Anda di halaman 1dari 11

Analisis terhadap Putusan Pengadilan Niaga

NOMOR:OS/PKPU/2006/PN.NIAGA.JKT.PST.JO
Nomor:13/PAILIT/2006/PN.NIAGA.JKT.PST (Kasus PT Indah Raya Widya Plywood
Industries Melawan PT BNI Persero Tbk)







KASUS POSISI
Permasalahan ini dimulai ketika PT. Indah Raya Widya Plywood Industries mengajukan permohonan
kredit kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk pengajuan permohonan kredit tersebut itupun
disetujui oleh PT. BNI (persero) Tbk, dimana bentuk pinjaman kredit terbagi dalam 2 bentuk mata
uang, yaitu hutang dalam bentuk rupiah dan US Dollar.
Perjanjian kredit dalam bentuk rupiah pertama kali dibuat pada tanggal 3 Februari 1994
dengan fasilitas pinjaman maksimal sebesar Rp. 2.300.000.000,- dan telah diubah dalam perjanjian
kredit terakhir yaitu pada tanggal 28 Juli 2000.
Perjanjian kredit dalam bentuk US Dollar dilakukan pada tanggal 24
Desember 1987 dengan fasilitas pinjaman maksimum sebesar Rp. 4.200.000.000,- dan terakhir diubah
didalam perjanjian kredit tanggal 5 April
1993. Perjanjian ini kemudian diswitching (dialihkan) menjadi fasilitas offshore loan dalam mata ua
ng US Dollar yang kemudian dituangkan ke dalam perjanjian kredit tanggal 12 Oktober 1993 dengan
fasilitas pinjaman maksimum sebesar US $ 1.990.000,00 dan terakhir diubah dalam perjanjian kredit
tanggal 25 Maret 1998. Kemudian berdasar Surat Bank BNI No. KPS/3/117/R tertanggal 13 Maret 1998,
diputuskan melakukan perubahan cabang penyelenggara rekening
yang semula ada pada PT. BNI (Persero) Tbk Kantor Cabang Singapore
menjadi PT BNI (Persero) Tbk Kantor Cabang Grand Cayma Island. Oleh karenanya perjanjian
kredit dalam bentuk US Dollar tersebut didudukan lagi
dalam perjanjian yang terakhir diubah dalam perjanjian kredit tertanggal 28 Juli 2000.
Berdasarkan pada perjanjian tersebut di atas, jatuh tempo utang PT. Indah Raya
Plywood Industries terhadap PT. BNI (Persero) Tbk jatuh pada
tanggal 29 Desember 2000, dan termohon tidak juga melunasi hutangnya tersebut. Untuk
menjaga kelangsungan usaha pemohon, dengan iktikad baik pemohon
melakukan beberapa kali negoisasi, namun hal ini tidak ditanggapi
oleh pihak termohon. Sampai dengan tanggal 31 Oktober 2005, utang termohon menjadi sebesar :
1. Hutang dalam bentuk rupiah
1) Hutang pokok = Rp. 2.270.000.000
2) Bunga = Rp. 118.512.149
3) Denda = Rp. 500.089
Total hutang = Rp. 2.389.012.238 (Hutang dalam bentuk US Dollar)
1) Hutang Pokok = US $ 1,979,612,85
2) Bunga = US $ 301.674,82
3) IBP = US $ 251.823,45
Total Hutang = US $ 2,533,111,12
Oleh karena sampai dengan tanggal di atas, termohon belum membayar lunas hutangnya, maka
diajukan permohonan pailit yang didaftarkan tanggal 29 Maret 2006.
Dari pengajuan permohonan pailit tersebut, pihak termohon pailit
mengajukan permohonan PKPU tertanggal 28 April 2006 di kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat. Atas permohonan tersebut, dikabulkan PKPU sementara tertanggal 4 Mei
2006. Bahwa setelah dikabulkan PKPU sementara termohon maka pada tanggal 17 Mei 2006
dilaksanakan rapat kreditor pertama, dan pada tanggal 24
Mei 2006 dilaksanakan verifikasi utang piutang yang menghasilkan Daftar Kreditan Sementara. Dari
rapat tersebut, pihak termohon melakukan bantahan terhadap PT. BNI (Persero) Tbk
mengenai jumlah piutang yang masih ada
perselisihan, serta penentuan keikutsertaan PT. BNI (Persero) Tbk didalam
menentukan batasan jumlah suara, sehingga menuntut pihak termohon,
pelaksanaan rapat pembahasan atas rencana perdamaian tersebut dianggap tidak sah dan cacat hukum.
