Anda di halaman 1dari 28

1

Gejala Kejang dan Tetanus


Rimenda Dwirana Barus
NIM : 102010315/ C5
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat
e-mail : ri_mhen@yahoo.com
Pendahuluan
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus
neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.
1

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit tetanus, mulai dari anamnesis penyakit,
pemeriksaan, diagnosis, patofisologi, penatalaksanaan, epidemiologi, hingga prognosis dari
penyakit. Tujuan pembuatan makalah adalah untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian
yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus berdasarkan skenario yang diberikan, yaitu
mengenai tetanus.

Anamnesis
Sumber lain menyebutkan, dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk
melalui luka, racun C. tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta
tanda-tanda tetanus, misalnya kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan
tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus), dinding perut
mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai atau tertawa (risus
sardonicus).
3

Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan
ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu.
Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lama. Pemulihan terjadi
karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa
memerlukan waktu sampai 4 minggu.
1


2

Etiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di mana-
mana dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang
peliharaan dan manusia.
1

Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak
dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak
berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan
selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat
resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini
dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieleminisi dengan
autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120
o
C selama 15 menit.
Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif
terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penicillin dan lainnya).
1
Spora tetanus dapat
bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetative terbunuh
oleh antibiotic, panas, dan desinfektan baku. C. tetani bukan organisme yang menginvasi
jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang
lebih sering disebut sebagai toksin tetanus.
2
Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium tetani
menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam
sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai
polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk
membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya
dengan reseptorsel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan
untuk memblokade perlepasan neurotransmitter.
Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin
yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan toksin tetanus secara
parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum jelas diketahui.
DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi,
karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas
antimikrobial bakteri ini.
1

3

Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia
terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang.
1

Penyakit ini umumnya terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan
iklim hangat , selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa program
imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonates dan anak-anak.
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap
bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang
lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya
580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika.
Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300
kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris.
Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah atau selama bertani, berkebun dan
aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tapi
dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada
beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat merupakan komplikasi
penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangrene. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka
bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak
dapat diidentifikasi adanya port dentre.
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas
terhadap antibody tetanus dan differi yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diantara 6 tahun terlindungi
terhadap tetanus. Sedangkan pada anak 6-11 tahun sebesar 91% , persentasi ini menurun dengan
bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang
mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.
1



4

Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C tetani. C tetani sendiri tidak menyebabkan
inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada
infeksi oleh mikroorganisme yang lain. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan
nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin; tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yamg memungkinkan multipliksai
bakteri.
1
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih
dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat
150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000
Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease
jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung
karboksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel.
Jika toksin yang dihasilkan banyak,ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi
untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan
ditransportasikan dalam akson dan secara retrogred ke dalam badan sel di batang otak dan saraf
spinal.
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom.
Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan
mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-
gejala tetanus akan muncul. Transport intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan
menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati
celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas.
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan rantai
ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan
melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang
diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai
ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada
suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan neurotransmitter.
5

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya.
Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral
dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang
sama dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip
dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun kemudian, pada
tetanus efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh dari pada berkurangnya fungsi pada
ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin
mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini
berperan terhadap spasme intermiten dan serangan autonomic, masih belum jelas. Efek
prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan
dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik dan myopati yang
terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik
berupa paralisis flaksid.
1
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi
dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkonstraksi
secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot
rahang, wajah dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek.
Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relative jarang
terlibat.
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control otonomik
dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan.
Terikatnya toksi pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung
saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang
terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki
aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal; sawar darah otak
6

memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam system saraf pusat. Jika diamsusikan
bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang; hal ini menjelaskan urutan keterlibatan srabut
saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.
1

Manifestasi Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)
bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat
keparahan penyakit yang lebih berat.
1

Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan
ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu.
Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lama. Pemulihan terjadi
karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa
memerlukan waktu sampai 4 minggu.
1
Sumber lain menyebutkan, dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk
melalui luka, racun C. tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta
tanda-tanda tetanus, misalnya kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan
tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus), dinding perut
mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai atau tertawa (risus
sardonicus).
3
Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang, terutama apabila mendapatkan rangsangan
seperti suara berisik, terkejut, sinar, dan sebagainya, sehingga ia perlu diisolasi dalam ruang
tersendiri.
3

Bila paralisis meluas ke otot-otot perut, punggung, pinggang dan paha, penderita dapat
berpostur melengkung, opistotonus, dimana hanya punggung, kepala, dan tumit yang menyentuh
dasar (tanah). Opistotonus adalah posisi seimbang yang adalah akibat dari kontraksi yang tidak
henti-hentinya semua otot yang berlawanan, semuanya menampakkan kekakuan tetanus khas
seperti papan.
2
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai
7

komplikasi dari luka bakar, ulkus gangrene, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi
telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular dan pembedahan. Trauma yang
menyebabkan tetanus dapat hanyalah tetanus ringan dan sampai 50% kasus trauma terjadi di
dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari petolongan medis. Pada 15-25%
pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.
1
Tetanus Generalisata. Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari
tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada Tetanus berat, median onset
setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14
hari.
1

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku
kuduk, nyeri tenggorokan dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal
tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara
progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus
sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini
dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan
dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala.
1

Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya
kelenturan dinding dada. Reflks tendon dapat meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak
yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodic. Konstraksi
tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok otot agonis dan antagonis secara
bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,
stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan
keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau
ruptur tendon.
Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga
menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi berulang ulang dan dipicu oleh
stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laryngeal dan berkaitan
dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa.
8

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot diseluruh
tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan
penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya
mencakup infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin dan
hysteria. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai.
Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus local yang berasal dari luka di
kepala mempengaruhi saraf cranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya dari pada
spasme. Tetapi progesi ke tetanus generalisata umum terjadi dan moralitasnya tinggi.
1
Tetanus neonatorum menyebabkan lebih dari 50% kematian akibat tetanus di seluruh dunia,
tetapi sangat jarang terjadi di Negara-negara maju. Neonatus, usia dibawah 1 mingu dengan
riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan tidak dapat menerima minuman. Kejang,
meningitis dan sepsis merupakan diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat generalisata dan
mortalitasnya tinggi.
1

