Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PEMULIAAN HEWAN

PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI POTONG


DENGAN SISTEM PERKAWINAN










OLEH:

Selvia Fujila (125130100111062)
Talitha Rachma U. (125130100111069)
Lucky Retno P. (125130100111072)
Ayu Khairunnisa (125130100111074)
Wulandari (125130100111075)
Rizqiza Andro F. (125130100111077)
Nofa Eka N. (125130101111063)
Febby Ferdina (125130101111)

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun
peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju
peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada tahun 2007 (Direktorat
Jenderal Peternakan 2007). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong
terhadap produksi daging nasional rendah sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar
antara permintaan dan penawaran (Setiyono et al. 2007).
Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor (Direktorat Jenderal
Peternakan 2007). Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging
sapi yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah melakukan impor daging
sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan (Priyanti et al.1998). Kebijakan impor tersebut
harus dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi daging sapi lokal
belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam negeri, baik kuantitas
maupun kualitasnya (Yusdja et al. 2003).
Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu memenuhi permintaan
tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan sapi potong.
Beberapa permasalahan tersebut adalah: 1) usaha bakalan atau calf-cow operation kurang
diminati oleh pemilik modal karena secara ekonomis kurang menguntungkan dan
dibutuhkan waktu pemeliharaan yang lama, 2) adanya keterbatasan pejantan unggul pada
usaha pembibitan dan peternak, 3) ketersediaan pakan tidak kontinu dan kualitasnya
rendah terutama pada musim kemarau, 4) pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri
pertanian sebagai bahan pakan belum optimal, 5) efisiensi reproduksi ternak rendah dengan
jarak beranak (calving interval) yang panjang 6) terbatasnya sumber bahan pakan yang
dapat meningkatkan produktivitas ternak dan masalah potensi genetik belum dapat diatasi
secara optimal serta 7) gangguan wabah penyakit (Suryana, 2009).
Produksi ternak dipengaruhi oleh banyak faktor, yang secara garis besar dapat
dikelompokkan dalam faktor lingkungan dan faktor genetis. Salah satu faktor lingkungan
utama yang mempengaruhi produktivitas ternak adalah berupa pakan, baik kualitas
maupun kuantitas. Kualitas pakan akan mempengaruhi sistem pencernaan dan
metabolisme. Disamping itu, masing-masing individu ternak memiliki sistem pencernaan
dan sistem metabolisme yang diatur secara genetis, yang antara individu satu dengan
individu lain dalam populasi terdapat variasi. Variasi genetis inilah yang kemudian
dijadikan dasar dalam pemuliaa. Keragaman individu (terutama variasi genotip) memegang
peranan penting dalam pemuliabiakan ternak. Jika dalam suatu populasi ternak tidak ada
variasi genotip, maka tidak ada gunanya menyeleksi ternak bibit. Semakin tinggi variasi
genotip didalam populasi, semakin besar perbaikan mutu bibit yang diharapkan. Populasi
ternak yang memiliki keragaman genetik rendah crossbreeding ataupun outcrossing akan
sangat bermanfaat untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Sebaliknya, apabila
keragaman genetik suatu populasi sangat tinggi maka upaya peningkatan mutu genetik
ternak sebaiknya dilakukan melalui program seleksi yang ketat sehingga kemajuan genetik
yang diperoleh akan lebih besar . Di Indonesia usaha untuk menyeleksi dan menyingkirkan
sapi-sapi yang kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara hampir tidak pernah
dilakukan. Hal semacam ini disamping kurang menguntungkan dari segi ekonomi, juga
dapat memperburuk keturunan-keturunan berikutnya (Ngaji Utomo, 2011).
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sapi potong adalah
dengan mendatangkan sapi dari Eropa (Bos taurus) seperti Limousine, Simmetal, dan
Brahman. Di Jawa, sapi-sapi tersebut banyak yang dikawinsilangkan (crossing) dengan
sapi Peranakan Ongole (PO) yang menghasilkan sapi PO vs Limousine (Rianto et al.
2005).
Alasan pentingnya peningkatan populasi sapi potong dalam upaya mencapai
swasembada daging antara lain adalah: 1) subsektor peternakan berpotensi sebagai sumber
pertumbuhan baru pada sektor pertanian, 2) rumah tangga yang terlibat langsung dalam
usaha peternakan terus bertambah, 3)tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai
daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan
perekonomian regional, dan 4) mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai
penyedia bahan pangan maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan
meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan (Kariyasa, 2005). Oleh karena itu,
potensi sapi potong perlu dikembangkan, terutama untuk meningkatkan kontribusinya
dalam penyediaan daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa sajakah teknik perkawinan sapi potong?
1.2.2 Bagaimana pengaruh sistem perkawinan terhadap peningkatan mutu genetik
sapi potong?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui berbagai macam teknik manajemen perkawinan sapi potong.
1.3.2 Mengetahui pengaruh sistem perkawinan terhadap peningkatan mutu genetik
sapi potong.

