Anda di halaman 1dari 42

14

REFERAT
STASE RADIOLOGI
RSUD PACITAN

I. DEFINISI
Edema merupakan akumulasi cairan di dalam tubuh. Kata edema atau
pembengkakan tubuh lebih tepat jika disebut sebagai limfadema, hal ini
dikarenakan peningkatan cairan interstitial biasanya disebabkan oleh blockade
limfonodi (Walsh, 2008). Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh
akumulasi cairan di paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini
memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk
bernafas. Penyebab tersering edema paru disebabkan oleh permasalahan jantung.
Namun, akumulasi cairan di dalam paru dapat disebabkan oleh beberapa alasan
diantaranya adalah pneumonia, beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema paru
yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis yang harus segera
ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal, namun
penanganan yang tepat untuk edema paru dan kondisi yang mendasarinya dapat
memberikan tingkat perbaikan yang tinggi. Terapi untuk edema paru sangat
bervariasi, tergantung dari penyebab yang mendasarinya, namun secara umum
terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan medikametosa (Mayo
Clinic, 2012).

Gambar 1. Ilustrasi Edema Paru
15

Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta
penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema
paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di Amerika
serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di Jerman
sekitar 6 juta penduduk menderita edema paru. Penyakit edema paru pertama kali
di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke
berbagai daerah, hingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia. Sejak
pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil dengan kecenderungan
meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar
terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000
penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%,
namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000);
21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
II. ANATOMI
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di
paru-paru. Edema pada paru biasanya terjadi di alveolus dan ruang interstitial
diantara endotel kapiler darah dan dinding alveolus. Penyebab edema paru ini
diantaranya adalah ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik, obstruksi
sistem limfatik pulmonal, dan penyakit yang dapat merusak epitel kapiler ataupun
alveolus.
2.1. Alveolus
Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa
dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri daru
dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel
simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2 atau
biasanya disebut sebagai sel septal, merupakan sel epitel kuboid yang berada
diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai tempat utama
pertukaran gas. Sedangkan sel alveolar tipe 2 merupakan sel yang permukaannya
terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan berfungsi untuk menjaga
permukaan alveolus. Salah satu cairan alveolar tersebut adalah surfaktan, yang
16

terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan
cairan alveolus, yang menurunkan tendensi alveolus untuk kolaps (Derrickson &
Tortora, 2008).


Gambar 2. Anatomi Alveolus
Pada dinding alveolus terdapat pula alveolar makrofag atau disebut juga
sebagai sel dust, fungsi dari alveolar makrofag ini adalah untuk memfagosit atau
membuang partikel debu atau debris di ruang alveolar. Selain itu, terdapat juga
fibroblast yang memproduksi reticular dan serat elastic. Pada bagian luar
permukaan alveolus, arteriole dan venula lobules menyatuu menjadi pembuluh
darah kapiler yang terdiri dari satu lapis sel endotel dan membrane basement.
Pertukaran O2 dan CO2 antara ruang udara di paru dan pembuluh darah melalui
proses difusi melalui dinding alveolus dan endotel, yang bersama disebut sebagai
membrane pernafasan atau respiratory membrane. Jika dimulai dari rongga udara
alveolus menuju ke plasma darah, membrane pernafasan terdiri dari empat
lapisan. Lapisan pertama adalah dinding alveolus yang terdiri dari sel alveolar
tipe1, 2, dan alveolar makrofag; lapisan kedua adalah epitel membrane basement
yang berada di luar dinding alveolus; lapisan ketiga adalah membrane basement
17

kapiler; dan lapisan terakhir adalah endotel kapiler. Walaupun terdiri dari
beberapa lapisan, ketebalan lapisan ini hanya 0,5 m sehingga difusi gas dapat
terjadi. Perkiraan jumlah alveoli di dalam paru-paru adalah sekitar 300 juta alveoli
(Derrickson & Tortora, 2008).
2.2. Ruang Intersitial Paru
Kapiler darah dipisahkan dengan gas alveolar oleh beberapa lapisan
anatomi, diantaranya adalah endotel kapiler, endotel membrane basement, ruang
interstitial, epitel membrane basement, dan epitel alveolus (tipe 1 pneumosit).
Membrane basement epitel dan endotel dipisahkan oleh ruang yang mengandung
jaringan ikat fibrosa, ikat elastic, fibroblast, dan makrofag. Tidak ada sistem
limfatik di ruang interstitial pada septum alveoli, kapiler limfatik pertama muncul
di ruang interstitial mengelilingi bronkiolus terminal, arteri, dan vena kecil
(Chruchill Livingstone, 2010).

Gambar 3. Alran Cairan Interstitial
18

Diantara sel endotel dan epitel, terdapat lubang atau penghubung yang
memungkinkan aliran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan
akhirnya dari ruang interstitial menuju ruang alveolar. Penghubung antara sel
endotel biasanya lebih besar dan disebut loose, sedangkan penghubung antara sel
epitel relative lebih kecil yang disebut tight. Untuk mengetahui bagaimana cairan
interstitial paru diproduksi, disimpan, dan dibersihkan, maka kita harus
mengetahui konsepnya. Konsep pertama adalah ruang interstitial paru merupakan
terusan dari ruangan di antara jaringan ikat perianteriolar dan peribronchial yang
berlanjut menjadi ruang interstitial di antara membrane basement endotel dan
epitel di alveolus; kedua, tekanan negatifnya progresif dari distal ke proksimal
(Chruchill Livingstone, 2010).
Tidak ada sistem limfatik di ruang interstitial di septum alveolus. Kapiler
limfatik mulai ada di ruang interstitial yang mengelilingi terminal bronkiolus dan
arteri kecil. Cairan interstitial normalnya dibuang dari ruang interstitial alveolar ke
saluran limfa oleh mekanisme gradient tekanan, yang disebabkan karena tekanan
ruang interstitial yang lebih negative di daerah arteri besar dan brokus. Aliran
cairan interstitial yang menuju hilum dibantu oleh perbedaan tekanan negative,
katub limfatik, dan pulsasi arteri pulmonalis. Cairan tersebut akhirnya diteruskan
dari limfonodi ke sirkulasi vena sentral. Peningkatan tekanan vena sentral
menurunkan aliran limfa di paru-paru, yang dapat menjadi faktor edema
interstitial (Chruchill Livingstone, 2010).
III. KLASIFIKASI
Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan
menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru
kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang
akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru.
Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi yang
mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi tekanan
rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik.
Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi
saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas
19

adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh
epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi. Perbedaan antara kardiogenik dan non-
kardiogenik sangat penting dilakukan tidak hanya untuk terapi, tapi juga untuk
alasan prognosis (Glaus et al, 2010).

Gambar 4. Klasifikasi Edema Paru
3.1. Edema Paru Kardiogenik
Edema paru kardiogenik akut adalah salah satu tanda dari gagal jantung
berat akut yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru
sampai lebih dari 18 mmHg yang disebabkan dari peningkatan tekanan vena paru.
Dari fisiologisnya sendiri, ruang intravascular dan ekstravaskular dipisahkan oleh
barier endotel. Tekanan yang berpengaruh dalam barier ini adalah tekanan
hidrostatik plasma dan tekanan onkotik plasma. Tekanan hidrostatik plasma
berfungsi untuk mendorong cairan ke luar jaringan. Sedangkan tekanan onkotik
plasma berfungsi untuk menjaga atau menarik cairan ke dalam ruang vaskuler.
Edema paru kardiogenik merefleksikan akumulasi cairan yang berisi protein
rendah di interstitium dan alveolus paru.
Edema Paru
Kardiogenik
Valvular
Non-valvular
Non-kardiogenik
Tekanan Rendah
Alveolus
Peningkatan
Permeabilitas
Alveolus
Neurogenik
20


