelaku bisnis di Indonesia? Jika para macan bahkan naga
Asia, seperti Korea, Cina, India, dan Taiwan mampu, kita pun sebenarnya mampu. Mulailah
dengan berimitasi, asal dengan cerdas. Itulah pintu masuk menjadi bangsa pembuat.

Tidak ada bangsa yang hebat tanpa menjadi pembuat. Dengan membuat, mereka jadi
berdaulat, mampu mandiri, dan tidak selalu bergantung pada pihak luar. Namun kedaulatan
tidaklah gratis, harus dicapai lewat proses berkeringat.

Bagaimana bisa berdaulat secara ekonomi jika kita tidak setara dengan para penguasa dunia.
Untuk bisa bersanding dengan kepala tegak, tidak ada cara lain selain terus membangun
kemampuan untuk persaingan global. Jika lemah dalam daya saing, risiko untuk dieksploitasi
pihak luar tidak terhindari. Itulah takdir bagi yang tidak siap dalam globalisasi.

Sekali-sekali, ada baiknya menengok perjalanan bangsa lain dalam memajukan negaranya.
Korea Selatan misalnya. Siapa pernah menyangka bahwa Korea yang sekarang dulunya
termasuk negara termiskin di dunia. Ya, pada awal 1960-an, mereka bukan apa-apa. Namun
keberanian, keyakinan, dan komitmen yang tinggi dari pemimpinnya dalam membangun
industri nasionalnya akhirnya berbuah manis.

Bagaimana dengan Indonesia? Tidak dimungkiri berbagai produk made in Indonesia sudah
banyak dijumpai. Namun adakah pelakunya di sini yang termasuk pengimitasi pintar hingga
penginovasi? Silakan lihat pemilik merek lokal. Adakah yang berhadapan langsung dengan
Apple, Samsung, Intel, Google, Amazon.com, dan perusahaan berbasis teknologi dan
telekomunikasi lainnya? Sepertinya belum.

Atau, adakah pelaku bisnis di sini yang berencana berinvestasi dalam R&D tentang
pengembangan biofuel dari mikroba hasil rekayasa genetika, baterai lithium-ion untuk
menghadirkan mobil elektrik masa depan dengan harga terjangkau, kabel listrik
superkonduktor berkapasitas sekian kali lebih besar dibanding kabel tembaga konvensional,
pembuat mesin DNA sequencing untuk mendeteksi mikroba dan sebaran virus dalam tubuh,
penghasil uap bertenaga matahari untuk pembangkit listrik, sampai kaus olahraga hasil daur
ulang botol plastik? Masih jauh. Oportunitas inovasi untuk keberlangsungan manusia pada
masa depan masih belum menjadi agenda pelaku bisnis di sini.

Oportunitas inovasi tidak datang dengan sendirinya. Butuh suatu jejaring penginterpretasi
(network of interpreter) untuk berinovasi (Verganti, 2009). Adanya institusi-institusi riset
penghasil invensi menjelaskan "iklim membuat" suatu bangsa. Iklim membuat juga tidak
tumbuh jika kebijakan pemerintah tidak memberi kemudahan bagi penginvensi dan pelaku
inovasi. Iklim membuat juga lesu jika dari pelaku bisnisnya sendiri belum menjadikan
inovasi sebagai strategi perusahaan untuk bertumbuh. Inovasi masih dilihat sebagai alternatif
terakhir. Sesuatu yang mahal, berisiko, dan harus dihindari. Kesemuanya membuat
kelambanan inovasi di Tanah Air. Akhirnya, inovasi hanya sebatas selebritas, asyik
dibicarakan tapi enggan dibumikan.

