GENETIKA POPULASI Anggun Aiyla Nova*, A.P. Pridyantari, A.N. Sasangka, C. Guslyani, D.J. Carlos, I. Murdyanto, N.A Rikmawati, R. Julia, S. Listiani, A. Fakhriddinov, H. Fatturohman, W. Setyaningtyas Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Biologi Maret 2014
Abstrak
Genetika populasi adalah salah satu dari cabang ilmu genetika yang mempelajari gen-gen dalam populasi dan menguraikan secara matematis akibat dari penyebarannya pada tingkat populasi bertujuan untuk .. Telah dilakukan praktikum genetika populasi dengan mengamati fenotipe attached ear-lobe, crown hair whorl, tongue rolling dan widows peak pada setiap individu peserta praktikum genetika paralel pagi. Hasil pengamatan menunjukkan kesesuaian hukum Hardy-Weinberg dan ketidaksesuaian dengan hukum Hardy-Weinberg. Perhitungan frekuensi alel berdasarkan persamaan hokum Hardy-Weinberg.Hasil pengamatan ..
Kata kunci: genetika populasi; hukum Hardy-Weinberg ; attached ear-lobe ; crown hair whorl ; tongue rolling ; widows peak
I. Pendahuluan
Genetika populasi adalah salah satu dari cabang ilmu genetika yang mempelajari gen-gen dalam populasi dan menguraikan secara matematis akibat dari penyebarannya pada tingkat populasi. (Suryo 2012: 297). Prinsip keseimbangan Hardy-Weinberg menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, frekuensi alel dalam satu populasi akan tetap konstan dari satu generasi ke generasi lain. Prinsip ini dirumuskan secara independen oleh matematikawan Inggris, G. F. Hardy dan seorang dokter Jerman, W. Weinberg pada tahun 1908. Hal ini mengasumsikan bahwa setiap alel yang 2
menyebabkan penyakit genetik berat yang tidak kompatibel dengan reproduksi akan digantikan oleh mutasi baru (Passarge 2007: 164). Prinsip Hardy-Weinberg hanya berlaku pada kondisi-kondisi tertentu seperti, populasi besar dan perkawinan terjadi secara acak, hal ini untuk menghindari genetics drift, perubahan frekuensi genetik dari deviasi kebetulan.Kedua, tidak terlibat seleksi alam. Ketiga, populasi ditutup, artinya individu tidak melakukan migrasi. Hal ini sangat jarang terjadi di kehidupan nyata. Keempat, tidak adanya mutasi dan terjadinya meiosis (Willet 2006: 150). Pada populasi-populasi yang stabil (yang memenuhi syarat Hardy-Weinberg), frekuensi gen sesuai dengan hukum-hukum sederhana probabilitas. Sebagai contoh, jika alel A memiliki frekuensi p dalam populasi, dan alel B memiliki frekuensi q, dan tidak ada alel lain untuk gen itu, maka p + q = 1. Probabilitas terjadinya dua peristiwa secara bersamaan dengan probabilitas terjadinya peristiwa pertama dikali probabilitas terjadinya peristiwa kedua. Probabilitas terjadinya alel A sama frekuensinya, yakni p, serupa dengan itu, probabilitas terjadinya B adalah q. Dengan demikian, dalam suatu populasi tertentu, frekuensi individu yang homozigot AA sama dengan probabilitas terdapatnya dua alel A secara bersamaan dalam sebuah zigot. Probabilitas itu sama dengan p x p, atau p2. Dengan penalaran yang sama, frekuensi homozigot BB adalah q2. Karena ada dua cara untuk membentuk