1.4 Manfaat
Dapat mengetahui berbagai macam teknik manajemen perkawinan serta pengaruh
sistem perkawinan terhadap peningkatan mutu genetik sapi potong.


























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teknik Manajemen Perkawinan Sapi Potong
Teknik manajemen perkawinan sapi potong dapat dilakukan dengan menggunakan
(1) Intensifikasi kawin alam (IKA) dengan pejantan terpilih, (2) teknik inseminasi buatan
(IB) dengan semen beku (frozen semen) dan (3) teknik IB dengan semen cair (chilled
semen).
2.1.1 Intensifikasi kawin alam (IKA)
Upaya peningkatan populasi ternak sapi dapat dilakukan dengan
intensifikasi kawin alam melalui distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa
sapi lokal atau impor dengan empat manajemen perkawinan, yakni: (a) perkawinan
model kandang individu, (b) perkawinan model kandang kelompok/umbaran, (c)
perkawinan model rench (paddock) dan (d) perkawinan model padang pengembalaan
(angonan). Pejantan yang digunakan berasal dari hasil seleksi sederhana, yaitu
berdasarkan penilaian performans tubuh dan kualitas semen yang baik, berumur lebih
dari dua tahun dan bebas dari penyakit reproduksi (Brucellosis, Leptospirosis, IBR
(Infectious Bovine Rhinotracheitis) dan EBL (Enzootic Bovine Leucosis).
Untuk seleksi induk diharapkan memiliki deskriptif sebagai berikut:
1) induk dereman/manaan (nahunan), yakni dapat beranak setiap tahun,
2) skor kondisi tubuh 5-7,
3) badan tegap, sehat dan tidak cacat,
4) tulang pinggul dan ambing besar, lubang pusar agak dalam dan
5)Tinggi gumba > 135 cm dengan bobot badan > 300 kg.

