Anda di halaman 1dari 35

1 Universitas Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Isu pemanasan global dan kekurangan energi yang kian marak telah
menjadi isu yang semakin serius mendominasi seluruh dunia. Bumi sedang
mengalami pemanasan global yang parah, dan hal ini tidak bisa dihindari.
Kebutuhan energi semakin meningkat, salah satunya adalah kebutuh energi sistem
pendingin. International Institute of Refrigeration di Paris mengungkapkan bahwa
15% dari listrik yang diproduksi di dunia digunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi dari sistem pendingin (Fan et al., 2007).
Permasalahan lain dari sistem pendingin adalah refrigeran yang dapat
merusak lingkungan. Montreal Protocol (1987) dan London and Copenhagen
Amandments (1990, 1992) juga menegaskan agar CFC (R-12) dan HCFC (R-
134a) untuk digantikan dengan refrigeran hijau yang memiliki nilai Ozone
Depletion Potential (ODP) dan Global Warming Potential (GWP) rendah atau
bahkan nol (Aristov et al., 2002).
Sistem pendingin adsorpsi bisa menjadi solusi untuk permasalahan di
atas, karena masing-masing nilai ODP dan GDP dari sistem ini bernilai nol
(Choudhurry, 2012). Sistem pendingin adsorpsi sebagai solusi penanggulangan
pemanasan global hanya menggunakan energi terbarukan berupa panas matahari
ataupun panas buang dari suatu pembakaran. Sistem ini juga tidak menggunakan
CFC ataupun HCFC yang mungkin berbahaya bagi lingkungan (Tso et al., 2011).
Dalam sistem pendingin adsorpsi, faktor yang sangat mempengaruhi
keseluruhan sistem adalah proses adsorpsi yang terjadi. Untuk mencapai hasil
adsorpsi yang optimal dengan pendinginan yang optimal, dibutuhkan pasangan
adsorben-adsorbat yang bersesuaian (Li dan Wang, 2007). Kapasitas adsorpsi
yang lebih besar bisa memberikan performa yang lebih baik dalam kaitannya
dengan peningkatan daya pendinginan dan sistem yang lebih ekonomis.
Sebagai refrigeran atau adsorbat, air adalah refrigeran alami yang paling
diterima karena harganya yang murah. Air tidak beracun dan tidak mudah
2
Universitas Indonesia
terbakar sehingga aman digunakan. selain itu, berbagai penelitian telah dilakukan
dengan menggunakan air dalam siklus panas (Meyer-Pittroff et al., 1990). Air
memiliki panas laten yang sangat tinggi dalam proses evaporasi dan suhu kritis
yang juga tinggi. Oleh karena itu, air berpotensi sebagai pendingin yang efisien.
Karbon aktif adalah salah satu adsorben yang potensial memiliki luas
permukaan internal yang besar karena porositasnya tinggi, reaktivitas permukaan
yang tinggi, dan oleh karena itu memiliki kapasitas yang besar untuk menyerap
bahan kimia dari cairan atau gas. Selain itu, karbon aktif memiliki konduktivitas
termal yang tinggi yaitu: 0,5 W m
-1
K
-1
(Menard et al., 2005), sehingga baik
digunakan sebagai adsorben secara langsung maupun sebagai bahan adsorben
komposit dalam sistem pendingin adsorpsi.
Banyak bahan alam yang bisa digunakan sebagai prekursor karbon aktif,
seperti: kayu, batu bara, lignit, gambut, residu dari minyak bumi, dan tempurung
kelapa. Pemilihan bahan yang berbeda dilakukan untuk menentukan adsorptivitas
dan sifat fisik dari masing-masing bahan untuk tujuan yang berbeda.
Pemilihannya biasanya berdasarkan ketersediaan, harga, serta konsistensi dari
kualitas kemurnian bahan tersebut (Badie S. et al., 2001). Kenyataannya, material
yang murah dengan kadar karbon yang tinggi dan zat inorganik yang rendah bisa
digunakan sebagai bahan mentah untuk memproduksi karbon aktif.
Limbah pertanian telah terbukti sebagai bahan yang menjanjikan untuk
produksi karbon aktif karena ketersediaannya dalam harga yang murah dan
mampu menghasilkan karbon aktif dengan kapasitas adsorpsi yang baik serta
kekuatan mekanis yang sesuai (Ioannidou et al., 2007). Sehingga, limbah
pertanian sangat tepat digunakan sebagai prekursor pembuatan adsorben dalam
sistem pendingin
Cangkang dari kelapa sawit mengandung konsentrasi yang tinggi dari
zat-zat volatil dan kadar abu rendah yang ideal untuk membuat matriks karbon
aktif dengan struktur berpori yang tinggi. Selain itu, produksi kelapa sawit yang
cukup tinggi di Indonesia sampai saat ini mencapai 14,8 ton di tahun 2012 dan
limbahnya belum semua difungsikan untuk kehidupan masyarakat Indonesia.
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu jalan untuk memberikan fungsi lain
dari limbah cangkang kelapa sawit dengan menjadikannya sebagai prekursor
3
Universitas Indonesia
dalam membuat palm shell activated carbon dan menjadikannya sebagai adsorben
komposit dalam sistem pendingin adsorpsi.
Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu material yang mengandung
baik lignin dan selulosa, sehingga aktivasi yang cocok adalah aktivasi kimia.
Karbon aktif yang berasal diaktivasi dengan aktivasi kimia umumnya memiliki
luas permukaan tinggi dan mikropori yang baik sehingga bisa digunakan untuk
mengadsorpsi uap air (Foley et al., 1997). Aktivasi kimia KOH adalah metode
yang sangat efektif untuk produksi karbon aktif dengan distribusi ukuran pori
mikro dan porositas yang berkembang dengan baik (Otowa et al., 1993). Maka,
alam penelitian ini dilakukan aktivasi kimia dengan KOH sebagai aktivator.
Penelitian pembuatan komposit karbon aktif sebagai adsorben dalam
sistem pendingin adsorpsi sudah banyak dilakukan. Proses impregnasi dengan
kalsium klorida dan silika gel untuk sintesis adsorben komposit dapat
meningkatkan kemampuan karbon aktif dalam menyerap uap air. Impregnasi
silika gel dari larutan sodium silikat mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi uap
air pada tekanan 750 Pa - 1100 Pa. Sementara impregnasi kalsium klorida perlu
dilakukan untuk memodifikasi struktur pori-pori karbon aktif sehingga bersifat
lebih higroskopis. Dari penelitian yang dilakukan Tso et al., 2011, adsorpsi air
dengan komposit AC/Silika gel/CaCl
2
sampai 933% kali lebih baik dibandingkan
hanya digunakan karbon aktif tanpa impregnasi. Penelitian dilakukan dengan
metode impregnasi yang sama namun menggunakan prekursor karbon aktif yang
berbeda sehingga terbentuk adsorben komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2
dalam
aplikasinya sebagai sistem pendingin adsorpsi.
Pengamatan dilakukan untuk melihat perbedaan komposit PSAC/Silika
gel/CaCl
2
dengan adsorben komposit yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya,
pengaruh penggunaan prekursor cangkang kelapa sawit dalam struktur morfologi
dan kemampuan adsorpsi adsorben komposit dalam mengadsorpsi uap air dalam
sistem pendingin adsorpsi.

4
Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada Pembuatan Komposit Palm Shell Activateed
Carbon Terimpregnasi dengan Silika gel dan Kalsium Klorida sebagai Adsorben
Sistem Pendingin Adsorpsi antara lain:
1. Apakah palm shell activated carbon lebih baik dibandingkan dengan
karbon aktif batu bara untuk dijadikan komposit terimprengasi silika gel
dan CaCl
2
dengan kemampuan adsorpsi tinggi terhadap uap air.
2. Bagaimana pengaruh impregnasi silika gel dan kalsium klorida terhadap
palm shell activated carbon dalam peningkatan kemampuan adsorpsi
terhadap uap air.
3. Bagaimana konsentrasi optimum kalsium klorida dan waktu perendaman
optimum silika gel dan kalsium klorida dalam proses sintesis komposit
palm shell activated carbon.