heterozigot AB (alel A dari ibu dan alel B dari ayah, serta sebaliknya), frekuensi AB pada populasi adalah 2pq. Jumlah ketiga frekuensi genotipe p2 + 2pq +q2 = 1. Perhatikan bahwa persamaan itu adalah ekspansi binomial dari (p +q)2. Jika ada tiga alel dalam populasi, frekuensi masing-masing genotipe dapat ditentukan dari ekspansi trinomial (p + q + r)2, dengan r adalah frekuensi alel C (Fried & Hademenos 1999: 289 & 290). Ada beberapa genotipe yang bisa diamati pada praktikan secara langsung, yaitu widows peak yaitu munculnya kontur meruncing dari garis rambut di dahi yang disebabkan oleh alel dominan, W. Karena alel widows peak dominan, semua individu yang tidak memiliki widows peak pastilah homozigot resesif (ww) (Campbell 2008: 297). Sebagian manusia bisa menggulungkan lidahnya yang disebut tongue rolling. Tongue rolling disebabkan oleh gen dominan yang disimbolkan dengan T. Manusia yang bisa menggulungkan lidahnya memiliki gen homozigot dominan, TT dan heterozigot, Tt. Manusia yang tidak bisa menggulungkan lidahnya memiliki gen homozigot resesif, tt (Roberts 2000: 310). Ear-lobe merupakan salah satu contoh dari alel dominan dan resesif. Contohnya jika ibumu mewarisi dua alel resesif untuk attached ear-lobe, dia akan memiliki attached ear-lobe. Jika ayahmu mewarisi alel dominan untuk unattached ear-lobe dan alel resesif untuk attached ear-lobe, maka ayahmu akan memiliki unattached ear-lobe karena unattached ear-lobe merupakan alel dominan. Akan tetapi belum selesai sampai disini saja, kamu akan mewarisi satu alel resesif dari ibumu, dan selanjutnya tergantung apa yang kamu warisi dari ayahmu, alel dominan atau alel resesif. Jika kamu mewarisi alel dominan maka kamu akan memiliki unattached ear-lobe, begitu pula sebaliknya (Gorp 2008: 26). Sifat morfologi lainnya yang terlihat adalah crown hair whorl, merupakan putaran searah jarum jam pada beberapa individu tetapi, berlawanan arah jarum jam pada individu lainnya. Alel yang serah jarum jam (clockwise) dilambangkan dengan C, bersifat dominan 3
dan sebaliknya, counter-clockwise (c) bersifat resesif (Jones & Rickards 1991: 173). Tujuan praktikum genetika populasi adalah untuk engamati sifat dan morfologi pada populasi peserta praktikum genetika, mengetahui frekuensi alel dari sifat crown hair whorl, tongue rolling, ear lobe dan widows peak peserta praktikum genetika sesuai dengan hukum Hardi Weinberg serta memahami perhitungan frekuensi gen (alel) dan frekuensi genotip dengan menggunakan persamaan Hardi Weinberg II. Metodologi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum genetika populasi yaitu pulpen, kertas dan kalkulator. Cara kerja pada praktikum genetika populasi yaitu dengan mengamati empat fenotipe rekan sekelompok yaitu attached ear-lobe, crown hair whorl, tongue rolling dan widows peak. Hasil pengamatan ditulis dan dibuat dalam bentuk table, kemudian digabungkan dengan hasil pengamatan kelompok lain sehingga menjadi data kelas. Data kelas selanjutnya dihitung apakah sesuai dengan hukum HardyWeinberg atau tidak.