2.1.1.1 Perkawinan di kandang invidu (sapi diikat)
Kandang individu adalah model kandang dimana setiap ekor sapi
menempati dan diikat pada satu ruangan; antar ruangan kandang individu
dibatasi dengan suatu sekat. Kandang invidu di peternak rakyat, biasanya
berupa ruangan besar yang diisi lebih dari satu sapi, tanpa ada penyekat
tetapi setiap sapi diikat satu persatu. Model Perkawinan kandang individu
dimulai dengan melakukan pengamatan birahi pada setiap ekor sapi induk
dan perkawinan dilakukan satu induk sapi dengan satu pejantan (kawin
alam) atau dengan satu straw (kawin IB). Biasanya kandang individu yang
sedang bunting beranak sampai menyusui pedetnya.
Pengamatan birahi dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan
sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung dengan tanda-tandan
estrus. Apabila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan apabila birahi
sore dikawinkan pada besuk pagi hingga siang. Persentase kejadian birahi
yang terbanyak pada pagi hari. Setelah 6-12 jam terlihat gejala birahi, sapi
induk dibawa dan diikat ke kandang kawin yang dapat dibuat dari besi atau
kayu, kemudian didatangkan pejantan yang dituntun oleh dua orang dan
dikawinkan dengan induk yang birahi tersebut minimal dua kali ejakulasi.
Setelah 21 hari (hari ke 18-23) dari perkawinan, dilakukan
pengamatan birahi lagi dan apabila tidak ada gejala birahi hinggga dua
siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan sapi induk tersebut berhasil
bunting. Untuk meyakinkan bunting tidaknya, setelah 60 hari sejak
dikawinkan, dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan
palpasirektal, yaitu adanya pembesaran uterus seperti balon karet (10-16
cm) dan setelah hari ke 90 sebesar anak tikus. Induk setelah bunting tetap
berada dalam kandang individu hingga beranak, namun ketika beranak
diharapkan induk di keluarkan dari kandang individu selama kurang lebih 7-
10 hari dan selanjutnya dimasukkan ke kandang invidu lagi.

2.1.1.2 Perkawinan di kandang kelompok
Kandang terdiri dari dua bagian, yaitu sepertiga sampai setengah
luasan bagian depan adalah beratap/diberi naungan dan sisanya di bagian
belakang berupa areal terbuka yang berpagar sebagai tempat pelombaran.
Ukuran kandang (panjang x lebarnya) tergantung pada jumlah ternak yang
menempati kandang, yaitu untuk setiap ekor sapi dewasa membutuhkan
luasan sekitar 20 30 m2.
Bahan dan alatnya: dibuat dari semen atau batu padas, dinding
terbuka tapi berpagar, atap dari genteng serta dilengkapi tempat pakan,
minum dan lampu penerang.
Kapasitas kandang dapat berisi satu ekor pejantan dengan 10 ekor
induk (1:10) dengan pemberian pakan sesuai kebutuhan secara bersama-
sama sebanyak dua kali sehari, yaitu pada waktu pagi dan sore hari.
Manajemen perkawinan model kandang kelompok dapat dilakukan oleh
kelompok tani atau kelompok perbibitan sapi potong rakyat yang memiliki
kandang kelompok usaha bersama (cooperate farming system) dengan
tahapan sebagai berikut:
Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak (partus) diletakkan
pada kandang khusus, yakni di kandang bunting dan atau menyusui
Setelah 40 hari induk dipindahkan ke kandang kelompok dan dicampur
dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 10 ekor betina
(induk atau dara) dan dikumpulkan menjadi satu dengan pejantan dalam
waktu 24 jam selama dua bulan.
Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan
kebuntingan (PKB) dengan cara palpasi rectal terhadap induk-induk sapi
tersebut (perkawinan terjadi secara alami tanpa diketahui yang
kemungkinan pada malam hari atau waktu tertentu yang tidak diketahui
Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok tersebut dan
diganti dengan sapi yang belum bunting atau hasil pemeriksaan
kebuntingan dinyatakan negatif.

2.1.1.3 Perkawinan model mini rench (paddock)
Bahan dan alat berupa ren berpagar 30 x 9 M2 yang dilengkapi
dengan tempat pakan dan minum beralaskan lantai paras dan berpagar serta
dilengkapi juga tempat pakan berupa hay, diantaranya jerami padi kering
atau kulit kedele kering.
Manajemen perkawinan model ren dapat dilakukan oleh kelompok
perbibitan sapi potong rakyat yang memiliki areal ren berpagar pada
kelompok usaha bersama (cooperate farming system) seperti di daerah
Indonesia Bagian Timur dengan tahapan sebagai berikut:
Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak (partus) diletakkan
pada kandang khusus, yakni di kandang individu (untuk induk bunting
dan atau menyusui)
Setelah 60 hari induk dipindahkan ke areal rench (paddock) dan
dicampur dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 30
ekor betina (induk atau dara) dan dikumpulkan dengan satu pejantan
dalam sepanjang waktu (24 jam) selama dua bulan;
Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan
kebuntingan dengan cara palpasi rektal terhadap induk sapi (perkawinan
terjadi secara alami tanpa diketahui yang kemungkinan pada malam hari
atau waktu tertentu yang tidak diketahui)
Pergantian pejantan dilakukan setiap setahun sekali guna menghindari
kawin keluarga (inbreeding);
Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok tersebut dan
diganti dengan sapi yang belum bunting atau hasil PKB dinyatakan
negatif.