Gambar 5. Klasifikasi Edema Paru Kardiogenik
3.1.1. Etiologi
Edema paru kardiogenik disebabkan karena peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler paru yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam interstitium
dan alveolus paru. Peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena
paru, dan tekanan mikrovaskular paru dapat menyebabkan edema paru.
3.1.1.1. Obstruksi Aliran Atrium
Obstruksi aliran atrium dapat disebabkan karena stenosis katub mitral, atau
dalam kasus yang jarang dapat disebabkan oleh myxoma atrium, thrombosis pada
katub prostetik, atau adanya membrane kongenital di atrium kiri (contohnya, cor
triatrium). Stenosis mitral sering disebabkan karena demam rematik, yang
akhirnya dapat bermanifestasi sebagai edem paru. Penyebab lainnya terjadinya
edem paru kardiogenik yang bersamaan dengan stenosis katub mitral adalah
penurunan pengisian ventrikel kiri, yang dapat disebabkan oleh takikardia dan
aritmia (penyebab tersering adalah atrial fibrilasi) (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.2. Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri
21

Disfungsi sistolik merupakan penyebab tersering terjadinya edem paru
kardiogenik, hal ini didefinisikan sebagai penurunan kontraktilitas sel miokardium
yang dapat menurunkan volume output jantung. Penurunan output jantung
menstimulasi aktivitas simpatik dan meningkatkan volume darah dengan
mengaktivasi sistem rennin-angiotensin-aldosteron yang nantinya akan
menyebabkan penurunan waktu pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler (Henry & Sovari, 2012).
Kegagalan ventrikel kiri kronis, biasanya disebabkan karena penyakit
gagal jantung kongestif atau kardiomiopati. Penyebab eksaserbasi akut penyakit
ini meliputi, infark miokard akut (IMA), pasien dengan ketidakpatuhan
pembatasan diet garam, pasien dengan ketidakpatuhan mengkonsumsi obat
diuretic, anemia berat, sepsis, thyrotoksikosis, myokarditis, toksin myocardial
(alkohol, kokain, agen kemoterapi), penyakit katub jantung kronis, stenosis aorta,
regurgitasi aorta, dan regurgitasi mitral (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.3. Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri
Infark dan iskemia dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi diastolic
ventrikel kiri. Dengan mekanisme yang hampir sama, kontusio myocardial
menyebabkan disfungsi baik sistolik maupun diastolic. Disfungsi diastolic
merupakan pertana penurunan pada distensisitas atau compliance diastolic
ventrikel kiri. Karena distensisitas ventrikel kiri menurun, peningkatan tekanan
diastolic diperlukan untuk mendapatkan stroke volume yang normal. Meskipun
kontraktilitas ventrikel kiri normal, penurunan output jantung dalam hubungannya
dengan peningkatan tekanan akhir diastolic, menyebabkan timbulnya edema paru
hidrostatik. Abnormalitas diastolic dapat pula disebabkan karena konstriksi
pericarditis dan tamponade jantung (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.4. Disritmia
Disritmia merupakan gangguan irama jantung akibat perubahan
elketrofisiologis sel-sel miokardial yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan
irama, frekuensi, dan konduksi jantung. Onset baru dan cepat dari fibrilasi atrium
dan takikardia ventricular dapat menyebabkan keadaan edem paru kardiogenik
(Henry & Sovari, 2012).
22

3.1.1.5. Hipertrofi dan Miopati Ventrikel Kiri
Hiperttofi dan miopati ventrikel kiri dapat meningkatkan kekakuan
ventrikel kiri dan peningkatan tekanan akhir diastolic, yang nantinya akan
menimbulkan edema paru yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.6. Cairan Berlebih Ventrikel Kiri
Cairan berlebih dapat terjadi pada keadaan kardiak maupun non-kardiak.
Kondisi kardiak dapat disebabkan karena rupturnya septum ventrikel, insufisiensi
aorta akut maupun kronik, dan regurgitasi mitral akut maupun kronik.
Endokarditis, disseksi aorta, rupture trauma, rupturnya fenestrasi katub
kongenital, dan penyebab iatrogenic merupakan etiologi penting terjadinya
regurgitasi akut aorta yang nantinya dapat menyebabkan edema paru (Henry &
Sovari, 2012).
Ruptur septum ventrikel, insufisiensi aorta, dan regurgitasi mitral dapat
menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan peningkatan
tekanan atrium kiri, dan dapat menjadi penyebab terjadinya edema paru. Obstruksi
aliran ventrikel kiri, seperti pada kasus stenosis aorta, dapat menyebabkan
peningkatan tekanan pengisian akhir diastolic, penignkatan tekanan atrium kiri,
dan akhirnya terdapat peningkatan tekanan kapiler paru (Henry & Sovari, 2012).
Peningkatan retensi sodium dapat terjadi pada kasus disfungsi sistolik
ventrikel kiri. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti pada penyakit ginjal primer,
retensi sodium, dan kelebihan cairan dapat memainkan peran utama terjadinya
edema paru. Edema paru kardiogenik dapat pula terjadi pada pasien gagal ginjal
yang memerlukan hemodialisis (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.7. Infark Miokardial
Infark miokardial dapat menjadi salah satu penyebab edema paru
kardiogenik, oleh beberapa sebab. Salah satunya adalah komplikasi mekanis dari
infark miokardial, yaitu rupturnya septum ventrikel atau otot papilar. Komplikasi
mekanis ini secara langsung akan meningkatkan volume load pada serangan akut,
yang nantinya akan menimbulkan terjadinya edema paru (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.8. Obstruksi Aliran Ventrikel Kiri
23

Stenosis akut pada katub aorta dapat menyebabkan edema paru. Namun,
stenosis yang diakibatkan karena penyakit kongenital, kalsifikasi, disfungsi
prostetik, atau penyakit rematik, biasanya berlangsung secara kronis dan dapat
menimbulkan adaptasi hemodinamik pada jantung. Adaptasi hemodinamik ini
diantaranya adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang dapat menyebabkan edema paru
karena disfungsi diastolic ventrikel kiri. Hipertrofi kardiomiopati merupakan
penyebab obstruksi aliran dinamik ventrikel kiri (Henry & Sovari, 2012).
3.1.2. Patofisiologis
Kapiler pembuluh darah paru dan gas di dalam alveolus dipisahkan oleh
membrane kapiler-alveolar. Membran ini terbagi menjadi tiga lapisan, lapisan
pertama adalah endotel kapiler; lapisan kedua adalah ruang interstitial yang terdiri
dari jaringan ikat, fibroblast, dan makrofag; dan lapisan terakhir adalah epitel
alveolus. Pertukaran cairan normalnya terjadi diantara vascular bed dan ruang
interstitium. Edema paru terjadi saat aliran cairan dari vaskuler ke dalam ruang
interstitial meningkat (Henry & Sovari, 2012).
Hukum starling menentukan keseimbangan cairan diantara alveolus dan
vascular bed. Aliran cairan yang melintas antar membrane ditentukan oleh
persamaan:
Q = K (Pcap Pis) I (Pcap Pis)

dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan
hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah
tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke
kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding
kapiler dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic
koloid plasma, yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah
tekanan osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari
kepiler (Henry & Sovari, 2012).
Filtrasi cairan dapat meningkat dengan perubahan parameter dari hukum
Starling tersebut. Edema paru kardiogenik secara predominan terjadi karena
gangguan aliran pada atrium kiri atau karena disfungsi ventrikel kiri. Pada edem
24

