Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan
dari demam reumatik. Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan
penyakit yang dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri
Streptococcus hemoliticus tipe A yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang
lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung
mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Penyakit
jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat
regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit
jantung reumatik masih menjadi penyebab utama stenosis katup mitral dan penggantian
katup pada orang dewasa di Amerika Serikat. Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya
malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban
tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup
aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan
peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari
malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.
Menurut laporan WHO Expert Consultation Geneva 29 Oktober-1 november
2001 yang diterbitkan tahun 2004 menyebutkan, sekitar 7,6/100.000 penduduk di Asia
Tenggara, 8,2/100.000 penduduk di negara berkembang dan 0,5/100.000 penduduk di
negara maju menderita penyakit jantung rematik.
Di Indonesia berdasarkan data dari RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus
ini dimulai pada 1997 dengan 248 kasus, kemudian melaju dengan cepat hingga
mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus. Diperkirakan tahun ini juga akan
terjadi peningkatan. Untuk itu, pihak RS telah mengantisipasi lonjakan kasus tersebut
dengan membuka klinik khusus gagal jantung dan pelayanan One Day Care dengan
system Nurse Base Care.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut WHO tahun 2001, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung
akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), PJR adalah penyakit jantung sebagai
akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan
terjadinya cacat katup jantung.
Definisi lain juga mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari DR, yang merupakan
suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta
hemolyticus grup A pada saluran nafas bagian atas.
Dari sebuah jurnal mengatakan bahawa DR dan atau PJR eksaserbasi akut
adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi streptococcus beta hemolyticus
grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau
lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan
eritema marginatum

2.2 Epidemiologi
Evolusi dari demam rematik sungguh menakjubkan. Angka kejadian penyakit
ini pada awal abad ke-20 sangat tinggi (100-200 kasus per 100.000 penduduk di
Amerika Serikat pada tahun 1900 dan 50 per 100.000 pada tahun 1940). Dulu demam
rematik merupakan salah satu penyebab terbesar dari kematian pada anak-anak dan
remaja, dan penyebab penyakit jantung didapat pada dewasa muda. Hingga awal tahun
1980 terjadi penurunan tajam sekitar 0,5 per 100.000 di Amerika Serikat. Sejak saat itu,
telah terjadi wabah demam rematik di beberapa daerah. Di Eropa telah terjadi
penurunan serupa dari angka kejadian demam rematik dan telah menjadi penyakit yang
jarang ditemui.

Penjelasan dari penurunan tajam dari insidensi demam reumatik akut
3
dan penyakit jantung reumatik di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya
tidak jelas. Menurut sejarah, demam reumatik akut telah dikaitkan dengan kemiskinan,
terutama didaerah-daerah perkotaan. Kemungkinan penyebab dari penurunan tersebut
pada era sebelum tersedianya antibiotik, adalah karena perbaikan kondisi lingkungan
hidup. Beberapa penelitian menunjukan bahwa berbagai manifestasi dari kemiskinan,
kepadatan, yang sangat berperan dalam penyebaran infeksi Streptococcus -
hemolyticus grup A, adalah yang paling berkaitan dengan insidensi demam reumatik
akut. Penurunan insidensi demam reumatik akut di negara-negara maju pada 4 dekade
terakhir ini juga disebabkan karena ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai
dan penggunaan antibiotik. Terapi antibiotik untuk faringitis oleh Streptococcus -
hemolyticus grup A penting perannya dalam pencegahan serangan awal dan juga
pencegahan terhadap kekambuhannya. Sebagai tambahan, penurunan tersebut juga
menunjukan prevalensi strain Streptococcus -hemolyticus grup A yang bersifat
reumatogenik menjadi non-reumatogentik.

Di negara-negara berkembang, demam rematik merupakan suatu epidemik dan
menetap sebagai penyebab utama dari penyakit jantung didapat. Penyakit ini juga
merupakan penyebab utama dari kematian kelompok usia dibawah 50 tahun, dan
insidensi annual dari demam rematik adalah 100-200 kali lebih besar dibanding di
negara-negara maju. demam rematik biasanya terjadi pada anak-anak usia 5-15 tahun.
Jarang terjadi sebelum usia 3 tahun dan 92% kasus terjadi hingga usia 18 tahun.
Demam rematik merupakan komplikasi dari infeksi Streptococcus -hemolyticus grup
A pada orang yang terpredisposisi. Kurang dari 2-3% dari orang yang sebelumnya sehat
terkena demam rematik yang diikuti faringitis streptokok. Demam rematik tidak terjadi
setelah pioderma streptokok.

Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun
beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian,
secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi demam rematik di Indonesia pasti
4
lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat penyakit jantung rematik merupakan akibat
dari demam rematik.


2.3 Faktor Risiko
Faktor risiko yang berpengaruh pada timbulnya PJR dibagi menjadi faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, antara lain :

2.3.1 Demam Rematik (DR)
Definisi DR
Menurut WHO, definisi DR adalah sindrom klinis sebagai salah satu akibat
infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A, yang ditandai oleh satu atau
lebih manisfestasi mayor (karditis, poliartritis, korea, nodul subkutan, dan eritema
marginatum) dan mempunyai ciri khas untuk kambuh kembali.
Pendapat lain memberikan definisi DR atau PJR sebagai suatu sindroma klinik
penyakit akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan
yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu
poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.

Etiologi DR
Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman
Streptokokus Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada
kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman
Streptokokus Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang
didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut.
Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada
manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR
dan PJR. Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A sebagai penyebab
DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari
lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan
5
bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptococcus beta
hemolitycus grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24.
Terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya hubungan antara infeksi saluran
nafas bagian atas oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dengan demam rematik akut
serta penyakit jantung rematik. Sebanyak 2/3 dari pasien yang menderita demam
rematik akut, mempunyai riwayat infeksi saluran nafas bagian atas beberapa minggu
sebelumnya, dan angka insidens dari demam rematik akut hampir sama dengan infeksi
Streptococcus -hemolyticus grup A. Pasien dengan demam rematik akut hampir selalu
mempunyai hasil serologi yang menunjukan adanya infeksi Streptococcus -
hemolyticus grup A baru-baru ini. Titer antibodi pasien-pasien tersebut lebih tinggi
dibandingkan pasien-pasien dengan infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A tanpa
diikuti demam rematik akut. Wabah faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A
pada kelompok-kelompok masyarakat yang tertutup seperti di asrama dan pangkalan
militer, dapat pula diikuti oleh wabah demam rematik akut. Terapi antimikroba yang
digunakan untuk mengeliminasi Streptococcus -hemolyticus grup A dari faring dapat
pula mencegah episode awal dari demam rematik akut, dan sebagai upaya jangka
panjang, pengobatan profilaksis yang diberikan untuk mencegah terjadinya faringitis
oleh Streptococcus -hemolyticus grup A kembali, juga dapat mencegah kekambuhan
dari demam rematik akut.

Streptococcus -hemolyticus grup A merupakan bakteri kokus gram-positif,
yang sering berkolonisasi di kulit dan orofaring. Bakteri ini dapat menimbulkan
penyakit-penyakit supuratif, seperti faringitis, impetigo, selulitis, miositis dan
pneumonia. Streptococcus -hemolyticus grup A juga dapat menimbulkan penyakit-
penyakit non-supuratif seperti demam reumatik, post-streptokokus glomerulonefritis
akut. Streptococcus -hemolyticus grup A mengeluarkan toksin sitolitik yaitu
streptolisin S dan O. Dari kedua jenis toksin ini, streptolisin O menimbulkan titer
antibodi yang cukup tinggi dan persisten sehingga menjadi marker berguna untuk
mendeteksi adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dan komplikasinya
yang bersifat non-supuratif.

6
Hubungan pasti antara infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dengan
timbulnya demam rematik tidak jelas, tetapi terdapat dugaan dimana bakteri ini
mempermainkan sistem imun tubuh. Streptococcus -hemolyticus grup A memiliki
protein yang serupa dengan protein yang ditemukan pada jaringan-jaringan tertentu
tubuh manusia. Oleh sebab itu, sel sistem imun yang biasanya menyerang bakteri
Streptococcus -hemolyticus grup A dapat memperlakukan jaringan-jaringan tubuh
tersebut, terutama jaringan jantung, persendian, kulit dan sistem saraf pusat, sebagai
suatu agen infeksi. Reaksi sistem imun inilah yang menyebabkan proses peradangan.