Hygiene umbilical yang buruk merupakan penyebabnya, namun kesemuanya dapat dicegah
dengan vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan. Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak
pasien dengan tetanus berat yang meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan
perawatan intensif , menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan
instabilitasotonomik yang nyata. System saraf simpatetiklah yang paling jelas dipengaruhi.
Secara klinis, peningkatan tonus simpatik menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi.
Dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia, keringat berlebihan.
Badai autonomik terjadi dengan adanya innstabilitas kardiovaskuler yang tampak nyata.
Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat, bradikardia dan
henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan resistensi vascular
sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung. Selama badai ini, kadar
katekolamin plasma menignkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang
dijumpai pada feokromositoma.
Norepinefrin lebih terpengaruh daripada epinefrin. Hiperaktivitas neuronal lebih
mendominasi daripada hiperaktivitas medulla adrenal. Henti jantung mendadak kadang-kadang
terjadi, tetapi mekanisme yang mendasarinya belumlah jelas.
9

Di samping sistem kardiovaskular, efek otonomik yang lain mencakup salvasi profus dan
meningkatnya sekresi bronchial. Stasis gaster, ileus, diare dan gagal ginjal curah tinggi (high
output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik.
Telah jelas adanya keterlibatan system saraf simpatis. Peranan system saraf parasimpatis
kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada nucleus vagus, di mana pada saat
yang bersamaan terpapar toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan.
Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas vagal.
Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur, rupture otot,
tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan rabdomiolisis.
1
Tetanus Neonatorum. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonates (bayi berusia 0-1 bulan). C. tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka
potongan tali pusat, yaitu tali pusat yang dipotong menggunakan alat yang tidak steril atau
perawatan tali pusat yang tidak baik. Bila keadaan memungkinkan, misal luka tersebut menjadi
anaerob disertai jaringan nekrotis, spora berubah menjadi bentuk vegetative dan selanjutnya
berkembang biak. Kuman ini tidak invasif tetapi bila dinding sel kuman lisis, kuman ini akan
melepaskan toksinnya.
4

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila
tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
diimunisasi secara adekuat. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan
lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2
minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan
gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan
retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.
1
Tetanus Lokal. Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi
klinisnya terbatas hanya pada otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran
toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat
bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian
secara umum prognosisnya baik.
1
Tetanus Sefalik. Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus local, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus
10

dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke 7. Disfagia dan paralisis
otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
1

Diagnosis

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin apabila
terdapat riwayat serial vaskinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang
sesuai telah diberikan. Secret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun
demikian, C. tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan
dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut
menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.
1

Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang
normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau
tidak adayna interval tenang yang secar normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non
spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram. Enzim otot mungkin meningkat. Kadar antitoksi
serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi,
walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadadar antitoksin yang protektif.
1
Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabbkan trismus,
miseperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin
dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolic dan neurologis
pada neonatal. Kondisi-kondisi lain ydikacaukan dengan tetanus lemiputi meningitis/ensefalitis,
rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada
otot sentral (wajah, leher, dada, dpunggung, dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme
generalisata dan tida terlibatnya tangna dan kaki secara kuat menyokong diagnose tetanus.
1

Diagnosis Pembanding
Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada meningia, yang mempunyai gejala-gejala berupa
bertambahnya jumlah dan berubahnya susunan cairan serebro-spinal (CSS).
5
Meningitis ditandai
dengan demam, nyeri kepala, kaku leher, dan fotofobia, dan dapat disebabkan oleh bakteri dan
virus.
6
11

1) Meningitis bakterialis, sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia,
hipotensi, atau syok). Diperberat oleh koagulasi intravascular diseminata, yang diinduksi oleh
septicemia. Meningitis biasanya terjadi karena bakteremia yang disebabkan oleh Neisseria
meningitides, walaupun Streptococcus pneumonia dapat muncul pada orang-orang dengan
pneumonoia pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alkohol) atau kerusakan
dura (fraktur tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus).
6
2) Meningitis virus ditandai dengan nyeri kepala hebat dan tanda-tanda iritasi meningen yang
kurang jelas dibanding infeksi bakteri.
7
Mulainya meningitis akut mempunyai dua pola dominan.
Mulai mendadak, dengan cepat manifestasi syok progresif, purpura, koagulasi intravaskuler
tersebar, dan kadar kesadaran mengurang progresif, dramatis dan sering menunjukkan sepsis
meningokokus mematikan dengan meningitis; manifestasi ini dapat berkembang menjadi
kematian dalam 24 jam.
2
Tanda-tanda dan gejala-gejala meningitis yang terkait dengan tanda-tanda nonspesifik
disertai dengan infeksi sistemik atau bakteremia. Tanda-tanda nonspesifik adaah demam,
anoreksia dan makan jelek, gejala infeksi saluran pernapasan atas, mialgia, artralgia, takikardia,
hipotensi, dan berbagai tanda-tadna kulit, seperti petekie, purpura, dan ruam macular
eritematosa.