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membandingkan palm shell
acivated carbon dengan karbon aktif batu bara untuk dijadikan komposit
terimprengasi silika gel dan CaCl
2
dengan kemampuan adsorpsi tinggi terhadap
uap air. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:
1. Mempelajari pengaruh impregnasi silika gel dan kalsium klorida
terhadap palm shell activated carbon dalam peningkatan kemampuan
adsorpsi terhadap uap air.
2. Mengetahui konsentrasi optimum kalsium klorida dan waktu perendaman
optimum silika gel dan kalsium klorida dalam proses sintesis komposit
palm shell activated carbon.

1.4 Batasan Masalah
Ruang lingkup yang membatasi penelitian ini antara lain:
1. Karbon aktif yang akan dijadikan adsorben komposit adalah karbon aktif
yang dibuat dari cangkang cangkang kelapa sawit.
5
Universitas Indonesia
2. Karbon aktif dari cangkang kelapa sawit diaktifkan dengan menggunakan
larutan basa KOH.
3. Impregnasi dilakukan dengan kondisi operasi sama untuk masing-masing
karbon aktif kecuali untuk waktu perendaman karbon aktif dalam larutan
sodium silikat dan kalsium klorida serta konsentrasi dari kalsium klorida.
4. Karakterisasi adsorben komposit yang dilakukan antara lain XPS,
SEM/EDX, BET, dan TGA.
5. Uji kapasitas adsorpsi komposit dilakukan selama 1,5 jam dalam tekanan
dan suhu yang dijaga tetap.
6. Uap air yang diadsorpsi dijaga dalam temperatur dan tekanan tetap.

1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang dilakukan untuk penulisan penelitian ini
dilakukan dengan membagi tulisan menjadi:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian dan penulisan, perumusan masalah
yang dibahas, tujuan dilakukannya penelitian, batasan masalah, serta sistematika
penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka yang dijadikan dasar penelitian. Meliputi teori tentang
pemanasan global, mekanisme sistem pendingin adsorpsi, air sebagai
refrigeran/adsorbat, pasangan adsorben-adsorbat, analisis performa adsorben-
adsorbat, karbon aktif sebagai adsorben, cangkang kelapa sawit sebagai prekursor,
karbonisasi dan aktivasi kimia dengan KOH, proses adsorpsi, karakterisasi XPS,
SEM/EDX, BET, dan TGA.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Berisi rancangan penelitian yang akan dilakukan, diagram alir penelitian,
pengambilan data, dan teknik analisa data yang akan dilakukan.

6 Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanasan Global akibat Sistem Pendingin Konvensional
Isu pemanasan global dan kekurangan energi yang kian marak telah
menjadi isu yang semakin serius mendominasi seluruh dunia. Kebutuhan energi
semakin meningkat, salah satunya adalah kebutuh energi sistem pendingin.
International Institute of Refrigeration di Paris mengungkapkan bahwa 15% dari
listrik yang diproduksi di dunia digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dari
sistem pendingin (Fan et al., 2007). Permasalahan lain dari sistem pendingin
adalah refrigeran yang dapat merusak lingkungan. Montreal Protocol (1987) dan
London and Copenhagen Amandments (1990, 1992) juga menegaskan agar CFC
(R-12) dan HCFC (R-134a) untuk digantikan dengan refrigeran hijau yang
memiliki nilai Ozone Depletion Potential (ODP) dan Global Warming Potential
(GWP) rendah atau bahkan nol (Aristov et al., 2002).
Dalam perkembangan ini, sistem pendingin adsorpsi bisa menjadi solusi
untuk permasalahan di atas, karena masing-masing nilai ODP dan GDP dari
sistem ini bernilai nol (Choudhurry, 2012). Penelitian yang dilakukan berfokus
pada kemungkinan penggunaan material adsorben yang lebih baik dalam hal
efisiensi adsorpsi dan harganya, sehingga penggunaan sistem pendingin adsorpsi
dapat dimanfaatkan menggantikan sistem pendingin yang konvensional.

2.2 Sistem Pendingin Adsorpsi
2.2.1 Prinsip Dasar dan Mekanisme Sistem Pendingin Adsorpsi
Sistem pendingin adsorpsi menggunakan lapisan adsorben padat untuk
menyerap dan mendesorpsi refrigeran untuk mendapatkan efek pendinginan
(Yong, 2006). Sistem pendingin adsorpsi dasar umumnya terdiri dari empat
komponen utama: bed yang merupakan lapisan adsorben padat (adsorbent bed),
kondenser, katup ekspansi, dan evaporator. Lapisan adsorben padat mendesorpsi
uap refrigeran bila dipanaskan dan mengadsorpsi uap refrigeran ketika
7
Universitas Indonesia
didinginkan. Dengan cara ini, lapisan adsorben padat dapat digunakan sebagai
kompresor termal untuk mendorong refrigeran pada sistem untuk dapat
memanaskan atau mendinginkan fluida transfer panas atau menyediakan
pendinginan atau pemanasan bagi ruangan tertentu.
Refrigeran yang digunakan didesorpsi dari bed saat dipanaskan untuk
mendorong refrigeran keluar dari bed dan uap refrigeran kemudian disampaikan
kepada kondensor. Dalam kondensor, uap refrigeran didinginkan dan
terkondensasikan. Kondensat refrigeran kemudian diekspansi melalui katup
ekspansi kemudian masuk ke dalam evaporator yang merupakan tempat
berlangsungnya proses pertukaran panas antara kondensat bertekanan rendah
dengan steam atau udara dalam ruangan yang dikondisikan untuk menguapkan
kondensat. Dalam proses adsorpsi, uap refrigeran dari evaporator dialirkan
kembali ke dalam bed untuk menyelesaikan siklus.
Untuk mendapatkan efek pendingin dari sistem refrigerasi adsorpsi yang
berkelanjutan dan stabil, diperlukan dua atau lebih bed adsorben dalam sistem.
Dalam siklus two-bed yang tipikal, satu bed dipanaskan dalam periode desorpsi
sementara bed yang lainnya didinginkan selama proses adsorpsi (Yong, 2006).


Gambar 2. 1 Contoh skema sistem pendingin adsorpsi dengan siklus two-bed
(Tso et al., 2012)

8
Universitas Indonesia
Langkah pemanasan dan pendinginan harus dibalikan saat lapisan
adsorben mencapai batas atas dan bawah suhu yang diinginkan dari siklus
adsorpsi. Suhu atas dan bawah akan bervariasi tergantung pada pemilihan cairan
refrigeran dan adsorben yang digunakan, yakni pasangan adsorben-adsorbat dalam
proses adsorpsi.

2.2.2 Analisis Performa Adsorben-Adsorbat
Kinerja dari sistem pendingin adsorpsi biasanya dinilai dengan
menggunakan dua faktor kinerja, yaitu coeffient of performance (COP), dan
specific cooling power (SCP). COP didefinisikan sebagai jumlah pendinginan
yang dihasilkan oleh sistem pendingin adsorpsi per unit panas yang disuplai
(Anyanwu, 2004) seperti yang diberikan di bawah ini:

(2.1)
dimana

adalah jumlah panas yang ditransfer melalui evaporator, dan

adalah
kuantitas panas terserap oleh adsorber selama proses desorpsi. Semakin tinggi
nilai COP semakin baik, dengan rentang COP paling tinggi adalah 1,0 atau
efisiensi sempurna tanpa heat loss.
Sementara SCP didefinisikan sebagai rasio antara produksi pendingin
dan waktu siklus per satuan berat adsorben, seperti yang diberikan berikut:

(2.2)
dimana

adalah waktu siklus, dan

adalah massa adsorben. Semakin kecil


jumlah beban pendinginan dan semakin besar nilai SCP, sistem pendinginan yang
digunakan semakin kecil, sehingga bisa lebih murah dalam biaya pembuatan.
Pada penelitian ini, perhitungan COP dan SCP dari komposit karbon aktif
(berbasis cangkang kelapa sawit)/silika/CaCl
2
dihitung berdasarkan kapasitas
adsorpsi dan kinetika adsorpsi dari komposit, bukan berdasarkan siklus pendingin
adsorpsi/desorpsinya.


