Anda di halaman 1dari 14

1

Urtikaria

Urtikaria merupakan reaksi oedema cutaneous yang menciri dengan
pembentukan bentol/ bengkak kecil (wheals). Urtikaria dibedakan dengan
yang lain melalui adanya oedema yang terbatas pada dermis. Perluasan
dari oedema ke jaringan subkutan yang terdekat akan menyebabkan
angioderma. Pola reaksi keduanya kurang umum pada anjing dan jarang
terjadi pada kucing. Urtikaria dapat disebabkan oleh faktor-faktor
immunologis maupun non-immunologis (Gross,et all., 2005). Angioderma
seringkali selalu berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas.
Kasus-kasus immunologis yang paling sering dilaporkan pada
urtikaria termasuk reaksi obat, alergi makanan, sengatan atau gigitan
arthropoda, vaksin, bakteri, transfusi darah, infeksi, kontak dengan
tanaman tertentu, dan dermatitis atopik (Gross,et all., 2005). Penyebab
non-immunologis atau fisik termasuk di dalamnya adalah panas, dingin,
sinar matahari, dan air (Gross,et all., 2005). Dermatografisme (dimana
sentuhan atau garukan yang ringan dapat menyebabkan munculnya
kemerahan pada kulit) merupakan bentuk yang jarang dari urtikaria
dimana tekanan terhadap kulit dihasilkan oleh benda tumpul yang dapat
menyebabkan bentolan.
Bentol berbentuk terpisah, erythematous, kebengkakan sirkuler
oedematous dengan permukaan atas yang rata dan tepi berdinding tajam/
jelas. Bentol bervarisi dari yang berukuran kurang dari 1 cm sampai 3cm
pada diameternya. Bentolan yang banyak (multiple) dapat bergabung dan
membentuk polapola lengkungan yang tidak biasa. Jarang terjadi, bentuk
pola geografis yang aneh (seperti peta), juga dapat terlihat pada anjing.
Jumlah dari bentolan sangat bervariasi dan dapat berkisar mulai kurang
dari lima sampai ratusan. Urtikaria paling jelas terlihat pada bagian tubuh
yang relatif tidak ditumbuhi rambut/ bulu seperti ventral abdomen
2

(Gambar 1), dan daerah pangkal lengan (axila). Lesi serupa mungkin juga
dapat muncul pada daerah yang berambut, tetapi seringkali nampaknya
jarang. Urtikaria sering jelas terdapat pada anjing-anjing dengan bulu
pendek, dengan oedema yang menyebabkan sekumpulan rambut yang
berdiri tegak di daerah bentol. Pruritus bervariasi dan, apabila muncul
dapat menyebabkan self-trauma yang akan mengaburkan lesi-lesi
primernya.

Gambar 1. Lesi urtikaria yang terlihat pada ventral abdomen akibat
gigitan serangga, pada English bulldog

Pada domba, lesi-lesi biasanya terlihat hanya pada bagian ambing
dan bagian yang tidak banyak ditumbuhi bulu pada abdomen. Pada babi,
erupsi terlihat disekitar mata, diantara kaki belakang, moncong ,abdomen,
dan punggung (Anonim, 2008).
Tempat-tempat yang terlibat tergantung dari penyebabnya.
Urtikaria yang disebabkan oleh arthropoda beracun terlihat umumnya
pada wajah dan pada area yang relatif tidak ditumbuhi rambut seperti
selangkangan. Urtikaria yang disebabkan oleh dingin atau air terjadi pada
tempat-tempat yang mengalami kontak.
Pada kasus-kasus yang lebih lanjut, mungkin akan ditemukan pada
membrana mukosa dari mulut, hidung, konjungtiva, rektum, dan vagina.
3