Iritasi meningeal tampak seperti kaku kuduk, nyeri pinggang, tanda Kernig (fleksi
sendi pinggul 90
o
dengan nyeri pada ekstensi kaki berikutnya), dan tanda Brudzinski (fleksi lutut
dan pinggul yang tidak disengaja setelah fleksi leher saat telentang).
2


Kejang-kejang (setempat atau menyeluruh) karena serebritis, infark, atau gangguan elektrolit,
ditemukan pada 20-30% penderita dengan meningitis. Mereka lebih sering ditemukan pada
penderita dengan meningitis H. influenza dan pneumokokus daripada mereka dengan infeksi
meningokokus. Kejang-kejang yang terjadi pada saat datang atau dalam hari pertama dari
mulainya biasanya tidak berarti prognostik. Kejang-kejang yang menetap sesudah hari ke-4 sakit
dan mereka yang sukar diobati dihubungkan dengan prognosis yang jelek.
2
Rabies
Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan dapat menular
pada orang. Karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit zoonotik. Agen penyebab penyakit
ini memiliki daya tarik kuat untuk menginfeksi jaringan saraf yang menyebabkan terjadinya
12

peradangan pada otak atau ensefalitis, sehingga berakibat fatal bagi hewan ataupun manusia
yang tertular.
8

Rabies manusia adalah infeksi virus sistem saraf sentral yang biasanya ditularkan oleh
kontaminasi luka dengan ludah dari binatang yang gila dan sebenarnya 100% mematikan bila
gejala timbul.
9
Meskipun tidak semua orang yang digigit oleh anjing penderita rabies akan terjangkit rabies,
setiap orang digigit oleh anjing penderita rabies harus mendapatkan tindakan medic sebagaimana
mestinya, karena penyakit ini umumnya bersifat fatal begitu gejala klinik tampak. Di seluruh
dunia hanya beberapa orang yang sembuh setelah terjangkit rabies. Gejala pada manusia dibagi
menjadi 5 fase yakni prodromal, neurologic akut, furious, paralitik dan koma.
10
Masa inkubasi sangat bervariasi antara kurang dari satu minggu sampai lebih sari satu tahun.
Umumnya masa inkubasi sekitar 1 bulan. Masa inkubasi dipengaruhi oleh kedalaman gigitan dan
jarak gigitan dengan susunan saraf pusat. Contoh, gigitan di kepala mempunyai masa inkubasi
antara 30-48 hari sedangakan gigitan di daerah tangan 40-59 hari. Masa inkubasi lebih pendek
pada anak-anak karena anak-anak umumnya terkena gigitan di daerah kepala dan leher.
10
Pada fase prodromal, gejala yang muncul umumnya bersifat ringan dan tidak spesifik. Gejala
ini meliputi kelemahan umum, kedinginan, demam, dan kelelahan. Terkadang, ditemukan pula
gejala nyeri tenggorokan, batuk, dyspnoea; gangguan system pencernaan (anoreksia, disfagia,
nausea, muntah, nyeri lambung, diare) atau gangguan system saraf pusat (nyeri kepala, vertigo,
kekhawatiran, aprehensif, nervous). Pada tahap ini, dapat ditemukan rasa nyeri sekali, gatal atau
rasa terbakar pada daerah gigitan.
10
Periode neurologik akut dimulai dengan tidak berfungsinya system saraf. Bila yang menonjol
hipereksitasi, kasus tersebut disebut furious rabies. Apabila paralisis yang dominan, maka
disebut paralitic rabies atau dumb rabies. Demam, paraestesia, kekakuan otot, konvulsi yang
bersifat local atau umum dan hiperalivasi dapat ditemukan pada kedua bentuk.
10
Pada masa transisi dari fase neurologic akut ke fase koma ditemukan periode apneustik
ditandai dengan pernafasan cepat, tidak teratur dan gemetaran, diikuti dengan paralisa umum dan
koma. Terjadi pernafasan yang tertahan selama beberapa jam atau hari. Sepanjang publikasi
ilmiah yang ada, hanya 3 kasus rabies yang selamat setelah muncul gejala klinik.
10


13

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40
o
C.
keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan toksin tetanus yang sudah
mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan
perfusi jaringan otak. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan
dengan peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.
11
Tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor dan semikomatosa.
Pemeriksaan saraf kranial. 1) Saraf III, IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien
tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya. Respon
kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu diperhatikan.
11

2) Saraf V. Refleks masseter meningkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah gejala
khas dari tetanus). 3) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut (trismus). 4) Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak). 5) Sistem motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbvangan dan koordinasi
pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
11

Gerakan Involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan tetanus disertai
peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal
yang peka.
11

Pemeriksaan penunjang, biasanya terdapat leukositosis ringan, kadang-kadang terjadi
peningkatan TIK, dan pada pemeriksaan bakteriologis (kultur jaringan) di daerah luka ditemukan
Clostridium tetani.
8

Derajat Keparahan
Terdapat beberapa system pembagian derajat keparahan (Phillips, Dakar, Udwadia) yang
dilaporkan. System yang dilaporkan oleh Ablett merupakan system yang paling sering dipakai.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett;
1
Derajat 1 (ringan): Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia. Derajat 2 (sedang): Trismus sedang ,
14

rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang
dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan.
1
Derajat III (berat) : Trismus berat, spasisitas generaisata, spasme refleks berkepanjangan,
frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagis berat, dan takikardia lebih dari 120.

Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan
bradikardia, salah satunya dapat menetap.
1
Perubahan fisiologi kardiovaskular
Terdapat relatif sedikit penelitian tentang efek ttanus pada sistem kardiovaskular. Suatu
problem adalah bahwa efek hemodinamik dari komplikasi dan terapi dapat menutupi efek
sesungguhnya dari tetanus itu sendiri.
1

Abnormalitas hemodinamik kurang jelas selama periode relaksasi muskuler penuh tetapi
pengukuran-pengukuran itu hanya secara bertahap kembali ke nilai normanlnya selama masa
pemulihan. Pemberian cairan sebanyak 2000 ml meningkatkan tekanan pengisian jantung kiri
dan indeks jantung, tapi efek ini hanya bersifat sementara. Selama badai otonomik, dengan
instabilitas kardiovaskular yang jelas, pasien mengalami fluktuasi dari kondisi hiperstimulasi
dari hipertensi (tekanan arterial mencapai 220/120 mmHg) dan takikardia (denyut jantung 130-
190x/menit) sampai kondisi depresi berat dengan hipotensi (mencapai 70/30 mmHg), bradikardia
(50-90x/menit) dan penurunan tekanan vena sentralis (berkurang 1 sampai 6 cmH
2
O).
Pengawasan secara intensif menunjukkan perubahan ini merupakan akibat perubahan yang
cepat dan nyata dari indek resistensi vaskular sistemik (Systemic vascular resistance
index/SVRI), turun dari 2300 menjadi kurang dari 1000 dine cm
-5
m
-2
. Terdapat sedikit perubahan
pada indeks jantung dan tekanan pengisian jantung.
Apabila dibandingkan dengan derajat yang lebih berat, pasien dengan derajat IV kurang
mungkin menaikkan indeks kardiak atau indeks-indeks kerja jantung sebagai respons terhadap
pemberian cairan atau selama perubahan resistensi vascular yang dijumpai selama badai
otonomik. Satu pasien dengan hipertensi berat berkepanjangan dijumpai menunjukkan
peningkatan resistensi vaskuler massif dengan SVRI lebih tinggi dari 4500 dine cm
-5
m
-2
. Pada
15

