Anda di halaman 1dari 27

Skenario

Reaksi Alergi
Seorang perempuan berusia 20 tahun, datang ke dokter dengan keluhan gatal-gatal
serta bentol-bentol merah yang hampir merata diseluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak
mata dan bibir setelah minum obat penurun panas (Paracetamol). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan angioedema di mata dan bibir serta urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan
keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia
mendapatkan obat antihistamin dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu
berhati-hati dalam meminum obat serta berkonsultasi dulu dengan dokter.









































Kata Sulit

1. Angioedema : reaksi vaskular dermis bagian dalam atau jaringan
subkutan atau mukosa (dorland ed 28)
2. Urtikaria : Gejala alergi yang muncul pada kulit dalam bentuk
kemerahan (eritmia), benjol dan gatal. Dapat terjadi
pada suatu bagian tubuh tertentu atau seluruh tubuh
(Siti Aisyah, 2008)
3. Hipersensitivitas :
4. Alergi : Reaksi menyimpang dari mekanisme pertahanan tubuh
terhadap benda yang secara normal tidak berbahaya
bagi tubuh dan melibatkan IgE (prodia.co.id pada 7 mei
2014)
5. Hipersensitivitas tipe cepat : Terjadi dalam hitungan detik dan menghilang dalam
hitungan jam (...). Sama dengan Hipersensitivitas tipe I,
akibat terpapar antigen spesifik (Abbas, 2004)



































Identifikasi masalah

Pertanyaan :
1. Apa saja jenis-jenis hipersensitivitas?
2. Apa perbedaan masing masing tipe?
3. Mengapa tubuh dapat bereaksi alergi? Bagaimana mekanismenya?
4. Mengapa diberikan obat antihistamin dan kortikosteroid? Adakah obat lain?
5. Apa macam-macam reaksi alergi?
6. Apakah alergi dapat menimbulkan kematian?
7. Alergi terjadi karena genetik atau timbul tiba-tiba ?
8. Apa dalil dari skenario tersebut?

Jawaban :
1. Hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, tipe IV
2. Hipersensitivitas tipe I adalah tipe cepat yang dapat menimbulkan kematian dan
dipengaruhi oleh IgG ;
Hipersensitivitas tipe II adalah yang berhubungan dengan antibody dipengaruhi oleh
IgG dan IgM, dapat terjadi pada donor darah ;
Hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imunitas yang dapat mengakibatkan artritis
rematoid ;
Hipersensitivitas tipe IV adalah yang diperantarai oleh sel, contohnya pada donor
organ ;
Dan berdasarkan waktu dapat terbagi jadi tipe cepat, alergi muncul dalam hitungan
detik; tipe intermediet, muncul setelah beberapa jam; tipe lambat, muncul setelah 48
jam terpajan.
3. Antigen masuk yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, menimbulkan
makrofag keluar dan memakan antigen. Antigen muncul pada permukaan sel yang
kemudian merangsang limfosit untuk berpoliverasi yang kemudian berikatan dengan
sel mast dan menghasilkan histamin yang menyebabkan timbul gejala klinis
4. Antihistamin berguna sebagai penghambat histamin agar tidak terus produksi
Kortikosteroid berguna untuk menekan stress dan kekebalan dari reaksi alergi
Obat lainnya berupa Kromalin, Ketotiven, Epinefrin,
5. Berupa eritema, udema, urtikaria, bersin, batuk, dan demam
6. Bisa, karena histamin dapat berpengaruh pada otot polos
7. Dapat terjadi akibat keduanya. Misalkan pada Sindrom tertentu dan adanya perubahan
mekanisme dalam tubuh
8. Asy-syura ayat 48














Hipotesis

Manusia mengalami alergi yang menyebabkan hipersensitivitas. Hipersensitivitas ada 4 tipe
yaitu tipe I anafilatik, tipe II sitotoksik IgG dan IgM, tipe III kompleks imun, dan tipe IV
diperantarai sel. Gejala yang dapat ditimbulkan berupa eritmia, udema, pusing, batuk, demam,
dan gatal-gatal. Reaksi alergi tersebut dapat ditimbulkan dari pelepasan histamin oleh sel
mast akibat adanya antigen yang masuk. Alergi dapat terjadi karena bawaan genetik dan
adanya perubahan mekanisme tubuh. Alergi dapat diobati dengan memberikan obat
antihistamin, kortikosteroid, kromalin, ketotifen, epinefrin. Bila tidak diobati, alergi yang
parah dapat menyebabkan kematian. Sesuai dengan ajaran Islam, bahwa kita harus berhati-
hati, apabila ada malapetaka atau musibah kita tidak boleh berputus asa dan memohon
kebaikan kepada Allah.







