Secara umum, lesi-lesi menghilang secepat kedatangannya, biasanya
dalam beberapa jam (Anonim, 2008).
Angioderma secara fisik mirip, tetapi memiliki demarkasi yang
sangat kurang dibandingkan dengan urtikaria, sebab oedema tidaklah
terbatas pada dermis. Area kebengakakan yang tidak jelas dapat muncul.
Angioderma disebabkan oleh injeksi biasanya terjadi pada tempat
dilakukannya injeksi, tetapi dapat meluas sampai ke area di sekelilingnya.
Angioderma yang disebabkan oleh penyebab lain selain injeksi terlihat
lebih umum terjadi pada wajah.
Ras, umur, atau predileksi jenis kelamin tidaklah mendukung baik
urtikaria maupun angioderma. Anjing-anjing berbulu pendek seperti
English bulldog, Bull terrier, Doberman Pinscher, dan Dalmatian dapat
mengalami peningkatan resiko terhadap urtikaria. Tetapi, kesan klinis
yang ditimbulkan mungkin disebabkan oleh penampakan yang
meningkat dari urtikaria pada anjing berbulu pendek ini yang juga
memiliki abdomen yang relatif jarang ditumbuhi rambut.
Predominan differensial diagnosa klinis dari urtikaria adalah
urticarial allergic eruption, dan superficial folliculitis. Superficial folliculitis
(terutama pada anjing dengan bulu pendek) cenderung meniru urtikaria
secara kasar (gross). Inflamasi folikulosentris dan oedema yang menyertai
dapat menyebabkan sekumpulan rambut berdiri tegak menyerupai
bentolan. Sebagai tambahan, bentol atau lesi seperti bentol dapat menciri
seperti eritrema multiformis awal, neutrofilik immunonogis, vaskulitis,
tumor pada mast cell, cutaneous mastocytosis, dan mucinosis fokal.
Diferensial diagnosa untuk angioderma termasuk di dalamnya adalah
early juvenile cellulitis, early bacterial cellulitis, dan neutrophilic immunologic
vasculitis, histopatologi akan memungkinkan diferensiasi tersebut.


4

Pemilihan tempat biopsi
Biopsi kulit yang cepat dan efisien sangat direlomendasikan, sebab
bentol merupakan lesi yang sementara. Apabila pruritis terjadi, bentol
akan teesamar oleh self-trauma sekunder. Inklusi dari spesimen biopsi
yang berasal dari kulit normal di sekitarnya mungkin dapat membantu,
karena oedema dermis dari urtikaria mungkin sulit dipisahkan.

Histopatologi
Urtikaria yang disebabkan oleh oedema saja adalah jarang pada
spesimen biopsi; sebagian besar lesi-lesi bersatu membentuk erupsi alergi
urtikaria. Menurut opini salah satu penulis (P.J.I) hal ini mungkin
disebabkan karena kurangnya sampling dari bentol urtikaria yang jelas
secara klinis, yang mana secara mikrokospis merupakan oedematous
murni. Agaknya, lesi-lesi oedematous yang tidak lazim yang menciri pada
erupsi alergi urtikaria cenderung dapat dibiopsi; ini mungkin cenderung
dapat mengungkap komponen inflamasi. Perubahan epidermis biasanya
tidak terjadi pada bentol non-traumatik. Perubahan histopatologi kulit
mungkin halus/ samar. Oedema dapat memililki jarak yang luas diantara
serabut-serabut kolagen pada kulit (gambar 2), tetapi dapat terlewatkan
apabila tidak parah. Urtikaria harus dicurigai di berbagai kasus dimana
tidak terdapat perubahan histopatologi yang jelas yang terdapat pada
jaringan (dermatosis yang tidak terlihat/invisible). Pada urtikaria yang
lebih lebar, oedema yang menonjol di permukaan kulit dapat meluas dan
berakahir dengan pemisahan dermis-epidermis. Angioderma menciri
dengan oedema yang berat yang meluas sampai ke subkutan.
Urtikaria ini sangat istimewa, meskipun deteksinya dapat sulit
dilakukan pada absennya inflamasi. Pada kasus-kasus dimana oedema
hanya ringan, hubungan yang sesuai dengan presentasi klinis dari bentol
5

atau hives diperlukan untuk diagnosa definitif. Erupsi alergi urtikaria
dibedakan hanya dari inklusi pada inflamasi perivaskularnya.