tetanus tanpa komplikasi, pengukuran-pengukuran tersebut di atas beervariasi luas dengan tanpa
konsistensi.
Sirkulasi hiperkinetik terutama disebabkan peningkatan aktivitas simpatetik basal dan
peningkatan aktivitas otot dengan efek yang lebih lemah dari meningkatnya temperatur. SVRI
yang normal rendah disebabkan venodilatasi ektensif dalam otot yang aktis secara metabolik.
Rasio ekstraksi oksigen tidak berubah pada tentanus dan peningkatan kebutuhan oksigen
dipenuhi dengan meningkatknya aliran darah. kontrol spasme yang buruk meperberat efek-efek
ini.
1

Pemberian cairan menyebabkan hanya peningkatan sementara tekanan pengisian jantung,
indeks kardiak dan LVSWI, karena sirkulasi secara luas mengalami venodilatasi dan oleh karena
itu merupakan sistem kapasitansi yang tinggi apabila dibandingkan dengan kontrol normal. Pada
tetanus tanpa komplikasi, sistem kardiovaskular, oleh karena itu menyerupai pasien pasien
normal yang melakukan aktivitas fisik intensif, pasien derajat IV tampak kurang menunjukkan
peningkatan kempamuan jantung dan oleh karena itu lebih rentan terhadap hpotensi berat dan
shok selama badai vasodilatori akut.
Mekanismenya tidak jelas, tapi mungkin berkaitan dengan berkurangnya stimulasi
kaekolamin secara mendadak tatau efek langsung toksin tetanus terhadap miokardium.
Perubahan fungsi miokardium mungkin disebabkan peningkatan kadar katekolamin yyang
menetap, tetapi fungsi yang abnormal mungkin terjadi bahkan pada kondisi tanpa sepsis atau
kadar katekolamin yang tinggi.
1
Perubahan fisiologi respirasi
Rigiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diafragma dan abdomen menyebabkan
adanya defek restriktif. Adanya spasme faringeal dan laryngeal merupakan pertanda adanya
gagal nafs dan obstruksi jalan nafa yang mengancam jiwa. Ketidakmapmpuan pasien untuk
batuk, akibat rigiditas, spaseme dan sedasi mengakibatkan stelektasis dan resiko tinggi terjadinya
pneumonia. Ketidakmampuan untuk menelan yang berlebih, sekresi bronchial yang profus,
spasme faringeal, peningkatan tekanan intraabdominal dan stasis gaster, semuanya meningkatkan
resiko aspires iyang mumum terjadi pada pasien tetanus.
1

16

Gangguan ventilasi/perfusi umum terjadi. Akibat hipoksia merupaakn keadaan yang umum
dijumpai pada tetanus sedang dan berat bahkan pada keadaan dimana gambaran foto thorax
bersih. Tekanan oksigen, udara pernafasan antara 5,3 6,7 kPa umm dijumpai. Pada pasien yang
diberikan pernafasan buata, peningkatan gradient A-a bersifat menetap. Penghantaran oksigen
dan penggunaannya dapat terganggubahkan tanpa perubahan bpatologis paru tambahan,
sindroma distress pernafasan akut mungkin terjadi sebagai komplikasi spesifik tetanus.
1

Perubahan ventilasi ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang bervariasi, hiperventilasi
dapat terjadi karena ketakutan, gangguan otonomik, atau perubahan fungsi batang otak.
Hiporkarbia (pCI
3
4,0-4,6 kPa0 umum terjadi pada tetanus ringan sampai sedang. Badan
hiperventilasi dapat berakibat hipokarbia berat (PCO
2
< 3,3 kPa). Pada tetanus berat,
hipoventilasi akibat spasme berkepanjagnan dan apneu terjadi. Sedasi, kelelahan dan perubahan
fungsi batang otak munkin juga berakibat gagal nafas. Kemampuan respirasi dapat berkurang
yang berakibat terjadinya periode apnea yang mengancam jiwa.
1
Perubahan fisiologi ginjal
Pada tetanus ringan, fungsi ginjal tidak terganggu, pada tentaus berat, sering terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus dan gangguan fungsitubulus ginjal. peynebab tambahan gagal
ginjal apda tetanus mencakup dehidrasi, sepsis, rabdomyolisis, dam erubahan dalam aliran darah
ke ginjal yang terjadi secara sekunder akibat peningkatan mendadak akadar katekolamin. Gagal
ginjal dapat ofigourik atau poliurik. Gangguan ginjal yang penting secara klinis berkaitan
denganistabilitias otonoimk dan gambaran histologisnya normal atau menunjukkan nekrosis
tubuler akut.
1

Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya seperti laringo spasme, atau sebaai
kosekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea,
atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator.
1
Penatalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi dan
pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus, sdnagkan stimulasi
17

siminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan anfas bersifat vital. Luka hendaknya dieksplorasi,
dibersihkan secar hati-hati dan dilakukan debridement secara menyeluruh.
1
Netralisasi dari Toksin yang Bebas
Antitoksin menurunkan prtalitas dengan mentetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan
toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan saraf
tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusi (TIG) merupakan pilihan utama dan
hendaknya diberikan seegera dengan dosis 3000-6000 unit intramuscular, biasanya dengan dosis
terbagi karena volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih
tinggi. Imunolobulin intravena merupakan alternative lain daripada TIG tapi konsentrasi
antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi.
1