III. Hasil dan Pembahasan
Penggerusan mata Drosophila melanogaster bertujuan untuk melarutkan zat warna dalam jumlah yang minimum sesuai dengan pelarut. NH 4 OH berperan sebagai pengikat molekul warna yang terdapat di kertas kromatografi lapis tipis, sedangkan n-propil alkohol berfungsi untuk menarik pigmen mata ke atas agar terpisah-pisah (Trenton 2002 : 177). Tujuan wadah ditutup dengan kertas karbon karena pigmen pteridin peka terhadap cahaya. Kertas sampel dijaga agar tidak menempel pada dinding wadah untuk mencegah kertas sampel terkontaminasi dan terganggu pergerakan komponen-komponen penyusun sampel (Farabee 2007 :12). Kacamata serta sarung tangan berguna untuk melindungi praktikan dari bahaya mutasi yang terkandung dari radiasi sinar UV. Sinar UV digunakan untuk melihat hasil warna yang tampak pada kromatogram pemisahan komponen pigmen mata dapat tervisualisasikan dengan jelas (Williamson & Masters 2011: 173). Berdasarkan pengamatan, metode kromatografi lapis tipis digunakan dalam praktikum pemisahan biokimiawi pigmen mata Drosophila melanogaster karena lebih cepat, lebih praktis, dan memiliki sensitivitas yang tinggi. Hal tersebut dapat terlihat setelah penyimpanan kromatografi selama 60 menit. Hal tersebut sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa Thin Layer Cromatography (TLC) merupakan metode pemisahan yang sering digunakan dalam pengamatan biokimia. Ketebalan TLC biasanya sekitar 0,20-0,25 mm. TLC dilapisi oleh alumunium atau silika sehingga lebih fleksibel dan mudah digunting. TLC merupakan salah satu jenis teknik adsorption chromatography (Wall 2005: 1). Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 1A pada kromatogram, terlihat tiga pigmen mata Drosophila melanogaster normal jantan, yaitu drosopterin yang berwarna merah, xanthoptherin yang berwarna biru kehijauan, dan pigmen berwarna hijau yang kemungkinan termasuk pigmen xanthopterin. Hal tersebut tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan, pigmen pada mata Drosophila melanogaster betina mengandung tujuh buah pigmen yaitu isosepiapterin, 4
biopterin, 2-amino-4-hidroksipteridin, sepiapterin, xantopterin, isoxantopterin, drosopterin. Penggerusan mata yang kurang halus dapat menjadi salah satu penyebab hanya sedikit pigmen yang terlihat. Warna mata Drosophila melanogaster berwarna merah disebabkan karena drosopterin merupakan pigmen utama pada mata Drosophila melanogaster normal yang menyebabkan mata pada Drosophila melanogaster tersebut berwarna merah (Gardner & Mertens 1975: 111). Pengamatan yang dilakukan terhadap mata Drosophila melanogaster mutan white tidak tampak perbedaan warna pada kertas sehingga dapat disimpulkan pigmen pteridin tidak terekspresi pada mutan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan literatur yang menjelaskan bahwa pada mutan white terjadi gangguan pada proses pembentukan kedua pigmen mata utama, yaitu ommochrome dan pteridin (Dreesen dkk. 1988 : 5206). Nilai Rf yang diperoleh kelompok 1A pada pengamatan kromatografi pigmen mata Drosophila melanogaster normal, yaitu 0.94 (Hijau Kebiruan), 0.49 (Merah), serta 0.79 (Hijau). Berbeda dengan hasil Rf pada pengamatan kromatografi pigmen mata Drosophila melanogaster normal oleh kelompok 2A, yaitu 0.52 (Merah), 0.81 (Hijau), 0.34 (Kuning), serta 0,94 (Hijau Kebiruan). Perbandingan data jarak tempuh pigmen pada kromatogram Drosophila melanogaster normal kelompok 1A dan kelompok 2A menunjukkan nilai Rf yang tidak berbeda jauh. Nilai Rf yang yang hampir sama mengindikasi bahwa objek yang diuji memiliki kesaman jenis kelamin, mungkin sesama jantan atau sesama betina. Hal tersebut sesuai dengan literatur Smith yang mengatakan bahwa nilai Rf yang yang hampir sama mengindikasi kesamaan jenis objek yang diuji dengan kromatografi (Smith 1995 : 55).
IV. Kesimpulan
Pemisahan pigmen mata Drosophila melanogaster, dilakakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Prinsip kerja kromatografi lapis tipis yaitu dengan memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Kromatogram Drosophila melanogaster wildtype terdapat empat pigmen komponen penyusun warna mata, sedangkan mutan white tidak memiliki pigmen mata. Kromatogram Drosophila melanogaster betina memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan Drosophila melanogaster jantan. Terjadinya Mutasi dapat mengganggu proses biosintesis yang dapat meyebabkan perubahan pada komponen penyusun pigmen mata Drosophila melanogaster. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan fenotipenya.
V. Daftar Pustaka
Suryo. 2005. Genetika Strata 1. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta: xvi + 344 hlm.