paru yang terjadi karena peningkatan tekanan kapiler paru, maka tekanan kapiler
parunya harus lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan koloid osmotic plasma.
Tekanan kapiler paru normalnya 8 12 mmHg, dan tekanan osmotic koloidnya
adalah 28 mmHg (Henry & Sovari, 2012).
Sistem limfa memainkan pernana penting dalam menjaga agar cairan di
paru selalu seimbang dengan cara membuang cairan, koloid, atau liquid dari ruang
interstitial dengan kecepatan 10 20 mL/jam. Pada peningkatan tekanan kapiler
arteri paru melebihi 18 mmHg, hal ini dapat meningkatkan filtrasi dari cairan ke
dalam ruang interstitium, namun kecepatan pembuangan sistem limfa tidak ikut
meningkat. Hal ini berbeda dengan peningkatan tekanan atrium kiri yang kronis,
dengan kecepatan pembuangan sistem limfe bisa sampai 200 mL/jam, yang dapat
memproteksi paru dari edema paru (Henry & Sovari, 2012).
3.1.3. Stadium
Terdapat tiga stadium pada edema paru kardiogenik menurut prosesnya.
Stadium pertama atau biasa disebut sebagai stage 1 adalah peningkatan tekanan
atrium kiri yang dapat menyebabkan distensi dan pembukaan pembuluh paru
kecil. Pada stadium ini, pertukaran gas darah tidak terganggu. Pada stadium kedua
atau stage 2, cairan dan koloid berpindah ke ruang interstitium paru dari kapiler
paru, namun peningkatan aliran limfa dapat secara efisien membuang cairan
tersebut. Berlanjutnya filtrasi cairan yang terus-menerus dapat membuat kapasitas
drainase limfatik tidak dapat mengkompensasinya lagi. Akumulasi cairan di ruang
interstitium dapat mengganggu pertukaran gas yang dapat menyebabkan
hipoksemia. Hipoksemia pada stadium ini dapat menstimulasi terjadinya takipneu.
Takipneu dapat terjadi karena stimulasi reseptor juxtapulmonary kapiler. Pada
stadium terakhir atau stage 3, filtrasi cairan di ruang interstitial berlanjut yang
akhirnya sampai memenuhi ruang tersebut (diperkirakan 500 mL cairan).
Akhirnya cairan berpindah dari ruang interstitium ke epitel alveolar, dan akhirnya
memenuhi ruang alveolar. Pada stadium ini, abnormalitas pertukaran gas dapat
dilihat, kapasitas vital, dan volume respiratory menurun, yang menyebabkan
hipoksemia menjadi lebih berat (Henry & Sovari, 2012).

25

3.1.4. Manifestasi Klinis
Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya memiliki gejala klinis
gagal jantung kiri. Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas yang tiba-tiba dan
berat, rasa cemas, dan perasaan seperti tenggelam. Manifestasi klinis dari edema
paru kardiogenik akut mencerminkan bukti adanya hipoksia dan peningkatan
tonus simpatis. Pada pasien dengan edema paru kardiogenik, keluhan paling
sering adalah sesak nafas dan diaphoresis atau keringat berlebihan. Pasien
biasanya mengeluhkan dispneu saat aktifitas, ortopneu, dan paroksismal nocturnal
dispneu. Batuk adalah keluhan yang sering dan dapat memberikan petunjuk awal
adanya perburukan edema pada paru pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang
kronis. Sputum berwarna pink dan berbusa mungkin dikeluhkan oleh pasien
dengan penyakit yang parah. Kadang disertai suara serak dikarenakan gangguan di
persarafan laring karena stenosis mitral atau hipertensi pulmonal. Nyeri dada
harus diwaspadai oleh dokter sebagai kemungkinan untuk infark miokardial akut,
atau diseksi aorta dengan regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).
3.1.5. Pemeriksaan Fisik
Temukan fisik pada pasien dengan edema paru kardiogenik didapatkan
takipneu dan takikardi. Pasien mungkin duduk secara tegak untuk mendapatkan
udara yang lebih. Selain itu pasien juga dapat menjadi gelisah, cemas, bingung,
dan mengeluarkan banyak keringat. Hipertensi sering didapatkan karena adanya
keadaan hiperadrenergik. Hipotensi menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri
yang parah yang dapat merupakan kemungkinan adanya syok kardiogenik.
Auskultasi paru-paru biasanya menunjukkan hasil normal, tapi ronki atau
wheezing mungkin dapat terdengar. Pada auskultasi kardiovaskuler biasanya
penting untuk mendengarkan adanya S3 pada jantung, penemuan adanya murmur
dapat membantu dalam diagnosis gangguan katub akut. Stenosis aorta dikaitkan
dengan murmur sistolik yang keras yang dapat terdengar baik sternum atas dan
menjalar ke arteri karotis. Sebaliknya, regurgitasi aorta akut dapat ditemukan
murmur diastolic yang lembut (Henry & Sovari, 2012).
Regurgitasi mitral akut akan ditemukan murmur sistolik keras yang
terdengar baik di apeks atau di sternum bagian bawah. Stenosis mitral biasanya
26

menghasilkan S1 keras, dan gemuruh diastolik pada apeks jantung. Gejala klinis
lain adalah kulit yang pucat atau bintik-bintik yang diakibatkan vasokonstriksi
perifer. Pasien dengan gagal jantung ventrikel kanan mungkin dapat ditemukan
hepatomegali, hepatojugular reflux, dan edema perifer. Edema paru kardiogenik
parah mungkin terkait dengan perubahan status mental, yang dapat disebabkan
oleh hipoksia atau hiperkapnia. Meskipun edema paru kardiogenik biasanya
berhubungan dengan hipokapnia, hiperkapnia dengan asidosis respiratorik dapat
dilihat pula pada pasien dengan edema paru kardiogenik parah atau penyakit
obstruktif kronik yang mendasari (Henry & Sovari, 2012).
3.1.6. Pemeriksaan Penunjang
3.1.6.1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan dalam evaluasi pasien
dengan penyakit edema paru kardiogenik adalah sebagai berikut; hitung darah
lengkap, pemeriksaan ini digunakan untuk membantu dalam menilai apakah
terdapat anemia berat, sepsis, atau infeksi yang dapat dinilai dari hitung leukosit;
hitung elektrolit, pasien dengan CHF kronis sering mendapatkan terapi diuretic
yang merupakan suatu predisposisi abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia
dan hipomagnesia; BUN dan kreatinin, pemeriksaan ini digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat gagal ginjal dan mengantisipasi respon diuretic, pada
disfungsi sistolik, penurunana BUN dan kreatinin merupakan pertanda adanya
hipoperfusi dari ginjal; Oksimetri, pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui
adanya hipoksia, pemeriksaan ini penting dalam memonitoring respon pasien
untuk suplementasi oksigen dan terapi lainnya; analisis gas darah digunakan untuk
melihat secara akurat saturasi oksigen (Henry & Sovari, 2012).
3.1.6.2. Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai hipertrofi atrium kiri dan
ventrikel kiri. Selain itu dapat digunakan sebagai indicator disfungsi kronis
ventrikel kiri. Elektrokardiogram juga dapat digunakan untuk melihat
takidisritmia akut atau bradidisritmia pada penyakit iskemia atau infark
miokardial akut sebagai salah satu penyebab dari edema paru kardiogenik (Henry
& Sovari, 2012).
27

3.1.6.3. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiograf pada pasien dengan gagal jantung kronis
sangat penting dilakukan sebagai pemeriksaan diagnosis untuk mengetahui
etiologi dari edema paru. Ekokardiograf dapat digunakan untuk mengetahui fungsi
dari sistolik maupun diastolic ventrikel kiri, gangguan fungsi katub, dan
mengetahui penyakit pericardial. Selain itu, pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk mengetahui beberapa etiologi mekanis penyebab edema paru seperti,
rupture akut otot papilar, ventricular septal defect akut, tamponade jantung,
rupture ventrikel kiri, vegetasi katub yang akhirnya dapat menimbulkan
regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).
3.1.7. Tatalaksana
Manajemen utama pada pasien dengan edema paru kardiogenik termasuk
didalamnya adalah resusitasi ABC (airway, breathing, dan circulation). Oksigen
seharusnya diberikan pada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen lebih
dari 90%. Penyakit yang mendasari seperti aritmia atau infark miokard seharusnya
diterapi dengan sesuai. Oksigen diberikan melalui face mask CPAP, intubasi, dan
ventilasi mekanis dapat dipilih tergantung dari keadaan hipoksemia dan asidosis,
sertia kesadaran pasien (Henry & Sovari, 2012).
Tujuan manajemen dari edema paru kardiogenik adalah, pertama
penurunan venous return paru (preload reduction), penurunan resistensi vascular
sistemik (afterload reduction), dan penggunaan obat inotropik. Reduksi preload
digunakan untuk menurunkan tekanan hidrostatik kapiler paru dan penurunan
transudari cairan ke dalam ruang interstitium dan alveolus paru. Reduksi afterload
digunakan untuk meningkatkan cardiac output dan meningkatkan perfusi ke
ginjal, sehingga dieresis dapat berjalan pada pasien dengan kelebihan cairan
(Henry & Sovari, 2012).
Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau pada penyakit katub
jantung, kemungkinan akan terjadi hipotensi. Pasien ini mungkin tidak akan
mengalami perbaikan dengan pengobatan yang menurunkan preload dan afterload.
Oleh karena itu, pengobatan inotropik diperlukan untuk pasien ini untuk menjaga
tekanan darah secara adekuat. Pasien yang masih hipoksia memerlukan suplemen
28