Gambar 2. Urtikaria pada anjing. Oedema merupakan perlebaran jarak
antara serabut-serabut kolagen. Perhatikan absennya radang

Prognosa
Secara umum, prognosa dapat ditentukan. Jarang bersifat fatal dan
kemungkinan adalah akibat anafilaksis dan angioderma yang terkait yang
melibatkan lintasan respirasi

Mekanisme Immunologi

Penyakit immunologi telah diklasifikasikan dalam beberapa cara,
tetapi demi ulasan yang akan diberikan, maka akan dikategorikan
menurut dasar pathogenesisnya. Terdapat enam kategori yang berbeda
yang dapat disusun, empat kategori yang pertama aslinya telah
dideskripsikan oleh Gel dan Coombs (reaksi tipe I-IV) (Coombs dan Gell,
1975), dan dua kategori yang terakhir (tipe V dan VI) ditambahkan oleh
penulis. Enam kategori ini adalah:
1. Tipe I diperantarai oleh antibodi homositotropik dan diwakili oleh
immediatetype hypersensitivity,contohnya alergi.
6

2. Tipe II diperantarai oleh auto- atau allo-reaktif antibodi;
3. Tipe III diperantarai oleh deposisi imun komplek dan menciri
dengan vaskulitis
4. Tipe IV diperantarai oleh reaksi cell-mediated immune dan
dipengaruhi oleh infiltrasi plasmatik/ limfositik;
5. Tipe V dipengaruhi oleh gammopathies; dan
6. Tipe VI dipengaruhi oleh tipe infeksi immunodefisiensi dan
oportunistik.
Skema klasifikasi ini, yang diakui sebagai simplifikasi (eliminasi
dari detail yang tidak perlu), telah terbukti sangat bermanfaat dalam
pelatihan pelajar-pelajar kedokteran hewan. Modifikasi harus dilakukan
untuk beberapa kelainan, seperti systemic lupus erythematosus (SLE), yang
memiliki elemen-elemen autoantibodi dan reaksi immun kompleks.
Bentuk immun dari amyloidosis juga tidak benar-benar secara jelas
dimasukkan ke dalam keenam kategori tersebut, tetapi dimasukkan
dalam penyakit immun kompleks yang mendukung baik dalam kesamaan
klinis maupun immunopathologi.
Harus ditekankan bahwa penyakit immun tidak disebabkan oleh
tipe pathologi dan respon immun yang berbeda; agaknya, penyakit
tersebut disebabkan oleh tipe yang normal dari suatu respon immun yang
terjadi pada model disregulasi, untuk durasi yang berlebihan, pada lokasi
yang abnormal, atau melawan antigen yang secara tidak normal dianggap
sebagai benda asing. Tipe I (alergi) berhubungan dengan sistem IgE, yang
mana merupakan pertahanan utama dalam melawan serangan parasit.
Tipe II (reaksi auto- dan allo-antibodi ) melibatkan pembentukan antibodi
yang yang bereaksi dalam melawan self-antigen. Reaksi Tipe III melibatkan
deposisi dan pembersihan kompleks immun, yang merupakan gambaran
normal dari respon-respon immun normal. Tipe IV melibatkan
7

immunitas seluler, yang merupakan pertahanan immun yang paling
penting dalam melawan pathogen atau area pathogenik yang melibatkan
sel-sel. Tipe V melibatkan produksi yang berlebihan dari immunoglobulin
atau bagian dari immunoglobulin, sementara tipe VI terjadi pada saat
terjadi sesuatu yang menghalangi mekanisme pertahanan immun normal,
baik innate atau adaptive.
Penyakit tipe I diperantarai oleh respon immediate-type
hypersensitivity pada satu jaringan atau lebih. Reaksi Immediate-type
hypersensitivity diperantarai terutama oleh IgE, dan pada sedikit perluasan
oleh antibodi IgG. Antibodi IgA dan IgM hanya sesekali terlibat.
Antibodi-antibodi yang ikut serta dalam reaksi ini memiliki kemampuan
untuk mensensitisasi sel-sel, terutama mast cell dan basofil. Sensitisasi
merupakan proses dimana antibodi spesifik sitotropik mengikat
membran sel. Pengikatan dari antigen yang cocok terhadap molekul
antibodi pengikat membran memicu reaksi alergi.
Sistem antibodi sitotropik memainkan peran penting dalam respon
immun normal, terutama dalam melawan parasit. Antibodi ini sedikit
banyak memiliki analogi dengan sistem antibodi sekretori (IgA, IgM).
Antibodi ini terlokalisasi di area tubuh dimana parasit paling sering
cenderung mendapatkan akses atau lintasan, misalnya pada kulit,
membrana mukosa dari GI dan traktus respiratorius, di dalam peredaran
darah, dan di sekeliling pembuluh darah pada sistem portal-mesenterika.
Manfaat alami dari respon ini penting untuk diingat; beberapa orang
pecaya bahwa antibodi sitotropik dan reaksi immediate-type hypersensitivity
hanyalah nilai yang tidak berarti.
Antibodi yang beperan pada reaksi Tipe I adalah baik homo-
maupun hetero-sitotropik. Antibodi homositotropik akan mensensitisasi
hewan dari spesies yang sama tetapi tidak pada spesies lainnya. Antibodi
homositotropik biasanya adalah yang berada dalam kelas IgE di seluruh
8