Seperti yang telah terurai diatas, demam reumatik dipercaya timbul akibat suatu
respon autoimun, namun patogenesis pastinya masih belum jelas. Demam reumatik
hanya timbul pada anak-anak dan remaja yang sebelumnya telah menderita faringitis
oleh Streptococcus -hemolyticus grup A, dan hanya infeksi faring tersebut yang dapat
mencetuskan atau mereaktivasi demam rematik.

Patogenesis
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokkus Beta Hemolitik grup A dengan
terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon autoimun
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan. Respons
manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic
host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis
yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibilitas
mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera setelah
infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor risiko yang potensial dalam
patogenesis penyakit ini.
Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan PJR terjadi
akibat sesitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A di faring.
Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, berdiameter 0,5-1 mikron
dan mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai selama
pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A ini terdiri dari dua jenis, yaitu
hemolitik dan non hemolitik. Yang menginfeksi manusia pada umumnya jenis
7
hemolitik.
Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O
(ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes yang
biasa dilakukan untuk infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A.
DR merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang berlebihan
(hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan oleh Streptococcus beta
hemolitycus grup A. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang
antibody terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A dengan otot jantung yang
mempunyai susunan antigen mirip antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A. Hal
inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.
Dalam keadaan normal,sistem imun dapat membedakan antigen tubuh sendiri dari
antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen, tetapi
pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimun. Reaksi
autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel jaringan sendiri. Antigen
tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibodi.
Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala
klinis disebut fenomena autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli sependapat
bahwa DR termasuk dalam penyakit autoimun.











8
2.3.2 Manifestasi Klinis
DR Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di antaranya artritis, korea,
nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Berbagai manifestasi ini cenderung terjadi
bersama-sama dan dapat dipandang sebagai sindrom, yaitu manifestasi ini terjadi pada
pasien yang sama, pada saat yang sama atau dalam urutan yang berdekatan.
Manifestasi mayor. Terdapat 5 kriteria mayor. Adanya 2 kriteria mayor
dengan bukti (mikrobiologik atau serologik) dari infeksi Streptococcus -hemolyticus
Grup A sebelumnya memenuhi kriteria Jones.
1. Poliartritis Migran.
Artritis timbul pada 75% pasien dengan demam rematik akut dan sering
melibatkan sendi-sendi besar, terutama sendi lutut, pergelangan kaki,
pergelangan tangan, dan siku. Keterlibatan tulang belakang, sendi-sendi kecil
dari tangan dan kaki, atau sendi panggul sangat jarang. Persendian yang terkena
rematik secara umum ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan,
teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif; bahkan jika bersinggungan dengan
sprei menimbulkan perasaan tidak enak.
2,4,6
Nyeri ini dapat berlanjut dan dapat
tampak tidak sesuai dengan temuan klinis lainnya. Keterlibatan sendi pada
demam rematik akut bersifat migratory atau berpindah-pindah, sendi yang
mengalami peradangan yang sangat berat dapat menjadi normal dalam waktu 1-
3 hari tanpa pengobatan, sementara sendi-sendi lainnya mulai meradang.
Sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa
sendi pada waktu yang bersamaan.
6,8
Keluhan ini dapat menetap hingga
berminggu-minggu (2-4 minggu).
8
Artritis monoartikuler jarang terjadi kecuali
jika terapi anti-inflamasi diberikan sejak awal sehingga mencegah progresifitas
dari poliartritis migran.
Jika seorang anak dengan demam dan artritis dicurigai menderita demam
rematik akut, biasanya akan membantu jika pemberian salisilat ditunda dan
pasien diobservasi untuk poliartritis. Respon dramatis terhadap dosis salisilat
yang kecil pun adalah salah satu karakteristik untuk artritis dan tidak adanya
9
respon itu menandakan diagnosis alternatif yang lain.
4
Rematik artritis tidak
menyebabkan deformitas dan kerusakan sendi jangka panjang
7
Cairan sinovial
pada demam rematik akut biasanya mengandung 10.000-100.000 sel darah
putih/mm
3
dengan sel dominan neutrofil, protein sebanyak 4 g/dL, kadar
glukosa yang normal dan terjadi pembentukan gumpalan musin. Akhir-akhir ini
artritis merupakan manifestasi awal dari demam rematik akut dan terdapat
hubungan sementara dengan tingginya titer antibodi dari Streptococcus -
hemolyticus Grup A. Ada hubungan yang jelas antara beratnya artritis dengan
beratnya keterlibatan jantung.