Sasaran Belajar

1. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas
1.1.Definisi
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri
atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.
(Baratawidjaja, 2009)

1.2.Klasifikasi
Menurut Waktu Timbulnya Reaksi
o Reaksi cepat
- Terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam
- Ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
pelepasan mediator vasoaktif
- Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis local

o Reaksi intermediet
- Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam
- Reaksi ini melibatkan pembentukkan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan melalui aktivasi komplemen dan sel NK/ADCC
- Manifestasi klinis dapet berupa:
Reaksi transfusi darah, eritoblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun
Reaksi arthus local dan reaksi sistemik
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel NK atau sel netrofil

o Reaksi lambat
- Terlihat sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh
aktivasi sel Th
- Contoh: dermatitis kontak, reaksi tuberculosis.

Menurut Gell dan Coombs
o Hipersensitivitas immediate (tipe I) respon imun dimediasi oleh sel TH2, antibodi
IgE, dan sel mast; yang pada akhirnya akan mengeluarkan mediator inflamasi.
o Hipersensitivitas antibody-mediated (tipe II) antibodi IgG dan IgM dapat
menginduksi inflamasi dengan mempromosikan fagositosis atau lisis terhadap luka
pada sel. Antibodi juga mempengaruhi fungsi selular dan menyebabkan penyakit
tanpatanpa ada luka jaringan.
o Hipersensitivitas kompleks imun (tipe III) antibodi IgG dan IgM mengikat antigen
yang biasanya ada di sirkulasi darah, dan kompleks antibodi-antigen mengendap di
jaringan yang pada akhirnya akan menginduksi proses inflamasi.
o Hipersensitivitas cell-mediated (tipe IV) luka seluler dan jaringan akan
menyebabkan tersintesisnya sel limfosit T (TH1, TH2, dan CTLs). Sel TH2
menginduksi lesi yang termasuk kedalam hipersensitivitas tipe I, tidak termasuk
hipersensitivitas tipe IV.
Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian imunologi, telah dikembangkan
beberapa modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs yang membagi lagi tipe IV dalam
beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi tipe I, II, dan III dianggap sebagai reaksi
humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran

seluler. Oleh karena itu pembagian Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih lanjut
seperti terlihat pada table dibawah ini.
Klasifikasi Gell dan Coombs yang dimodifikasi (Tipe I-VI)
Tipe/mekanisme Gejala Contoh
I. IgE
Anafilaksis, urtikaria,
angioedema, mengi,
hipotensi, nausea, muntah,
sakit abdomen, diare
Penisilin dan -laktam
lainnya, enzim, antiserum,
protamin, heparin antibodi
monoklonal, ekstrak alergen,
insulin
II. sitotoksik (IgG
dan IgM)
Agranulositosis

Anemia hemolitik


Trombositopenia
Metamizol, fenotiazin

Penisilin, sefalosporin, -
laktam, kinidin, metildopa

Karbamazepin, fenotiazin,
tiourasil, sulfonamid,
antikonvulsan, kinin, kinidin,
parasetol, sulfonamid, propil,
tiourasil, preparat emas
III. kompleks imun
(IgG dan IgM)
Panas, urtikaria, atralgia,
limfadenopati

Serum sickness
-laktam, sulfonamid,
fenotiazin, streptomisin

serum xenogenik, penisilin,
globulin anti-timosit
IV. hipersensitivitas
selular
Eksim (juga sistemik)
eritema, lepuh, pruritus




Fotoalergi


Fixed drug eruption

Lesi makulopapular
Penisilin, anestetik lokal,
antihistamin topikal,
neomisin, pengawet, eksipien
(lanolin, paraben),
desinfekstan

Salislanilid (halogeneted),
asam nalidilik

Barbiturat, kinin

Penisilin, emas, barbiturat, -
blocker
V. reaksi granuloma Granuloma Ekstrak alergen, kolagen larut
VI. hipersensitivitas
stimulasi
(LE yang diinduksi obat)
Resistensi insulin
Hidralazin, prokainamid
Antibodi terhadap insulin
(IgG)

1.3.Pemeriksaan
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya
debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini
dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan

pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi
tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam
waktu 30 menit. Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol
merah gatal.
Syarat tes ini :
- Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 7 hari, tergantung jenis obatnya.
- Umur yang di anjurkan 4 50 tahun.

2. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat
dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul
bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
- Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
- 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.

3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4
jam.
-
obatan.

4. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes
di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif
akan timbul,bentol,merah,gatal.

5. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,
dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen
hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma
dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai,
karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma
dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh
Skin Prick Test dan IgE spesifik metode RAST.

Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo
Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan
secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 30 menit. Dalam
satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat
lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi
alergi tipe lambat. (medicinesia.com diunduh pada 11 mei 2014)


2. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas tipe I
2.1. Definisi
Reaksi Hipersensitivitas Tipe I atau Reaksi Alergi
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi
alergi, timbul sesudah tubuh terpapar dengan alergen. Istilah alergi yang pertama
kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang berasal dari alol (Yunani) yang
berarti perubahan dari asalnya yang dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan
reaktivitas organism. (Bratawidjaja, 2012)
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau
reaksi anafilaksis atau reaksi alergi mengikuti kombinasi suatu antigen dengan
antibodi yang terlebih dahulu diikat pada permukaan sel basofilia (sel mast) dan
basofil. (Bratawidjaja, 2014)

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic
factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara
enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma.
Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat
meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang
timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan
terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas
vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa
gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi.
Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna
adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai
peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian
gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik
berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal
setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi
fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara
memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini
mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan
normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung.
Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui
reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons
beberapa sel termasuk limfosit. (Bratawidjaja, 2010)

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat
reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang
sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan
pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan
alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4
yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang
khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel
mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak
mengikat IgE. (Bratawidjaja, 2010)

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen
paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam
beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan
alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari).
Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan
mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di
tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat,
faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat
terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan
mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses
inflamasi.
(Bratawidjaja, 2010)

1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi
pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2,
PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2
juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang
berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil,
makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai
obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2)
dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan
permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan
terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi
peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi
belum diketahui. (Bratawidjaja, 2010)




2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat
yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien
LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4,
LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak

menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-
A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi. (Bratawidjaja, 2010)

2.2.Mekanisme


Gambar 1.

Pada tipe 1 terdapat beberapa fase, yaitu :

a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.
b. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
c. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksisi) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi
farmakologik. (Bratawidjaja, 2010)

Antigen menginduksi sel B untuk membentuk antibodi IgE dengan bantuan
sel Th yang mengikat erat dengan bagian Fc-nya pada sel mast dan basofil. Beberapa
minggu kemudian, apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka
antigen akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast dan basofil.
Akibat ikatan antigen-IgE, sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepas
mediator dalam waktu beberapa menit yang preformed antara lain histamin yang
menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I.


Tabel 1.
Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe 1
Mediator Efek

Histamin
Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot
polos, sekresi mukosa gaster
ECF-A Kemotaksis eosinofil
NCF-A Kemotaksis neutrofil
Protease
Sekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh
darah, pembentukan produk pemecah komplemen
PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru
Hidrolase asam Degradasi matriks ekstraseluler

Tabel 2.
Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1
Mediator Efek
Sitokin Aktivasi berbagai sel radang
Bradikinin
Peningkatan permebilitas kapiler,
vasodilatasi, kontraksi otot polos,
stimulasi ujung saraf nyeri
Prostaglandin D2
Kontrakso otot polos paru, vasodilatasi,
agregasi trombosit
Leukotrien
Kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas, kemotaksis

(Bratawidjaja, 2014)


Gambar 2.
2.3.Manifestasi klinis

a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ
spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk.
Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut
atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE
seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam
jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada
permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam
kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan
saluran nafas.

b. Reaksi sistemik anafilaksisi
Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam
beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs
Tipe 1 atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam
nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai
mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-
kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan
anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.

c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.
Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara
klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi
klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini tidak
memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid
dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS,
etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.