hewan yang telah diuji. Antibodi heterotropik biasanya adalah kelas IgG,
IgM, atau IgA dan akan mensensitisasi sel-sel dari spesies lainnya juga.
Antibodi sitotropik memiliki derajat afinitas yang tinggi terhadap
reseptor-reseptor pada membran dari mast cell. Selama 3-72 jam dari
pembentukannya, antibodi-antibodi itu mengalami pengikatan melalui
bagian Fc terhadap mast cell. Antibodi sitotropik IgG (juga IgA dan IgM)
memiliki masa hidup / life span yang pendek pada membran mast cell (12-
24 jam), sementara antibodi IgE tetap kuat melekat selama tiga sampai
enam minggu. Antibodi sitotropik diproduksi di jaringan limfoid yang
mendasari membrana mukosa tubuh (Peyer's patches, tonsils, diffuse
lymphoid aggregates).
Antigen yang merangsang respon antibodi sitotropik spesifik
disebut alergen (Marsh dan Norman, 1988). Alergen secara umum
memiliki berat molekul terbatas pada 10 000-70 000 Da. Substansi <10 000
Da tidak cukup besar untuk menjembatani dua molekul ikatan membran
antibodi sitotropik yang berdekatan, sementara alergen-alergen yang lebih
besar tidak akan berpenetrasi ke membrana mukosa. Alergen-alergen
merupakan substansi polar tinggi yang mengandung beberapa grup
sulfhydryl dan akan mensensitisasi dalam jumlah nanogram sampai
mikogram. Disamping ukuran dan struktur kimia, alergen yang
merangsang respon IgE seringkali digunakan oleh hospes dalam dosis
rendah dan melintasi beberapa permukaan mukosa (Marsh dan Norman,
1988). Alergen-alergen dapat merupakan bagian dari parasit, seperti
tungau debu rumah atau kecoa. Kondisi-kondisi yang memungkinkan
perkembangan yang berlebihan dari insekta ini di lingkungan juga akan
meningkatkan level paparan terhadap alergennya. Beberapa alergen yang
menyerupai substansi proteinaceous pada kutikula parasit (misalnya,
serbuk sari, jamur spora, ketombe). Obat-obatan, kosmetika, dan substansi
pada asap rokok dapat juga bertindak sebagai alergen.
9

Sel-sel target dari reaksi alergi adalah jaringan mast cell dan basofil
yang bersirkulasi. Terdapat kurang lebih sekitar 7000-20,000 mast cells per
ml pada kulit atau jaringan intestinal. Mast cell dan basofil memiliki
granula sitoplasmik yang mengandung mediator inflamasi yang poten
dan antikoagulan, seperti heparin, histamin, serotonin, kinin protease, dan
substansi reaktif yang lambat dari anafilaksis (SRS-A). Mast cell dan
basofil juga mengandung substansi yang memiliki fungsi reparasi seperti
chymase,asam hyaluronat dan platelet aggregating factor, seperti halnya
pada chemotactic factors eosinofil dan neutrofil. SRA-A bukan merupakan
komponen tunggal, tetapi merupakan campuran dari metabolit-metabolit
spasmogenik dan vasodilatori dari asam arakidonat yang disebut
leukotrin. SRA-A juga bukan merupakan satu-satunya produk dari mast
cell, tetapi kontribusi dari mast cell dan sel-sel mononuklear jaringan yang
teraktivasi lainnya. Basofil-basofil kemungkinan merupakan bentuk mast
cell yang bersirkulasi, meskipun basofil-basofil itu berbeda dalam
responnya terhadap substansi tertentu; cromolyn sodium menghambat
pelepasan dari granula mast cell tetapi bukan granula-granula basofil.
Pelepasan isi dari mast cell atau granula basofil dipicu oleh ikatan
dari alergen terhadap antibodi sitotropik spesifik pada permukaan sel.
Ikatan pada salah satu molekul antigen terhadap dua molekul antibodi
sitotropik spesifik yang berdeketan mengubah embran sel dan
menginisiasi proses-proses energy dependent yang puncaknya adalah
pembebasan dari mediator-mediator farmakologi terhadap respon alergi.
Dalam setiap individu, derajat dari sensitivitas secara langsung
proporsional terhadap jumlah histamin yang dibebaskan oleh mast cell
atau basofil yang bersirkulasi dalam responnya terhadap jumlah standar
alergen tertentu.
Sistem IgE berada dibawah pengaturan (regulasi) T-cell
(Romagnani, 1994), dan hubungan yang terbalik antara immunitas seluler
10