oksigen serta pada pasien dengan distress pernafasan memerlukan bantuan
ventilasi (Henry & Sovari, 2012).
3.1.7.1. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi cairan merupakan prosedur membuang cairan yang sangat
berguna pada pasien dengan disfungsi ginjal dan pada pasien dengan resistensi
diuretic (Henry & Sovari, 2012).
3.1.7.2. Intra-aortic Balloon Pumping
Intra-aortic balloon pumping dapat digunakan untuk menstabilasi
hemodinamik pada pasien sebelum dimulainya terapi definitive. Fungsi dari intra-
aortic balloon pumping ini adalah menurunkan afterload, saat diatol balon ini
gunakan untuk meningkatkan aliran darah koroner (Henry & Sovari, 2012).
3.1.7.3. Diet
Pasien dengan gagal jantung atau edema paru seharusnya diberikan diet
rendah garam untuk menurunkan retensi cairan. Selain itu, keseimbangan cairan
seharusnya juga dimonitor (Henry & Sovari, 2012).
3.2. Edema Paru Non-Kardiogenik
Edema paru non-kardiogenik adalah edema yang disebabkan karena
perubahan permeabilitas dari membrane kapiler paru yang mengakibatkan
keadaan patologis baik secara langsung maupun tidak langsung. Edema paru non-
kardiogenik dapat disebut juga sebagai respiratory distress syndrome. RDS yang
ringan disebut sebagai acute lung injury, dan RDS yang berat disebut sebagai
acute respiratory distress syndrome. Edema paru non-kardiogenik mempunyai
karakteristik kerusakan alveolus difus yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membrane kapiler alveolus dan juga akumulasi cairan yang kaya
protein di ruang alveolus.
3.2.1. Etiopatologi
Beberapa mekanisme telah diketahui sebagai penyebab terjadinya edema
paru non-kardiogenik. Sebagai contoh adalah tekanan alveolar yang rendah,
peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan tekanan hidrostatik, dan
kombinasi ketiganya. Beberapa penyebab edema paru non-kardiogenik menurut
patofisiologinya terjadi karena penurunan tekanan alveolar (edema post obstruksi
29

atau reekspansi edema), edema neurogenik, vaskulitis, dan peningkatan edema
paru. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena
obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan
permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik
disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi. Penurunan tekanan
alveolus mungkin juga terjadi setelah pleurosentesis, pneumotorax, obstruksi
saluran nafas atas (sindroma brachycephalic, paralisis laring, ataupun kolaps
trakeal). Pada neurogenik edema, secara patofisiologi terjadi karena peningkatan
aktivasi simpato-andregenik di medulla oblongata. Hal ini berpengaruh pada
konstriksi vena paru yang membuat darah mengalir lebih banyak dari sistemik ke
sirkulasi pulmonal, hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatis
yang akhirnya dapat menyebabkan edema. Peningkatan permeabilitas vaskuler
menjadi masalah besar penyebab edema paru non-kardiogenik. Hal ini
diakibatkan karena kerusakan berat dan difus pada parenkim paru, yang
menyebabkan permeabilitas endotel dan epitel terganggu, sehingga menyebabkan
cairan yang kaya akan protein keluar (Glaus, 2012).

Gambar 6. Etiologi Edema Paru Non-Kardiogenik
30

Menurut penyebabnya, edema paru non-kardiogenik dibagi menjadi
penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung dari edema
paru non-kardiogenik adalah aspirasi, injuri inhalasi, kontusio pulmonal, infeksi
difus paru. Sedangkan penyebab tidak langsung dari edema paru non-kardiogenik
ini adalah sepsis, syok sepsis, overdosis obat, pancreatitis, uremia, dan
koagulopati. Penyebab langsung berarti etiologi tersebut menyebabkan kerusakan
langsung pada epitel alveolus, sedangkan penyebab tidak langsung berarti
kerusakan epitel terjadi karena dampak tidak langsung atau karena penyebaran
mediator inflamasi secara hematogen. Peneybab tersering terjadinya edema paru
non-kardiogenik adalah infeksi difus paru (direk) dan sepsis (indirek) (Perina,
2003).

Gambar 7. Toxin Penyebab Tersering Non-Kardiogenik
Proses inflamasi yang terjadi pada alveolar dibagi menjadi tiga proses.
Proses pertama adalah inisiasi, yaitu persipitasi antigen oleh antigen presenting
cell, yang nantinya akan melepaskan mediator-mediator inflamasi. Tahap kedua
adalah tahap amplifikasi, yaitu aktifnya neutrofil di organ target (paru). Tahap
terakhir adalah injury, pada tahap ini sel yang mengalami inflamasi akan
melepaskan metabolit O2 reaktif yang akan menimbulkan kerusakan sel.
31

Kerusakan sel ini akan mengeakibatkan permeabilitas vascular meningkat, yang
menyebabkan akumulasi cairan berisi protein di alveolus, dan akhirnya akan
membentuk membrane hialin yang berisi fibrin atau protein. Selain itu, kerusakan
sel dapat menimbulkan penurunan produksi surfaktan yang menyebabkan alveolus
dapat kolaps yang akhirnya akan menurunkan compliance paru yang
menyebabkan peningkatan usaha untuk bernafas sehingga timbul distress respirasi
(Perina, 2003).
3.2.2. Manifestasi Klinis
Edema paru non-kardiogenik mempunyai berbagai derajat manifestasi
distress pernafasan yang nantinya dapat menimbulkan kegagalan pernafasan.
Tanda klinis awal pada edema paru non-kardiogenik adalah peningkatan usaha
untuk bernafas yang ditandai dengan adanya takipneu dan dispneu. Auskultasi
paru sulit untuk membedakan antara edema paru kardiogenik dan edema paru
non-kardiogenik. Beberapa manifestasi untuk membedakan dengan penyebab
kardiogenik diantaranya adalah tidak adanya edema perifer, distensi vena
jugularis, dan gallop ventrikel.
3.2.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan hasil abnormal sesuai dengan
penyebab dasar penyakit atau underlying disease-nya. Tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang spesifik untuk mengidentifiikasi edema paru non-kardiogenik.
Pemeriksaan serum protein mungkin dapat berguna dalam membedakan antara
edema paru kardiogenik dan edema paru kardiogenik. Pasien dengan edema paru
non-kardiogenik menunjukkan hasil adanya hipoproteinemia yang reversible, hal
ini menyarankan bahawa hipoproteinemia dapat digunakan sebagai tanda adanya
edema paru non-kardiogenik. Pemeriksaan IL-8 juga dapat digunakan untuk
mengetahui adanya hipoksia yang cepat pada stadium awal dari ALI atau acute
lung injury sebelum menjadi acute respiratory distress syndrome. Pemeriksaan
saturasi O2 penting digunakan untuk melihat perkembangan penyakit ini.
Penurunan saturasi oksigen, dapat menjadi indikasi dilakukannya pengukuran gas
darah. Pemeriksaan radiografi biasanya menunjukkan hasil yang normal, atau
32