Paling baik memberikan antitoksin sebleum memanipulasi luka. Manfaat memberikan
antitoksin pada sisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi luka belumlah jelas. dosis
tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak dapat
menembus sawar dara-otak. Pemberian antibodi intratekal masih perupakan eksperimen.
Antioksin tetanus kuda tidak tersedia di Amerika Serikat, tapi masih dipergunakan di tempat
lain. Lebih murah dibanding antitoksi manusia, tapi wkatu paruhyna lebih pendek dan
pemberiannya sering menimbulkan hipersensitifitas dan serum sickness syndrome
1
.
Pengendalian rigiditas dan spasme
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk
mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi karena
menyebabkan laringospasme atau kontraksi secara terus-menerus otot-otot pernafasan. Regimen
yang ideal adalah regimen yang dapat menekan aktivitas spasmodic tanpa menyebabkan sedasi
berlebihan dan hipoventilasi.
1

Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah sedasi dengan
menggunakan benzodiazepine. Benzodiaszepin meperkuat agonisme GABA dengan
menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABA. Diazepam dapat iberikan melalui rute yang
18

bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan
desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan.
Telah dilaporkan penggunakan dosis setinggi 100 mg per jam. Pilihan yang lain adalah
lorazepam dengan durasi aksi yang lebih lama dan midazoloam dengan waktu paruh yang lebih
singkat. Midazolam telah dipakai dengan akumulasi yang lebih ringan. Sebagai sedasi
tamgbahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama feobarbiton yang lebih jauh memperkuat
aktivitas GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin. Barbiturat dan klorpromaszin ini
merupakan obat lini kedua. Prozol telah dipergunakan sebagai sedasi dengan pemulihan yang
cepat setelah infuse distop.
1
Apabila sedasi saja tidak adekuat, paralisis tersputik dengan agen pemblokade
neuromuskuler dan ventilasi mekanik tekanan positif intermitten mungkin dibutuhkan utnuk
jangka panjang. Namun demikian dapat terjadi paralisis berkepanjangan setelah obat dihentikan
dan kebuuhan pasien akan paralisis berkesinambungan dan terjadinya komplikasi hendaknya
dinilai terus-menerus tiap hari. secara tradisional, agen kerja panjang, pankuronium telah
dipergunakan.
1

Namun demikian, pankuronium menghambat pengambilan kembali katekolamin dan dapat
memperberat inatabilitas otonomik pada tetanus berat. Terdapat laporan terbatas tentang
bertambah parahnya hipertensi dan takirardia yang berkaitan dengan penggunaannya. tetapi
Dance melaporkan tidak terdapat perbedaan dalam hal komplikasi pada mereka yang diterapi
pankuronium apabila dibandingkan dengan obat penghambat neuromuscular yang lain.
Vekuronium bebas dari efek samping kardiovaskular dan pelepasan histamine tetapi secara
relative bersifat kerja singkat.
Telah dilaporkan penggunaan infuse atrakurium pada tetanus selama 71 hari. Pada pasien ini,
dengan fungsi ginjal dan liver yang nomal, tidak terdapat akumulasi ladanosin, metabolit
epileptogenik dari atrakurium. Obat-obatan kerja panjang dipilih karena pengunaanya mungkin
dengan cara bolus intermiten daripada pemberian infuse. Penggunaan jangka panjang obat
pemblokade neuromusular aminosteroid jangka panjang (vekuronium, pankuronium,
rekuronium) terutama melalui infuse berkaitan dengan neuropati dan miopati, namun belum
pernah ditemukan pada penderita tetanus.
19

Di antara obat-obat baru, pipekuronium dan rokuronium merupakan obat kerja panjang yang
bersih tapi mahal. Penggunaan dantrolen untuk mengontrol spasme dalam yang refrakter telah
dilaporkan dalam suatu kasus. Obat-obat penghambat neuromuscular tidak perlu digunakan
setelah pemberian dantrolen, spasme paroksimal berhenti dan kondisi pasien membaik.
1
Penatalaksanaan Respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada
hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk
menghindari spirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan menelan atau disfagia. Kebutuhan
akan prosedur ini harus diantisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini.
1
Pengendalian disfungsi otonomik
Banyak pendekatan yang berbeda dalam terapi disfungsi otonomik yang telah dilaporkan.
Sebagian besar dipresentasikan sebagai laporan kasus pada sejumlah kecil kasus. Penelitian
terkontrol dan komparatif masih jarang.Sampai sejauh ini terapi optimal untuk overaktivitas
simpatis belum ditetapkan. metode non farmakologis untuk mencegah instabilitas otonomik
didasarkan pada pemberian cairan 8 L/hari.
1
Sedasi merupakan terapi pertama. Benzodiazepine, Antikonvulsan dan terutama morvin
sering digunakan. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi
tanpa gangguan jantung. Dosisnya bervariasi atara 20-180 mg per hari. Mekanisme aksi yang
dipertimbangkan adalah penggantuian opioid endogen, pengurangan aktifitas reflex simpatis dan
pelepasan histamine. Fenothiazin, terutama klorpromazin merupakan sedative yang berguna,
antikolinergik dan antagonis a adrenergic dapat berperan dalam stabilitas kardiovaskular.
Pada awalnya, obat-obatan pemblokade adrenergic , seperti propanolol dipergunakan untuk
mengontrol hipertensi dan takikardia, namun hipotensi, edema paru berat dan kematian
mendadak terjadi. Labetolol, yang berefek kombinasi dan adrenergic digunakan, tapi
hasilnya tidak jauh berbeda (mungkin karena ktivitas bllokade -nya kalah jauh dibandingkan
dengan ) dan mortalitasnya tetap tinggi. Sekarang, obat kerja singkat seperti esmolol berfungsi
sangat baik untuk hipertensi berat, meskipun kadar katekolamin arterial tetap tinggi.
Kematian mendadak akibat henti jantung merupakan karakteristik dari tetanus berat.
Penyebabnya masih belum jelas, tapi penjelasan yang dapat dipercaya mencakup mendadak
hilangnya pacuan simpatis, kerusakan jantung yang diinduksi oleh katekolamin, dan
meningkatnya tonus parasimpatik. Blokade beta yang menetap dapat memicu penyebab-
20