Melihat pada laporan Hakim Pengawas tertanggal 16 Juni 2006, dapat
diketahui bahwa pada saat Rapat Pemungutan Suara/Voting atas Rencana
Perdamaian Debitor (dalam PKPU) yang diselenggarakan tanggal 14 Juni
2006, diperoleh hasil bahwa semua kreditor yang hadir di dalam rapat tersebut, 100% menyatakan
menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh
debitor. Hak inipun juga turut diamani oleh pihak pengurus melalui pertimbangan
hukumnya. Dengan merujuk pada Pasal 289 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka hakim
pengawas wajib segera melaporkan pada pengadilan yang memeriksa, menangani dan
memutus perkara ini. Pada pasal tersebut dapat dibaca dan diketahui bahwa apabila rencana
perdamaian ditolak maka dalam hal demikian Pengadilan harus menyatakan debitor pailit setelah
pengadilan menerima pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas.

PUTUSAN PENGADILAN
Terhadap pengajuan Permohonan Pailit tersebut, telah dijatuhkan putusan dengan putusan Nomor :
OS/PKPU/2006/PN.Niaga, Jkt.Pst.Jo Nomor :13/Pailit/2006/PN. Niaga. Jkt.Pst.
Dari putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
tersebut telah menjatuhkan bahwa Termohon Pailit (PT. Indah Raya Widya Plywood Industries)
pailit dengan segala akibat hukumnya.
PERTIMBANGAN HUKUM
Pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan pailit terhadap Termohon pailit adalah sebagai berikut:
1. Bahwa benar termohon pailit memiliki dua kreditor atau lebih(Cansursus Creditorum), yaitu
diantaranya :
2. Koperasi Karyawan Bumi Jaya, yang beralamat di Palembang
3. Utang terhadap karyawan, yang dalam hal ini diwakili oleh MR. Soki, SH,Cs
1. Bahwa benar
dari adanya beberapa kreditur, jelas terdapat satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat di
tagih yaitu utang pihak Termohon pailit terhadap
Pemohon Pailit yang jatuh tempo pada tanggal 29 Desember 2000.
2. Bahwa pihak pemohon selaku kreditor telah memiliki iktikad baik
terhadap Termohon Pailit dengan melakukan beberapa kali negoisasi untuk tetap menjamin
terlaksananya/berjalannya operasional usaha Termohon Pailit.
3. Bahwa pada Rapat Pemungutan Suara/Voting atas Rencana
Perdamaian Debitor (dalam PKPU) yang diselenggarakan tanggal 14 Juni
2006, diperoleh hasil bahwa semua kreditor yang hadir di dalam rapat tersebut, 100%
menyatakan menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor.

Sebelum menuju ke analisis putusan tersebut, apakah sudah memenuhi asas pembuktian sederhana atau
mengenai akibat dari penolakan perdamaian dalam penjatuhan putusan pada perkara kepailitan tersebut,
penulis akan mengingatkan kembali kepada teori-teori yang terkait dengan permasalahan tersebut.