terdapat infiltrate difus bilateral, ataupun infiltrate alveolus. Gambaran jantung
biasanya normal (Perina, 2003).
3.2.4. Tata Laksana
Pada awal terjadinya kerusakan, mungkin pasien tidak mengeluhkan
adanya gejala dan tanda gangguan pernafasan. Tanda awal adalah terjadinya
peningkatan frekuensi pernafasan yang diikuti oleh dispneu. Analisis gas darah
arteri sebaiknya dilakukan untuk melihat tipe dan derajat abnormalitas pertukaran
darah. Pada pasien dengan hipoksemia (PO2 <60 mmHg) tanpa hiperkapnia, dapat
diberikan oksigen yang diberikan melalui nasal prongs atau venture mask dengan
reservoir. Jika hiperkapnia terjadi maka tata laksananya adalah dengan ventilasi
mekanis (Kakauros & Stravros, 2003).
3.2.4.1. Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan tatalaksana yang dibutuhkan untuk pasien
dengan edema paru non-kardiogenik. Jika hipoksemia tidak dapat dikoreksi
dengan menggunakan ventilasi mekanis, maka dapat digunakan positive end-
expiratory pressure atau PEEP. Pada kondisi ini PEEP yang digunakan adalah 5 -
10 cm H20. Fungsi dari PEEP adalah untuk menghindari kolaps alveolus. PEEP
juga dapat meningkatkan FRC dan menghindari risiko dari kerusakan paru
lanjutan. Walaupun penggunaan PEEP efektif dalam meningkatkan oksigenasi
pada pasien, namun risiko komplikasi juga akan bertambah saat digunakan
bersama dengan alat mekanis lainnya. Penggunaan PEEP dengan tekanan yang
sangat tinggi mungkin dapat menyebabkan komplikasi berupa edema alveolar
yang bertambah, penurunan curah jantung, dan penurunan tekanan serta aliran
darah ke ginjal. Komplikasi lainnya penggunaan PEEP adalah barotrauma, yang
insidensinya 5-15% dan berupa pneumomediastinum, pneumothorax, dan
emfisema subkutaneus (Kakauros & Stravros, 2003).
IV. GAMBARAN RADIOLOGIS
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran
tersebut adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau
kerley lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa
33

interlobar biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika
terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut.

Gambar 8. Anatomi Interstitium Paru
Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika
jaringan ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya
sekitar 6 cm dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini
biasanya disebut sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru
atau di sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan
tebal hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan Kerley lines B en face, merupakan
opasitas reticular pada basis paru. Kerley lines D, merupakan garis yang sama
dengan Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral chest radiograph.
Peribronchial cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat seperti
ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya akumulasi
cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus. Peribronchial cuffing bentuknya
ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.
34



Gambar 9. [Gambar Atas] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala
panah putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Bawah]
Peribronchial cuffing, pleural effusion.
Edema paru dapat diklasifikasikan menjadi edema peningkatan tekanan
hidrostatik, edema permeabilitas dengan kerusakan alveolus difus, edema
permeabilitas tanpa kerusakan alveolus difus, edema campuran. Edema paru
memiliki beberapa manifestasi radiologis yang bermacam-macam. Edema paru
post-obstruktif memiliki gambaran khas pada radiologi berupa septal line (Kerley
B lines), peribronchial cuffing, dan pada kasus yang lebih berat terdapat central
alveolar edema (perivascular hazzines). Edema paru dengan emboli kronis paru
bermanifestasi sebagai area dengan garis demarkasi yang tajam atau sharply
demarcated area dengan peningkatan ground-glass attenuation. Edema paru
dengan penyakit oklusi vena bermanifestasi dengan arteri paru yang besar, edema
35

interstitial difus dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan dilatasi ventrikel.
Pada stadium 1 edema paru pada pasien yang hampir tenggelam bermanifestasi
dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan patchy, konsolidari perihilar
alveolus; sedangkan pada stadium 2 dan 3 manifestasi radiologisnya tidak
spesifik. Edema paru pada ketinggian bermanifestasi sebagai edema interstitial
sentral yang berhubungan dengan peribronchial cuffing, dan konsolidasi patchy
rongga udara. Pada edema paru neurogenik manifestasinya bilateral dengan
konsolidasi homogen ruang udara yang hampir ditemukan pada 50% kasus.
Reperfusi edema paru digambarkan dengan konsolidasi heterogen ruang udara
yang predominan pada bagian distal menuju kanal pembuluh darah. Post reduksi
edema paru digambarkan dengan konsolidasi ipsilateral paru, sedangkan edema
paru dikarenakan emboli udara digambarkan dengan terstitial edema diikuti
bilateral opasitas pada alveolus yang predominan di basis paru.
4.1. Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik
Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan
tekanan edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua
stadium ini identik pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler.
Keduanya sering dijumpai pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun
IGD. Intensitas dan durasi dari kedua stadium ini tergantung dari peningkatan
tekanan yang terjadi, yaitu tergantung dari rasio tekanan hidrostatik dan onkotik.

Gambar 10. Gambaran foto thorax pada pasien laki-laki, 33 tahun dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik karena akut mikolitik leukemia yang datang
dengan kelebihan cairan karena gagal ginjal dan gagal jantung. Panah hitam pada
36

gambar b menunjukkan adanya pelebaran progresif pembuluh darah lobus
(peribronchial cuffing), panah putih gambar c menunjukkan adanya bilateral
kerley lines, dan juga terdapat area noduler dengan peningkatan opasitas.
Kelebihan cairan dapat dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.

Gambar 11. Gambaran CT-scan pada pasien laki-laki 53 tahun, dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik. Didapatkan adanya peribronchial cuffing (panah
hitam) pada bagian anterior paru kiri. Kedua paru terlihat adanya ground-glass
area.
Edema interstitial terjadi saat tekanan arteri transmural diantara 15-25
mmHg, yang nantinya akan terlihat pada gambaran radiologis dengan
mengaburkan gambaran pembuluh darah subsegmental dan segmental,
pembesaran dari ruang peribronkovaskular, munculnya kerley lines, dan dapat
muncul efusi subpleura. Jika cairan ekstravaskuler terus menerus bertambah,
maka edema akan bermigrasi ke cenral dan akan mengaburkan secara prograsif
pembuluh darah di lobus dan berlanjut pada pembuluh darah di hilus. Pada poin
ini, radiolusens pada paru akan berkurang, sehingga indentifikasi pembuluh darah
kecil akan sulit dilakukan. Pada area perihilar, peribronchial cuffing dapat
muncul. Jika tekanan melebihi 25 mmHg, cairan akan mengalir dari kompartmen
ekstravaskuler yang kapasitasnya sudah maksimal menuju ke stadium kedua, yaitu
edema alveolus. Gambaran radiologis pada stadium kedua ini adalah tiny nodular
37

atau acinar area dengan peningkatan opasitas yang dapat bergabung dan
membentuk suatu konsolidasi frank atau frank consolidation.

Gambar 12. Hubungan antara Tekanan Kapiler Paru dengan Temuan Radiologi.
4.2. Bat Wing Edema
Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian sentral
dan dengan distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis ini biasanya
terdapat pada 10% kasus edema paru, dan secara keseluruhan terjadi pada kasus
perkembangan cepat gagal jantung berat seperti pada insufisiensi katub mitral
akut (yang berhubungan dengan rupturnya otot papilar, infark miokard masif, dan
destruksi katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal ginjal.
Pada kasus bat wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar ataupun
interstitial. Kondisi patologis ini berkembang secara cepat yang ditandai secara
radiologis dengan infiltrat alveolus, dan gambaran tipikal edem pulmo jarang
ditemukan.
38


Gambar 13. Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan
cairan dan gagal jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran
CT-scan (3.b) menunjukkan adanya wing alveolar edema yang distribusinya
sentral dan sparing dari konteks paru. Infiltrat pada pasien ini berkurang setelah
32 jam menjalani pengobatan.
Beberapa teori diungkapkan dalam patofisiologis bat wing edema. Salah
satu teorinya menyebutkan peningkatan konduktifitas hidraulik. Hal ini
menyebabkan mukopolisakarida mengisi ruang sitokeleton perivaskular dan
menghambat aliran cairan. Namun, dengan meningkatnya hidrasi cairan, matrix
ekstraseluler ini memberikan jalan agar cairan dapat mengalir ke central.
Penemuan lainnya mengungkapkan efek pumping dari siklus pernafasan, yang
lebih besar berada di kortex paru, yang menyebabkan banyak cairan dialirkan ke
hilus. Penemuan lainnya mengungkapakn kontraktilitas septum alveolus menjadi
faktor pendukung untuk mengalirkan cairan interstitial ke hilus.