penyebab henti jantung ini karena aktivitas inotropik negative atau aktivitas vasokonstriksi tanpa
hambatan yang menyebabkan gagal jantung akut. Obat-obatan pemblokade adrenergic seperti
nethanidin, guanetidin, dan fentolamin telah sukses dipergunakan bersama propanolol bersama
obat-obatan lain seperti trimetafan, fenoksibenzamin, dan reserpin. Kerugian penggunaan
kelompok obat ini adalah hipotensi yang terinduksi sulit teratasi, takifilaksis terjadi, dan lepas
obat bisa menyebabkan hipertensi.
1
Telah dilaporkan keberhasilan penatalaksanaan gangguan otonomik dengan menggunakan
atropine IV dosis mencapai 100 mg per jam yang digunakan pada 4 pasien. Tapi dikuatirkan
dengan dosis yang tinggi itu, tida hanya berakibat blokade muskarinik, tapi juga nikotinik, sedasi
sentral dan blokade neuromuscular. Blokade system saraf parasimpatis dilaporkan menurunkan
sekresi dan keringat.
1
Pemberian magnesium sulfat parenteral dan anesthesia spinal atau epidural telah diterapkan,
namun pemberian dan monitornya sulit. Bupivakain epidural dan spinal telah dipergunakan
untuk mengurangi instabilitas kardiovaskuler. Namun demikian infus katekolamin diperlukan
untuk mempertahankan tekanan arterial yang adekuat.
Magnesium sulfat telah dipergunakan untuk baik pada pasien yang terpasang ventilator
maupun tidak untuk mengontrol spasme. Magnesium sulfat merupakan pemblokade
neuromuskuler pre-sinaptik, yang memblokade pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla
adrenal, mengurangi responsivitas reseptor terhadap katekolamin yang terlepas, dan merupakan
antikonvulsan sekaligus vasodilator.
Magnesium merupakan antagonis kalsium di miokardium dan pada hubungan neuromuskuler
dan menghambat perlepasan hormone paratiroid sehingga mengakibatkan penurunan kadar
kalsium serum. Pada keadaan overdosis, dapat menyebabkan paralisis dan kelemahan dengn
sedasi sentral, walaupun sedasi sentral masih konroversial. Hipotensi dan bradiaritmia (denyut
jantung dibawah normal). Oleh karena itu, sangat penting untuk dapat menjaga kadar magnesium
dalam rentang terapi.
Beberapa macam obat potensial untuk dipergunakan pada masa yang akan datang. Natrium
Valproat yang berfungsi menghambat katabolisme GABA. Pada penelitian klinis dari hewan,
Natrium Valproat menghambat efek klinis dari toksin tetanus. ACE inhibitor mungkin membantu
menghambat sintesis angiotensin II, yang meningkatkan sintesis norepinefrin dan perlepasannya
dai ujung syaraf.
1
21

Penatalaksanaan intensif suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Factor yang ikut menjadi penyebabnya
mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia
(demam) dan aktivitas muscular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi
harus diberikan seawal mungkin. Nutrisi enteral berkaitan engan insidensi komplikasi yang
rendah dan lebih murah daripada nutrisi parenteral. Gastrostomi perkutaneus dapat menghindari
komplikasi berkaitan dengan pemberian makanan elalui tube nasogastrik, dan mudah sekali
dilakukan di ICU di bawah sedasi.
1
Komplikasi infeksi akibat masa kritis berkepanjangan mencakup pneumonia berkaitan
dengan ventilator umum terjadi pada tetanus. Melindungi jalan nafas pada tahap awal penyakit
dan mencegah aspirasi dan sepsis merupakan langkah logis untuk mengurangi resiko ini.
Pencegahan komplikasi respirasi mencakup perawatan mulut secara cermat, fisioterapi dada, dan
penghisapan tracheal secara teratur karena salvias dan ekskresi bronchial sangat meningkat.
Sedasi yang adekuat penting sebelum melakukan intervensi pada pasien dengan resiko spasme
tidak terkontrol dan gangguan otonomik an keseimbangan antara fisioterapi dan sedasi mungkin
sulit dicapai. Pemberian cairan juga harus adekuat. Pemberian heparin atau antikoagulan lainnya
juga penting untuk mencegah emboli paru.
1
Penatalaksanaan lain, meliputi hidrasim untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak
nampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan; kecukupan kebutuhan gizi
yang meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral; fisioterapi untuk mencegah
kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.
Fungsi ginjal, kandung kemih dan gastrointestinal harus selalu dimonitor. Pendarahan
gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi. Pentingnya
bantuan psikologis juga tidak dapat diabaikan.
Vaksinasi. Pasien yang sembuh dari tetanus hendkanya secara aktif diimunisasi karena
imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.
1
Obat-obat yang lazim digunakan penderita Tetanus
1) Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua
tingkatan system saraf pust, termasuk bentukan limbic dan reticular, mungkin dengan
meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmitter inhibitori utama.
1

22

Dosis dewasa
Spasme ringan: 5-10 mg oral tiap 4-6 jam bila perlu
Spasme sedang: 5-10 mg IV apabila perlu
Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam
Dosis pediatrik : spasme ringan 0,1-0,8 mg/kg BB?hari dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari.
Sedangkan spasme sedang sampai berat 0,1-0,3 mg/kg/hari IV tiap 4-8 jam
Kontraindikasi : hipersensitivitas, glaucoma sudut sempit
Interaksi : toksisitas benzodiazepine pada system saraf pusat meningkat apabila
dipergunakan bersamaan dengan alcohol, fenothiazine, barbiturat; cisapride dapat
meningkatkan kadar diazepam secara bermakna
Kehamilan : tidak aman pada kehamilan (kriteria D)
Perhatian : hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan system saraf pusat yang lain,
pasien dengan kadar albumin rendah atau gagal hati karena toksisitas diazepam dapat
meningkat.
1