2.1.1.4 Perkawinan model padang pengembalaan (angonan).
Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya
dekat hutan/perkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan
kandang kecil berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air
minum terutama pada saat musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat
hutan atau Indonesia Bagian Timur.
Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh
petani atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat
dengan perkebunan atau kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan
Kalimantan dengan tahapan sebagai berikut:
Induk bunting tua maupun setelah beranak (partus) tetap langsung
diangon bersama pedetnya
Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dipisah untuk diamati
keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut
birahi maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan
ditaruh dikandang dekat rumah.
Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke
hutan atau padang angonan
Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna
menghindari kawin keluarga (inbreeding).
Sapi induk yang positif bunting tua (akan beranak) sebaiknya dipisah
dari kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan
yang dekat dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan
tambahan berupa konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi
induk pasca beranak.

2.1.2 Teknik kawin IB dengan semen beku
Teknologi IB menggunakan semen beku pada sapi potong telah digunakan
sejak belasan tahun silam dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
ternak sapi melalui penggunaan pejantan pilihan dan menghindari penularan penyakit
atau kawin sedarah (inbreeding). Selama ini pelaksanaan teknologi IB di lapangan
masih mengalami beberapa hambatan, antara lain S/C > 2 dan angka kebuntingan
60%, sehingga untuk meningkatkan populasi dan mutu sapi potong serta guna
memperluas penyebaran bakalan sapi potong, diperlukan suatu petunjuk praktis
tentang manajemen IB mengunakan semen beku mulai dari penanganan ketika straw
beku dalam kontener hingga akan disuntikan/Idi-IB-kan ke sapi induk, termasuk cara
thawing dan waktu IB; dengan harapan dapat memperbaiki manajemen perkawinan
melalui pelaksanaan IB yang selama ini sering menimbulkan permasalahan di tingkat
peternak maupun inseminator. Dengan adanya petunjuk tentang manajemen IB
diharapkan dapat menambah tingkat keterampilan inseminator dan pengalaman
peternak sehinggga tingkat kebuntingan ternak dapat dicapai secara optimal dan
tahapan teknik ini perlu diinformasikan kepada pengguna seperti petani peternak,
inseminator dan kelompok peternak.
Tahapan teknik manajemen IB dengan menggunakan semen beku yang
perlu dilakukan meliputi:
2.1.2.1 Penanganan semen beku dalam kontener
Penanganan semen beku dalam kontener merupakan suatu faktor
yang sangat penting guna mencegah kematian sperma atau mencegah
kualitas straw tetap baik dan bisa digunakan untuk IB pada sapi induk.
Manajemen handling straw beku ketika dalam kontener meliputi:
Semen beku di dalam kontener harus selalu terisi N2 cair dan straw
terendam dalam N2 cair tersebut yang jaraknya minimal > 15 cm dari
dasar kontener
Setiap seminggu sekali dilakukan pengecekan N2 cair dalam kontener
dengan cara memasukkan penggaris plastik warna hitam atau kayu ke
dalam kontener yang langsung diangkat, sehingga akan nampak bekas
N2 berwarna putih pada penggaris tersebut
Pengambilan straw dalam kontener tidak boleh melebihi tinggi leher
kontener dan hindarkan sinar matahari langsung ketika mengambil straw
dari dalam kontener
Straw beku setelah dithawing diharapkan tidak perlu dikembalikan ke
dalam kontener lagi karena kualitas akan menurun dan mengalami
kematian sperma.