2. Karditis
Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat
karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian
penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi
penyakit jantung rematik.
7
Diagnosis karditis rematik dapat ditegakan secara
klinis berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau
perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) pankarditis, dan gagal
jantung kongestif. Pankarditis adalah peradangan aktif miokardium, perikardium
dan endokardium.

Miokarditis dan atau perikarditis tanpa bukti adanya
endokarditis jarang disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Kebanyakan
kasus melibatkan kerusakan pada katup mitral atau kombinasi dari katup mitral
dan aorta. Kerusakan pada katup aorta saja atau kerusakan katup sebelah kanan
sangat jarang. Sedangkan efek jangka panjang dari kerusakan jantung yang lebih
berat merupakan akibat dari kerusakan katup ini.
Pada beberapa anak dengan peradangan jantung tidak menunjukan
adanya gejala klinis, dan riwayat peradangan sebelumnya baru diketahui
bertahun-tahun kemudian saat kerusakan jantung telah terjadi. Beberapa anak
akan merasakan jantungnya berdebar-debar. Sedangkan lainnya akan mengeluh
nyeri pada dada yang disebabkan oleh peradangan selaput yang menyelimuti
jantung (perikarditis). Kegagalan jantung dapat terjadi, dan menyebabkan anak
10
tersebut menjadi cepat lelah dan sesak nafas, dengan mual, muntah, nyeri perut
atau batuk kering.

Rematik karditis akut biasanya ditandai dengan danya takikardia dan
murmur jantung, dengan atau tanpa bukti danya keterlibatan miokardium atau
perkardium. Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang
seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta
gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat.
Bising pada demam rematik dapat berupa bising pansistol didaerah apeks
(regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan
bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat
adanya dilatasi ventrikel kiri. Selain itu, rematik karditis ringan hingga berat
dapat menyebabkan kardiomegali dan penyakit jantung kongestif dengan
hepatomegali dan edema perifer dan pulmonal. Penemuan ekokardiografi
meliputi effusi perikardium, penurunan kontraktilitas ventrikular, dan regurgitasi
aorta dan atau mitral. Hasil ekokardiografi yang menunjukan adanya suatu
regurgitasi katup tanpa diserta bukti auskultasi tidak cukup untuk memenuhi
kriteria Jones untuk karditis.

Karditis timbul pada 50-60% kasus demam reumatik akut. Serangan
ulangan demam reumatik akut pada pasien yang sebelumnya terkena karditis
pada serangan pertama kemungkinan untuk terkena karditis lagi pada serangan
ulangan sangat tinggi. Dampak utama dari rematik karditis adalah penyakit
katup yang bersifat kronik progresif, khususnya stenosis katup, yang mungkin
akan membutuhkan penggantian katup dan dapat merupakan suatu predisposisi
timbulnya endokarditis terinfeksi.