Menjadi bangsa hebat adalah sebuah kerinduan bersama yang tidak perlu didebat. Salah satu
upayanya adalah lewat membuat. Apa saja yang membuat bangsa ini berdaulat. Tidak mudah
memang. Hanya pembuatlah yang mengubah dunia!*


Brasil 2014 dan Teater Urakan

Jum'at, 23 Mei 2014
Hari Prasetyo, hari.prasetyo33@yahoo.com


Bunyi gong terdengar dipukul untuk ketiga kali. Dan orang-orang yang berkerumun di depan
pintu masuk sebuah gedung teater di sebuah kawasan kesenian di negeri ini paham:
pertunjukan teater segera dimulai. Penonton yang sudah membeli tiket diperintahkan segera
masuk.

Begitu masuk, seperti biasa, segera mereka akan menghadapi situasi yang magis dan sedikit
seram. Gelap, dingin karena mesin penyejuk udara sedang bekerja, dan harus berhati-hati
menuju tempat duduk yang sudah ditentukan.

Di tempat-tempat tertentu, kalau ada penonton telat, tidak boleh masuk lagi, meski sudah beli
tiket. Dikhawatirkan dia akan mengganggu keheningan dan konsentrasi yang terjadi selama
pementasan. Tapi, pergelaran sepak bola Piala Dunia 2014 di Brasil mulai 12 Juni mendatang
dipastikan bukanlah teater santun seperti itu.

Pergelaran tersebut memang tetap berlangsung di satu tempat. Ada tata-cahaya dan
pengaturan suara seperti teater pada umumnya. Ada cerita atau tema tertentu-sebut saja
perjuangan merebut kemenangan-yang membawa para manusia pelakunya terbagi ke dalam
dua kubu untuk berkonflik.

Namun sejak gong pertama tampaklah bahwa pentas-pentas sepak bola di Brasil 2014 adalah
teater yang gaduh. Pergelaran itu akan bergemuruh oleh ribuan manusia yang bersorak dan
berlalu-lalang di pintu, kursi stadion, dan baru harus tertib sesaat sebelum pertandingan
dimulai. Penonton tidak dilarang berteriak-teriak dan memotret dengan kamera genggam
dukungan lampu cahaya. Yang tidak boleh adalah kalau Anda berniat melempari pemain
dengan mercon dan benda lainnya.

Teater sepak bola Brasil 2014 bisa jadi tak banyak berbeda dengan teater rakyat kita, seperti
ludruk, ketoprak, dan lenong di tempat dan panggung terbuka. Dia bukan teater tonil yang
datang dari Barat. Celetukan atau komentar dari penonton sah terdengar dan dibolehkan
untuk mengganggu jalannya pentas di panggung.

Dulu, di Stadion Gajayana, Malang, penjual bakso masih boleh masuk ke dalam stadion
dengan membawa gerobaknya. Mereka berjualan selama pertandingan. Penonton hilir-mudik
membeli bakso sambil menonton.

Dan, bukan kebetulan kalau pementasan sepak bola berlangsung di teater arena dan bukan di
teater prosenium. Posisi penonton melingkari peristiwa yang terjadi di pentas berwujud
lapangan rumput.

Pentas Piala Dunia itu tidak berjarak. Yang hadir di deretan kursi stadion tidak hanya sekadar
penonton. Itu sebabnya, suporter-penonton yang berpihak kepada masing-masing tim-sering
disebut sebagai pemain ke-13 sebuah tim. Teriakan suporter berpengaruh terhadap jalannya
pentas.

Brasil 2014 adalah suasana pentas teater yang sudah lama tergerus di negeri kita. Pada 1986,
di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Jakarta, W.S. Rendra mementaskan lakon
Panembahan Reso dengan Bengkel Teater Rendra miliknya. Saya menontonnya hingga larut
malam. Kantuk terusir oleh suasana mirip ludruk dan lenong. Ada tepuk tangan dan celetukan
spontan. Saya menikmatinya sambil bersandar di tembok, sembari menyeruput teh dari
termos yang dibawa dari rumah.










