TPL KEWIRAUSAHAAN 2011 AKADEMI PIMPINAN PERUSAHAAN
KETIDAKADILAN GENDER Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Gender itu berasal dari bahasa latin GENUS yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang mengharuskan misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll. Maka terjadilah ketidakadilan dalam kesetaraan peran ini. Latar belakang penegasan terhadap masalah gender ini karena banyaknya perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin (terutama perempuan). Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat. Kan memang kodrat gue sebagai cewek untuk lemah gemulai, mau menerima apa adanya, dan enggak boleh membantah. Sementara saudara gue yang cowok harus berani, tegas, dan bisa ngatur! Begini kita sering memahami peran jenis kelamin kita, bukan? Bagaimana bentuk-bentuk diskriminasi gender? Marginalisasi (peminggiran) adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki laki. Peminggiran juga banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi). Subordinasi (penomorduaan) yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai orang rumah atau teman yang ada di belakang. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki. Stereotip (citra buruk) yaitu pandangan buruk terhadap perempuan. pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki ramah dianggap perayu. Perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya. Violence (kekerasan) yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum. Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip diatas. Perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan. Beban kerja berlebihan yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus. Misalnya, seorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Disamping itu, kadang ia juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.
NILAI-NILAI GENDER SUKU JAWA Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan
orang-orang Jawa yang berbahasa dan berbudaya Jawa, dan di Banten dan tentu saja Jakarta mereka banyak diketemukan. Selain suku Jawa baku terdapat subsuku Osing dan Tengger. Stereotipe Orang Jawa Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai suku bangsa yang sopan dan halus. Tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat. Kedudukan Perempuan Jawa Masyarakat Indonesia dikenal dengan sistemnya yang patriarkis meskipun sebenarnya terdapat variasi corak patriarki antar budaya. Salah satu masyarakat yang dikenal dengan kebudayaannya yang patriarkis adalah Jawa. Patriarki sendiri berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan subordinasi yang mengharuskan bahwa posisi laki-laki diatas perempuan dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Menurut Indrawati (2002), masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalarn relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Hal ini didukung oleh Handayani dan Novianto (2004) yang menyatakan bahwa dalam budaya Jawa yang cenderung paternalistik, laki-laki memiliki kedudukan yang istimewa. lstilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti wani ditata (berani ditata). Pengertian ini telah mencirikan adanya tuntutan kepasifan pada perempuan Jawa. Mulai dari awal pemilihan pasangan hidup, laki-Iaki Jawa biasanya disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam perkawinan istilah konco wingking yaitu bahwa perempuan adalah teman yang hanya bekerja di dapur dalam kehidupan perkawinan pasutri Jawa. Konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut) juga menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri. Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu rnaupun istri, di dapur maupun di tempat tidur. Masyarakat Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerirna segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun. Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan suami. Selain itu adanya konsep istri sebagai sigaraning nyawa, bukan sekedar konco wingking juga memberikan gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter terhadap perempuan Jawa (Handayani & Novianto, 2004). Istilah konco wingking pun tidak selalu lebih rendah, tergantung bagaimana perempuan Jawa memaknainya. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak berpengaruh. Namun secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama kelamaan suami yang akan tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada posisi inilah, perempuan Jawa akan banyak menentukan keputusan- keputusan dunia publik melalui suarninya. Namun ada sisi niai-nilai yang dipandang tidak menghargai harkat perempuan yaitu masyarakat jawa menganggap istri hanya sebagai kanca wingking atau teman belakang. Nilai-nilai lain mengenai masyarakat Jawa, sebagai berikut: Kaum perempuan Jawa dikenal dengan pekerja keras. Hal ini dibuktikan para imigran asal Jawa yang sekarang bermukim di Suriname. Demikian halnya dengan para transmigran yang tersebar di berbagai Nusantara. Mereka dikenal dengan sebagai pekerja keras, menggarap sawah dan ladang, sedangkan mereka yang berada di pasar-pasar juga dikenal ulet dalam mengembangkan usaha. NILAI KELUARGA DAN GENDER SUKU SASAK Perkawinan Bangsawan pada Suku Sasak Masalah tata aturan perkawinan bangsawan yang tidak memperbolehkan wanita bangsawan. menikah tidak dengan sesama bangsawannya, namun tidak demikian halnya dengan laki-laki. Inilah masalah yang menarik dari topik perkawinan antar bangsawan di Lombok. Topik ini diangkat dengan alasan untuk lebih mengetahui secara lebih mendalam dan spesifik mengapa terjadi ketidaksetaraan antara kedudukan kaum bangsawan Lombok dalam hal aturan mereka pun bersepakat menentukan hari yang tepat untuk kabur dari rumah. Dalam adat Suku Sasak, hal ini discbut dengan Merari, mcngambil gadis tanpa ijin orang tua. Hal ini merupakan kebanggaan pihak keluarga si wanita, jika anak gadisnya dibawa kabur. Ini berarti, anak gadisnya laku. Proses melamar tidak dikenal dalam adat Suku Sasak. Justru jika seorang anak gadis dilamar secara baik-baik, maka harga diri keluarganya akan turun. lbaratnya, jika seorang anak gadis dilamar, bagai membeli sepotong kue. Selarna masa peneulikan, si wanita dibawa ke rumah calon suami atau saudaranya. Paling lambat 3 hari, pihak pria harus segera memberitahu keluarga pihak wanita. Ini dikenal dengan istilah bersejati. Jika dilanggar, maka pihak pria dituduh menculik anak gadis orang, dan dikenakan denda sejumlah uang yang diserahkan pada saat upacara pernikahan berlangsung. Selarna 3 hari ini, dikenal pula istilah berselabor, yaitu pihak pria mengirim utusan ke pihak wanita, untuk memastikan bahwa keluarga wanita telah mengetahui anak gadisnya akan disunting orang. Selanjutnya,pihak wanita mempersiapkan wali pernikahan. Puncak acara adat perkawinan Suku Sasak dikenal dengan istilah Sorong Serang Haji Kerama. Yaitu upacara penyerahan sejumlah barang dan uang, sebagai perlambang tanggung jawab seorang pria menikahi wanita. Nilainya disesuaikan kedudukan seseorang di mata masyarakat. Disinilah makna pentingnya sebuah perkawinan bagi Suku Sasak. Sebab perkawinan seseorang dianggap sah, jika Sorong Serah Haji Kerama telah dilaksanakan . Perkawinan yang telah berlangsung tidak dapat diganggu gugat, ketika pemimpin upacara telah memutuskan seutas tali yang diikatkan pada sejumlah uang logam. Penganten pria dan wanita kemudian diarak berkeliling, kira-kira sejauh 1 kilometer, sebagai bentuk suka eita, dua pasang manusia yang akan mengarungi kebidupan rumah tangga. Dan sebagai bentuk permohonan restu, kepada semua orang yang dijumpai di sepanjang jalan. Kebersamaan sangat terasa ketika berlangsung acara arak-arakan ini. Kebersamaan yang sarna pun, akan terlihat da1am upacara-upacara adat Suku Sasak lainnya. Sebuah gambaran, bahwa hingga kini masayarakat Suku Sasak masih memegang teguh adat yang berlaku. Adat Pemikahan Kawin Lari di Suku Sasak Salah satu budaya lain yang masih terdapat dalam suku Sasak adalah dalam adat perkawinan. Adat perkawinan yang masih melekat di karnpung suku sasak, salah satunya adalah budaya kawin lari. Proses kawin 1ari ini masih terjadi di masyarakat lombok yang bermukim di kota. Pasangan muda-mudi yang berniat menikah memang harus diawali proses pernikahan kawin lari. Proses kawin lari ini diibaratkan seperti tindak pidana peneulikan, mereka harus menyusun strategi penculikan pada malam hari. Setelah sang calon suami meneulik calon istrinya, mereka langsung menjalani proses pernikahan secara agarna di KUA. KETIDAKADILAN GENDER Dalam kenyataannya, masih ada diskriminasi dan pembedaan terhadap perempuan baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia. Ini tergambar dalam pengakuan Indonesia di ranah Internasional bahwa memang terdapat diskriminasi dalam berbagai bentuk terhadap perempuan. Pengakuan tersebut dilakukan dengan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Form of Discrimination Against Women/CEDAW) dalam bentuk UU No. 7 Tahun 1984. Indonesia merupakan salah satu negara dari sekitar 182 negara di dunia yang telah meratifikasi Konvensi itu. Arti pengakuan bahwa masih ada diskriminasi terhadap perempuan ini berlatar belakang buruknya kondisi perempuan, dari sisi kesehatan dengan masih tingginya angka kematian ibu dan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan baik di ranah keluarga maupun komunitas; belum diakuinya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan sehingga kepentingannya tidak terwakili, dan lain-lain kondisi yang menyebabkan perempuan dalam kondisi yang tertinggal atau tidak setara dibandingkan dengan laki-laki. Padahal perempuan sudah memberikan sumbangan besar bagi kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan terjadinya ketidakadilan gender yang merupakan akibat dari budaya patriarkhi yang