dengan IgE. Produksi IgE didukung oleh thymectomy, sublethal whole body
irradiation, anti-thymocyte serum, obat-obatan radiomimetic, infeksi virus
tertentu, dan pada individu dengan sindrom immunodefisiensi kongenital
dan perolehan termasuk immunitas seluler (Wiskott-Aldrich syndrome,
ataxia-telangiectasia, Hodgkin's disease).
Fenomena dari kejadian perkembangan alergi memiliki hubungan
klinis yang besar. Produksi IgE ini minimal dalam individu normal non-
alergi dan tetap dijaga seperti itu oleh mekanisme regulasi internal yang
melibatkan limfosit-T (Romagnani, 1994). Kejadian alami, seperti infeksi
viral, dapat secara temporer mendepres immunitas T-cell-mediated dan
dengan begitu mekanisme dampening (yang menyababkan berkurangnya
intensitas dan sensitivitas) dihilangkan dan menambah terjadinya
produksi IgE. Predisposisi anjing secara genetis, mengembangkan
tingginya level IgE spesifik ketika terekspos oleh ekstrak serbuk sari
beberapa hari menyertai immunisasi distemper (Frick and Brooks, 1983).
Penambahan produksi antibodi sitotropik terhdap antigen non-parasit
juga dihasilkan dari tidak berfungsinya immunitas mediated IgE normal.
Pada manusia yang menderita penyakit parasit yang berat mungkin akan
memiliki sedikit masalah dengan nuisance type allergies (Buckley et al.,
1985), mengindikasikan bahwa sistem immun IgE yang terikat dalam
pertahanan parasit normal cenderung untuk bereaksi ke perifer atau
antigen yang terkait. Apabila kedua orangtua memiliki atopi, 75% anak-
anaknya juga akan atopik. Apabila salah satu orangtua memiliki atopi,
kemungkinannya adalah 50%. Kesamaan predisposisi genetik juga terlihat
pada hewan, terutama diantara ras-ras murni.
Reaksi pada urtikaria (hives) berbentuk seperti koin, bertepi tajam,
dan memiliki lesi pruritik yang tinggi pada kulit yang terjadi dalam
beberapa menit saat terekspos alergen. Urtikaria memiliki analog dengan
lesi-lesi yang ditimbulkan oleh inokulasi intradermal dengan histamin.
11

Hives mungkin berupa manifestasi tunggal dari reaksi alergi atau
mungkin juga berasosiasi dengan beberapa reaksi diatas. Gejala klinis
umumnya bertahanselama sampai 2 jam dan kemudian .


Gambar 3. Mekanisme patofisiologi urtikaria dan angioderma

Kebanyakan anjing hanya akan memperlihatkan reaksi anafilaktik
setelah uji provokatif (injeksi dengan alergen yang dicurigai secara IV, IM,
subkutan), sesuatu yang secara potensial berbahaya dan tidak biasanya
terjadi.Sayangnya diagnosis biasanya dapat diambil dari sejarah yang
rinci.
Kontrol yang paling efektif dari reaksi alergi sistemik adalah dengan
menghindari re-eksposur terhadap alergen yang menyerang. Hal ini
dengan mudah dilakukan ketika obat-obatan adalah penyebabnya, karena
alternatif produk yang tidak alergenik biasanya tersedia. Tetapi, vaksin,
yang merupakan penyebab yang paling sering dari reaksi tersebut,
12