Rakyat Butuh Presiden Baru

Jum'at, 23 Mei 2014
Anton Kurnia, Mantan aktivis mahasiswa ITB


Mei 1998. Saya masih ingat, Kamis pagi 13 Mei, sekitar pukul sembilan, saya berangkat dari
rumah kakek saya di kawasan Maleer yang padat menuju kampus ITB, hendak menghadiri
aksi Kamisan di boulevard Ganesha. Sudah beberapa hari saya tak ke luar rumah, sehingga
agak tertinggal kabar terakhir dari kawan-kawan. Saat itu ponsel masih barang mewah dan
jaringan Internet tak semassal saat ini.

Di depan kampus ITB, massa sudah berkumpul. Membeludak. Saya segera bergabung. Polisi
berjaga. Tapi tak seperti hari-hari lain, kini mereka tampak melonggarkan penjagaan. Tak ada
senjata laras panjang. Tak ada tentara. Sebelumnya, sepasukan tentara bersenjata selalu
berjaga di belakang barikade polisi. Sesekali mereka memerangkap massa demonstran saat
terjadi dorong-dorongan dengan cara membuka sedikit barikade, lalu cepat-cepat
menutupnya, sehingga beberapa demonstran terjebak terkepung di antara polisi dan tentara,
lalu dengan mudah dihajar pentungan atau disepak sepatu lars sampai babak-belur.

Setelah beberapa orasi mengutuk penembakan mahasiswa di Jakarta dan menuntut Soeharto
segera mundur, kami mulai bergerak. Biasanya, paling hebat kami hanya bisa merangsek
hingga mulut Jalan Ganesha, di pertigaan Dago depan Borromeus. Itu pun setelah aksi jibaku
saling dorong dengan petugas yang kerap memakan korban tak sedikit. Lebih sering kami
tertahan di depan kampus. Lalu dipukul mundur dengan beringas oleh tentara. Tapi hari itu
kami leluasa bergerak sambil bernyanyi dan meneriakkan yel-yel penuh semangat. Polisi-
polisi yang tampak tak berwibawa hanya melihat dan membiarkan. Memberi jalan.

Kami terus maju menuju Gedung Sate, yang merupakan simbol kekuasaan, tempat gubernur
dan para anggota DPRD Jawa Barat berkantor. Saat itu kami benar-benar marah mendengar
kabar penembakan di Jakarta. Massa makin meluap dalam iring-iringan para demonstran.
Banyak yang bergabung di tengah jalan. Saya ada di saf depan sehingga bisa mengamati
keadaan dengan leluasa. Polisi membiarkan kami maju dengan bebas. Berbaris dengan tertib
melewati jalan-jalan utama. Kami bernyanyi, berteriak, berseru. Tapi tak ada kerusuhan,
apalagi huru-hara.

Akhirnya kami berhasil menduduki Gedung Sate tanpa perlawanan dari aparat keamanan.
Kami lalu membentuk pagar betis. Membentangkan spanduk panjang dari kain putih
bertulisan huruf-huruf merah: "RAKYAT BUTUH PRESIDEN BARU". Beberapa orang
berorasi: "Reformasi sekarang juga!"

Setelahnya, massa beralih ke Lapangan Gasibu di depan Gedung Sate, bergantian berorasi
menuntut rezim segera bubar. Seorang kawan yang baru datang dari Jakarta bergabung,
memberi kabar soal penembakan di Trisakti. Dia melihat sendiri jenazah para martir yang
berlubang oleh peluru tajam. Tapi kabar soal kerusuhan tetap simpang-siur.

Kami marah, kami sedih, tapi kami juga mulai gembira. Tanda-tanda kejatuhan Soeharto
telah makin dekat. Kami bersiap berpesta di dalam duka. Selepas zuhur, kami mundur dengan
optimisme di hati masing-masing bahwa rezim yang korup dan haus darah ini akan segera
hancur.