9
Universitas Indonesia
2.2.3 Air sebagai Refrigeran atau Adsorbat
Fungsi refrigeran dalam sistem pendingin adalah mutlak dalam suatu
sistem pendingin adsorpsi. Refrigeran merupakan zat yang berubah fasanya dari
gas menjadi cair dan sebaliknya dalam siklus panas yang terjadi pada sistem
pendingin (Calm, 2002). Refrigeran digunakan sebagai adsorben dalam proses
adsorpsi saat fasanya adalah gas. Dalam sejarahnya, refrigeran yang digunakan
dalam sistem pendingin adsorpsi merupakan senyawa sintesis yang dikenal
dengan nama HFC (hydrofluorocarbons). HFC alternatif yang bisa digunakan
antara lain adalah amonia (NH
3
), hidrokarbon (HCs), karbon dioksida (CO
2
), atau
air (H
2
O). Perbandingan masing-masing refrigeran dapat dilihat di Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Karakteristik Refrigeran Sintetis & Alami (Riffat et al., 1997)
R-12
(CFC)
R-22
(HCFC)
R-134a
(HFC)
R-717
(NH
3
)
R-744
(CO
2
)
R-290
(C
3
H
8
)
R-600
(C
4
H
10
)
R-718
(H
2
O)
Natural
substance
No No No Yes Yes Yes Yes Yes
ODP 0,9 0,05 0 0 0 0 0 0
GWP 3 0,34 0,29 0 0 <0,03 <0,03 0
Toxicity TLV
(ppm, volume)
1000 500 1000 25 5000 1000 1000 No
Flammability No No No Yes No Yes Yes No
Critical point
temperature
(C)
115,5 96,2 100,6 133 31.1 96,8 152,1 374,2
Critical point
pressure (C)
40,1 49,9 40,7 114,2 73,7 42,6 38,0 221,2
Normal boiling
temperature
(C)
-30 -40,8 -26 -33,3 -78,4 -42,1 -0,4 100
Max.
refrigerant
capacity at 0C
(kJ/m
3
)
2733 4344 2864 4360 22600 3888 1040 1349

10
Universitas Indonesia
Air adalah refrigeran alami yang paling diterima karena harganya yang
murah. Air tidak beracun dan tidak mudah terbakar sehingga aman digunakan.
selain itu, berbagai penelitian telah dilakukan dengan menggunakan air dalam
siklus panas. Proses ini telah diteliti oleh Meyer-Pittroff et al. pada tahun 1990,
Hackenseliner et al. di tahun 1994, Endou di tahun 1990. Air memiliki panas laten
yang sangat tinggi dalam proses evaporasi dan suhu kritis yang juga tinggi. Oleh
karena itu, air berpotensi sebagai pendingin yang efisien. Kekurangan satu-
satunya adalah bahwa air tidak mungkin memiliki suhu evaporasi kurang dari
0C, sehingga tidak bisa diaplikasikan untuk sistem pendingin dengan suhu akhir
yang diharapkan dari kurang dari 0C.
Air sebagai refrigeran telah banyak diaplikasikan dalam sistem pendingin
adsorpsi dengan pasangan adsorben yang berbeda-beda. Umumnya, penggunaan
air sebagai refrigeran dipasangkan dengan silika gel maupun zeolite. Penelitian
dengan silika gel telah dilakukan oleh Wang et al. pada tahun 2004, Chang et al.
pada tahun 2008, Lu et al. pada tahun 2011, dan masih banyak lagi. Sementara,
penggunaan zeolite-air sebagai pasangan adsorben-adsorbat dalam sistem
pendingin adsorpsi juga telah dilakukan oleh Wang et al. pada tahun 2004,
Solmu et al. di tahun 2010, Myat et al. di tahun 2011, dan berbagai penelitian
lainnya. Karena penggunaannya yang telah banyak dibuktikan sebagai salah satu
refrigeran alami yang layak diaplikasikan dalam sistem pendingin adsorpsi,
penulis menggunakan air sebagai refrigeran atau adsorbat. Air nantinya akan
dipasangkan dengan adsorben berupa komposit karbon aktif berbasis cangkang
kelapa sawit dengan impregnasi dengan CaCl
2
dan silikat sebagai pasangan kerja
adsorben-adsorbat dalam aplikasi sistem pendingin adsorpsi.

2.2.4 Pasangan Adsorben-Air
Pasangan adsorben-adsorbat yang digunakan dalam sebuah sistem
pendingin adsorpsi merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan (Abdullah
et al., 2011). Untuk mendapatkan adsorben yang terbaik, beberapa faktor harus
diperhatikan:
konduktivitas termal yang baik dan kapasitas panas spesifik yang rendah
sehingga waktu siklus yang dibutuhkan dalam sistem lebih sedikit;
11
Universitas Indonesia
kapasitas adsorpsi-desorpsi yang tinggi untuk mendapatkan efek
pendingin yang lebih baik;
tidak terjadi reaksi kimia dengan adsorbat yang yang digunakan (adsorpsi
yang terjadi berupa adsorpsi fisis);
murah dan banyak tersedia.
Dalam kaitannya sebagai adsorben bagi sistem pendingin adsorpsi,
karbon aktif memiliki konduktivitas termal yang tinggi, sesuai dengan poin
pertama yaitu: 0,5 W m
-1
K
-1
(Menard et al., 2005), sehingga baik digunakan
sebagai adsorben dalam sistem pendingin adsorpsi.
Air yang digunakan dalam sistem pendingin adsorpsi umunya
dipasangkan dengan zeolite maupun silika gel. Zeolite-air dalam sistem pendingin
adsorpsi mampu mencapai COP 0,25 dan daya pendinginan sampai 10 kW. Suhu
evaporasi dari sistem pendingin ini mencapai 6,5C, dengan waktu siklus selama
1320 s dan SCP (specific cooling power) mencapai 200W/kg (Wang et al., 2004).
Sementara itu, sistem pendingin dengan silika gel-air memiliki COP sampai 0,49
dan daya pendinginan sebesar 9,60 kW. Suhu evaporasi dari sistem tersebut
12,3C dengan waktu siklus yang optimal selama 720 s (Chen et al, 2010).
Selain silika gel dan zeolit, masih ada jenis adsorben lain yang digunakan
dalam sistem pendingin adsorpsi, yakni adsorben berbentuk komposit. Dalam
perkembangannya, silika gel, zeolit 13X, karbon aktif, dan CaCl
2
merupakan
material yang umum digunakan dalam membuat adsorben komposit (Tso et al.,
2012). Beberapa adsorben komposit bahkan dipasangkan dengan air sebagai
adsorbatnya. Contohnya adalah komposit silika gel/CaCl
2
yang dilakukan oleh
Aristov di tahun 2002, yang menghasilkan sistem pendingin dengan suhu
evaporasi mencapai 7C. Sementara studi yang dilakukan oleh Hu et al.,
menggabungkan zeolite dengan foam aluminum sebagai komposit dengan air
sebagai adsorbat mencapai COP sebesar 0,55 dan suhu evaporasi 10C. Terakhir,
Tso dan Chao di tahun 2012 menggabungkan karbon aktif, CaCl
2
dan silikat
sebagai adsorben komposit dan mampu mengadsorpsi air dengan kapasitas 0,23
g/g dan COP sebesar 0,7.

12
Universitas Indonesia
Apabila dilakukan pembandingan antar komposit, adsorben komposit
karbon aktif/CaCl
2
/silikat merupakan adsorben komposit yang baik dalam
prosesnya mengadsorpsi uap air. Karena itu, penulis menggunakan metode
preparasi adsorben komposit yang sama untuk karbon aktif dengan prekursor
berbeda, yakni dengan cangkang kelapa sawit. Hal ini dilakukan untuk
mengoptimalkan limbah kelapa sawit di Indonesia dan pemanfaatannya sebagai
adsorben dalam sistem pendingin. Selain itu, penulis juga ingin mengobservasi
seberapa besar pengaruh impregnasi dari CaCl
2
dan silikat dalam karbon aktif
berbasis cangkang kelapa sawit.