3. Korea Sydenhem
Korea sydenham terjadi pada 10-15% pasien dengan demam rematik
akut dan biasanya bermanifestasi sebagai suatu gangguan gerakan yang bersifat
tiba-tiba, tidak disadari, tidak berirama, klonik dan tanpa tujuan serta perilaku
neurologik yang terisolasi dan halus. Emosi yang labil, inkoordinasi, kinerja
11
sekolah yang buruk, gerakan tak terkendali, dan wajah meringis, yang
dicetuskan oleh stress dan hilang dengan tidur merupakan ciri-ciri dari kelainan
ini.
7
Gerakan tersentak-sentak dan tak terkendali ini mempunyai onset yang
tersembunyi dan membahayakan, tetapi biasanya baru timbul setelah gejala
lainnya telah menghilang, dan menetap hingga berbulan-bulan (4-8 bulan)
sebelum dikenali. Gerakan ini melibatkan seluruh otot-otot tubuh kecuali otot
mata. Biasanya dimulai dengan ekstremitas atas lalu menyebar ke ekstremitas
bawah dan wajah. Korea sering bersifat unilateral. Masa laten dari infeksi akut
Streptococcus -hemolyticus Grup A menjadi korea lebih lama dibanding
menjadi artritis atau karditis dan dapat mencapai berbulan-bulan. Pemeriksaan
klinis yang dapat dilakukan untuk memperoleh ciri-ciri dari korea meliputi (1)
demonstrasi dari milkmaids grip (pemeras susu) yaitu kontraksi irreguler dari
otot-otot tangan sambil memeras jari pemeriksa, (2) gerakan menyendok dan
pronasi dari tangan saat lengan penderita di ekstensikan, (3) gerakan seperti
cacing dari lidah saat dijulurkan, (4) pemeriksaan tulisan tangan untuk menilai
gerakan motorik halus. Diagnosis ditegakan berdasarkan temuan klinis dengan
bukti yang mendukung adanya antibodi Streptococcus -hemolyticus Grup A.
Namun, pada pasien dengan periode laten yang lama dari sejak timbulnya
infeksi Streptococcus -hemolyticus Grup A, kadar antibodi kemungkinan telah
menurun hingga kadar normal. Meskipun penyakit akut ini menyedihkan, korea
jarang, bahkan hampir tidak pernah terdapat gejala sisa yang permanen. Korea
syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting
sehingga dapat dianggap sebagai petanda adanya demam rematik meskipun
tidak ditemukan kriteria lain.

4. Eritema Marginatum.
Eritema marginatum merupakan ruam yang jarang (<3% pasien dengan
demam reumatik akut) namun khas pada demam reumatik akut. Ini meliputi lesi
makular, eritematous dan serpiginous (menyebar, progresif) dengan bagian
tengah yang pucat, namun tidak gatal. Terjadi terutama di bagian trunkus dan
12
ekstremitas, tetapi tidak mengenai wajah. Kelainan ini dapat berpindah-pindah
dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain, dapat dicetuskan oleh pemberian
panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor ini hanya ditemukan pada kasus
yang berat.


5. Nodul Subkutan.
Nodul subkutan sangat jarang terjadi (<1% pasien dengan demam
reumatik akut) dan meliputi nodul-nodul keras berdiameter kurang lebih 1 cm
sepanjang permukaan ekstensor dari tendon dekat prominen tulang, pada kulit
kepala serta kolumna vertebralis, tidak terasa nyeri dan mudah digerakan.
Terdapat hubungan secara signifikan antara munculnya nodul-nodul ini dengan
penyakit jantung reumatik.

Manifestasi Minor.
1) Riwayat demam rematik sebelumnya. Ini dapat digunakan sebagai salah satu
kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang
didasarkan pada kriteria objektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam
rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang
penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan
kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.
2) Arthralgia. Arthralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai
peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan
dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri
sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Arthralgia tidak
dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai
kriteria mayor.
3) Demam. Demam pada demem rematik adalah ringan, meskipun ada kalanya
mencapai 39C, terutapa jika terdapat artritis. Manifestasi ini lazim berlangsung
sebagai suatu suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam
merupakan petanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada
13
begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis
banding yang bermakna.
4) Peningkatan kadar reaktan fase akut. Berupa kenaikan laju endap darahm
kadar protein C-reaktif serta leukositosis merupakan indikator non spesifik dari
peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu
ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya
manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga
meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C-
reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada
gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat
meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak
bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat
dipertanyakan.
5) Interval P-R yang memanjang. Biasanya menunjukan adanya keterlambatan
abnormal sistem konduksi pada nodus arterioventrikel dan sering juga dijumpai
pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam
rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan pertanda yang
memadai adanya karditis rematik.
Bukti yang mendukung
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standard
untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi
streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada
orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak pada usia diatas 5 tahun, dan dapat
dijumpai pada sekitar 70-80% kasus demam rematik akut. Infeksi streptokokus juga
dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada
50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun biakan yang negatif tidak dapat
mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut.