A. Hukum Kepailitan sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Piutang.
Pengertian kepailitan menurut Henry C. Black diartikan sebagai kondisi seorang pedagang yang
bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu
yang cenderung untuk mengelabui pihak kreditornya.[1] Sedangkan menurut Ensiklopedia Ekonomi
Keuangan Perdagangan, pailit adalah seseorang yang
oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan
untuk membayar hutang-hutangnya.[2]
Pengertian atau definisi kepailitan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU) yang terdapat
dalam Bab I Ketentuan umum adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
Mengenai syarat untuk dapat dinyatakan pailit, Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU menyebutkan bahwa Debitor
yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui
bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan adalah :[3]
1. Terdapat minimal 2 orang kreditor;
2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU bahwa salah satu syarat untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit adalah dengan adanya dua kreditor atau lebih. Dengan demikian undang-
undang ini hanya memungkinkan seorang Debitor dinyatakan pailit apabila Debitor memiliki paling
sedikit dua keditor. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus
creditorium.[4] Syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor, sangat terkait dengan
filosofi lahirnya hukum kepailitan, bahwa hukum kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1131 KUH
Perdata.[5] Tentunya diharapkan dengan adanya pranata hukum kepailitan dapat mengatur mengenai cara
membagi harta kekayaan debitor di antara para kreditornya dalam hal debitor memiliki lebih dari seorang
kreditor. Rasio kepailitan ialah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor yang setelah dilakukan
rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accord, dilakukan proses likuidasi atas
seluruh harta benda debitor untuk kemudian hasil perolehannya dibagi-bagikan kepada semua kreditornya
sesuai dengan tata urutan tingkat kreditor sebagaimana diatur oleh undang-undang.[6]
Apabila seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensinya dari UU KPKPU
kehilangan rasio detre-nya.[7]Akibat eksistensi dari UU KPKPU hilang debitor hanya memiliki pihak
atau 1 orang kreditornya saja maka cukup ditempuh penyelesaian dengan gugatan hukum perdata
saja.[8] Selain itu akibat lain yang ditimbulkan adalah seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi
jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari
passu.[9] Dengan demikian, jelas bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor tersebut hanya
mempunyai satu kreditor saja.
Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UUKPKPU menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit bagi seorang Debitor adalah :
1. Debitor yang bersangkutan;
2. Kreditor atau para kreditor;
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Bank Indonesia apabila Debitornya bank;
5. Bank Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal Debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
6. Menteri Keuangan dalam hal Debitornya Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Pengertian mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengandung arti suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan Hakim Niaga
dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk
memusyawarahkan cara-cara pembayaran
hutang dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian
hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut.[10] Jadi didalam
penundaan kewajiban pembayaran utang. Kewajiban pembayaran utang sebesarnya
merupakan sejenis meratorium, dalam hal ini adalah legal meratorium.[11]
Berdasarkan Ketentuan Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, tujuan diajukannya PKPU adalah untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada
Kreditor baik Kreditor konkuren maupun Kreditor yang didahulukan (Kreditor preferent).
B. Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan dan PKPU.
Mekanisme yang ditawarkan UU KPKPU adalah proses persidangan untuk menyelesaikan masalah utang
piutang secara adil, terbuka, cepat dan efektif. Untuk melaksanakan mekanisme penyelesaian yang
ditawarkan undang-undang maka proses acara pemeriksaan yang digunakan lebih cepat karena adanya
pembatasan waktu proses pemeriksaan kepailitan dan dengan sistem pembuktian yang digunakan adalah
pembuktian secara sederhana.
Pada dasarnya pembuktian sederhana terkait dengan permohonan pailit telah diatur menurut Pasal 8 ayat
(4) UU KPKPU yang menyebutkan bahwa:
Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara seerhana
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaomana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU disana dijelaskan maksud dari terdapat fakta atau keadaan
yang terbukti secara sederhana bahwa:
Yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau
lebih kreditor dari fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbeaan besarnya
jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya
putusan pernyataan pailit
Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan pernyataan pailit terdapat fakta
atau keadaan yang secara terbukti secara sederhana bahwa prasyarat pernyataan pailit dalam pasal 2 ayat
(1) UUKPKPU dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus suatu permohonan pernyataan
pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat pernyataan pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, akan
tetapi harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana dalam pasal 8 ayat (4) UUKPKPU.