2.3 Karbon Aktif
2.3.1 Definisi Umum Karbon Aktif
Karbon aktif meliputi berbagai bahan berbasis karbon amorf yang
memiliki porositas tinggi dan permukaan yang luas. Sifat dari masing-masing
karbon aktif dipengaruhi oleh bahan awal yang digunakan dan oleh kondisi
aktivasi. Dengan beragam bahan awal yang mungkin untuk diolah menjadi karbon
aktif serta macam-macam jenis aktivasi yang mungkin dilakukan, diperoleh
berbagai jenis karbon aktif dengan fungsi yang berbeda pula.
Karbon aktif dapat ditemukan dalam berbagai aplikasinya sebagai
adsorben, katalis, atau katalis pendukung. Karbon aktif adalah salah satu adsorben
yang paling penting dalam penggunaannya di bidang industri. Aplikasi utama dari
adsorben ini adalah untuk pemisahan dan pemurnian gas dan campuran fase cair.
Pada dasarnya, struktur karbon aktif berdasarkan pori-pori yang dimilikinya
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok menurut International Union of Pure and
Applied Chemistry (IUPAC, 1971): pori mikro (micropores) dengan ukuran <2
nm, pori sedang (mesopores) dengan ukuran 2-5 nm, dan pori makro
(macropores) dengan ukuran >50 nm.
Karbon aktif memiliki sifat tertentu tergantung pada bahan mentah yang
digunakan serta metode aktivasinya. Dalam masing-masing proses aktivasi fisis
dan kimia, pengetahuan tetang variabel yang berbeda sangat penting dalam
mengembangkan porositas karbon aktif. Kapasitas adsorpsi karbon aktif
berhubungan dengan karateristiknya, seperti: luas permukaan, volume pori,
13
Universitas Indonesia
distribusi ukuran pori, dan struktur pori. Perkembangan karbon aktir bepori mikro
dan sedang penting karena memungkinkan penyerapan berbagai jenis adsorbat
baik gas maupun cairan dalam jumlah besar (Wu et al., 2005).

2.3.2 Pembuatan Karbon Aktif
Metode yang paling sering digunakan dalam pembuatan karbon aktif
melibatkan karbonisasi dari bahan mentah pada suhu tinggi dalam kondisi inert
yang diikuti dengan aktivasi. Ada dua metode utama dalam proses aktivasi, yakni
aktivasi fisis dan aktivasi kimia. Proses aktivasi fisik terdiri dari penambahan gas
pengoksidasi kepada arang yang telah dikarbonisasi, umumnya dengan steam atau
gas CO
2
. Struktur berpori terbentuk karena penghilangan materi volatil selama
proses pirolisis, dan karbon pada arang akan dihilangkan selama aktivasi. Fungsi
utama dari gasifikasi adalah untuk membentuk pori-pori berukuran sedang
(mesopores). Dalam proses aktivasi kimia, bahan kimia memenuhi pori-pori
bahan mentah sebelum diberikan perlakuan panas dalam kondisi inert. Pori-pori
yang terbentuk terjadi karena reaksi dehidrasi dan oksidasi dari bahan kimia yang
digunakan.

2.3.3 Karbon Aktif dari Cangkang Kelapa Sawit
Kayu, batu bara alam, lignit, gambut, residue minyak bumi dan
tempurung kelapa adalah beberapa bahan mentah konvensional yang sering
digunakan dalam menghasilkan karbon aktif. Pemilihan bahan mentah penting
sekali dalam menentukan berbagai karakteristik fisik dan adsorpsi yang dapat
dicapai dalam karbon aktif. Pemilihan bahan mentah sebagian besar ditentukan
dari ketersediaan, biaya, konsistensi kualitas dan kemurnian (Girgis, 2002).
Bahkan setiap bahan murah dengan kadar karbon yang tinggi dan kandungan
materi anorganik yang rendah dapat digunakan untuk sebagai bahan baku untuk
memproduksi karbon aktif.
Limbah pertanian dalam dunia luas telah terbuki menjanjikan sebagai
bahan baku untuk produksi karbon aktif karena ketersediaan dan harga yang
rendah. Limbah pertanian dapat menghasilkan karbon aktif dengan kapasitas
adsorpsi yang cukup tinggi dan kekuatan mekanik yang cukup besar (Ioannidou,
14
Universitas Indonesia
2007). Selain itu, limbah pertanian mengandung materi volatil dengan konsentrasi
yang tinggi dan kadar abu yang rendah. Kedua hal tersebut merupakan syarat ideal
dalam menciptakan struktur yang sangat berpori dalam matriks karbon aktif (Dias
et al., 2007).
Cangkang kelapa sawit cocok digunakan untuk proses adsorspsi karena
kemampuannya untuk dimodifikasi menjadi karbon dengan porositas tinggi. Dari
analisis unsur, presentase berat karbon dari cangkang kelapa sawit paling tinggi.
Sementara unsur lainnya bisa dihilangkan dalam suhu tinggi, sehingga
meningkatkan kandungan karbon di dalam arang. Selain itu, kandungan lignin
yang tinggi dan selulosa yang rendah membuat aktivasi dari arang cangkang
kelapa sawit dalam waktu yang cepat karena struktur fiber yang lebih rendah
(Daud dan Ali, 2004). Meski demikian, setelah proses karbonisasi, berat arang
cangkang kelapa sawit berkurang sampai 75% dari berat awal. Adapun,
karakteristik dari cangkang kelapa sawit mentah sebagai prekursor dapat dilihat
pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2. 2 Karakteristik Cangkang Kelapa Sawit (Guo dan Lua, 2002;
Daud dan Ali, 2004)
Properties Value
Solid density (g/cm
3
) 1.53
Apparent density (g/cm
3
) 1.47
Porosity (%) 3.9
BET surface area (m
2
/g) 1.6
Micropore surface area (m
2
/g) 0.2
Proximate Analysis (wt %)
Carbon
Moisture
Ash
Volatile

18.7
7.96
1.1
0.1




15
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Elemental Analysis (wt %)
Carbon
Hydrogen
Nitrogen
Sulphur
Oxygen

50.01
6.85
1.9
-
41.15
Cellulose (%)
Halocellulose (%)
Lignin (%)
29.7
47.7
53.4

Indonesia adalah salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di
dunia. Tahun 2012, produksi kelapa sawit di Indonesia mencapai 23,5 juta ton,
sementara limbah cangkang kelapa sawit adalah 60% dari produksi kelapa sawit,
yakni sekitar 14,1 juta ton per tahun 2012. Masih begitu banyak dari limbah
cangkang kelapa sawit yang belum dimanfaatkan. Cangkang kelapa sawit saat ini
telah banyak dikonversi menjadi karbon aktif dan dikarakterisasi pada penelitian-
penelitian sebelumnya, umumnya sebagai penyerap polutan gas. Penelitian itu
dilakukan antara lain oleh Guo dan Lua, 2002; Daud dan Ali, 2004; Lua et al.,
2006; Adinata et al., 2007. Baru-baru ini, karbon aktif berbasis cangkang kelapa
sawit juga telah digunakan dalam proses adsorpsi metana (Arami-Niya et al.,
2010), kromium heksavalen (Owlad et al., 2010), ion tembaga (Issabayeva et al.,
2010), fenol (Lim et al., 2009), dan lain-lain karena kapasitas adsorpsinya yang
besar. Namun, aplikasi dari cangkang kelapa sawit untuk membuat karbon aktif
sebagai adsorben dalam sistem pendingin adsorpsi masih sangat terbatas dan
karena itu berpotensi untuk dibuktikan kemampuannya.