Kita tahu, sejarah kelak mencatat delapan hari kemudian Soeharto mundur setelah 32 tahun
berkuasa dengan tangan besi di republik ini. Reformasi pun bergulir walau keburu layu
sebelum mekar. Kini sudah dua windu berlalu. Bagi para demonstran, bergerak sampai ke
mulut Jalan Ganesha sama sekali bukan prestasi. Dengan mudah para demonstran menembus
barikade polisi, berorasi di lobi gedung-gedung pemerintah. Rakyat masih butuh preisden
baru, dan rakyat hanya bisa terus menunggu.










Menyoal Penerimaan Pajak

Jum'at, 23 Mei 2014
Anies Said Basalamah, Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi *)


Editorial Koran Tempo edisi Rabu, 18 Desember 2013, mempersoalkan rendahnya rasio
pajak di Indonesia. Yang menarik, Tempo "menyalahkan" Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas rendahnya rasio pajak
tersebut. Tempo mengingatkan kita akan janji kampanye SBY pada Pemilihan Umum 2004,
ketika SBY berjanji meningkatkan rasio pajak dari sekitar 12 persen menjadi 19 persen. Akan
tetapi, hingga "Dua periode memerintah, janji ini tak bisa dipenuhi," demikian ditulis Tempo.

Koran Tempo menyadarkan kita bahwa penerimaan (dan juga pengeluaran) dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah tanggung jawab Presiden. Dan setiap tahun
APBN selalu ditetapkan dalam bentuk undang-undang. Sayangnya, hingga saat ini belum
pernah ada "politisasi" sampai pada level presiden jika penerimaan tidak mencapai target.
Semua berhenti pada level Dirjen Pajak dan atau Menteri Keuangan. "Keadaan ini semakin
diperburuk oleh terbatasnya jumlah petugas pajak, sehingga potensi pajak itu tidak terurus. Di
pusat grosir Pasar Tanah Abang, Jakarta, misalnya, hanya ada dua petugas penagih pajak.
Padahal di sana terdapat lebih dari 10 ribu pedagang," Koran Tempo menyatakan.

Mengapa kita, dan juga Koran Tempo, tidak lalu "menyalahkan" Presiden, padahal Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), yang bertanggung
jawab atas formasi dan perekrutan pegawai negeri, adalah juga anak buah Presiden yang
semestinya dapat menyediakan jumlah pegawai negeri bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
sebanyak yang mereka inginkan agar penerimaan pajak meningkat dan, sebagai konsekuensi
logisnya, rasio pajak juga akan meningkat?

Pada 12 Desember 2013, Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia
mengundang penulis sebagai salah seorang pembicara dalam diskusi "Penguatan Kapasitas
Kelembagaan Administrasi Perpajakan di Indonesia". Dalam diskusi tersebut, penulis
mengutip data Koran Tempo edisi 5 Desember 2013 dan memprediksi kebutuhan pegawai
DJP pada 2014 bisa mencapai penerimaan pajak sebesar Rp 1.110,2 triliun. Akan tetapi, salah
seorang pembicara yang berasal dari Kementerian PAN-RB menyatakan bahwa "jatah" untuk
DJP "hanya" sebanyak 5.000 pegawai baru.

Data Koran Tempo tersebut menunjukkan bahwa, kecuali 2013 yang memang baru sampai
periode November 2013, penerimaan pajak selalu naik. Demikian pula jumlah pegawai, yang
sejak 2005 selalu meningkat, kecuali sejak 2012, yang selalu menurun. Penghitungan secara
statistik menunjukkan ada korelasi positif (antara jumlah pegawai pajak dan perolehan pajak)
sebesar 0,9191. Secara sederhana, data tersebut berarti bahwa setiap kenaikan pegawai dapat
dipastikan akan dapat meningkatkan penerimaan pajak. Dengan target penerimaan pajak pada
2014 sebesar Rp 1.110,2 triliun (Kompas, 11 Desember 2013, hlm. 24), maka menurut
regresi, diperlukan pegawai sebanyak 40.946 orang. Jika hanya ditambah 5.000 pegawai, dan
dikurangi yang berhenti karena pensiun atau alasan lain, jumlah pegawai DJP pada 2014
sebanyak 36 ribu. Maka jangan heran jika secara statistik penerimaan pajak hanya akan
mencapai Rp 964,2606 triliun. Dengan penerimaan sebesar itu dan produk domestik bruto
yang setiap tahun juga meningkat, rasio pajak sudah dapat dipastikan akan menurun, bukan
meningkat menjadi 19 persen seperti target saat SBY dalam kampanye pada 2004.