Tabel 3. Reaksi Alergi
Jenis Alergi Alergen Umum Gambaran
Anafilaksis Obat, serum, kacang-kacangan
Edema dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, okulasi
trakea , koleps sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian
Urtikaris akut Sengatan serangga Bentol, merah
Rinitis alergi Polen, tungau debu rumah Edema dan iritasi mukosa nasal
Asma Polen, tungau debu rumah
Konstriksi bronkial, peningkatan
produksi mukus, inflamasi saluran
nafas

Makanan
Kerang, susu, telur, ikan, bahan
asal gandum
Urtikaria yang gatal dan potensial
menjadi anafilaksis
Ekzem atopi
Polen, tungau debu runah,
beberapa makanan
Inflamasi pada kulit yang terasa
gatal, biasanya merah dan ada
kalanya vesikular

2.4. Penanganan
Usaha penanganan dan pengobatan apabila terserang reaksi hipersensitivitas tipe I
adalah sebagai berikut :
o Ringan :
- Stop Alergen
- Beri anti histamin
o Sedang :
- Sama dengan penatalaksanaan derajat ringan ditambah aminofilin atau injeksi
adrenalin1/1000 0,3 ml SC/IM. Dapat diulang tiap 10-15menit sampai sembuh,
maksimal 3 kali
- Amankan jalan nafas, oksigenasi
o Berat (Syok) :
- Sama dengan penatalaksanaan derajat sedang ditambahposisi terlentang, kaki
diatas
- Infus Nacl 0,9 %/ D5%
- Hidrokortison 100 mg atau deksametason IV tiap 8 jam
- Bila gatal : beri difenhidramin Hcl 60-80 mg IV secarapelan > 3 menit
- Jika alergen adalah suntikan, pasang manset diatasbekas suntikan (dilepas
setiap 10-15 menit) dan beriadrenalin 0,1-0,5 ml IM pada bekas suntikan
- Awasi tensi, nadi, suhu tiap 30 menit
- Setelah semua upaya dilakukan, jika dalam 1 jam tidakada perbaikan rujuk ke
RSUD
Penanganan menurut gambaran klinik:
1. Anafilatoksis local
Menghindari allergen dan makanan yang dapat menyebabkan alergi.
Bila allergen sulit dihindari (seperti pollen, debu, spora, dll) dapat digunakan
antihistamin untuk menghambat pelepasan histamine dari sel matosit, seperti
Chromolyn sodium menghambat degranulasi sel mast kemungkinan dengan
menghambat influx Ca.
Bila terjadi sesak nafas pengobatan dapat berupa bronkoditalor (leukotriene
receptor blockers. Seperti Singulair, Accolate) yang dapat merelaksasi otot
bronkus dan ekspektoran yang dapat mengeluarkan mucus.
2. Anafilatoksis sistemik
Pengobatan harus dilakukan dengan cepat dengan menyuntikan epinefrin
(meningkatkan tekanan darah) atau antihistamin (memblok pelepasan histamine)
secara intravena.

3. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas tipe II
3.1. Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi
karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan
bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan
antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen

atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah sitolitik lebih tepat
mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi
tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK
yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui
ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
(Bratawidjaja, 2014)

3.2.Mekanisme
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi,
penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit
autoimun.
Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor
untuk Fc
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan
antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen
tersebut dapat merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel atau
matriks ekstraseluler atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi
(misalnya metabolit obat). Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan
antibodi yang di ikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