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang
14
a. Pemeriksaan Laboratorium
Kultur tenggorokan. Pengambilan sampel dengan cara mengusap kedua tonsil
dan laring bagian posterior kemudian dibiak dalam medium agar darah domba,
untuk melihat adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A. Koloni yang
terbentuk pada medium biakan dapat diperiksa dengan latex agglutination,
florescent antibody assay, koagulasi atau teknik presipitasi untuk membuktikan
adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A. kultur tenggorokan untuk
Streptococcus -hemolyticus grup A biasanya memberikan hasil negatif saat
gejala dari demam reumatik atau penyakit jantung reumatik telah muncul.
Usahakan untuk dapat mengisolasikan bakteri sebelum pemberian terapi
antibiotik untuk membantu mengkonfirmasikan diagnosis faringitis oleh
Streptococcus -hemolyticus grup A dan dapat ditentukan serotip jenis apa jika
berhasil.
7

Rapid antigen detection test. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen dari
Streptococcus -hemolyticus grup A secara cepat, sehingga diagnosis dapat
segera ditegakan dan terapi antibiotik dapat segera diberikan saat pasien masih
berada dikamar pemeriksaan dokter. Spesifisitas dari pemeriksaan ini lebih dari
95%, namun sensitivitasnya hanya 60-90%. Oleh karena itu, pengambilan kultur
tenggorokan dianjurkan.
7

Antibodi antistreptokokus. Tanda-tanda klinik dari demam reumatik dimulai
saat tingkat antibodi antistreptokokus mencapai puncaknya. Oleh karena itu,
pemeriksaan ini berguna untuk mengkonfirmasi apakah sebelumnya pernah
terinfeksi oleh Streptococcus -hemolyticus grup A. Antibodi antistreptokokus
ini terutama berguna pada pasien dengan manifestasi klinis korea karena ini
merupakan satu-satunya tanda diagnostik. Sensitifitas terhadap infeksi yang baru
terjadi dapat ditingkatkan dengan memeriksa beberapa jenis antibodi. Untuk
memeriksa apakah terjadi peningkatan titer antibodi maka pemeriksaan
dilakukan dengan jarak 2 minggu. Antibodi antistreptokokus ekstraseluler yang
paling sering diperiksa adalah antistreptolisin O (ASO) dan anti-Dnase B,
15
antihialuronidase, antistreptokinase, antistreptokokal esterase, dan anti-
nicotinamide adenine dinucleotide (anti-NAD). Tes antibodi terhadap komponen
seluler antigen Streptococcus -hemolyticus grup Ameliputi antistreptococcal
polusaccharide, antiteicholic acid antibody, dan anti-M protein antibody. Secara
umum, antibodi terhadap antigen streptokokus ekstraseluler meningkat selama
bulan pertama setelah infeksi dan membentuk gambaran plateau selama 3-6
bulan sebelum kembali ke kadar normal setelah 6-12 bulan. Saat titer ASO
mencapai puncaknya (2-3 minggu setelah onset demam rematik), sensitifitas
pemeriksaan ini sebesar 80-85%. Anti-Dnase B mempunyai sensitifitas sedikit
lebih tinggi (90%) untuk memastikan demam rematik atau glomerulonefritis
akut. Antihialuronidase pada pasien demam reumatik dengan titer ASO yang
normal sering abnormal, dapat muncul terlebih dahulu, dan menetap lebih lama
dibanding peningkatan titer ASO selama demam reumatik.
Acute-phase reactants: C-reactive protein dan laju endap darah meningkat pada
penderita demam rematik oleh karena proses inflamasi dari penyakit tersebut.
Kedua pemeriksaan ini memiliki sensitifitas yang tinggi namun spesifitas yang
rendah terhadap demam rematik.
Heart reactive antibodies: Tropomiosin meningkat pada penderita dengan
demam rematik akut.
7

Rapid detection test for D8/17: Teknik immunofluorescence ini dapat
mengidentifikasi B-cell marker D8/17 bernilai positif 90% pada penderita
demam rematik dan dapat berguna untuk mengidentifikasi seseorang yang
beresiko terkena demam rematik.
7

b. Pencitraan
Foto thoraks
Kardiomegali, kongesti pulmonal, dan temuan lainnya yang berkaitan
dengan kegagalan jantung terlihat pada foto thoraks seseorang dengan demam
rematik. Saat pasien tersebut demam dan menunjukan distres pernapasan, foto
16
thoraks membantu membedakan antara gagal jantung kongestif dan rematik
pneumonia.