2.1.2.2 Cara thawing dan waktu IB
Salah satu keberhasilan kebuntingan sapi induk yang diinseminasi
(kawin suntik) selain kualitas semen adalah faktor thawing dan waktu IB.
Cara dan pelaksanaan thawing dan waktu IB yang tepat untuk semen beku
yang kemungkinan besar dapat berhasil dengan baik adalah sebagai berikut:
Merendam straw yang berisi semen beku ke dalam air hangat suhu 37,5
oC dalam waktu 25-30 detik atau dapat pula menggunakan air sumur
atau air ledeng pada suhu 25-30 C selama kurang dari satu menit
memperoleh nilai PTM > 40 %
Apabila menggunakan air es waktu lebih lama, yakni sampai tampak
adanya gelembung udara pada straw; yang selanjutnya segera
diinseminasikan ke induk yang sedang birahi.
Waktu pelaksanaan IB yang ideal adalah 10-22 jam setelah awal terlihat
gejala birahi induk, yakni bila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan
bila birahi sore hari dapat dikawinkan pada besuk paginya.

2.1.2.3 Pelaksanan IB di lapang.
Setelah terlihat induk sapi birahi dengan tanda-tanda birahi, yakni:
(1) terlihat vulvanya dengan istilah 3 A (abang aboh dan angat),
(2) keluar lender dari vagina,
(3) gelisah (menaiki api lain atau kandang),
(4) vulva bengkak dan hangat warna kemeahan,
(5) keluar air mata dan
(6) dinaiki pejantan atau sapi lain diam saja. Selanjutnya induk sapi
ditempatkan pada kandang kawin dari bambu atau besi dengan tahapan
sebagai berikut:
Feses sapi dikeluarkan dari lubang rectum melalui lubang anus dengan
tangan kanan
Vulva dibersihkan dengan kain basah dan di desinfektan dengan cara
mengusapkan kapas berisi alkohol 70 %
Straw berisi semen beku setelah dimasukkan air (thawing), dimasukkan
ke dalam peralatan kawin suntik (AI Gun) dan secara perlahan
dimasukkan kedalam vagina induk sapi
Sambil memasukkan straw ke dalam uterus; dilakukan pula palpasi
rektal ke dalam rektum guna membantu masuknya gun ke uterus (1 cm
dari servik)
Semen di dalam straw disemprotkan kedalam cornua uteri (posisi 4 +),
kemudian secara perlahan gun ditarik sambil memijat cervik dan vagina
dengan tangan kiri
Setelah selesai, semua peralatan IB dibersihkan dan dilakukan rekording
dengan kartu IB guna memudahkan pencatatan selanjutnya.