Perlu dijelaskan bahwa keberadaan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU hanyalah bertujuan mewajibkan hakim
untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat ibuktikan secara
sederhana fakta dan keadaannya, yaitu fakta dan keadaan yang merupakan syarat-syarat kepailitan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penunaan Kewajiban Pembayaran Utang.[12] Akan tetapi bukanlah berarti bahwa apabila ternyata
dalam perkara yang diajukan permohonan pernyataan pailitnya itu tidak dapat dibuktikan secara sederhana
fakta dan keadaannya, maka majelis Hakim Pengadilan Niaga atau Majelis Hakim Kasasi wajib menolak
untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan karena perkara yang demikian itu merupakan
kewenangan pengadilan negeri dalam hal ini pengadilan perdata biasa. Oleh karena itu baik Majelis Hakim
Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Kasasi wajib tetap memeriksa dan memutus permohonan
pernytaan pailit itu, sedangkan fakta dan keadaan yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana tetap
menjadi tanggung jawabnya dan bukan karena kenyataan yang demikian itu majelis hakim kepailitan harus
terlebih dahulu mempersilahkan para pihak untuk meminta putusan Pengadilan Negeri yang dalam hal ini
adalah pengadilan perdata biasa terkait dengan fakta dan keadaan pokok perkaranya.[13]
Pembuktian sederhana menurut UU KPKPU merupakan kombinasi pelaksanaan dari prinsip dasar
kepailitan, yaitu prinsip:concursus creditorum (para kreditor harus bertindak secara bersama-sama),
prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor), pari passu prorata parte ( harta debitor
merupakan jaminan bersama bagi kreditor dan dibagi secara proporsional berdasarkan besar kecilnya
piutang) dan prinsip structured creditors (kreditor didahulukan berdasarkan urutan kelas kreditor).[14]
Dalam pembuktian sederhana terdapat 3 (tiga) hal yang harus dibuktikan yaitu:
1. Kebenaran adanya dua kreditor atau lebih yang mempunyai hubungan hukum dengan debitor ,
2. Kebenaran adanya minimal salah salah satu utang yang belum dibayar lunas, serta
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Ketiga syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, satu syarat saja tidak
terpenuhi maka pemeriksaan dengan pembuktian secara sederhana tidak dapat dilaksanakan.
C. Tinjauan tentang Perdamaian dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
1. Perdamaian dalam Kepailitan
Di samping rapat pencocokan piutang, yang mungkin dibahas dalam rapat pencocokan tersebut adalah
rencana perdamaian yang kemungkinan diajukan oleh Debitor pailit.[15]Perdamaian merupakan perjanjian
antara debitor dengan para kreditor dimana debitor menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya
dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia
tidak mempunyai utang lagi.[16] Dengan demikian, dalam suatu perdamaian terdapat hak dan kewajiban
dari kedua belah pihak dalam hal ini terutama bagi Debitor dan Kreditor, di samping tentu ada hal-hal yang
harus dilakukan oleh Kurator.
Perdamaian dalam kepailitan merupakan hak dari Debitor pailit untuk mengajukannya. Apabila Debitor
mengajukan rencana perdamaian dan paling lambat 8 hari sebelum rapat pencocokan piutang
menyediakannya di kepaniteraan pengadilan. Hal itu agar dapat dilihat secara Cuma-Cuma oleh yang
berkepentingan, sehingga mereka dapat mempersiapkannya. Pembahasan usulan perdamaian diusahakan
dilakukan dan diputuskan setelah selesai rapat pencocokan piutang kecuali terhadap hak itu dilakukan
penundaan. Salinan rencana perdamaian dikirimkan pulan kepada anggota panitera kreditor sementara. Isis
rencana perdamaian kemungkinan:
a Utang akan dibayar sebagian
b Utang akan dibayar dicicil
c Utang akan dibayar sebagian dan sisanya dicicil
Dalam rencana perdamaian tersebut harus jelas alternatif perdamaian dimaksud, sehingga Kreditor
mempersiapkan diri untuk mempertimbangkannya dalam rapat yang bersangkutan.[17]
Berbeda dengan perdamaian dalam kepailitan, perdamaian dalam PKPU dapat diajukan oleh Kreditor
selain Debitor. Hal ini adalah logis, karena tidak mungkin perdamaian dalam kepailitan diajukan oleh
Kreditor karena kepailitan itu sendiri telah dimohonkan sebelumnya oleh Kreditor yang bersangkutan.
Perbedaan nyata lain adalah perdamaian dalam PKPU secara tegas memungkinkan Debitor untuk
menyelesaikan sebagaian selain seluruh utangnya kepada Kreditor.[18]
Untuk menentukan diterima tidaknya rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor pailit, akan
dilakukan pemungutan suara oleh para Kreditor konkuren. Pasal 149 UUKPKPU dan Pasal 138 UUK
(yang mengubah Pasal 139 FV) menyebutkan secara rinci Kreditor yang tidak boleh ikut memberikan
suara dalam penetuan putusan rencana perdamaian dimaksud. Kreditor yang demikian adalah:
a Pemegang gadai;
b Pemegang jaminan fidusia;
c Pemegang hak tanggungan
d Pemegang hipotik;
e Pemegang hak agunan lainnya;
f Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah.