39


Gambar 14. Bat wing edema pada pasien wanita, 66 tahun, dengan overload
cairan dari gangguan ginjal dan sudah dilakukan hemodialisis untuk
nefroangiosklerosis hipertensinya. Pasien ditemukan tidak sadarkan diri setelah
berbaring ke sisi kanannya dalam beberapa jam. Gambaran radiologis
menunjukkan adanya unusual recumbent bat wing pulmonary edema yang
berhubungan dengan efusi pleura sebelah kanan.
4.3. Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan
Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan
adalah perubahan morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru
obstruksi kronis. Selain itu, pada kasus gagal jantung, emfisema pada apices atau
gambaran destruksi dan fibrosis pada bagian paru bagian atas dan tengah (sering
ditemukan pada kasus end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau asbestosis) akan
terlihat pada kasus edema paru yang predominan pada bagian yang kurang
berpengaruh pada proses penyakit ini.
Faktor hemodinamik mungkin juga berpengaruh pada distribusi asimeteris
edema paru ini. Edema paru yang berhubungan dengan regurgitasi mitral
menunjukkan bagian lobus atas kanan yang predominan dikarenakan gangguan
aliran yang disebabkan oleh refluks langsung pada vena paru bagian atas kanan.
Distribusi asimetris ini terjadi pada 9% dewasa dan 22% pada anak-anak dengan
regurgitasi mitral derajat 3 dan 4.
40


Gambar 15. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive
pulmonary disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar
5.b yang merupakan gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan
gambaran diffuse ground-glass attentuation dengan gradien anteroposterior.
Cairan yang memenuhi bula subpleura paling jelas terlihat pada gambar 5.b di
bagian kiri bawah.

Gambar 16. Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan end-
stage fibrosis dan emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan gagal jantung.
Pada gambaran radiografi didapatkan infiltrat edema paru predominan pada basis
paru karena aliran darah paru mengalir ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.
41

Fibrosis interstitial yang disebabkan karena asbestosis dapat menjadi tempat
masuknya edema ke ruang alveolus.

Gambar 17. Edema paru dengan serangan asma akut pada anak-anak berumur 3
tahun. Gambaran radiografi ditemukan adanya edema paru yang berhubungan
dengan peribronchial cuffing, ill-defined vessels, pembesaran hilus, dan
peningkatan opasitas area alveolar.
Akhirnya, posisi pasien juga menentukan distribusi cairan intra dan
extravaskuler ini. Pada pasien dengan posisi supine, CT scan axial selalu
menunjukkan gradien anteroposterior dengan distribusi asimetris dari edema yang
disebabkan karena operasi prolong atau imobilisasi. Distribusi ini juga dapat
didapatkan pada pasien dengan gagal jantung kongestive dan pasien dengan
overghidrasi.
4.4. Edema Paru dengan Asma Akut
Kondisi edema paru pada asma akut sangat jarang terjadi, kondisi ini
berhubungan dengan gas yang terperangkap menyebabkan tekanan intraalveolar
menjadi positif, hal ini menyebabkan menurunnya gradien tekanan hidrostatik.
Pada saat inspirasi tidal, anak-anak dengan episode serangan asma akut
menunjukkan hasil tingginya tekanan negatif puncak inspirasi (sekitar 29 cm air),
dibandingkan dengan pada anak yang sehat (sekitar 7 cm air). Selanjutnya,
didapatkan pula tekanan pleura yang menurun saat respirasi tidal, mencapai -25.5
42

cm air, dibandingkan dengan anak yang sehat dengan penurunan tekanan sekitar -
5 cm air. Tekanan negatif pleura saat serangan asma akut ini membantu untuk
pelebaran saluran pernafasan. Obstruksi saluran nafas pada kasus asma
menyebabkan akumulasi cairan ekstravaskular. Dari salah satu pusat penelitian,
didapatkan bahwa kasus ini sangat jarang, dan hanya ada satu kasus selama lima
tahun. Gambaran radiologi pada kasus ini adalah adanya Kerley lines,
peribronchial cuffing, dan peningkatan opasitas area alveolus.
4.5. Edema Paru Postobstruksi
Edema paru postobstruksi terjadi setelah obstruksi saluran pernafasan atas
dan membentuk edema hidrostatik. Edema paru ini sering terjadi karena
masuknya benda asing, laringospasme, epiglotitis, atau strangulation. Jika
obstruksi terjadi obstruksi saat inspirasi, hal ini mengakibatkan tekanan negatif
intratorax meningkat dan membuat venous return meningkat pula. Edema terjadi
karena penurunan tekanan negatif pleura secara tiba-tiba, yang menyebabkan
gradien tekanan hidrostatik antara intravaskular dan ekstravaskular meningkat.
Jika obstruksi terjadi saat inspirasi dan ekspirasi, maka tekanan positiv intratorax
akan meningkat dan dapat membuat terjadinya edem.

Gambar 18. Edema paru postobstruksi pada pasien pria, berumur 31 tahun
dengan laringospasme postekstubasi. Gambaran CT scan didapatkan adanya
edema paru dengan peribronchial cuffing yang predominan di parenkim paru
sentral. Kortex paru tidak didapatkan adanya edema alveolar ataupun Kerley lines.
Pada gambaran radiografi dada dan CT, edema paru postobstruksi ditandai
dengan garis septal atau septal lines, peribronchial cuffing, dan pada kasus yang
43

berat akan didapatkan central alveolar edema. Gambaran ini hampir sama dengan
gambaran pada edema karena tekanan hidrostatik. Ukuran jantung biasanya
normal, yang mengindikasikan tekanan edema tidak berhubungan dengan
overhidrasi. Resolusi biasanya didapatkan pada hari ke 2 sampai ke 3 setelah
terapi yang cepat dan sesuai.
4.6. Edema Paru dengan Emboli Paru Akut dan Kronis
Selama beberapa tahun ini, didapatkan gambaran edema paru pada foto
thorax pasien dengan emboli paru akut, kasusnya sekitar 10% dari emboli paru
akut. Gambaran CT yang terlihat adalah meningkatnya ground-glass attenuation
yang terlokalisasi pada arteri segmental atau subsegmental. Beberapa peneliti
percaya bahwa mekanisme edema paru masif pada kasus emboli paru akut adalah
berhubungan dengan hipertensi pulmonal. Hipertensi ini menyebabkan oklusi
lebih dari 50% pulmonary arterial bed. Hal ini menyebabkan meningkatnya
tekanan hidrostatik kapiler, akhirnya perfusi aliran ke area ini ikut meningkat dan
dapat menimbulkan edema.

Gambar 19. Edema paru pada pasien laki-laki berumur 56 tahun dengan penyakit
tromboemboli kronis. Gambar diatas menunjukkan gambaran CT scan dengan
hipoperfusi dari lobus kanan atas dan kiri bawah yang menunjukkan gambaran
ground glass attentuation dan pembesaran arteri. Hipoperfusi pada lobus kiri
bawah berhubungan dengan penurunan ukuran pembuluh darah.
44


Gambar 20. Angiogram dari paru kanan yang menunjukkan segmental webs
(panah hitam) dan oklusi vaskular.
4.7. Edema Paru pada Penyakit Oklusi Vena
Penyakit oklusi vena paru merupakan kondisi letal yang berhubungan
dengan menyempit atau oklusi nya vena atau venula kecil paru yang dikarenakan
trombus. Penyakit ini tersebar menyebar pada vena kecil paru, dan tidak
melibatkan vena besar. Oklusi vena menyebabkan resistensi pembuluh darah
perifer meningkat sehingga menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik
vaskuler. Gambaran radiografi dan CT menunnjukkan hasil pembesaran arteri
paru, difus edema interstitial dengan Kerley lines, peribronchial cuffing, dan
dilatasi ventrikel kanan.