Dalam diskusi tersebut, penulis menyarankan agar DJP tidak menaruh harapan kepada
Kementerian PAN-RB, melainkan mengubah strategi. Dalam teori organisasi, dikenal dua
pendekatan, yaitu structure follows strategy dan strategy follows structure. Karena
strukturnya tetap (kesulitan mendapatkan pegawai dan mengubah kantor karena harus
mendapatkan izin dari Kementerian PAN-RB), maka strateginya harus diubah. Untuk
mencapai target penerimaan pajak yang sudah ditetapkan dalam APBN 2014 sebesar Rp
1.110,2 triliun, maka kolaborasi semua kantor pelayanan pajak di seluruh Indonesia harus
dilakukan. Saat ini satu wajib pajak belum tentu diurusi oleh kantor pelayanan pajak yang
terdekat dengan lokasi alamatnya, bila yang bersangkutan termasuk pembayar pajak besar.
Dengan kolaborasi ini, potensi pajak dapat digali lebih dalam, sehingga program
ekstensifikasi dan intensifikasi pajak akan lebih efektif.

Strategi lain adalah "mengalihkan" kelebihan pegawai di Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
yang semula diusulkan untuk dipensiun dini tapi tidak diizinkan Kementerian PAN-RB.
Jumlahnya 8.000-9.000. Angka ini ditambah dengan 5.000 pegawai baru dikurangi yang
berhenti, akan menghasilkan angka yang mendekati 41 ribu seperti perhitungan statistik yang
penulis lakukan di atas. Dengan melatih mereka sesuai dengan kebutuhan DJP, para pegawai
ini dapat meningkatkan penerimaan pajak, yang secara otomatis akan dapat meningkatkan
rasio pajak. Jika hal ini terjadi, SBY dapat khusnul khotimah, mengakhiri masa
pemerintahannya dengan menaikkan rasio pajak, meski belum mencapai 19 persen, tetapi
pasti di atas 12 persen.


*) Pendapat pribadi




Monumen Nasional

Sabtu, 24 Mei 2014
Purnawan Andra, Peminat kajian sosial budaya masyarakat


Monumen Nasional (Monas) adalah sebuah lanskap monumental, bukan hanya bagi Kota
Jakarta, tapi juga menjadi representasi perjalanan bangsa. Ia simbolisasi filosofi, visi, dan
gagasan besar di baliknya.

Monas menjadi referensi untuk mengidentifikasi diri sebagai "manusia" dan atau sebagai
"bangsa Indonesia". Di sekujur tubuhnya, diorama, bentuk dasar, sampai dengan ukuran
teknisnya, memuat simbol perjalanan bangsa dari, menjadi, dan menuju "Indonesia".
Memahami Monas diharapkan menumbuhkan semangat nasionalisme yang kuat, tegak, dan
terus menyala seperti wujudnya.

Pembuatannya pernah ditentang keras karena dianggap hanya menjadi politik mercusuar
daripada kebijakan pro-rakyat. Emas 38 kilogram dan uang Rp 5,8 miliar pada masanya
dianggap lebih baik digunakan untuk menata ekonomi rakyat yang sedang kritis daripada
membangun monumen narsis atas nama jati diri bangsa. Monas menjadi penanda
pembentukan identitas dogmatik, tapi juga menyimpan luka-luka sejarah dan sosial.