2.3.4 Karbonisasi dan Aktivasi Kimia Palm Shell Activated Carbon (PSAC)
Karbon aktif dari cangkang kelapa sawit dapat dibuat dengan proses
karbonisasi yang kemudian diikuti dengan aktivasi fisis maupun kimia.
Umumnya, aktivasi fisis dilakukan dengan menggunakan karbon dioksida (CO
2
),
steam, udara, atau campurannya (Baklanova, 2003). Sementara aktivasi kimia
menggunakan berbagai larutan kimia seperti asam (Vargas et al., 2012), basa
16
Universitas Indonesia
(Wang et al., 2012; Sevilla dan Fuertes, 2011; Plaza et al., 2012; Romanos et al.,
2012), dan ZnCl
2
(Vargas et al., 2012; Moren-Pirajan dan Giraldo, 2010).
Kemampuan adsorpsi dari karbon aktif sangat dipengaruhi oleh struktur
pori dan permukaan karbon aktif itu sendiri. Karbon aktif yang berasal diaktivasi
dengan aktivasi kimia umumnya memiliki luas permukaan tinggi dan mikropori
yang baik sehingga bisa digunakan untuk mengadsorpsi uap air (Foley et al.,
1997). Dalam mencapai karbon aktif yang memiliki mikropori yang homogen,
bisa dilakukan dengan dua cara, yakni: (i) pemilihan prekursor yang ketat
(prekursor yang berbentuk polimer saja) dan dengan aktivasi fisis berupa panas
yang terkontrol; atau dengan (ii) menggunakan prekursor yang lebih konvensional
seperti material yang mengandung lignin dan selulosa (lignocellulosic material)
dan aktivasi yang termodifikasi. Karena variabel seperti temperatur, tekanan,
panas, dan lain-lain kurang siginifikan pengaruhnya dalam menghasilkan
distribusi mikropori pada permukaan karbon aktif, alternatif yang sering
digunakan adalah aktivasi secara kimia. Tambahan lagi, aktivasi kimia mampu
membuat pori-pori dari karbon aktif termodifikasi (Gonzlez et al., 1997)
Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu material yang mengandung
baik lignin dan selulosa, sehingga aktivasi yang cocok untuk prekursor seperti
cangkang kelapa sawit adalah aktivasi kimia yang sesuai. Aktivasi kimia berguna
sebagai senyawa penghilang air, dan berguna untuk meningkatkan yield dan juga
menjadi pengubah degradasi panas dari prekursor sehingga mengubah pori-pori
karbon aktif.
Dalam proses aktivasi kimia, suhu umumnya dijaga pada 450-600C
(Molina-Sabio dan Rodriguez-Reinoso, 2004). Hal ini perlu dilakukan karena
pada suhu tersebut proses karbonisasi masih berlangsung, dan komposisi kimia
dari karbona aktif setelah pencucian zat kimia yang tersisa berada pada keadaan
antara prekursor dan arang (karbonisasi tidak sempurna). Dari bermacam-macam
zat kimia yang digunakan untuk aktivasi kimia (seng klorida, asam fosforik,
aluminium klorida, magnesium klorida, potasium hidroksida, sodium hidroksida,
dll.), yang paling sering digunakan adalah ZnCl
2
, H
3
PO
4
, dan KOH.
Molina-Sabio dan Rodriguez-Reinoso pada penelitannya di tahun 2004
telah menyimpulkan perbedaan penggunaan aktivator yang berbeda terhadap
17
Universitas Indonesia
karbon aktif dengan prekursor lignoselulosa. Porositas karbon aktif dari masing-
masing aktivator berbeda bernilai 0,4 cm
3
/g untuk KOH, 0,5 cm
3
/g untuk ZnCl
2
,
dan 0,6 cm
3
/g untuk H
3
PO
4
. Efeknya pada pori-pori karbon aktif berdasarkan
pori-porinya adalah: (i) aktivator KOH menghasilkan perbesaran mikropori dan
lebih banyak lagi mikropori yang heterogen; (ii) aktivator ZnCl
2
menghasilkan
perbesaran mikropori dan sedikit mesopori; (iii) aktivator H
3
PO
4
menghasilkan
mesopori yang besar bahkan makropori.
Banyak peneliti telah melaporkan bahwa karbon aktif yang dihasilkan
oleh aktivasi kimia KOH dari bahan karbon, seperti kokas, arang, batu bara, dll,
menghasilkan luas permukaan BET yang tingginya lebih dari 2000 m
2
/g. Juga
telah ditunjukkan bahwa aktivasi kimia KOH adalah metode yang sangat efektif
untuk produksi karbon aktif dengan distribusi ukuran pori mikro dan porositas
yang berkembang dengan baik (Otowa et al., 1993; Stavropoulos, 2005; Chunlan
et al., 2005; Mitani et al., 2005; Tseng dan Tseng, 2005). Luas permukaan yang
tinggi ini dapat menghasilkan adsorpsi uap air yang lebih tinggi. Bahkan,
kemampuan adsorpsi dari karbon aktif yang diaktivasi dengan KOH 1,2-1,5 kali
lebih baik daripada silika gel komersial pada kondisi operasi yang sama
(Kobayashi et al., 2003, 2006). Karenanya, dalam preparasi dari palm shell
activated carbon, dilakukan aktivasi kimia dengan KOH sebagai aktivator.

2.4 Impregnasi Karbon Aktif
Impregnasi adalah proses penambahan zat kimia pada karbon aktif
sehingga strukturnya berubah (Okada et. al., 2009). Dalam hal ini, proses
impregnasi karbon aktif mirip fungsinya dengan aktivasi kimia karbon aktif.
Tingkat impregnasi adalah tingkat perbandingan berat antara garam
pengaktif anhydrous dengan bahan kering mula-mula. Pengaruh tingkat
perendaman pada porositas produk yang dihasilkan terlihat dari kenyataan bahwa
volume garam dalam karbon sama dengan volume pori-pori yang di bebaskan
oleh ekstraksinya. Jika tingkat impregnasi ditambah lebih jauh, jumlah diameter
pori yang lebih besar bertambah dan diameter yang lebih kecil berkurang (Molina-
Sabio dan Rodriguez-Reinoso, 2004).

18
Universitas Indonesia
2.3.1 Impregnasi Silikat dan Kalsium Klorida
Dalam sebuah sistem pendingin adsorpsi, adsorben yang digunakan harus
memiliki isoterm adsorpsi berbentuk huruf S dengan kapasitas adsorpsi pada
tekanan antara 750 Pa-1100 Pa (Kakiuchi et al., 2004). Karbon aktif pada
dasarnya mampu membentuk isoterm adsorpsi berbentuk S, namun kapasitas
adsorpsi dari karbon aktif pada tekanan tersebut masih sangat rendah (Shigeishi et
al., 1979). Karena itu, kombinasi dari karbon aktif dan silika gel bisa menjadi
solusinya. Hal ini terjadi karena kapasitas adsorpsi dari silika gel pada kondisi
bertekanan rendah relatif lebih tinggi daripada karbon aktif (Shigeishi et al.,
1979). Adapun isoterm adsorpsi berbentuk S masih bisa dipertahankan karena
karbon aktif yang bertindak sebagai material utama dalam membentuk komposit
ini.
Kalsium klorida adalah garam anorganik yang sering digunakan dalam
sistem pendingin sorpsi sebagai salah satu penyerap solid yang mampu menyerap
banyak uap air karena sifatnya yang sangat higroskopis (Tso et al., 2012).
Meskipun kalsium klorida sendiri bisa bersifat korosif bagi beberapa metal dalam
kondisi kelebihan oksigen karena kandungan klorin di dalamnya, adsorber dan
desorber dalam sistem pendingin adsorpsi memiliki udara atau oksigen yang
terbatas. Hal ini terjadi karena sistem pendingin adsorpsi dikondisikan dalam
keadaan yang hampir vakum, sehingga korosi yang disebabkan oleh kalsium
klorida tidak akan terjadi.
Penelitian telah dilakukan sebelumnya oleh Tso dan Chao tahun 2011
lalu dan membuktikan bahwa adsorben karbon aktif yang diimpregnasikan dengan
silikat dan kalsium klorida mampu mengadsorpsi 0,23 gram uap air per gram
adsorben kering pada suhu 27C dan tekanan 900 Pa serta meningkatkan
kemampuan karbon aktif dalam mengadsorpsi uap air sampai dengan 933% dari
kondisi semula. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan karbon aktif
komersil yang berbasis batu bara. Penulis hendak melakukan penelitian serupa
dengan mengganti prekursor karbon aktif serta preparasi yang dilakukan. Penulis
menggunakan cangkang kelapa sawit sebagai prekursor dan KOH sebagai
aktivator sebelum diimpregnasikan dengan silikat dan kalsium klorida.