2.1.3 Teknik kawin IB dengan semen cair
Teknolgi alternatif yang dapat digunakan untuk prosesing semen sapi
potong dalam membantu pengembangan program IB secara cepat dan mudah
dikerjakan di lapang, secara industri maupun kelompok (cooperate farming) dapat
menggunakan teknologi semen cair (chilled semen). Teknolgi semen cair dapat
dibuat dengan bahan pengencer dan peralatan yang sederhana serta mudah diperoleh.
Bahan pengencer dapat berasal dari air kelapa muda atau tris-sitrat dengan kuning
telur ayam dan dapat disimpan di dalam cooler/kulkas dengan suhu 5oC selama 7-10
hari. Hasil penelitian uji semen cair di lapang oleh staf peneliti Lolit Sapi Potong
menunjukkan nilai post thawing motility (PTM) > 40 % dengan service/conception
(S/C) < 1,5 dan tingkat kebuntingan (conception rate/CR) >70 %. Semen cair
(chilled semen) pada sapi potong merupakan campuran antara cairan semen dengan
spermatozoa dalam bentuk segar yang ditampung menggunakan vagina buatan ;
selanjutnya ditambahkan larutan pengencer tertentu (air kelapa dan kuning telur)
sebagai bahan energi/daya hidup spermatozoa. Semen cair ini dapat disimpan atau
dapat langsung digunakan pada sapi potong atau jenis sapi lainnya melalui kawin
suntik (inseminasi buatan/IB).
Tehnologi semen cair ini diharapkan mampu memberikan alternative
pengembangan wilayah akseptor IB yang belum terjangkau oleh IB semen beku atau
IB semen bekunya belum maju. Di samping itu, biaya pembuatan semen cair lebih
murah dan dapat dikerjakan oleh Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) maupun
kelompok peternak yang sudah maju (mainded).
Dalam rangka penyebaran informasi bidang reproduksi ternak khususnya
sapi potong. Penanganan manajemen IB dengan semen cair meliputi:
2.1.3.1 Cara menyimpanan semen cair pada suhu dingin,
Setelah semen segar diproses menjadi semen cair melalui petunjuk
teknis pembuatan semen cair pada sapi potong, selanjutnya dilakukan
penyimpanan semen cair dengan
cara sebagai berkut:
Siapkan peralatan penyimpan straw berupa termos yang telah diisi dengan
es batu secukupnya;
Straw berisi semen cair dapat disimpan dalam tabung reaksi kemudian
masukkan dalam thermos;
Usahakan suhu dingin (5oC) dalam termos sehingga semen cair dapat
berahan 7-10 hari.
Termos disimpan dalam ruangan yang terhindar dari sinar mataharisecara
langsung.
Kontrol suhu dan es batu dalam termos setiap hari dan setiap selesai
mengambil straw.
2.1.3.2 pelaksanaan IB di lapang.
Setelah terlihat tanda-tanda birahi induk sapi ditempatkan pada
kandang kawin dari bambu atau besi dengan tahapan sebagai berikut:
Siapkan semen cair dan peralatan IB yang akan digunakan;
Straw berisi semen cair dimasukkan ke dalam peralatan kawin suntik (AI
Gun) secara pelan-pelan;
Lakukan eksplorasi rektal untuk meraba organ reproduksi induk sehingga
IB dapat dilakukan dengan mudah;
Feses dikeluarkan dari lubang rectum melalui lubang anus dengan tangan
kanan;
Vulva dibersihkan dengan kain lap basah dan didesinfektan dengan cara
mengusapkan kapas berisi alkohol 70 %;
Apabila servic uteri sudah terpegang, masukkan gun melalui vulva dorong
terus sampai melewati servic dan masuk ke dalam corpus uteri (1 cm dari
servik);
Semen di dalam straw disemprotkan kedalam cornua uteri secara perlahan
ditarik gun sambil memijat cervik dan vagina dengan tangan kiri.