2) Fenobarbital. Dosis obat harus demikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi
pernapasan. Jika pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk
mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.
Dosis dewasa : 1 mg/kg IM tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
Dosis pediatric : 5 mg/kg IV/IM dosis terbagi 3-4 kali/hari
Kontraindikasi : hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat, dan
pasien nefritis
Interaksi : dapat menurunkan efek klornfenikol, digitosin, kortikosteroid, karbamazepin,
teofilin, verapamil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang mendapatkan
antikoagulan harus ada penyesuaian dosis). Pemberian bersama alcohol dapat
menyebabkan efek aditif ke SSP dan kematian. Kloramfenikol dan asam valproat dapat
menyebabkan meningkatnya toksisitas fenobarbital. Rifamycin dapat menurunkan efek
fenobarbital; induksi enzim mikrosomal dapat menurunkan efek kontrasepsi oral pada
wanita.
Kehamilan : Kriteria D
Perhatian : monitor fungsi ginjal, hati, dan system hematopoitik dalam penggunaan jangka
panjang. Hati-hati pada DM, miastenia gravis, miksedema, anemia berat
1

23

3) Baklofen. Merupakan relaksan otot kerja sntral tlah dipergunakan secara experimental untukk
melepaskan pasien dari ventilator dn untuk mnghentikan infuse diazepam. Balkofn intratekal
600 kali lebih poten daripada baklofen oral. Injrksi intratekal brulang bermanfaat untuk
mengurangi durasi ventilasi buatan dan mencegah intubasi . mungkin brperan dlam
menginduksi hiperpolrisasi dari ujung aferen dan menghambat reflex monosimpatik dan
polisinaptik pada tingkat spinal. Keseluruhan dosis baklofen dapat diberikan sbagai bolus
injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lbah jika spam paroksimal kembali terjadi.
Dosis dewasa : 100 mcg IT; pada usia >55 tahun: 800 mcg IT
Dosis pediatric : 500 mcg IT
Kontraindikasi : hipersensitivitas
Interaksi : analgesic opiate, benzodiazepine, alcohol, TCAs, guanabens, MAOI,
klindasimin, dan obat anti hipertensi dapat meningkatkan efek Baklofen
Kehamilan : keamanannya belum diketahui (kriteria c)
Perhatian : hati-hati pada penderita disrefleksia otonomik
1

4) Dantrolen. Dantrolen menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi konstraksi otot. Belum
disetujui oleh FDA tapi sudah digunakan dalam sebagian kecil kasus.
Dosis dewasa : 1 mg/kg IV selama 3 jam, diulang 4-6 jam apabila perlu
Dosis pediatric : 0,5 mg/kg/hari IV dua kali sehari pada permulaan, dapat ditingkatkan
sampai 4 kali sehari, dengan tidak melebihi 100 mg 4 hari sekali
Kontraindikasi : hipersnsitivitas, penyakit hati seperti hepatitis atau sirosis
Interaksi : toksisitas meningkat apabila diberikan bersama klofibrat dan warfarin.
Pemberian bersama dengan estrogen dapat meningkatkan hpatoksisitas pada wanita diatas
35 tahun
Kehamilan : kriteria C
Perhatian : dapat menyebabkan hepatoksisitas; hati-hati pada gangguan fungsui paru dan
insufiensi kardiak berat, dapat menyebabkan fotosnsitivitas pada matahari.
1

5) Penisilin G. Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dindinng otot slama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang rentan.
Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penicillin IV dapat menyebabkan anemia
hemolitik, dan neuro toksisitas. Henti jantung telah dilaporkan pada pasien yang mndapatkan
dosis massif penisilin G.
24

Dosis dewasa : 10-24 juta unit/hari IV terbagi dalam 4 dosis
Dosis pediatric : 100.000 250.000 unit/kg/hari IV terbagi dalam dosis 4 kali sehari
Kontraindikasi : hipersensitivitas
Kehamilan : kriteria B (cukup aman)
Perhatian : hati-hati pada gangguan fungsi ginjal
1

6) Metronidazol. Berguna untuk melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorpsi kke
dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan
menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi
selama 10-14 hari. Bbrapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika sebagai
antibiotika pada terapi tetanus karena penicillin G juga merupakan agonis GABA yang dapat
memperkuat efek toksin.
Dosis dewasa : 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 g IV tiap 12 jam, tidak lebih dari 4g/hari
Dosis pediatric : 15-30/kg BB/ hari IV terbagi tip 8-12 jam tidak lebih dari 2 g/hari
Kontraindikasi : hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan
Interaksi
Kehamilan : kriteria B
Perhatian : penyesuaian dosis pada penyakit hati, pemantauan kejang dan neuropati
perifer.
1

7) Doksisilin. Menghambat sintesis potein dan pertumbuhan bakteri pada pengikatan sub unit 30s
atu 50s ribosomal dri bakteri yang rentan. Direkomndasikan terapi 10-14 hari.
Dosis dewasa : 100 mg per oral/IV tiap 12 jam
Dosis pediatric : tidak direkomendasikan pada anak umur dibawah 8 tahun. Pada anak
dngan berat dibawah 5 kg 4,4 mg/kg/oral/IV dosis terbagi. Pada anak yang beratnya diatas
45 kg sama dengan dosis dewasa.
Kontraindikasi : hipersensitivitas, disfungsi hati berat
Interaksi : bioavailabilitas menurun dengan antasida yang mengandung alumunium,
kalsium, besi, atau subsalisilat bismuth, tetrasiklin dapat meningkatkan efek
hipoprotombogenik dari antikoagulan.
Kehamilan : kriteria D
25