Gambar 21. Gambaran foto thorax edema paru yang berhubungan dengan
penyakit oklusi vena pada pasien wanita 28 tahun dengan dispneu akut.
45


Gambar 22. Gambaran angiogram didapatkan arteri paru perifer paten, kecil, dan
elongasi. Tekanan kapiler paru normal, namun tekanan arteri paru meningkat 54
mmHg.

Gambar 23. High resolusi CT scan, didapatkan penebalan septum inter dan
intralobular, peribronchial cuffing, efusi pleura minimal, dan residual diffuse
ground-glass attenuatin. Oklusi vena paru didiagnosis dengan biopsi paru.
4.8. Near Drowning Pulmonary Edema
Near drowning didefinisikan sebagai asfiksiasi yang diakibatkan karena
inhalasi air dan masih bertahan hidup sampai minimal 24 jam setelahnya.
Terdapat tiga stadium pada kasus ini. Stadium pertama adalah laringospasme akut
yang diakibatkan karena inhalasi air yang sedikit (dry drowning). Hal ini akan
bermanifestasi hampir sama dengan edema paru postobstruktif. Gambaran
radiologis yang dapat terlihat adalah kerley lines, peribronchial cuffing, patchy,
konsolidasi alveolar perihilar. Gambaran tersebut akan hilang setelah 24 sampai
48 jam dilakukan terapi. Pada stadium kedua, masih terdapat laringospasme pada
46

korban, dan sebagian air akan ditelan ke perut. Pada stadium ketiga, 10-15%
pasien masih menampakkan gejala dry drowning dikarenakan laringospasme yang
persisten, sedangkan sisanya sekitar 90% pasien, laringospasme yang terjadi akan
mulai berelaksasi karena hipoksia dan aspirasi air dalam jumlah yang cukup
banyak. Pada kasus seperti ini, lesi di paru tidak lagi berhubungan dengan edema
tekanan, namun lebih karena hipoksia yang dapat menyebabkan pengeluaran
sitokin, dan akhirnya terjadi edema permeabilitas. Gambaran radiologis pada
stadium dua dan tiga biasanya tidak spesifik. Bisa didapatkan gambaran ill-
defiined lessions dan konsolidasi ruang udara lobus. Besarnya lesi tergantung dari
volume air yang dihirup dan durasi dari hipoksia, maupun jenis air yang terhirup
(air garam atau air segar).

Gambar 24. Gambaran edema paru pada anak berumur 5 tahun yang hampir
tenggelam 1 jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Terdapat pembesaran jantung,
diffuse confluent alveolar patterns of pulmonary edema, dan peribronchial
cuffing. Gambaran cortikal paru bersih dari edema interstitial, hal ini
mengindikasikan edema berasal dari kerusakan alveolar langsung dari inhalasi air
atau edema karena laringospasme dibandingkan dengan edema karena hipoksia.

47


Gambar 25. Gambaran foto thorax dan CT scan setelah 3 jam kejadian,
menunjukkan adanya penurunan edema paru.
4.9. Edema Permeabilitas dengan DAD (diffuse alveolar damage)
Acute respiratory distress syndrome atau ARDS merupakan istilah yang
digunakan untuk akut atau subakut, lesi difus paru yang dapat menyebabkan
hipoksemia berat. Lesi ini berhubungan dengan beberapa faktor persipitasi dan
tidak berhubungan dengan insufisiensi jantung. Lebih lanjut, ARDS terjadi tanpa
peningkatan tekanan kapiler paru. Kerusakan difus alveolus merupakan hasil dari
beberapa faktor persipitasi, atau terjadi karena kondisi sekunder sistemik.
Kerusakan langsung sel biasanya terjadi karena agen kimia, agen infeksi, cairan
lambung, dan gas toksin yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada sel.
Sedangkan kerusakan tidak langsung atau secondary damage terjadi karena
kaskade biokimia sistemik yang dapat menimbulkan agen oksidatif, mediator
inflamasi, dan enzim yang dapat merupakan endotel, contoh penyebabnya adalah
sepsis, pankreatitis, trauma berat, dan transfusi darah.
Terdapat tiga stadium pada ARDS. Stadium pertama mempunyai
karakteristik edema interstitial dengan konten protein yang tinggi diikuti dengan
edema alveolar dan pembentukan membran hialin. Edema cepat pada ruang
alveolar menyebabkan Kerley lines tidak terlihat pada ARDS. Stadium kedua
adalah stadium proliferasi yang berhubungan dengan eksudat fibrosa. Stadium
ketiga adalah stadium fibrotik, yang mempunyai karakteristik dengan jaringan
48

parut dan formasi dari subpleural dan intrapulmonary cysts. Pada stadium
pertama gambaran radiologis yang dapat terlihat adalah adanya edema interstitial
diikuti dengan opasitas pada daerah perihilar. Selanjutnya dapat terlihat gambaran
konsolidasi dengan air bronkogram jika edema sudah berlanjut ke edema alveolar.
Tidak didapatkan adanya kardiomegali, apical vascular redistribution, dan Kerley
lines. Pada stadium proliferasi akan terlihat gambaran ground glass yang
opasitasnya meningkat. Pada stadium fibrotik, akan didapatkan adanya lesi
subpleural dan intrapulmonary cystic, hal ini dapat menjadi pneumotoraks.




Gambar 26. ARDS yang berhubungan dengan DAD pada pasien pria 20 tahun
dengan bronkoaspirasi saat dilakukan intubasi trakea. Gambar a, b, c
49

menunjukkan adanya konsolidasi pada anteroposterior gradien. Hiperlusensi pada
area perifer bilateral menunjukkan adanya udara yang terperangkap. Tidak
terdapat Kerley lines pada gambaran di atas. Gambar d, e menunjukkan hasil CT
scan 1 hari setelah pasien diposisikan secara prone position selama 12 jam
menunjukkan hasil konsolidasi yang berkurang pada bagian posterior, dan juga
efusi pleura yang mulai berkurang.

Gambar 27. Gambaran atipikal ARDS yang disebabkan karena shyok septik pada
pasien laki-laki berumur 47 tahun. Gambaran CT scan pasien tersebut
menunjukkan bilateral konoslidasi yang predominan pada bagian anterior.

Gambar 28. Edema paru yang diakibatkan karena heroin pada pasien laki-laki
berumur 19 tahun. Gambaran thorax a menunjukkan adanya edema paru difus
masif. Sedangkan pada gambar thorax b menunjukkan gambaran 27 jam setelah
dirawat menunjukkan resolusi edema paru. Perubahan edema ini mungkin dapat
disebabkan karena intubasi dan ventilasi tekanan positif pada pasien.
50

4.10. Edema Permeabilitas tanpa DAD
Edema permeabilitas tanpa DAD berarti tidak adanya kerusakan sel pada
kondisi patologis. Beberapa kondisi edema permeabilitas tanpa DAD adalah
edema paru dikarenakan heroin, edema paru yang mengikuti sitokin, dan high-
altitude pulmonary edema.
4.10.1. Edema Paru dikarenakan Heroin
Edema paru yang terjadi secara langsung berhubungan dengan kondisi
overdosis dari opiat, heroin, atau cocain. Edema paru terjadi pada 15% kasus
overdosis heroin dengan mortalitas 10%. Overdosis heroin dipercaya akan
menyebabkan depresi dari pusat pernafasan yang akan menimbulkan hipoksia dan
asidosis, yang keduanya dapat menyebabkan edema permeabilitas tanpa DAD.
Kondisi absen-nya DAD dapat diduga karena resolusi yang terjadi secara cepat.
Gambaran radiologi dari edema paru dikarenakan heroin tidak dapat dibedakan
dengan gambaran radiologi dari edema permeabilitas tanpa DAD lainnya.
Manifestasinya berupa patchy, bilateral konsolidasi, ill-defined vessels, dan
peribrochial cuffing. Sering terjadi komplikasi berupa insufisiensi ginjal dan
aspirasi cairan lambung pada kondisi ini.