19
Universitas Indonesia
2.5 Adsorpsi
2.5.1 Teori Dasar Adsorpsi
Proses adsorpsi adalah proses di mana suatu material di udara berbentuk
gas atau pun cairan (adsorptif) menjadi berikatan dengan permukaan padat atau
cairan, yang disebut adsorben, dan membentuk adsorbat (Christmann, 2010).
Fenomena ini dapat dilihat sebagai berikut:


Gambar 2. 2 Skema Proses Adsorpsi-Desorpsi (Christmann, 2010)

Adapun, sebagai konsekuensinya, proses adsorpsi tidak akan terjadi
tanpa adanya permukaan (secara umum merupakan batas fase, termasuk
permukaan cair). Sebaliknya, proses desorpsi adalah proses pelepasan ikatan
antara adsorbat dengan adsorben.

2.5.2 Klasifikasi Adsorpsi
Proses adsorpsi dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis adsorpsi:
adsorpsi fisis (physisorption) atau adsorpsi kimia (chemisorption). Adsorpsi fisis
terjadi saat terbentuk ikatan interpartikel lemah seperti Van der Waals, hidrogen
dan dipol-dipol antara adsorben dan adsorbat. Sedangkan adsorpsi kimia terjadi
ketika ikatan interpartikel kuat hadir antara adsorben dan adsorbat karena
pertukaran elektron (Allen, 2005).
Adsorpsi fisik terjadi aktibat kondensasi molekul adsorbat ke dalam pori-
pori kapiler padatan adsorben, yang umumnya terjadi pada adsorpsi pada fase gas.
Terjadi pembentukan yang cepat dari kesetimbangan konsentrasi interfasial, yang
diikuti dengan kecepatan difusi dari molekul zat terlarut dalam pori-pori kapiler
dari partikel karbon. Tingkat kecepatan bervariasi secara timbal-balik dengan
kuadrat dari diameter partikel, meningkat dengan meningkatnya konsentrasi zat
20
Universitas Indonesia
terlarut dan suhu, tetapi menurun dengan meningkatnya berat molekul zat terlarut
(Eckenfelder, 2000). Adsorpsi fisik merupakan jenis interaksi adsorpsi yang relatif
lemah yang diasumsikan untuk proses dengan energi aktivasi nol sehingga bisa
diabaikan (Mattson, 1971).
Adsorpsi kimia, di sisi lain, menghasilkan pembentukan lapisan
monomolekular dari adsorbat pada permukaan adsorben karena adanya kekuatan
residual valensi dari molekul permukaan (Eckenfelder, 2000). Interaksi tersebut
sering ditandai dengan tingginya derajat reaksi kimia atau konfigurasi molekular,
serta spesifisitas antara adsorben dan adsorbat yang melibatkan reaksi gugus
fungsional tertentu (Mattson, 1971). Ini adalah hasil dari interaksi kimia antara
padatan dan zat terlarut (adsorben dan adsorbat). Kekuatan ikatan kimia dapat
bervariasi dan senyawa kimia yang dapat diidentifikasi yang umum mungkin tidak
benar-benar terbentuk. Kekuatan perekat umumnya lebih besar daripada yang
ditemukan dalam adsorpsi fisika, dan panas yang dibebaskan selama proses
adsorpsi kimia biasanya besar, dalam urutan panas reaksi kimia. Adsorpsi kimia
terjadi ketika ikatan interpartikel kuat terbentuk antara adsorben dan adsorbat
karena pertukaran elektron. Contoh obligasi tersebut adalah ikatan kovalen
maupun ikatan ionik (Allen, 2005).

2.5.3 Isoterm Adsorpsi
Adsorpsi adalah akumulasi dari proses transfer massa yang umumnya
dapat didefinisikan sebagai interaksi antara fase padat dan cair. Hubungan
kesetimbangan antara sorben dan sorbat dijelaskan oleh isoterm sorpsi, biasanya
merupakan rasio antara jumlah zat yang diserap dan yang tersisa di dalam larutan
pada suhu tetap dalam kondisi setimbang. Data isotermis harus secara akurat
disesuaikan dengan model isoterm yang berbeda untuk menemukan model yang
cocok yang dapat digunakan dalam proses desain. Kesetimbangan isoterm
merupakan faktor yang sangat penting dalam mendesain suatu sistem adsorpsi.
Isoterm adsorpsi biasanya dikembangkan untuk mengevaluasi kapasitas adsorben
untuk adsorpsi molekul tertentu (Moreno-Castilla, 2004).
Isoterm adsorpsi berguna untuk menggambarkan kapasitas adsorpsi
untuk memfasilitasi evaluasi kelayakan proses dalam aplikasi tertentu, sehingga
21
Universitas Indonesia
dapat dilakukan pemilihan adsorben yang paling tepat dan penentuan awal jumlah
adsorben yang perlu disiapkan. Isoterm adsorpsi juga memainkan peran yang
sangat penting dalam prosedur permodelan prediktif untuk analisis dan desain
sistem adsorpsi. Beberapa model kesetimbangan telah dikembangkan untuk
menggambarkan hubungan isoterm adsorpsi. Dari literatur, ditemukan bahwa
sistem adsorben-adsorbat yang berbeda menunjukan perilaku adsorpsi yang
berbeda dengan data adsorpsi yang diwakili oleh model isoterm yang berbeda.

2.5.4 Kinetika Adsorpsi
Dalam merancang model yang cepat dan efektif, analisis dilakukan pada
laju adsorpsi. Untuk analisis mekanisme pengendalian proses adsorpsi seperti
reaksi kimia, kontrol difusi, dan perpindahan massa, beberapa model kinetik
digunakan untk menguji data eksperimen, sehingga kecepatan adsorpsi dengan
demikian layak digunakan dalam operasi praktis yang sesungguhnya
(Senthilkumaar et al., 2005).
Kinetika adsorpsi menggambarkan kecepatan terjadinya proses adsorpsi
dari adsorbat ke dalam permukaan adsorben. Kinetika adsorpsi diperlukan untuk
memilih kondisi operasi yang optimum untuk proses batch yang efektif
sepenuhnya. Parameter kinetik ini juga berguna untuk memprediksi laju adsorpsi
dan dengan demikian memberikan informasi penting dalam merancang dan
memodelkan suatu proses adsorpsi. Prediksi kinetika sorpsi untuk proses batch
diperlukan untuk mendesain kolom adsorpsi skala industri. Sifat dari proses
penyerapan akan tergantung pada karakter fisik dan kimia dari adsorben dan
kondisi sistem (Vadivelan, 2005). Dari literatur, diketahui bahwa sebagian besar
data kinetik sangat cocok dengan model kinetik pada reaksi pseudo orde satu
maupun dua, sedangkan beberapa sistem adsorben-adsorbat lainnya diteliti
mengikuti model difusi intra-partikel dengan persamaan Elovich.

2.5.5 Termodinamika Adsorpsi
Konsep termodinamika mengasumsikan bahwa bila dalam sebuah sistem
yang terisolasi saat energi tidak dapat diperoleh atau hilang, yang menjadi
kekuatan pendorong (driving force) adalah perubahan entropi. Parameter
22
Universitas Indonesia
termodinamika yang harus diperhatikan untuk menentukan proses adsorpsi adalah
perubahan entalpi standar, entropi standar, dan energi bebas standar karena
perubahan mol zat terlarut dari larutan karena interaksi antara adsorben dan
adsorbat, serta energi aktivasi adsorpsi.
Reaksi adsorpsi umumnya adalah reaksi eksotermis, sehingga tingkat
adsorpsi umumnya meningkat dengan menurunnya temperatur. Perubahan jumlah
panas dari sebuah sistem adsorpsi yang terjadi, jumlah total panas yang
berkembang dalam proses adsorpsi dengan jumlah tertentu adsorbat dalam
adsorben, disebut dengan panas adsorpsi. Sementara kapasitas kesetimbangan
untuk sistem adsorpsi bergantung pada suhu yang didefinisikan dengan parameter
panas adsorpsi, ketergantungan laju adsorpsi dinyatakan dalam energi aktivasi.
Laju adsorpsi berhubungan dengan energi aktivasi untuk sistem adsorpsi yang
dinyatakan dalam persamaan Arrhenius (Al-Ghouti et al., 2010).