Perhatian : fotosensitivitas dapat terjadi pada paparan jangka lama terhadap sinar matahari,
dosis hendaknya dikurangi pada gangguan ginjal, perlu dipertimbangkan untuk mmriksa
kadar obat dalam serum untuk pemakaian jangka panjang. Penggunaan pada masa
pembentukan gigi dapat mengubah warna gigi secara permanen.
1

8) Vekuronium. Merupakan agen pemblokade neuromuscular prototipik yng menyebabkan
trjadinya paralisis muskuler. Bayi bersifat lebih bersifat sensitive pada aktivitas blockade
neuromuscular, sehingga pada dosis yang sama, pmulihan terjadi lebih lambat pada 50%
kasus. Tidak direkomendasikan pada neonatus.
Dosis dewasa : 1 mg/kg IV, dapat dikurngi menjadi 0,05 mg/kg apabila sudah diterapi
dengan suksinilkolin.
Dosis pediatric : 1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kg tiap 1 jam
pada anak umur diatas 10 tahun sama saja dengan orang dewasa.
Kontraindikasi : hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindrom yang berkaitan.
Interaksi : efeknya menjadi lebih lama jika digunakan bersamaan dengan anestesi inhalasi.
Gagal hati, gagal ginjal dan pengunaan stroid dapat menyebabkan blockade
berkepanjangan meskipun obatnya telah distop
Kehamilan :kriteria C
Perhatian : pada penderita miastenia gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil dapat
memberikan efek yang kuat.
1


Terapi
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan : organisme yang teradapt dalam
tubuh hendaknya dhancurkan untuk mencegah pelepasan toksi lebih lanjut; toksi yang terdapat
dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya di netralisasi; dan efek dari toksin yang telah
terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.
1
Prognosis
Penerapan metode untuk monitoring dan oksigentasi suportif telah secara nyata memperbaiki
prognosis tetanus. Tetanus yang berat umumnya mmbutuhkan perawatan ICU sampai 3-5
minggu, pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang. Tonus yang meningkat
26

dan spasme minor dapat terjadi hingga berbulan-bulan, namun pemulihan diharapkan sempurna,
kembali ke fungsi normalnya. Sering juga ditemui menetapnya problem fisik dan psikologis.
1

Pencegahan
Imunisasi aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan tindakan pencegahan paling efektif dalam
praktek. Walaupun demikian, tetanus dapat terjadi pda individu yang telah diimunisasi,
diperkirakan mencapai 4 dari 100 juta individu imunokompeten. Mekanisme terjadi gagalnya
imunisasi belum jelas. Beberapa teori mencakup beban toksin yang melebihi kemampuan
pertahanan imunitas pasien, variabilitas antigenic antara toksin dan toksoid serta supresi selektif
dari respon imun. Semua individu dwasa yang imun secara parsial atau tidak sama skali
hendaknya mendapat vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa teriri atas tiga dosis: dosis
pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 8-12 bulan
stelah dosis pertama. Dosis ulangan dapat diberikan setiap 10 tahun sekali, namun pmbrian
vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan.
1
Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya : 1) Imunisasi
pasif dengan TIG dan 2) Imuniasis aktif dengan vaskin, terutama Td untuk individu usia di atas 7
tahun. dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat sedang adalah 250
unit intramuskuler yang menghasilkan kadar antibodi serum protektid paling sedikit 4 sampai
minggu; dosis yang tepat untuk TAT, suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000 sampai
6000 unit. Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah dengan spuit injeksi
yang berbeda.
1
Tetanus neonatorum
Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum mencakup
vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatkan proporsi kelahiran
yang dilakukan oleh rumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non-medis.
1
Menyingkirkan Sumber Infeksi
Jika ada, luka yang tampak jelas hendkanya didebridemen secara bedah. Walaupun
manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotic diberikan pada tentaus untuk mengeradikasi sel-sel
vegetative, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena setiap
27

hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secar luas dipergunakan selama bertahun-tahun,
tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi.
1
Metronidazol munkgin merupakan antibiotic pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1
gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli berdsasarkan aktivitas antimicrobial metronidazol
yang bagus Metronidazole aman dan pad peneilitian yang mebandingkan dengan penisilin
menunjukkan angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan denga penisilin karena
metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan
oleh penisilin. Eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin dapat diterima sebagai
alternative, apabila pasien alergi terhadap penisilin.
1
Kesimpulan
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani, yaitu tetanospamin, dengan
gejala, seperti inflamasi, ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus, dan trismus atau rahang
terkunci. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata
sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan bisa
menggunakan obat-obatan diazepam, fenobarbita, baklofen, dantrolen, penisilin G, metronidazol.
Doksisilin, vekuronium. Selain itu dapat juga diterapi. Prognosis tetanus, yaitu tonus yang
meningkat dran spasme minor dapat terjadi hingga berbulan-bulan, namun pemulihan diharapkan
sempurna.
Daftar Pustaka
1. Ismanoe G. Ilmu penyakit dalam. Tetanus. Jilid ke 3. Edisi ke 5. Jakarta : Interna Publishing,
2009.
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke 15. Volume ke 2. Jakarta : EGC,
2000.
3. Cahyono JBSB, Lusi RA, Verawati, Sitorus R, Utami RCB, Dameria K. Vaksinasi, cara
ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2010.
4. Surasmi A, Handayani S, Kusuma HN. Perawatan bayi resiko tinggi. Jakarta : EGC, 2003.
5. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : EGC, 2009.
28

6. Davey P. At a Glance medicine. Cetakan 8. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011.
7. Akoso BT. Rabies. Yogyakarta : Kanisius, 2fru007.
8. Batticaca FB. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta :
Penerbit Salemba Medika, 2008.
9. Soeharsono. Zoonosis: penyakit menular dari hewan ke manusia. Yogyakarta: Kanisius,
2006.h.118-9.
10. Wahab AS, penyunting. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC, 2000.h.1004-145.
11.Muttaqin A. Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika, 2008.

Anda mungkin juga menyukai