masih kuat berkembang di masyarakat dan dilanggengkan dalam berbagai kehidupan melalui praktik-praktik nilai-nilai budaya, sosial dan nilai-nilai kehidupan lainnya, telah membawa pembedaan akses, peminggiran, stereotype, beban yang berlebih, hingga pada kekerasan terhadap perempuan. Dampak tersebut terjadi di berbagai bidang kehidupan karena budaya patriarkhi sudah menginternal dalam pikiran-pikiran setiap individu anggota masyarakat yang seringkali berwujud pada tindakan-tindakan mereka ketika mereka berada di ranah publik maupun domestik karena pekerjaannya. Ketika ketidakadilan gender ini dibiarkan berlangsung terus menerus, maka akan menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara dan terhadap umat manusia. Dan kondisi akan semakin parah bagi perempuan, ketika kemiskinan mendera, yang akhirnya menempatkan perempuan pada posisi yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain kebutuhan. Oleh karenanya, kondisi ketidakadilan gender yang menimbulkan diskriminasi pada perempuan ini harus dirubah dan dihapuskan dengan langkah tindak sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No. 7 Tahun 1984 beserta lampirannya. Dimana dalam UU tersebut pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk mempromosikan, memenuhi dan melindungi hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian Negara berkewajiban melakukan segala upaya untuk memberikan perlindungan, penjaminan dan pemenuhan hak untuk hidup aman, setara dan adil bagi warganegaranya, terutama bagi warganegara perempuan yang masih mengalami ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai bidang kehidupan terutama di perdesaan. MEMPERJUANGKAN KESETARAAN Memperjuangkan kesetaraan bukanlah berarti mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi, ini lebih kepada membangun hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus terbuka sama luasnya bagi cowok atau cewek, sama pentingnya, untuk mendapatkan pendidikan, makanan yang bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, termasuk terlibat aktif dalam organisasi sosial-politik dan proses-proses pengambilan keputusan. Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 tentang Pengaruh-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif jender. Tetapi bagaimana kita sebaiknya memulainya ? mungkin langkah-langkah ini dapat membantu : 1. Bangun kesadaran diri Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah membangun kesadaran diri. Sebagai wanita modern, kita harus menanamkan pada diri sendiri tentang keyakinan bahwa wanita juga dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki, contohnya menjadi pemimpin. Tumbuhkan kesadaran yang mendasar atas hak wanita yang dapat setara dengan pria. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena peran-peran yang menimbulkan relasi tak setara terjadi akibat pengajaran dan sosialisasi, cara mengubahnya juga melalui pengajaran dan sosialisasi baru. Kita bisa melakukan latihan atau diskusi secara kritis. 2. Bukan hanya urusan peremuan semata Kita harus membangun pemahaman dan pendekatan baru bahwa ini juga menyangkut laki-laki. Tidak mungkin akan terjadi perubahan jika laki-laki tidak terlibat dalam usaha ini. Perempuan bisa dilatih untuk lebih aktif, berani, dan mampu mengambil keputusan, sedangkan laki-laki pun perlu dilatih untuk menghormati dan menghargai kemampuan perempuan dan mau bermitra untuk maju. 3. Bicarakan Salah satu cara untuk memulai perubahan adalah dengan mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan tekanan atau diskriminasi. Cara terbaik adalah bersuara dan membicarakannya secara terbuka dan bersahabat. Harus ada media untuk membangun dialog untuk menyepakati cara-cara terbaik membangun relasi yang setara dan adil antarjenis kelamin. 4. Kampanyekan Karena ini menyangkut sistem sosial-budaya yang besar, hasil dialog atau kesepakatan untuk perubahan yang lebih baik harus kita kampanyekan sehingga masyarakat dapat memahami idenya dan dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan. Termasuk di dalamnya mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat melihat laki-laki dan perempuan dalam ukuran kepantasan yang mereka pahami. Masyarakat harus memahami bahwa beberapa sistem sosial-budaya yang merupakan produk cara berpikir sering kali tidak berpihak, menekan, dan menghambat peluang perempuan untuk memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Jadi ini memang soal merubah cara pikir dan sudut pandang. 5. Terapkan dalam kehidupan sehari-hari Cara terbaik untuk merealisasikan kondisi yang lebih baik ialah menerapkan pola relasi yang setara dalam kehidupan kita masing-masing. Tentu saja semua harus dimulai dari diri kita sendiri, lalu kemudian kita dorong orang terdekat kita untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan dampaknya akan lebih meluas sehingga keadilan gender pun dapat terwujud dengan baik.