menjadi lebih problematik bagi dokter hewan. Beberapa dokter hewan
percaya bahwa vaksinasi booster sepenuhnya esensial dan tidak bersedia
mengorbankan penggunaannya meskipun sebelumnya telah timbul reaksi
alergi. Apabila reaksi alergi sistemik terhadap vaksinasi membahayakan
nyawa (misalnya anaphylactic shock), resiko dari immunisasi yang
selanjutnya akan jauh lebih mempertimbangkan manfaat yang kurang
berarti yang disediakan oleh vaksinasi booster. Kesempatan untuk anjing
yang lebih tua dan telah divaksin dengan baik untuk mendapatkan infeksi
yang secara potensial fatal seperti canine distemper, infectious canine hepatitis,
parvovirus enteritis, leptospirosis atau rabies sangat rendah, dan penyakit
lain yang berubungan dengan vaksinasi seperti kennel cough, parinfluenza,
Lyme borreliosis, dan coronavirus enteritis berada dalam relevansi klinis
yang minim pada populasi anjing umumnya. Bahkan perhatian mengenai
pemenuhan yang legal terhadap booster rabies seharusnya tidak
mengesampingkan akal sehat, surat ijin biasanya bisa didapatkan untuk
vaksin rabies ketika penggunaan dari vaksin tertentu membahayakan
nyawa. Apabila reaksi sistemik alergi terhadap vaksin adalah berat, tetapi
tidak mengancam jiwa (hives, angioneurotic edema),lakukan pra-terapi pada
hewan selama 1 jam sebelum immunisasi dengan mengguankan
antihistamin dan prednisolone. Berikan 1/10th dosis vaksin; jika tidak
terdapat reaksi perlawanan yang terlihat dalam waktu 10-20 menit,
berikan sisanya. Penggantian merek atau tipe vaksin akan jarang
mencegah masalah, karena kebanyakan vaksin mengandung penyebab
alergen yang serupa. Bagaimanapun, bakteri leptospirosis merupakan
penyebab terburuk dan dan vaksin yang esensinya paling sedikit, serta
dapat dengan mudah ditinggalkan dalam regime vaksinasi.



13

Terapi

Pada urtikaria yang akut, biasanya akan menghilang secara
spontan. Rapid-acting dari adrenokortikosteroid, seperti hydocortisone
sodium succinate atau prednisolone sodium succinate atau hemisuccinate
telah dilaporkan keberhasilannya. Dexamethasone (0,1 mg/kg) telah
bermanfaat pada anjing, kucing, dan kuda. Antihistamin berada dalam
manfaat yang dipertanyakan dan dapat menginduksi urtikaria apabila
diberikan secara IV. Epinephrine dapat diberikan pada situasi yang
membahayakan jiwa. Lesi-lesi dengan segera menghilang tetapi kembali
secara cepat apabila alergen tidak dieliminasi. Biasanya, terapi lokal pada
lesi tidaklah perlu. Pada urtikaria kronis, antihistamin seperti hydroxyzine
mungkin dapat berguna. Pada kuda, perkiraan dosisnya adalah 2-4 mg/5
kg, bid (Anonim, 2008).














14

Daftar Pustaka

Anonim, 2008, The Merck Veterinary Manual, Merck and Co Inc., USA

Buckley, III, C.E., Larrick, J.W., Kaplan, J.E., 1985, Population differences
in cutaneous methacholine reactivity and circulating IgE
concentrations. J. Allergy Clin. Immunol. 76, 847-854.

Coombs, R.R.A., Gell, P.G.H., 1975, Classification of allergic reactions for
clinical hypersensitivity and disease. In: Gell, P.G.H., Coombs, R.R.A.,
Lachmann, P.J. (Eds.), Clinical Aspects of Immunology, Oxford,
Blackwell Scientific, pp. 761-781.

Frick, O.L., Brooks, D.L., 1983, Immunoglobulin E antibodies to pollens
augmented in dogs by virus vaccines. Am. J. Vet. Res. 44, 440445.

Gross, T.L., Ihrke, P. J., Walder, E.J., Affolter, V. K., 2005, Skin diseases of the
dog and cat: clinical and histopathologic diagnosis. Second ed, Blackwell
Publishing Company, USA

Marsh, D.G., Norman, P.D., 1988, Antigens that cause allergic disease. In:
Samter, M., Talmage, D.W., Frank, M.M., Austen, K.F., Claman,
H.N. (Eds.), Immunological Diseases, Little Brown, pp. 982-1008.

Romagnani, S., 1994. Regulation of the development of type 2 T-helper cells in
allergy. Curr. Opin. Immunol. 6, 838-846.

Anda mungkin juga menyukai