Ekokardiografi
Pada penderita penyakit jantung reumatik akut, ekokardiografi
mengidentifikasi dan menilai insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel.

c. EKG
Sinus takikardi sering ditemukan bersamaan dengan penyakit jantung
rematik. Dapat juga disertai dengan blok jantung derajat I, II atau III. Pada
penderita yang disertai perikarditis akut, akan ditemukan ST elevasi yang
terlihat pada lead II, III, aVF dan V4-V6. Penyakit jantung rematik juga dapat
menyebabkan flutter atrium, takikardi atrium multifokal, atau fibrilasi atrium
dari penyakit katup mitral kronik dan dilatasi atrium. Katerisasi jantung tidak
diindikasikan untuk demam rematik akut.

d. Pemeriksaan Histologi
Pemeriksaa patologi anatomi terhadap katup yang mengalami
insufisiensi dapat ditemukan lesi verrucous pada garis penutupan. Ashcoff bodies
(fokus perivaskuler yang merupakan kolagen eosinofil yang dikelilingi limfosit,
sel plasma, dan makrofag) ditemukan di perikardium, regio perivaskular dari
miokardium, dan endokardium. Ashcoff bodies tampak granulomatous dengan
fokus sentral fibrinoid yang pada akhirnya akan digantikan oleh nodul-nodul
jaringan parut.


2.3.4 Diagnosis
Seperti yang telah dijelaskan diatas, diagnosis demam rematik lazim ditegakan
berdasarkan kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok mayor dan minor yang
pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada
perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart
Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya.
7
17
Tabel 1. Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnosis demam reumatik
Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor,
ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar
menandakan adanya demam rematik. Tanpa dukungan bukti adanya infeksi
streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada
kasus demam reumatik dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham
Kriteria Mayor
Karditis
Poliartritis
Korea
Eritema marginatum
Nodulus subkutan
Kriteria Minor
Klinik
Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya
Artralgia
Demam
Laboratorium
Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C reaktif, laju endap
darah, leukositosis)
Interval P-R yang memanjang
Ditambah
Tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya: kenaikan
titer antistreptolisin O (ASTO) atau antibodi antistreptokokus lainnya, biakan usapan
tenggorokan yang positif untuk streptokokus grup A atau baru menderita demam
skarlatina.
18
atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam reumatik baru muncul
setelah masa laten yang lama dari infeksi streptokokus.

Perlu diingat kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu
pedoman dalam menentukan diagnosis demam reumatik. Kriteria ini bermanfaat untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis
maupun underdiagnosis.

2.3.5 Faktor Ekstrinsik
Faktor DR tersebut juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya
faktor genetik, umur, dan jenis kelamin.
Faktor genetik mempunyai hubungan dengan kejadian DR yaitu dengan
terdapatnya beberapa orang dalam satu keluarga yang menderita penyakit ini, serta fakta
bahawa DR lebih sering mengenai saudara kembar monozigotik oleh reaksi dizigotik.
(Afif A dkk., 1988) Selain itu, PJR termasuk ke dalam penyakit yang dihasilkan oleh
Streptococcus beta hemolitycus grup A. Konsep genetika ini diperkuat oleh penemuan
yang mempergunakan teknologi yang canggih, yaitu bahawa penderita DR ditemukan
antigen HLA (Human Leucocyte Antygen) tertentu.
Umur merupakan faktor predisposisi terpenting tentang timbulnya DR. Penyakit
ini sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8
tahun. Distribusi ini sesuai dengan insidens infeksi streptokokkus pada anak usia
sekolah. Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 100.000 penduduk usia 5-15
tahun. (Suprihati, dkk, 2006) DR lebih sering didapatkan pada anak perempuan
daripada laki-laki. Begitu juga dengan kelainan katup sebagai gejala sisa PJR juga
menunjukkan perbedaan jenis kelamin.
Faktor ekstrinsik, antara lain disebabkan :
1. Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk
Tingkat sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam terjadinya DR. Golongan
masyarakat masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah
dengan manifestasinya, seperti ketidaktahuan, perumahan dan lingkungan yang
buruk, tempat tinggal yang berdesakan, dan pelayanan kesehatan yang kurang
19
baik, merupakan golongan yang paling rawan. Pengalaman di negara-negara yang
sudah maju menunjukkan bahwa angka kejadian DR akan menurun seiring
dengan perbaikan tingkat sosial ekonomi masyarakat negara tersebut. Menurut
penelitian Mbeza, masyarakat yang hidup dengan tingkat sosial ekonomi rendah
memiliki risiko 2,68 kali menderita DR (RR=2,68).
2. Iklim dan Geografi
Penyakit DR ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi daerah
tropis juga mempunyai insidens yang tinggi. Di daerah yang letaknya tinggi
mempunyai insidens DR lebih tinggi daripada di dataran rendah. Perubahan
cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
bagian atas meningkat, sehingga insidens DR juga meningkat. Pada musin hujan
kemungkinan terjadinya PJR 3,24 kali (RR=3,24).