Monas bukan hanya romantisme dan heroisme. Ia juga menjadi penanda pergumulan identitas
dan spiritualitas dalam jejaring simbolik kosmologis hingga filosofisnya. Wujudnya yang
meruncing ke langit merupakan simbol lingga, turunan bentuk obelisk, yang menjadi bentuk
universal di seluruh bangsa di dunia. Dengan dasar berbentuk yoni, Monas menggambarkan
aktivitas perangkat utama kemaskulinan yang bertemu dengan pertanda feminimitas,
simbolisasi dominasi kekuasaan dan kekuatan lelaki atas perempuan.

Radhar Panca Dahana (2012) memaknainya sebagai pemahaman peradaban maskulin, di
mana perempuan secara fitrahi menjadi subordinat di dalamnya. Model seperti ini merupakan
sebuah pengejawantahan dari spiritualisme dan religiusitas atau agama dari peradaban
daratan. Peradaban ini menempatkan langit dan matahari sebagai entitas pemilik kekuatan
tertinggi, di mana kekuatan manusia tidak dapat menjangkaunya. Mesir, contohnya,
menempatkan Dewa Ra (matahari) sebagai puncak dari segala dewa, di mana piramida dibuat
sebagai tanda bakti padanya. Begitu juga adab daratan di Cina, India, sampai dengan agama
samawi di Timur Tengah hingga pedalaman Indonesia, kemudian mengadopsinya dalam
kepercayaan kultural dalam bentuk ritus-ritus spiritual hingga pada praktek-praktek politik
kenegaraan dan kemasyarakatannya. Kita pun bertanya-tanya kenapa Sukarno memilih
bentuk lingga bagi Monas, tentu bukan sekadar lantaran ia ditahbiskan oleh khalayak sebagai
"putra sang fajar", titisan dari (dewa) matahari.

Monas adalah jejaring logika simbolis yang menyusun sejarah bangsa. Ia adalah medan
identitas sosial, kultural, ataupun politis yang kompleks. Ia perlu diurai, dibaca, dan
dimengerti dalam rangka memformulasikan langkah kontekstual untuk menghadapi dinamika
sosial masyarakat agar tidak terjadi reduktivitas pemahaman atas jejak historis dan proses
transformasi identitas komunal.

Monas adalah ruang pembacaan yang lebih kritikal tentang identitas, dinamika politik, serta
logika kekuasaan seorang pemimpin dan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Ia mengajarkan
inti dari politik kekuasaan yang terbaik dan paling bijaksana yang seyogianya berwujud
strategi kebudayaan yang melayani rakyatnya, bukan mencipta simbolisme diri yang narsis
untuk membangun sebuah rezim kekuasaan.












Pemimpin

Sabtu, 24 Mei 2014
Benni Setiawan, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta


Pemilu merupakan sarana mencari pemimpin. Pemimpin bukan sekadar pengumbar janji. Ia
juga bukan yang paling populer di mata media dan tinggi elektabilitasnya di tangan lembaga
survei.

Bagi Jim Clemmer (2009), pemimpin harus mampu membuat perbedaan. Itulah semangat
utama yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Tampil beda dengan gagasan yang kuat akan
mengantarkan seseorang menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

Seorang pemimpin, bagi pemikir terkemuka Amerika Utara itu, juga harus memiliki
keotentikan. Para pemikir yang otentik membangun kepercayaan yang menjembatani celah-
celah pemisah antara "kami dan mereka". Para pemimpin seperti itu memiliki integritas dan
konsistensi yang tinggi. Mereka mengembangkan lingkungan yang penuh keterbukaan dan
transparansi, yang menampilkan masalah-masalah yang sebenarnya.