Pengecualian terhadap larangan tersebut, dapat dilakukan apabila mereka sebelum pemungutan suara
melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit. Apabila hal itu mereka lakukan,
konsekuensinya mereka berubah menjadi Kreditor konkuren termasuk dalam hal perdamainan yang
dibahas tidak diterima.[19]
Rencana perdamaian diputuskan diterima apabila disetujui oleh lebih dari jumlah Kreditor konkuren
yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling
sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari
kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat bersangkutan. Pemungutan suara akan diulang
apabila lebih dari jumlah Kreditor yang hadir pada rapat dan mewakili paling sedikit jumlah piutang
Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian tersebut.
Pemungutan suara ulangan tersebut dilakukan paling lambat 8 hari setelah rapat pertama dan tidak
diperlukan pemanggilan lagi. Pada pemungutan suara kedua, Kreditor tidak terikat pada suara yang
dikeluarkan pada pemungutan suara dalam rapat pembahasan perdamaian yang pertama Penerimaan
rencana perdamaian berdasarkan pemungutan suara seperti diuraikan di atas, mengikat semua Kreditor
termasuk Kreditor yang tidak menyetuji dalam pemungutan suara. Dengan demikian, perdamaian
mempunyai sifat memaksa.[20]
2. Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sebelum putusan pengesahan perdamaian dalam PKPU mempunyai kekuatan hukum tetap, rencana
perdamaian tersebut menjadi gugur apabila terdapat putusan Pengadilan yang memutuskan PKPU berakhir.
Dalam rangka menghadapi rapat Kreditor untuk membicarakan rencana perdamaian tersebut, beberapa
tindakan harus dilakukan oleh pengurus termasuk masalah tagihan, daftar piutang dan sebagainya. [21]
Dalam hal yang menyetujui rencana perdamaian kurang dari persyaratan, dimungkinkan diadakan
pemungutan suara ulangan. Berkaitan dengan pemungutan suara ulangan atau pemungutan suara kedua
dalam PKPU ini beberapa ketentuan untuk kepailitan juga berlaku. Demikian pula alasan pengadilan
menolak pengesahan perdamaian dalam PKPU, berlaku ketentuan penolakan pengesahan perdamaian
dalam kepailitan yang diatur dalam Pasal 159 UUK.[22] Dengan ditolaknya pengesahan perdamaian dalam
PKPU, Pengadilan wajib memutuskan Debitor dalam keadaan pailit.[23]
Akibat hukum yang terjadi dengan putusan perdamaian antara lain:[24]
Setelah perdamaian, kepailitan berakhir;
Keputusan penerimaan perdamaian mengikat seluruh kreditor konkuren;
Perdamaian tidak berlaku bagi kreditor separatis dan kreditor yang diistimewakan;
Perdamaian tidak boleh diajukan dua kali;
Perdamaian merupakan alas hak bagi debitor;
Hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap guarantor dan rekan debitor;
Hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap benda-benda pihak ketiga;
Penangguhan eksekusi jaminan utang berahir;
Actio pauliana berakhir;
Debitor dapat direhabilitasi.

ANALISIS
A. Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan pada Perkara Permohonan
Kepailitan PT. Indah Raya Widya Plywood.
Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian sederhana. Menurut penulis, hal
tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk kepentingan dunia usaha dalam
menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Dengan dianutnya asas
pembuktian sederhana seyogyanya salah satu tujuan dari hukum kepailitan yaitu cepat dapat tercapai.
Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus kepailitan sangat penting, mengingat adanya pembatasan
waktu pengucapan putusan Pengadilan maksimal 60 hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan.
Dalam pembuktian sederhana terdapat 3 (tiga) hal yang harus dibuktikan yaitu:
1. Kebenaran adanya dua kreditor atau lebih yang mempunyai hubungan hukum dengan debitor;
2. Kebenaran adanya minimal salah salah satu utang yang belum dibayar lunas, serta;
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga
mendasarkan pada ketentuan pasal 1 ayat 1 UUKPKPU, yang menyatakan bahwa debitor dapat dinyatakan
pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya
telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya.