2.4 Pencegahan
2.4.1. Pencegahan Primordial
Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang sehat
supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam penyakit termasuk penyakit jantung.
Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa serta memelihara kesehatan dan kekuatan,
maka diperlukan bimbingan dan latihan supaya dapat mempergunakan tubuh dan jiwa
dengan baik untuk melangsungkan hidupnya sehari-hari.
Cara tersebut adalah dengan menganut suatu cara hidup sehat yang mencakup
memakan makanan dan minuman yang menyehatkan, gerak badan sesuai dengan
pekerjaan sehari-hari dan berolahraga, usaha menghindari dan mencegah terjadinya
depresi, dan memelihara lingkungan hidup yang sehat.

2.4.2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini ditujun kepada penderita DR. Terjadinya DR seringkali
disertai pula dengan adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha pencegahan primer
terhadap PJR Akut sebaiknya dimulai terutama pada pasien anak-anak yang menderita
20
penyakit radang oleh streptococcus beta hemolyticus grup A pada pemeriksaan THT
(telinga,hidung dan tenggorokan), di antaranya dengan melakukan pemeriksaan radang
pada anak-anak yang menderita radang THT, yang biasanya menyebabkan batuk, pilek,
dan sering juga disertai panas badan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman apa yang meyebabkan radang pada
THT tersebut. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti infeksi, termasuk golongan sulfa
untuk mencegah berlanjutnya radang dan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
DR. Pengobatan antistreptokokkus dan anti rematik perlu dilanjutkan sebagai usaha
pencegahan primer terhadap terjadinya PJR Akut.

2.4.3. Pencegahan Sekunder
Pecegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya infeksi
streptococcus beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan tersebut
dilakukan dengan cara, diantaranya :
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah diagnosis
ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin dengan dosis 1,2 juta unit selama
10 hari. Pada penderita yang alergi pada penisilin, dapat diganti dengan
eritromisin dengan dosis maksimum 250mg yang diberikan selama 10 hari.
Hal ini harus tetap dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan negative, kerana
kuman masih ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan faring dan tonsil.
2. Obat anti radang
Pengobatan anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi radang akut
demam rematik, seperti salasilat dan steroid. Kedua obat tersebut sangat efektif
untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi serta fase reaksi akut. Lebih
khusus lagi, salisilat digunakan untuk DR tanpa karditis dan steroid digunakan
untuk memperbaiki keadaan umum anak, nafsu makan cepat bertambah dan laju
endapan darah cepat menurun. Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan
beratnya penyakit.
3. Diet Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada
21
sebagian besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang cukup.
Selain itu diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas, dan
serat untuk menghindari konstipasi. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi
melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa vitamin atau suplemen gizi.
4. Tirah baring Semua pasien DR Akut harus tirah baring di rumah sakit. Pasien
harus diperiksa tiap hari untuk pengobatan bila terdapat gagal jantung. Karditis
hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan, sehingga
pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.

2.4.4. Pencegahan Tertier
Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di mana
penderita akan mengalami kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis mitral,
insufisiensi mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta.











22

Anda mungkin juga menyukai