Gambar 29. Edema paru yang diakibatkan karena heroin pada pasien laki-laki
berumur 24 tahun yanng dibawa ke RS dengan GCS 3. Gambar a merupakan foto
thorax dengan edema paru kanan dengan posisi right lateral decubitus. Gambar b
51

merupakan gambar thorax setelah 28 jam, yang menunjukkan resolusi cepat
infiltrat pada paru.
4.10.2. Edema Paru yang Mengikuti Sitokin
Interleukin atau IL-2 merupakan glukoprotein memiliki aktivitas
tumoricidal yang berguna pada pasien dengan metastase melanoma dan metastase
adenocarcinoma ginjal. Sitokin lain yang mungkin berpengaruh adalah TNF
(tumor necrosis factor). Baik IL-2 maupun TNF dapat menimbulkan gangguan
permeabilitas tanpa DAD yang akhirnya dapat menimbulkan edema paru. Sitokin
ini lebih sering menyerang pada sel endotel kapiler. Gambaran radiologis pada
keadaan ini adalah bilateral simetris interstitial edema dengan penebalan septal
lines, dan tidak didapatkannya adanya edema alveolar. Selain itu peribronchial
cuffing juga didapatkan pada 75% kasus.

Gambar 30. Edema paru yang mengikuti sitokin pada wanita berusia 37 tahun
dengan melanoma maligna. Gambaran radiologis didapatkan bilateral difus edema
paru dengan peribronchial cuffing (tanda panah hitam), pelebaran hilus, ill-
defined vessels, dan efusi pleura. Tidak ada daerah alveolus yang opasitasnya
meningkat.

52

4.10.3. High-altitude Pulmonary Edema
High-altitude pulmonary edema adalah kondisi fatal yang terjadi pada
individu yang sebelumnya sehat. Hal ini terjadi karena prolong exposure dari
lingkungan yang mengandung sedikit tekanan oksigen atmosfir. Hal ini sering
terjadi pada anak muda yang sering naik gunung dengan ketinggian lebih dari
3.000 meter. Manifestasi klinisnya antara lain adalah dyspneu saat istriahat, batuk
dengan sputum pink, dan gangguan neurogenik yang terjadi karena edema otak.
Proses patofisiologinya masih kontroversial. Namun beberapa peneliti
setuju bahwa kondisi hipoksia akut menyebabkan vasokontriksi heterogen yang
dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Akibatnya, terjadi kebocoran endotel
yang akan menyebabkan edema interstitial dan alveolar tanpa disertai DAD.
Kebocoran vaskuler ini menyebabkan akumulasi cairan yang berisi protein tinggi,
yang nantinya akan membentuk sputum yang berbusa. Keadaan ini akan cepat
membaik dengan terapi yang adekuat dengan oksigen dan vasodilator paru.
Gambaran radiologis pada kondisi ini adalah edema interstitial sentral,
peribronchial cuffing, ill-defined vessels, patchy, dan konsolidasi asimetris.
Beberapa Kerley lines mungkin dapat terlihat.

Gambar 31. High-altitude pulmonary edema pada pasien wanita berusia 30 tahun
yang sedang mendaki sampai ketinggian 4.500 m. Gambaran radiografi dan CT
scan menunjukkan adanya konsolidasi yang sebagian besar berada di korteks paru.
Tidak ada kerley lines ataupun efusi pleura yang terlihat.

53

4.11. Edema Paru Neurogenik
Edema paru neurogenik terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan
gangguan otak berat seperti pada trauma, perdarahan subaraknoid, stroke, maupun
status epileptikus. Diagnosis dari edema paru neurogenik dibuat menggunakan
metode eksklusi. Penyebabnya masih kontroversional, beberapa mengemukakan
kombinasi antara faktor yang mempengaruhi edema hidrostatik dan faktor yang
mempengaruhi edema permeabilitas tanpa DAD. Gejala dari edema paru
neurogenik ini diantaranya adalah dispneu, takipneu, dan sianosis yang terjadi
setelah adanya gangguan pada otak. Gejala dan tanda ini akan berkurang secara
cepat pada kebanyakan kasus. Gambaran radiografi pada kasus ini adalah adanya
bilateral, homogen konsolidasi, dengan predominasi apices pada 50% kasus.
Gambaran radiologi ini biasanya menghilang setelah 1-2 hari.

Gambar 32. Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun
dengan perdarahan intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan
foto rontgen thorax dengan gambaran konsolidasi yang predominan pada daerah
apices. Tanpa disertai efusi pleura, Kerley lines, maupun ukuran jantung yang
abnormal. Gambar b. menunjukkan CT scan dengan gambaran konsolidasi
alveolar pada sentral paru, dan penebalan septum interlobus (tanda panah hitam).
4.12. Edema Paru karena Emboli Udara
Edema paru karena emboli udara sangat jarang terjadi, dan biasanya terjadi
karena komplikasi iatrogenik atau karena prodesur yang invasif, seperti pada
54

prosedur neurosurgery dengan posisi pasien adalah duduk dan dengan
penempatan central venous lines. Selain itu, kondisi ini dapat diakibatkan karena
trauma dada terbuka maupun tertutup. Patofisiologi mekanisme dema paru karena
emboli udara adalah adanya emboli udara karena obstruksi mekanis pada
microvasculature paru karena rendahnya koefisien absorbsi udara. Akumulasi
udara ini menyebabkan aliran turbulensi yang dapat menyebabkan agregasi
trombosit, formasi fibrin, dan vasokonstriksi. Faktor non-mekanis (pembebasan
radikal oksigen oleh neutrofil) juga berperan dalam gangguan endotel kapiler.
Makromolekul, protein, dan sel darah dapat masuk ke ruang interstitial dan
alveolar. Hal ini akan menimbulkan gambaran patologis dari edema interstitial
ringan sampai konsolidasi perdarahan pada saluran udara.

Gambar 33. Edema paru karena emboli udara pada wanita berumur 72 tahun
setelah dilakukan coronary artery bypass graft surgery. Gambar a, menunjukkan
Nyeri dada dengan onset yang tiba-tiba, takipneu, dispneu, dan hipotensi
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik. Saat dilakukan intraoperatif
transesophageal echocardiografi, dapat ditemukan adanya indwelling udara di
ruang jantung sisi kanan. Gambaran foto thorax dapat ditemukan adanya edema
interstitial bilateral, peningkatan opasitas alveolar yang predominasinya di basis
paru.



55

DAFTAR PUSTAKA

Cinteza, M., Margulescu, A.D., Darabont, Roxana O., 2007. Acute Cardiogenic
Pulmonary Edema an Important Clinical Entitiy with Mechanisms on
Debate. A Journal of Clinical Medicine. 2;1, 56-64Clein, Lawrence J.,
2008. Walsh: Palliative Medicine. Saunders An Imprint of Elsevier:
United States of America
Churchill Livingstone, 2000. Pulmonary Microcirculation, Pulmonary Interstitial
Space, and Pulmonary Interstitial Fluid Kinetics (Pulmonary Edema).
http://web.squ.edu.om/med-
Lib/MED_CD/E_CDs/anesthesia/site/content/v02 /020519r00. htm. dilihat
pada 1 April 2014.
Derrickson, B., Tortora, Gerard J., 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
John Wilay & Sons, United States of America.
Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic
Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch
Tierheilkd, 152:7, 311-317.
Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D., Revelly,
Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S., 1997. Clinical and Radiologic
Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.
Mayo Clinic Staff. 2011. Pulmonary Edema. http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/pulmonary-edema/basics/definition/con-20022485. dilihat pada
1 April 2014.
Perina, Debra G., 2003. Noncardiogenic Pulmonary Edema. Emrg Med Clin N
Am. 21;2003, 385-393
Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical Presentation.
http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical. dilihat tanggal 1
April 2014.

Anda mungkin juga menyukai