Pemimpin, dengan demikian, mampu menyuarakan kata "kita". Kata kita merupakan wahana
membangun ideologi sifat mementingkan kebersamaan, menanggung duka dan suka, saling
membantu, menolong, serta mengingatkan. Ke-kita-an harus menjadi ancangan dan sikap
seorang pemimpin. Pemimpin hadir bukan untuk "kami dan mereka", tapi untuk "kita".

Pemimpin itu berintegritas. Integritas seorang pemimpin dilihat dari sepak terjang (track
record) sejak ia masuk di gelanggang politik. Integritas itu terbangun atas usaha dan karya
pribadi yang mempribadi. Ia hadir bukan karena polesan dan goresan wartawan. Namun,
tulus ikhlas bekerja, berusaha, dan berkarya sekaligus menjadi panutan bagi masyarakat.
Inilah dalam bahasa Ki Hajar Dewantara yang disebut sebagai ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Lebih lanjut, seorang pemimpin selayaknya mempunyai konsistensi yang tinggi. Konsistensi
itu dapat dilihat dari kata dan laku. Apa yang mereka ucapkan merupakan janji suci
kehidupan. Kata bukan hanya menggerakkan lidah, tapi juga mewujud dalam keseharian,
sehingga ia tak mudah mengumbar janji. Kata dan laku seorang pemimpin harus selaras,
sabda pandita ratu, tan kena wala-wali.

Ketika pemaknaan kepemimpinan menyentuh pada ranah ini, sebuah bangsa akan dipimpin
dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan.
Hal itu lantaran seorang pemimpin sadar betul akan eksistensi dirinya. Ia bukanlah pejabat
publik yang pantas untuk selalu dihormati dan dipuja-puji. Namun ia adalah pelayan
masyarakat yang siap mendengar keluh-kesah dan bergerak cepat dalam menyelesaikan
persoalan bangsa. Ia selalu bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran bangsanya, bukan
kepentingan pribadi dan kroni-kroninya.

Takhta merupakan amanat kepemimpinan. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai
jiwa yang bersih dan selalu berjuang (bertekad) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan rakyat menjadi program utama seorang pemimpin bangsa. Seorang pemimpin
bangsa harus mau dan rela meninggalkan (meletakkan) segala atribut yang pernah melekat
dalam dirinya ketika menjadi pemimpin (presiden). Tanpa hal itu, akan sulit mewujudkan
kepemimpinan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, mari mencermati sosok calon pemimpin bangsa Indonesia dalam hajatan
pemilihan presiden 9 Juli. Pilihlah pemimpin yang bisa ngemong (mengasuh) dan menjadi
pamong praja (pemimpin peradaban).










Memahami Pentingnya Kebijakan
Ekonomi

Sabtu, 24 Mei 2014
Bismar Nasution, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


Fredrich August Hayek (1899-1992), pemenang Hadiah Nobel pada 1974, telah memusatkan
perhatiannya pada persoalan membentuk dan membatasi kebijakan ekonomi pemerintah. Ia
mengartikan kebijakan sebagai "upaya pemerintah mencapai tujuan sehari-hari yang konkret
dan senantiasa berubah". Hayek juga mengatakan, "menerapkan kebijakan dalam pengertian
tersebut merupakan tugas administrasi untuk mengarahkan dan mengalokasikan sumber daya
yang tersedia bagi pemerintah guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang senantiasa
berubah".

Pandangan Hayek tersebut dimaksudkan untuk mendisiplinkan pemerintah dalam
pengambilan kebijakan ekonomi sebagai respons terhadap krisis ekonomi pada 1930 yang
dikenal dengan Great Depression atau Black Tuesday yang terjadi di Amerika Serikat. Pada
waktu itu, Keyness, melalui bukunya, General Theory, mendesak pemerintah agar
mengambil langkah-langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (governmental
intervention) sebagai upaya menyelamatkan perekonomian AS.