2.5 Karakterisasi Komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2
Karakterisasi komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2
bertujuan untuk
mengetahui data-data spesifik komposit. Data-data ini digunakan untuk
menganalisa karakterisasi komposit PSAC yang telah terimpregnasi maupun
PSAC tanpa impregnasi. Karakterisasi yang digunakan pada penelitian ini adalah
XPS, SEM/EDX. BET, dan TGA. Karakterisasi ini dilakukan dengan tujuan untuk
menghitung ukuran pori karbon aktif dan luas permukannya, menentukan struktur,
analisis morfologi, mengukur kapasitas adsorpsi komposit PSAC dan PSAC
mentah terhadap uap air, serta menghitung kinetika adsorpsinya.

2.5.1 Karakterisasi XPS (X-ray Photoelectron Spectroscopy)
Tujuan dari karakterisasi XPS (Xray Photoelectron Spectroscopy)
adalah menganalisis struktur pori dari karbon aktif yang telah diimpregnasi
dengan silika gel dan CaCl
2
, serta mengetahui persen berat dari tiap senyawa.
Prinsip kerja dari XPS adalah difraksi sinar X oleh adanya hubungan fasa tertentu
antara dua gelombang atau lebih. Ketika sinar X jatuh pada kristal, terjadi
23
Universitas Indonesia
hamburan ke segala arah. Hamburan ini bersifat koheren yang saling menguatkan
atau saling melemahkan.

2.5.2 Karakterisasi SEM (Scanning Electron Microscope)
Karakterisasi SEM berguna untuk mengetahui morfologi, porositas serta
ketebalan suatu spesimen. Prinsip dasar proses ini adalah dengan menembakkan
elektron ke permukaan spesimen yang ingin dianalisis. Penembakan elektron
tersebut menghasilkan sinyal berupa transmisi elektron yang akan memberikan
kondisi gambar dari daerah spesimen yang ditembakkan.
Bentuk transmisi elektron tersebut ada yang menyebar sehingga mampu
menampilkan gambar yang terang. Ada juga transmisi elektron yang
penyebarannya tidak elastis (elektron difraksi) sehingga menghasilkan gambar
yang gelap. Untuk transmisi elektron yang penyebarannya tidak elastis masih
dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan gambar dengan menggunakan alat
tambahan berupa electron spectrometer yang digunakan untuk membuat
gambaran energi dan spektra elektron. Prinsip kerja dari SEM hingga
menghasilkan gambar dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Elektron ditembakkan dan difokuskan pada spesimen dengan
menggunakan dua lensa kondensasi dan lensa objektif.
2. Hasil tembakan tersebut kemudian dipindai dengan menggunakan dua
kawat scanning dan transmisi elektron, lalu kemudian direkam dengan
menggunakan dua rekorder yang terpisah dengan masing-masing
rekorder memiliki fungsi:
Rekorder utama mengumpulkan transmitan yang menyebar dan
transmitan yang penyebarannya tidak elastis pada sudut rendah.
Rekorder kedua merupakan rekorder annular untuk melewatkan
elektron yang tidak menyebar dan mengumpulkan elektron difraksi.
3. Gambar secara simultan akan terbentuk dari masing-masing posisi
penembakan pada spesimen berdasarkan transmitan elektron yang
direkam masing-masing rekorder sesuai dengan kawat scanning pada
kolom. Gambar tersebut selanjutnya ditampilkan pada dua tabung
perekam cathode-ray.
24
Universitas Indonesia
4. Setelah gambar terbentuk, penjelasan gambar akan diberikan oleh CRT
screen area terhadap area yang dipindai jika terdapat spesimen
didalamnya.

2.5.3 Karakterisasi BET (Brunauer, Emmett, Teller)
Karakterisasi BET merupakan salah satu metode analisis mendasar yang
sangat penting untuk pengukuran luas spesifik suatu permukaan (Maron 1974).
Metode ini merupakan perkembangan dari teori Langmuir, teori untuk adsorpsi
molekuler monolayer, menjadi adsorpsi multilayer dengan asumsi:
a. Molekul-molekul gas teradsorp secara fisika pada zat padat berupa
lapisan tak terhingga
b. Tidak ada interaksi antara lapisan adsorpsi satu dengan yang lainnya
c. Teori Langmuir berlaku untuk setiap lapisan adsorpsi
Dengan demikian, persamaan BET yang dihasilkan (Condon, 2006):
0 0
1 1 1
( )
[( ) 1]
m m
c P
v P P v c P v c

(2.3)

P dan P
0
adalah tekanan kesetimbangan dan tekanan jenuh adsorbat
pada suhu adsorpsi. v adalah jumlah gas teradsorb (misal dalam satuan volum),
dan v
m
adalah jumlah gas yang teradsorp secara monolayer. c adalah konstanta
BET.

1
exp( )
L
E E
c
RT

(2.4)
E
1
adalah kalor atau energi untuk adsorpsi lapisan pertama dan E
L
adalah
kalor atau energi untuk adsorpsi lapisan kedua dan selanjutnya yang besarnya
sama dengan kalor lebur (Sing, 1982).
Persamaan (2.3) merupakan persamaan adsorpsi isotermis dan dapat
diplot sebagai garis lurus dengan 1/v[(P
0
/ P) 1] pada sumbu y dan = P / P
0

pada sumbu x berdasarkan hasil eksperimen. Plot ini disebut plot BET. Hubungan
linear pada persamaan ini hanya berlaku pada rentang 0.05 < P / P
0
< 0.35. Nilai
dari gradien A dan intersep-y (I) pada garis biasanya digunakan untuk menghitung
jumlah gas yang teradsorp pada monolayer, v
m
, dan konstanta BET, c (Condon,
2006).
25
Universitas Indonesia
1
( )
m
v
A I

(2.5)
1
A
c
I

(2.6)
BET banyak digunakan untuk menghitung luar permukaan suatu padatan
dengan metode adsorpsi fisika dari molekul-molekul gas. Luas permukaan total,
S
total
, dan luas permukaan spesifik, S, dinyatakan dengan persamaan (Condon,
2006):
,
( )
m
BET total
v Ns
S
V

(2.7)
, BET total
BET
S
S
a

(2.8)
dengan N Bilangan Avogadro
a Penampang adsorpsi (cross section)
V Volume molar gas adsorbent
a Massa molar dari spesies yang teradsorp

2.6.4 Karakterisasi TGA (Thermal Gravimetric Analysis)


26 Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Diagram Alir Penelitian
Pada penelitian ini metode penelitian yang akan digunakan adalah
impregnasi dalam pembuatan komposit PSAC (palm shell activated carbon)
dengan kandungan silika gel dan kalsium klorida. Dari komposit yang
divariasikan, kapasitas dan kinetika adsorpsi komposit tersebut diujikan untuk
melihat pengaruh yang diberikan silika gel dan kalsium klorida terhadap PSAC.
Diagram alir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.1 di bawah ini.

Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian keseluruhan
27
Universitas Indonesia
Prosedur penelitian diawali dengan sintesis PSAC lewat proses karbonisasi
dan aktivasi kimia dengan larutan KOH sebagai aktivator, yang dilanjutkan
dengan mengkompositkan PSAC/Silika-gel/CaCl
2
dengan proses impregnasi
berupa perendaman larutan sodium silika untuk penyisipan silika gel dan
perendaman larutan CaCl
2
dengan untuk penyisipan kalsium klorida.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat dan Bahan Karbonisasi dan Aktivasi Kimia PSAC
Alat
Oven analitik
Cawan penguap porselen
Lumpang
Penyaring elektrik dengan ukuran 595m (30 mesh)
Timbangan Analitik
Beaker glass 2000 ml
Gelas ukur
Botol semprot
Pengaduk magnetik (stirrer)
Spatula
Tube Furnace
Pipet tetes
Kertas saring Whatman No.41
Corong
Dryer

Bahan
Cangkang kelapa sawit
KOH
Akuades
Larutan HCl
Gas N2
28
Universitas Indonesia

3.2.2 Alat dan Bahan Impregnasi PSCA dengan Silika gel dan CaCl
2

Alat
Beaker glass 250 ml, 500 ml, dan 1000 ml
Timbangan Analitik
Gelas ukur
Botol semprot
Pengaduk magnetik (stirrer)
Spatula
Pipet tetes
Kertas saring Whatman No.41
Corong
Dryer