2.2 Pengaruh Sistim Perkawinan Terhadap Peningkatan Mutu Genetik Sapi Potong
Peningkatan mutu genetik melalui sistem perkawinan dapat dilakukan dengan
sistem persilangan. Sistem perkawinan yang paling banyak digunakan dalam penerapan
pemuliaan ternak. Alasan menggunakan sistem ini ialah karena dapat digunakan untuk
menghasilkan efek heterosis. Persilangan (Cross breeding), didefinisikan sebagai
perkawinan hewan yang berbeda bangsanya. Persilangan bisa mempunyai total efisiensi
yang lebih besar sebesar 15 25 % dibandingkan dengan tetuanya, yaitu pada tingkat
produksi, perkembangan anak, tingkat pertumbuhan dan konversi makanan. Persilangan
antara PO dengan Simental disebut juga persilangan dua bangsa berbeda. Persilangan
biasanya menggunakan bangsa sapi yang telah diketahui kemampuan produksi dan
reproduksinya, adaptif terhadap sumber pakan yang tersedia, sesuai dengan permintaan
pasar dan kondisi lingkungan lainnya (Yanhendri, 2007).
Persilangan dengan menggunakan bangsa yang berbeda dengan karakteristik yang
saling melengkapi, biasanya akan menghasilkan sistim produksi dengan efisiensi dan
tingkat keuntungan yang lebih besar. Hal ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk
menggunakan bangsa yang lebih kecil dengan reproduksi dan sifat keibuan yang baik dan
bangsa yang besar dengan pertumbuhan yang baik dan karkas yang baik. Perkembangan
persilangan ini sangat pesat di Amerika Serikat dan Australia, dimana pada awalnya
dilakukan antara sesama Bos taurus, baik persilangan sesama sapi tipe potong ataupun tipe
potong dengan tipe perah. Namun kemudian berkembang dengan pemanfaatan sapi-sapi
Bos indicus terutama Brahman dan sapi-sapi jenis Zebu Lainnya, persilangan seperti ini
juga berkembang dengan pesat pada negara-negara berkembang . Lebih banyak produsen
daging menggunakan program persilangan untuk mendapatkan keuntungan dari heterosis
dalam hubungannya dengan peningkatan genetik. Heterosis merupakan hasil persilangan
dimana keturunan yang dihasilkan mempunyai rata-rata produksi yang lebih baik
dibandingkan rata-rata produksi tetuanya (Yanhendri, 2007).
Ketika dua bangsa sapi disilangkan, anak yang lahir dinamakan F1 yang
mempunyai masing-masing setengah gen dari kedua tetuanya. F1 mempunyai kandungan
darah 50 % berasal dari induk dan 50 % berasal dari jantan. F2 merupakan hasil
persilangan dari F1, dapat menggunakan metode Back cross ataupun Criss cross . F2 akan
mempunyai komposisi darah 25% berasal dari bangsa induk awal dan 75% berasal dari
bangsa pejantan awal. Persilangan untuk produksi F1 atau yang lebih dikenal dengan
persilangan terminal banyak dilakukan pada ternak sapi potong.
Tujuan sistem persilangan ini adalah menggambarkan sifat-sifat baik dan
memanfaatkan sejauh mungkin efek heterosis atau hybrid vigor yang timbul pada F1 atau
hewan-hewan hasil persilangan bangsa berbeda. Heterosis timbul sebagai akibat
heterosigositas yang terjadi dalam hewan silangan dan tampak sebagai meningkatnya sifat
produksi yang lebih tinggidari rata-rata produksi kedua bangsa yang disilangkan .
2.2.1 Perkawinan silang Terminal :
2.2.1.1 Sistem perkawinan Silang Terminal (Terminal Crossbreeding)
Memanfaatkan persilangan rotasi untuk setengah ternak muda dari
kawanan ternak betina sebagi generasi pengganti.
Sapi-sapi yang lebih tua disilangkan untuk mendapatkan sire terminal .
Semua keturunan dijual (memaksimalkan heterosis)
Meningkatkan (berat badan) ternak sapi yang akan dijual.
2.2.1.2 Metode Sistem Kawin Silang Terminal (Terminal Crorssbreeding)
Bentuk paling sederhana dari persilangan adalah persilangan
terminal. Dalam sistem ini, keturunan semua dipasarkan, sehingga
diperlukan untuk membeli betina pengganti. Jika betina pengganti F1
(betina yang memiliki kekuatan 100 % hybrid untuk sifat-sifat keibuan)
yang dibeli dan dibesarkan untuk sapi jantan dari jenis yang berbeda, baik
sapi dan anak sapi mengambil keuntungan dari heterosis maksimum. Sistem
ini juga memungkinkan fleksibilitas dalam memilih bangsa untuk
digunakan.Penggantian betina dapat diperoleh yang terdiri dari bibit sapi
maternal dan dibesarkan untuk sapi yang memiliki pertumbuhan
tinggi. Sistem ini merupakan tipe yang optimal dari berbagai peternak
sapi. Alur bahkan lebih sederhana dari sistem ini hanya menggunakan dua
keturunan. Sapi jantan dari breed A dibiakkan untuk betina dari breed B
untuk menghasilkan keturunan F1 AB. Keturunan ini akan menunjukkan
heterosis maksimum, tetapi bila betina yang dihasilkan sapi ini tidak
dipersilangkan, keturunan tidak dapat memperoleh bagian dari setiap
heterosis induknya.