Atas dasar pandangan Keyness tersebut, Presiden Franklin D. Roosevelt mengeluarkan
kebijakan yang kita kenal dengan The New Deal Program. Inti pendapat Keyness adalah agar
pemerintah mendukung pembangunan proyek-proyek kebutuhan sosial, pembangunan
perumahan, rumah sakit, dan sekolah-sekolah. Di bidang keuangan, pemerintah
mengeluarkan kebijakan baru berupa penerbitan Undang-Undang Perbankan, Undang-
Undang Pasar Modal, dan Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan. Sejak itu,
pemerintah AS mendelegasikan pengaturan ekonomi ke tangan pemerintah federal.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ketiga undang-undang itu berkenaan dengan industri
keuangan yang diatur secara ketat oleh pemerintah federal. Misalnya, memisahkan antara
kegiatan di perbankan dan pasar modal. Ketika pada 2008 terjadi lagi krisis keuangan di AS,
pertanyaan yang sama terulang kembali, yaitu apakah pemerintah perlu mengatur dengan
ketat atau detail industri keuangan. Jawabannya adalah penerbitan undang-undang lembaga
keuangan yang dikenal dengan Dodd-Frank Act, yang intinya membatasi keleluasaan industri
keuangan untuk menjual produk keuangan dan/atau mengembangkan bisnis.

Indonesia juga terimbas krisis keuangan pada 2008 tersebut. Untuk mengatasinya, pemerintah
Indonesia menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang
berkenaan dengan bantuan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dengan
mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek (FPJP) dan Perppu yang bertujuan meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap industri perbankan dengan cara meningkatkan jumlah simpanan nasabah yang
dijamin oleh LPS serta Perppu tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Ketiga Perppu tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian kebijakan yang diambil
oleh Bank Indonesia, LPS, dan KSSK yang antara lain dalam bentuk penyempurnaan
beberapa peraturan di bidang perbankan. Di sini, perlu diingat bahwa salah satu syarat
pengaturan yang baik adalah dengan memperhatikan interaksi antar-tiga dimensi, yaitu
ekonomi, politik, dan hukum, dalam proses pembentukan suatu institusi.

Konkretnya, bentuk pengaturan institusi harus meminimalkan pengaruh negatif dari
pemerintah, pengaruh negatif dari industri keuangan, dan terakhir kesewenang-wenangan
oleh institusi itu sendiri. Sejalan dengan Hayek, terutama memusatkan perhatian pada
persoalan membentuk dan membatasi kebijakan ekonomi pemerintah. Hayek tidak
mendukung pemerintah yang pasif, melainkan yang mengupayakan berbagai manfaat bagi
masyarakat. Ia mengatakan tujuan akhir kebijakan adalah harus memenuhi kebutuhan atau
kepentingan masyarakat.

Sebagaimana halnya dengan ajaran Hayek, bahwa intervensi pemerintah harus memenuhi
disiplin tertentu, dalam membuat kebijakan pemerintah harus memperhatikan asas-asas
umum penyelenggaraan negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UU Nomor 28 Tahun
1999, yaitu asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum,
keterbukaan dan proporsionalitas, profesionalitas, serta asas akuntabilitas.

Sayangnya, undang-undang yang dimaksudkan tidak memberi jawaban kepada pemerintah
jika terjadi krisis. Karena itu, penilaian terhadap kebijakan pemerintah sebagai tindak lanjut
pelaksanaan Perppu harus juga memperhatikan ketentuan yang dimuat dalam Perppu sebagai
dasar hukum yang membolehkan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab di bidang
keuangan mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi menghadapi krisis. Meski begitu, semua
kebijakan yang diambil pasti sudah memperhatikan ketentuan UU Nomor 28 tersebut.

Singkat kata, standar tertinggi yang dipakai untuk menilai kebijakan adalah kepentingan
masyarakat. Hal itu perlu menjadi pemahaman manakala pemerintah dihadapkan pada
kondisi harus membuat suatu kebijakan dalam situasi yang tidak normal atau keadaan krisis.

Anda mungkin juga menyukai