Dari definisi mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka apabila kita
melihat posisi kasus pada para pihak yang bersengketa, maka pengajuan permohonan pailit yang
diajukan Pemohon Pailit Kreditor. Dalam hal ini adalah PT. BNI (Persero) Tbk adalah sudah
terpenuhi syarat-syaratnya.
Di dalam pengajuan permohonan pailit yang diajukan pemohon pailit
tersebut, dapat diketahui bahwa termohon pailit memiliki dua kreditor atau lebih (Cansursus
Creditorum), yaitu diantaranya :
1. Koperasi Karyawan Bumi Jaya, yang beralamat di Palembang
2. Utang terhadap karyawan, yang dalam hal ini diwakili oleh MR. Soki, SH,Cs
Dari adanya beberapa kreditur, jelas terdapat satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
yaitu utang pihak Termohon pailit terhadap
Pemohon Pailit yang jatuh tempo pada tanggal 29 Desember 2000. Syarat
terhadap pengajuan Permohonan Pailit itupun juga terpenuhi dikarenakan
syarat pemohon pailit diajukan oleh PT. BNI (Persero) Tbk yang berkedudukan sebagai kreditor dari
Termohon Pailit.
Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan pailit kepada
PT. Indah Raya Widya Plywood berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga yang diajukan oleh PT BNI
(Persero) Tbk secara sederhana telah terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 sehingga
asas pembuktian sederhana dalam perkara ini telah terpenuhi.

B. Akibat Hukum terhadap Penolakan Perdamaian dalam Penjatuhan Putusan pada Perkara
Kepailitan PT. Indah Raya Widya Plywood.
Dalam penyelesaian perkara tentu diusahakan perdamaian sebagaimana dalam Hukum Acara Perdata yang
bersumber dari HIR menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara hakim wajib mengusahakan
perdamaian terlebih dahulu. Rencana Perdamaian adalah perjanjian antara debitor dan para kreditornya
mengenai penyesuaian jumlah piutang (yang diajukan Kreditor) dengan jumlah utang yang diajukan
debitor, dalam rangka menghindari terjadinya likuidasi. Perjanjanjian perdamaian dapat diajukan dalam
perkara kepailitan maupun perkara PKPU. Perjanjian tersebut harus disetujui oleh para kreditor konkuren
dengan melakukan pemungutan suara dalam rapat kreditor, dan untuk beberapa kriteria juga harus
disetujui oleh Pengadilan. Jika disetujui, maka akan mengikat seluruh Kreditor konkuren. Jika Kreditor
atau Pengadilan menolak rencana perdamaian, maka Debitor akan dilikuidasi.[25]
Melihat pada putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
mengenai sengketa ini, dapat diketahui didalam pertimbangan Pemohon
Pailit, bahwa pihak pemohon selaku kreditur justru memiliki iktikad baik
terhadap Termohon Pailit dengan melakukan beberapa kali negoisasi untuk tetap menjamin
terlaksananya/berjalannya operasional usaha Termohon Pailit.
Berkenaan dengan adanya pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang yang kemudian
dikabulkan menjadi penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara memang seharusnya dikabulkan
meskipun telah diajukan permohonan pailit. Dikabulkannya permohonan PKPU ditengah-
tengah permohonan pailit disebabkan hal tersebut untuk menjamin keberlangsungan kegiatan usaha
debitor (Termohon
Pailit).[26] Di dalam PKPU sementara ini, jangka waktunya berlangsung sejak putusan PKPU
sementara diucapkan dan sampai dengan tanggal sidang yang
akan diselenggarakan mengenai Rencana Perdamaian yang dihadiri oleh Hakim Pengawas, Pengurus,
Debitur, dan Kreditur.[27]
Mengacu pada putusan permasalahan ini, sebelum dilakukannya rapat
mengenai Rencana Perdamaian, setelah rapat kreditor dan rapat mengenai Rencana
Verifikasi utang piutang. Di dalam Rapat Verifikasi utang piutang tersebut masih terdapat sengketa
diantara termohon pailit dan pemohon pailit
dikarenakan masih adanya selisih besaran utang. Oleh karenanya menurut pihak termohon pailit,
pelaksanaan voting terhadap rencana perdamaian tidak dapat dianggap sah. Akan tetapi dengan
mengacu pada pasal 280 Undang-Undang Kepailitan, Hakim Pengawas menentukan kreditor-
kreditor mana sajakah yang tagihannya dapat dibantah dan ikut serta dalam pemungutan suara. Di
dalam Rapat Rencana Perdamaian Tersebut Hakim Pengawas telah
menentukan bahwa PT. BNI (Persero) Tbk selaku pemohon pailit telah
ditetapkan hak suaranya selaku kreditor, dan di dalam berita acara rapat tersebut, masing-masing
pihak telah menyetujui, berarti sesungguhnya dalam
hal ini voting adalah sah karena pihak debitor juga menyetujui berita acara rapat tersebut.