Diagram Persilangan Terminal (Terminal Cross) pada Sapi Potong
2.2.1.3 Kelemahan dari Persilangan Terminal (Terminal Cross)
Kelemahan dari sistem perkawinan terminal adalah bahwa sistem
ini perlu didukung oleh peternakan pembibitan yang harus menyediakan
sapi-sapi betina dan jantan dari bangsa yang akan disilangkan. Jika pada
persilangan antara dua bangsa yang sama keunggulannya maka efek
heterosis yang diharapkan tidak cukup besar maka peternakan secara murni
akan lebih efisien. Sebaliknya pada persilangan antara bangsa ternak unggul
dengan bangsa lokal yang berformans rendah maka F1 yang timbul
biasanya sudah menunjukkan peningkatan prestasi sampai 100% di atas
bangsa lokal, sehingga heterosis tidak terlalu penting artinya.








BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah pemuliaan hewan ini dapat disimpulkan bahwa teknik manajemen
perkawinan pada sapi potong ada tiga yaitu Intensifikasi kawin alam (IKA) dengan
pejantan terpilih, teknik inseminasi buatan (IB) dengan semen beku (frozen semen) dan
teknik IB dengan semen cair (chilled semen). Selain itu peningkatan mutu genetik melalui
sistem perkawinan dapat dilakukan dengan sistem persilangan. Sistem perkawinan
merupakan sistem yang paling banyak digunakan dalam penerapan pemuliaan ternak.
Sistem perkawinan ini banyak digunakan karena dapat menghasilkan efek heterosis.
Persilangan (Cross breeding) merupakan perkawinan hewan yang berbeda bangsanya.
Persilangan bisa mempunyai total efisiensi yang lebih besar antara 15 25 %.

3.2 Saran
Setelah dibuatnya makalah ini, diharapkan kritik maupun saran untuk penulis yang
bersifat membangun untuk kedepannya dari para pembaca, agar nantinya dapat lebih baik
lagi dalam menulis dan membuat makalah.

















DAFTAR PUSTAKA
Affandhy, Lukman, Dicky M. Dikman dan Aryogi . 2007. Petunjuk Teknis Manajemen
Perkawinan Sapi Potong. Grati ; Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan,
Jakarta.
Ngaji Utomo, B. 2011. Keragaman Fenotip Dan Genetik, Profil Reproduksi Serta Strategi
Pelestarian Dan Pengembangan Sapi Katingan Di Kalimantan Tengah. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.

Priyanti, A., T.D. Soedjana, R. Matondang, dan P. Sitepu. 1998. Estimasi Sistem
Permintaan Dan Penawaran Daging Sapi Di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 3(2): 7177.
Rianto, E., Nurhidayat, dan A. Purnomoadi.2005. Pemanfaatan Protein Pada Sapi
Peranakan Ongole Dan Sapi Peranakan Ongole x Limousine Jantan Yang Mendapat
Pakan Jerami Padi Fermentasi Dan Konsentrat. J.lndon. Trop. Anim. Agric. 30(3):
186191.
Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat,dan R. Syarief. 2007. Strategi Suplementasi
Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami Dan Dedak Padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Peternakan 30(3): 207217.
Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis
Dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian 28 (1).
Yanhendri. 2007. Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 Dan F2 Simental Serta
Hubungannya Dengan Kadar Hormon Esterogen Dan Progesteron Pada Dataran Tinggi
Sumatra Barat. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil Dan Permasalahan Peternakan.
Forum Penelitian Agro-Ekonomi 21(1): 4556.

Anda mungkin juga menyukai