1. Opsonisasi dan Fagositosis yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor

Sel-sel yang menjadi target antibodi diopsonisasi oleh molekul-molekul yang
mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami deplesi. Saat
antibodi (IgG/IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan sistem
komplemen. Aktivasi komplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang
akan terikat pada permukaan sel. C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang
mengekspresikan reseptor C3b dan C4b. Sebagai tambahan, sel-sel yang di-
opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit reseptor Fc. Hasil akhirnya
yaitu fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel tersebut dihancurkan.
Aktivasi komplemen juga menyebabkan terbentuknya membrane attack complex,
yang mengganggu integritas membran dengan membuat lubang-lubang
menembus lipid bilayer, sehingga terjadi lisis osmotik sel.
Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui proses lain yaitu
antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Bentuk jejas yang ditimbulkan
tidak melibatkan fiksasi komplemen melainkan membutuhkan kerjasama leukosit.
Sel yang di selubungi dengan IgG konsentrasi rendah lalu dibunuh oleh berbagai
macam sel efektor yang berikatan pada sel target dengan reseptor untuk fragmen
Fc dari IgG dan sel akan lisis tanpa mengalami fagositosis. ADCC dapat
diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil,
makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi
IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh
eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. Peran dari ADCC dalam hipersensitivitas
masih belum dapat dipastikan.



2. Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan
fagositosis/lisis sel. Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen,
yang selanjutnya menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan
monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc.
Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan intermediate oksigen
reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan pada
glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.

3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan
sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi.
Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin
dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular
disertai kelemahan otot.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip dari reaksi
hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk menyebabkan
sitolitik pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada
permukaan membran sel. Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa
menjadi reaksi hipersensitivitas tipe II melalui adanya pembentukan kompleks
antigen-antibodi. Namun, hal tersebut sulit untuk dibuktikan karena efek reaksi
obat yang begitu cepat lebih mengarah pada adanya anafilaktik obat yang
merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I. (Bratawidjaja, 2014)

3.3.Manifestasi klinis
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik
autoimun .

Reaksi Transfusi
a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh
berbagai gen.
b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi
transfusi, karena antiB isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang
menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi
dapat cepat atau lambat .
- Reaksi cepat
Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM.
Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan
disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria. Beberapa hemaglobin
diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik.
Gejala khas : Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri
pinggang bawah, dan hemoglobinuria.

- Reaksi lambat
Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah yang
kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah yang lain. Terjadi
2-6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG
terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan
resus, Kidd, Kell, dan Duffy.


Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi
baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-).
Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan
melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang
sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan
membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat
melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus
biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig
tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya
terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk
mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk
Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan
C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin
panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat
diabsorbsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang
selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
(Baratawidjaja, 2009)

Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat
mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan
trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah
putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.

3.4.Penanganan
Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena
patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang
dilakukan untuk penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan
mengendalikan gejala saja.

4. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas tipe III
4.1. Definisi
Hipersensitivitas tipe III adalah reaksi imun kompleks antigen-antibodi. Kompleks
antigen-antibodi menstimulus inflamasi pada jaringan seperti dinding kapiler.
Antigen-antibodi kompleks dapat merangsang respon inflamasi akut yang
mengarah aktivasi komplemen dan leukosit PMN infiltrasi. Kompleks imun
terbentuk baik oleh antigen eksogen seperti dari mikroba atau dengan antigen
endogen seperti DNA. Mediasi imun kompleks dapat berupa sistemik atau lokal.
Pada sistemik, antigen-antibodi kompleks diproduksi dalam sirkulasi, disimpan
dalam jaringan, dan memulai peradangan. Imun kompleks disimpan dalam

jaringan, komplemen adalah tetap, dan PMNs adalah tertarik ke situs. Enzim
lisosomal dilepaskan, mengakibatkan cedera jaringan. (Bratawidjaja, 2014)

4.2.Mekanisme

Gambar4.

Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks
imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang
menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang
tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau
jaringan.

1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat
merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
o Agregasi trombosit
o Aktivasi makrofag
o Perubahan permeabilitas vaskuler
o Aktivasi sel mast
o Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
o Pelepasan bahan kemotaksis
o Influks neutrofil

2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut
terjadi karena histamin yang dilepas oleh sel mast. Hipersensitifitas ini terjadi karena
adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang mengendap dalam jaringan yang dapat
berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen
berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi
patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan
mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit
mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada
pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan

komponen komplemen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding
pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.

Gambar 5.
Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing
yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang
menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang
dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal
(glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit. Reaksi
hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang
tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu
sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang
telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat.
Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga
mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan
setempat disertai

4.3.Manifestasi klinis
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES .

A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus
Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat
yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci. Lalu
setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Hal
tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.
Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa
vaskulitis dengan nekrosis.
Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut :
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat
kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di
jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.

2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai
faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi.
Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran
darah.
3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti
protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan
menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

B. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness
Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme
sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggi
dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus
koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi
kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan
jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator
antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan
Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan
mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi
Pirquet dan Schick.

Table 5. Penyakit oleh kompleks imun
Penyakit Spesifitas antibody Mekanisme Manifestasi
klinopatologi
Lupus eritematosus DNA, nucleoprotein Inflamasi diperantarai
komlplemen dan
reseptor Fc
Nefritis, vaskulitis,
arthritis
Poliarteritis nodosa Antigen permukaan
virus hepatitis B
Inflamasi diperantarai
komplemen dan
reseptor Fc
Vaskulitis
Glomreulonefritis
post-streptokokus
Antigen dinding sel
streptokokus
Inflamasi diperantarai
komplemen dan
reseptor Fc
Nefritis

4.4.Penanganan
Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan
antitoksin.

5. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas tipe IV
5.1. Definisi
Reaksi hipersensitivitas type IV disebut juga reaksi hipersensitivitas type lambat
yang diperantarai oleh sistem imun selular, yaitu melalui perantara sel T yang
tersensitisasi secara khusus dan bukan diperantarai antibody. Reaksi
hipersensitivitas type IV dibagi menjadi dua type dasar yaitu:
1. Delayed type hypersensitivity (DTH) yang diinisiasi oleh sel T CD4+
2. T cell mediated cytolysis / sitotoksitas sel langsung yang diperantarai oleh sel T
CD8+
Pada hipersensitivitas type lambat, sel T CD4+ type TH1 menyekresikan sitokin
sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel-sel lain, terutama makrofag, yang
merupakan sel efektor yang utama. Sedangkan pada sitotoksitas selular, sel T
CD8+ sitotoksik menjalankan fungsi efektor. (Bratawidjaja, 2014)

5.2.Mekanisme
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV :
a. Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th
diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada
kulit dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid
regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1
(umumnya).

b. Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan
melepas sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel
inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke
jaringan sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan
menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.

Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang
teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi
dan pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan
Sarkoidasis .

5.3.Manifestasi klinis
Manifestasi khas : Dermatitis kontak, Lesi tuberculosis dan penolakan tandur .
- Dematitis kontak

Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak
berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi
DTH).

- Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan
Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan
menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan
dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit
akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi ini diperantarai oleh
sel CD4+.
- Reaksi Jones Mote
Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang
mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai
hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah
pajanan dengan protein dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi
ini disebabkan oleh suntikan antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.
- Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh
sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak
sistemik, contoh pada infeksi virus hepatitis.

5.4.Penanganan
Pengobatan menggunakan imunosupresan seperti syklosporin A atau FK-506
(Tacrolimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses transplantasi
organ. Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfosit T dengan
menghambat proses transkripsi IL-2. Pengobatan dapat pula menggunakan
kortikosteroid.

6. Memahami dan menjelaskan Farmakologi Antihistamin, Kortikosteroid
6.1. Antihistamin
Ada banyak golongan obat yang termaksud dalam antihistamin, yaitu antergan,
neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema,
eritem, dan pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan
simetidin untuk menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis
antihistamin, yaitu:

6.1.1. Antagonis reseptor H1 (AH1)
Farmakodinamik
AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot
polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai pelepasan histamine endogen berlebihan.

Farmakokinetik
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya
lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui
urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.


Indikasi
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan.

Efek samping
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan
dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur,
diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.

6.1.2. Antagonis reseptor H2 (AH2)
Simetidin dan Ranitidin
Farmakodinamik
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga
mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.

Kontraindikasi
Antihistamin generasi kedua hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait
secara struktural.

Farmakokinetik
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama
atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode
pascamakan. Ranitidn mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal, sisanya melalui tinja.

Indikasi
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat
penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.

Efek samping
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri
kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.


Famotidin
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada
keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih
poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.

Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah penggunaan
secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam.

Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa
paruh eliminasi dapat melibihi 20 jam.

Indikasi
Efektifitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis, dan
untuk pasiendengan sindrom Zollinger- Ellison.