Penulis setuju terhadap putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
terhadap Termohon Pailit. Persetujuan penulis terhadap putusan pengadilan niaga yang dijatuhkan
tersebut, didasarkan pada adanya kesesuaian pertimbangan yang diberikan majelis
hakim dengan mengacu pada pertimbangan masing-masing pihak, dan hal
tersebut telah sesuai aturan perundangan kepailitan, dimana di dalam penentuan
voting yang dilaksanakan tersebut telah sah secara hukum karena penentuan
mengenai jumlah kreditur dan penetapan hak suara kreditor oleh Hakim
Pengawas, dalam hal ini berkaitan dengan hak suara PT. BNI (Persero) Tbk selaku Pemohon Pailit.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara ini, selanjutnya diubah menjadi PKPU tetap untuk
menghindari dijatuhkannya putusan pailit. Adapun untuk pemberian PKPU tetap, maka harus
mendapatkan persetujuan dari para kreditor, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Persetujuan lebih dari jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui
yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian
dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor
konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut, dan apabila
timbul perselisihan antara pengurus dan kreditor konkuren tentang hak
suara kreditor, maka perselisihan tersebut diputuskan oleh Hakim Pengawas;
2. Persetujuan lebih dari jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan
gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas keberadaan lainnya yang
hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir
dalam sidang tersebut.
Melihat pada laporan Hakim Pengawas tertanggal 16 Juni 2006, dapat
diketahui bahwa pada saat Rapat Pemungutan Suara/Voting atas Rencana
Perdamaian Debitor (dalam PKPU) yang diselenggarakan tanggal 14 Juni
2006, diperoleh hasil bahwa semua kreditor yang hadir di dalam rapat tersebut, 100% menyatakan
menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh
debitor. Hak inipun juga turut diamani oleh pihak pengurus melalui pertimbangan
hukumnya. Dengan merujuk pada Pasal 289 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka hakim
pengawas wajib segera melaporkan pada pengadilan yang memeriksa, menangani dan
memutus perkara ini. Pada pasal tersebut dapat dibaca dan diketahui bahwa apabila rencana
perdamaian ditolak maka dalam hal demikian Pengadilan harus menyatakan debitor pailit setelah
pengadilan menerima pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas.
Hal ini pula dianggap telah sesuai dengan Pasal 230 ayat (1) Undang-
undang Kepailitan dikarenakan didalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa
kreditor yang tidak menyetujui pemberian PKPU tetap atau perpanjangan
sudah diberikan tetapi sampai batas waktu belum tercapai rencana
perdamaian, maka pengurus wajib memberitahu hal ini melalui hakim
pengawas kepada pengadilan yang harus menyatakan debitor pailit paling lambat pada hari berikutnya.
Rencana perdamaian dibahas oleh debitor dan para kreditor pada saat rapat kreditor, selanjutnya para
kreditor melakukan pemungutan suara (voting) terhadap rencana perdamaian tersebut. Apabila
melalui voting rencana perdamaian tersebut ditolak oleh para kreditor, maka hakim pengawas
memberitahukan penolakan dengan cara menyerahkan kepada Pengadilan Niaga salinan rencana
perdamaian. Akibat hukum yang timbul terhadap penolakan perdamaian yaitu proses pailit dilanjutkan
kembali dan perdamaian tidak dapat ditawarkan kembali dan hal tersebut berdampak kepada semua
Kreditor, Debitor dan semua orang yang bersangkutan dengan perkara kepailitan terseut.

Anda mungkin juga menyukai