Bahan
PSAC
Larutan Sodium Silikat
CaCl2
Akuades
Larutan H
2
SO
4
3,9 M

3.2.3 Alat dan Bahan Karakaterisasi Komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2

Alat
AMICUS/Electron Spectroscopy for Chemical Analysis, buatan
Shimadzu untuk karakterisasi XPS
JEOL JSM-6390 A Analytical Scanning Electron Microscope untuk
karakterisasi SEM EDX dan Mapping
Autosorb-6B, Gas Sorption System, buatan Quantachrome untuk
karakterisasi BET
TGA-50/51 Thermogravimetric Analyzers, buatan Shimadzu untuk
karakterisasi TGA
29
Universitas Indonesia
Kuvet
Stopwatch

Bahan
Komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2

Uap air (akuades)

3.2.4 Alat dan Bahan Uji Kapasitas Adsorpsi Komposit PSAC/Silika
gel/CaCl
2

Alat
Ruangan tes vakum
Evaporator
Digital Temperatur Controller
Termokopel tipe-K
Electronic balance
Pengukur tekanan (pressure gauge)
Vacuum valve
Stopwatch

Bahan
Komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2

Uap air

3.1. Prosedur Penelitian
3.3.1. Karbonisasi dan Aktivasi PSAC
Cangkang kelapa sawit mula-mula dipotong menjadi seperempat ukuran
cangkang, kemudian dikeringkan di udara terbuka (air drying) sampai mencapai
kadar air kering di udara terbuka. Proses karbonisasi dilakukan dengan
memanaskan cangkang kelapa sawit pada suhu 600C selama 1 jam dengan N
2

dalam atmosfer, lalu arang cangkang kelapa sawit dihancurkan sampai berbentuk
serbuk halus berukuran 595m (30 mesh).
30
Universitas Indonesia
Metode aktivasi karbon kelapa sawit dilakukan dengan bantuan aktivator
berupa KOH. Karbon kelapa sawit yang telah dibuat direndam ke dalam larutan
KOH (akuades 10 kali berat KOH) dengan perbandingan berat KOH dan karbon
aktif 5:1. dan dipanaskan dengan suhu 850C selama 1 jam dengan N
2
mengalir.
Karbon hasil aktivasi lalu dicuci dengan HCl (1M) dan akuades dikeringkan
dengan pemanasan dalam suhu 100C selama 24 jam. Diagram alir dari
pembuatan palm shell activated carbon ini ditunjukkan pada Gambar 3.2 di
bawah ini.


Gambar 3. 2 Diagram alir proses karbonisasi dan aktivasi PSAC
31
Universitas Indonesia

3.3.2. Pembuatan Komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2

Pembuatan komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2
dilakukan dengan metode
impregnasi. Metode impregnasi karbon aktif dengan sodium silikat telah
dilakukan sebelumnya oleh Tso, C.Y., et. al pada tahun 2011. Karbon aktif yang
akan diimpregnasi adalah PSAC yang telah dibuat dalam proses sebelumnya.
Karbon aktif yang sudah siap diambil sebanyak 10 gram kemudian direndam
dengan larutan sodium silikat (11 wt.% Na
2
O dan 27 wt.%. SiO
2
) sebanyak 150
ml. Dalam proses perendaman ini, dilakukan variasi terhadap waktu perendaman
larutan sodium silikat, yaitu: 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Setelah perendaman,
PSAC difiltrasi dan dikeringkan selama 24 jam dalam suhu 110C.
Penetrasi kedua dilakukan untuk mengikat sodium dalam PSAC yang
sudah diimpregnasi dengan merendam karbon aktif dengan larutan asam H
2
SO
4

3,9 N sebanyak 75 ml selama 24 jam. Kemudian filtrasi PSAC setelah penetrasi
kedua dilakukan dan mengeringkannya dalam suhu 110C selama 24 jam. Karbon
aktif kemudian dicuci dengan akuades untuk menghilangkan kandungan Na
2
SO
4

dan dikeringkan selama 24 jam dalam suhu 150C sehingga dihasilkan karbon
aktif yang telah mengandung silika gel.
Proses impregnasi kimia selanjutnya adalah dengan menggunakan kalsium
klorida. CaCl
2
berbentuk anhidrat bubuk 96 wt.% dilarutkan dalam akuades
dengan konsentrasi yang berbeda (15 wt.%, 30 wt.% dan 45 wt.%). Karbon aktif
kemudian direndam dalam larutan kalsium klorida dengan waktu perendaman
yang divariasikan, yaitu: 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Lalu, dilakukan filtrasi
untuk dan pengeringan dalam suhu 150C selama 24 jam dan diperoleh komposit
adsorben berupa AC/Silika/CaCl
2
. Adapun diagram alir dari proses ini terlampir
di Gambar 3.3.

32
Universitas Indonesia

Gambar 3. 3 Diagram alir proses pembuatan komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2




33
Universitas Indonesia
3.3.3. Karakaterisasi Komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2

Uji karakteristik karbon aktif yang dilakukan untuk penelitian ini antara
lain X-ray Photoelectron Spectrometry (XPS), Scanning Electron Microscope
(SEM), BrunauerEmmettTeller (BET), dan Thermal Gravimetric Analysis
(TGA). Baik XPS, SEM, dan BET digunakan untuk mengetahui struktur pori-pori
dari karbon aktif sebelum dan setelah impregnasi (khusus untuk karbon aktif batu
bara hanya karakterisasi setelah impregnasi). Sementara TGA berfungsi untuk
perubahan berat sampel pada hubungannya dengan temperatur.

3.3.4. Uji Kapasitas Adsorpsi Komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2

Pengujian dilakukan dengan menggunakan sebuah ruang vakum dan
evaporator. Suhu adsorben dalam ruang vakum dijaga tetap dengan dengan
bantuan kontroller temperatur digital sehingga kurva kecepatan adsorpsi secara
isotermal bisa didapatkan. Sementara jumlah uap air yang teradsorpsi diukur
dengan bantuan electronic balance yang kemampuan pengukurannya sampai
0,001 g. Adapun tekanan dari ruangan vakum dijaga vakum dengan bantuan katup
vakum (vacum valve).
Mula-mulai air yang dipompa dikontrol laju alirnya dengan sebuah katuh,
diubah fasanya menjadi gas dalam evaporator, kemudian uap air dialirkan ke
dalam ruangan vakum yang telah diisikan adsorben. Suhu aliran uap air dijaga
tetap dengan bantuan kontroller temperatur digital. Dari dalam ruang vakum, uap
air yang teradsorpsi diukur jumlahnya dengan electronic balance. Hal ini
dilakukan dalam kurun waktu 1,5 jam, karena komposit hampir mencapai
kesetimbangannya pada waktu tersebut.

34
Universitas Indonesia

Gambar 3. 4 Skema diagram unit uji kapasitas adsorpsi komposit

3.4 Variabel Penelitian
a. Variabel Tetap
1. Metode karbonisasi dan aktivasi PSAC.
2. Metode pembuatan komposit PSAC/Silika gel/CaCl
2
dengan
perendaman larutan sodium silikat dan kalsium klorida
3. Ruang tes vakum dalam unit uji kapasitas adsorpsi dijaga pada
tekanan 40 Pa dan suhu tetap.



35
Universitas Indonesia
b. Variabel Bebas
1. Impregnasi PSAC dengan silika gel dilakukan dengan variasi
waktu perendaman, yaitu 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.
2. Impregnasi PSAC/Silika dengan CaCl
2
gel dilakukan dengan
variasi konsentrasi kalsium klorida dari 15 wt.%, 30 wt.%, 45
wt.% dan variasi waktu perendaman, yaitu 24 jam, 48 jam, dan
72 jam.

c. Variabel Terikat
1. Morfologi nanokomposit PSAC/Silika gel/CaCl
2
.yang
terbentuk.
2. Luas permukaan dan total volume pori PSAC/Silika gel/CaCl
2
..
3. Kemampuan adsorpsi uap air dari adsorben komposit
PSAC/Silika gel/CaCl
2
.

3.5 Teknik Pengambilan Data

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Prosedur pengolahan data dan analisis data ditabulasi dalam tabel 3.1 di
bawah ini

Anda mungkin juga menyukai