Kontra Indikasi :
Penderita yang hipersensif terhadap Famotidine.

Efek samping
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan
diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.

Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.

Farmakokinetik Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1
jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam,
disekresi melalui ginjal.

Indikasi
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8 minggu,
tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.

Kontra Indikasi :
Penderita yang hipersensif terhadap Famotidine.

Efek samping
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik.

(Gunawan, 2011)


6.2. Kortikosteroid
a. Mekanisme kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
b. Farmakodinamik
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain
itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf
dan organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek
anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.

Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan
massa kerjanya.
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

(Gunawan, 2011)

c. Farmakokinetik
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan
lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistematik, antara lain supresi korteks adrenal. (Gunawan, 2011)


d. Indikasi
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini
digunakan :
- Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan
trial dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan
penyakit.
- Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
- Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
- Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis
melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah.
- Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-
inflamasinya.
- Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa
pasien. (Gunawan, 2011)


e. Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang
mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada
keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi
relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau
gangguan sistem kardiovaskular lainnya. (Gunawan, 2011)

f. Efek samping

- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba
atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
- Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan
malaise.
- Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan
elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau
perforasi, osteoporosis dll.
- Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroid sintetik.
Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.
(Gunawan, 2011)


7. Memahami dan menjelaskan Hukum Islam untuk menentukan dua pilihan terbaik
Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-maslahah
yaitu: Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil manfaat
atau menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih
manfaat dan menghindarkan kemudaratan terseut bukanlah tujuan kemasalahatan
manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami maksud dengan maslahah adalah
memelihara tujuan syara.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan,
yaitu
Kemasalahatan menurut manusia, dan
Kemaslahatan menurut syariat.

Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar terluka di
perang Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota Madinah,
lalu bersabda, Obatilah dia.
Dalam riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,Wahai Rasulullah, apakah ada
kebaikan dalam ilmu kedokteran? Rasullah menjawab, Ya,
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki menderita
sakit di zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, Panggilkan dokter.
Lalu Hilal bertanya, Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu
untuknya? Ya, jawab beliau. (HR Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda,
Panggilkan dokter! kemudian ada yang bertanya, Bahkan engkau mengatakan hal
itu, wahai Rasulullah? Ya, jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah menganjurkan
kita untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang diciptakan Allah
untuk kita. Kita juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit karena Rasulullah
bersabda, Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada
mukmin yang lemah. (HR Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad. Hadits Ziyadah bin Alaqah dari Usamah
bin Syuraik menuturkan,Aku berada bersama Nabi lalu datanglah sekelompok orang
Badui dan bertanya,Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berobat? Rasulullah

menjawab, Ya, wahai hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak
menciptakan penyakit kecuali Allah menciptakan obatnya, kecuali satu macam
penyakit. Mereka bertanya,Apa itu? Rasulullah menjawab,Penyakit tua.(HR
Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan (2038))
Nabi bersabda,Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada penyakitnya
maka ia akan sembuh dengan izin Allah. (HR Muslim: I/191)
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu, Tidaklah Allah menurunkan panyakit
kecuali menurunkan obatnya.(HR Bukhari: VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api. (HR Bukhari
dan Muslim.
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syariat dalam perintah dan larangannya serta hukum-
hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.
Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih besar
dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219



2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.

Al-Quran obat terbaik
Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-
orang zalim selain kerugian. (Al-Isra:82)
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, Di dalam tubuh terdapat segumpal darah, jika ia
baik maka seluruh tubuh akan menjadi baik.(HR Bukhari: I/153 (53) dalam Fathul
Bari)




















Daftar Pustaka


Baratawidjaja, dkk. 2012. Imunologi Dasar. Ed. 10. Jakarta: FKUI
Bratawidjaja, dkk. 2010. Imunologi Dasar edisi 9, Jakarta : FKUI
Bratawidjaja, dkk. 2014. Imunologi Dasar edisi 11, Jakarta : FKUI
E health links. Synthetic Glucocoticoids. 2009. Diunduh dari
http://www.endotext.org/adrenal/adrenal14/ch01s02.html
Gunawan, SG., dkk. 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi V, Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Harvey, Richard A dan Champe, Pamela C. 2013, Farmakologi edisi 4, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai