Anda di halaman 1dari 34

STATUS PASIEN

Tanggal masuk rumah sakit : 14 Oktober 2013 Pukul 13.10 WIB


Tanggal pemeriksaan : 16 Oktober 2013 Pukul 14.20 WIB

ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama : R.S
Usia : 10 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jati Agung Lampung Selatan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
Agama : Islam
No. MR : 324207

ANAMNESIS (auto-alloanamnnesis), 16 Oktober 2013
Keluhan Utama: Digigit ular pada punggung kaki kanan dekat jari kelingking
Keluhan Tambahan : mual, muntah dan demam

Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang dengan keluhan digigit ular pada punggung kaki kanan dekat jari
kelingking 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Peristiwa ini terjadi saat pasien sedang duduk
di atas terpal sambil menonton televisi di rumahnya, pasien tidak mengetahui bahwa di bawah
terpal tersebut terdapat ular. Ketika itu pasien langsung terkejut dan merasakan kesakitan pada
punggung telapak kaki dan melihat tanda berupa dua titik bekas gigitan ular, bengkak dan
kemerahan. Pasien juga merasa lemas, mata berkuang-kunang dan mual. Keluhan rasa keram
pada seluruh tubuh, berkeringat, menggigil ataupun mengeluarkan air ludah yang banyak tidak
ada. Keluarga pasien melihat jenis ular tersebut yaitu jenis ular yang kepalanya menyerupai
sendok. Sebelum dibawa kerumah sakit pasien diberi pertolongan dengan cara menghisap bisa
ular menggunakan mulut dari anggota keluarga yang lain.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit keturunan tertentu seperti sakit
jantung, darah tinggi, sakit maag, kencing manis, alergi ataupun asam urat.
Kesan: tidak memiliki riwayat penakit keturunan tertentu

STATUS PRESENT
A. STATUS UMUM
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Kulit : sawo matang

B. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 127 x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 25x/menit, teratur, kedalaman cukup, retraksi (-)
Suhu : 38,2 C (per axiler)






Pemeriksaan fisik per sistem
Sistem Deskripsi
Kulit Tidak di dapatkan pucat, sianosis, ikterus, perdarahan maupun oedem umum.
Turgor kulit baik, lemak sub kutan cukup
Kepala Normocephal
Rambut Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata Konjungtiva anaemis, mata cekung (-), tidak ada edema palpebra, sklera
ikterik (-), pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+)
Hidung Tidak ada napas cuping hidung, tidak ditemukan sekre dan tidak didapatkan
deviasi septum
Telinga Bentuk normal, simetris, liang lapang dan tidak terdapat sekret
Mulut Bibir kering
Leher Kaku kuduk tidak ada, bentuk simetris, tidak didapatkan deviasi trakea,
pembesaran KGB (-) dan JVP tidak meningkat
Dada Simetris pada keadaan statis maupun dinamis.
Paru - Inspeksi : Hemithoraks sinistra = dextra pada keadaan statis maupun
dinamis.
- Palpasi : Fremitus vokal sinistra = dextra, fremitus taktil sinistra =
dextra
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler (+)/(+), suara napas
tambahan (-)/(-)
Jantung Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar bising (murmur) ataupun irama
derap (gallop).
Abdomen - Inspeksi : Datar
- Palpasi : Lemas, hepar tak teraba membesar, limpa tak teraba
membesar, tidak teraba massa, nyeri tekan epigastrium (+)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus 6x/menit
Genitalia Tidak diperiksa (tidak ada indikasi)
Ekstremitas - Ekstremitas atas : Pucat (-), eritema palmaris (-), nyeri otot dan sendi (-), edema (-)
- Ekstremitas bawah : Tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan,
pucat (-),eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan 14-10-2013
Hematologi Kimia Darah
Hb (g/dL) 14,7
Leukosit (/L) 22.000
Hitung jenis (%)* 0/0/0/75/17/8
LED (mm/jam) 4
Natrium (mmol/l)
Kalium (mmol/l)
Kalsium (mmol/l)
Chlorida (mmol/l)
139
3,7
9,2
109
Masa perdarahan
(menit)
2
Masa pembekuan
(menit)
10
SGPT 33
SGOT 17
*basofil/eosinofil/bat
aang/sesegmen/limfo
sit/monosit

Resume
Pasien laki-laki usia 10 tahun datang dengan keluhan digigit ular pada punggung
kaki kanan dekat jari kelingking 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Peristiwa ini terjadi
saat pasien sedang duduk di atas terpal sambil menonton televisi di rumahnya, pasien tidak
mengetahui bahwa di bawah terpal tersebut terdapat ular. Ketika itu pasien langsung terkejut dan
merasakan kesakitan pada punggung telapak kaki dan melihat dua tanda bekas gigitan ular,
bengkak dan kemerahan. Pasien juga merasa lemas, mata berkuang-kunang dan mual. Keluhan
rasa keram pada seluruh tubuh, berkeringat, menggigil ataupun mengeluarkan air ludah yang
banyak tidak ada. Keluarga pasien melihat jenis ular tersebut yaitu jenis ular yang kepalanya
menyerupai sendok. Sebelum dibawa kerumah sakit pasien diberi pertolongan dengan cara
menghisap bisa ular menggunakan mulut dari anggota keluarga yang lain
Tanda vital
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 127 x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 25x/menit, teratur, kedalaman cukup, tidak tampak retraksi
Suhu : 38,2 C (per axiler)

Pemeriksaan fisik
Pada ekstremitas bawah tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan, pucat (-),
eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+)

Diagnosis kerja
Vulnus morsum ular





Penatalaksanaan
IVFD RL gtt X
Anti bisa ular 2 vial @ 5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% 40-80
tetes/menit
Ceftriaxon 2 x 750mg
Ranitidin 3 x 50mg
Ketorolac 1 x 15mg
Paracetamol 3 x 250mg
ATS 750 IU intra muskular

Pemantauan selama perawatan (14 Oktober 2013 17 Oktober 2013)
Senin, 14 Oktober 2013
S Demam (+), mual (+), bengkak pada kaki kanan (+)
O Keadaan Umum
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan : tampak sakit sedang
Laju nadi: 110 kali per menit, teratur, isi cukup
Laju napas: 23 kali per menit tanpa retraksi atau napas cuping hidung
Suhu tubuh: 38,3
o
C

Keadaan Spesifik
- Thorax: pergerakan simetris, perkusi sonor, suara napas dasara vesikuler
(+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-)
- Abdomen: datar, hepar tak teraba membesar, limpa tak teraba membesar,
tidak teraba massa, bising usus normal
- Ekstremitas bawah : tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan,
pucat (-),eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+)
A Vulnus morsum ular
P IVFD RL gtt X
Anti bisa ular 1 x 1gr
Ceftriaxon 2 x 750mg
Ranitidin 3 x 50mg
Ketorolac 1 x 15mg
Paracetamol 3 x 250mg

Rabu, 16 Oktober 2013
S Demam (+), mual (+), bengkak pada kaki kanan (+)
O Keadaan Umum
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan : tampak sakit sedang
Laju nadi: 128 kali per menit, teratur, isi cukup
Laju napas: 25 kali per menit tanpa retraksi atau napas cuping hidung
Suhu tubuh: 38,2
o
C

Keadaan Spesifik
- Thorax: pergerakan simetris, perkusi sonor, suara napas dasara vesikuler
(+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-)
- Abdomen: datar, hepar tak teraba membesar, limpa tak teraba membesar,
tidak teraba massa, bising usus normal
- Ekstremitas bawah : tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan,
pucat (-),eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+)

Pasien disarankan konsul ke spesialis bedah
A Vulnus morsum ular
P IVFD RL gtt X
Anti bisa ular 1 x 1gr
Ceftriaxon 2 x 750mg
Ranitidin 3 x 50mg
Ketorolac 1 x 15mg
Paracetamol 3 x 250mg

Kamis, 17 Oktober 2013
S Demam (+), mual (+), bengkak pada kaki kanan (+)
O Keadaan Umum
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan : tampak sakit sedang
Laju nadi: 113 kali per menit, teratur, isi cukup
Laju napas: 20 kali per menit tanpa retraksi atau napas cuping hidung
Suhu tubuh: 38,3
o
C

Keadaan Spesifik
- Thorax: pergerakan simetris, perkusi sonor, suara napas dasara vesikuler
(+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-)
- Abdomen: datar, hepar tak teraba membesar, limpa tak teraba membesar,
tidak teraba massa, bising usus normal
- Ekstremitas bawah : tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan,
pucat (-),eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+)
A Vulnus morsum ular
P IVFD RL gtt X
Anti bisa ular 1 x 1gr
Ceftriaxon 2 x 750mg
Ranitidin 3 x 50mg
Ketorolac 1 x 15mg
Paracetamol 3 x 250mg



ANALISA KASUS

1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan autoanamnesis maupun alloanamnesis
kepada orang yang melihat kejadian. Anamnesis pada kasus gigitan ular dapat
diperoleh riwayat terjadinya peristiwa (lokasi gigitan, berapa jumlah gigitan),
waktu dan tempat kejadian (dihubungkan dengan insidensi ular yang hidup di
area tersebut), jenis dan ukuran ular (dapat lebih digali mengenai kenampakan
ular, bentuk, pupil atau mata ular, apakah terdapat garis-garis, pola kulit atau
suara berderak yang khas, serta panjang ular), luka pada bekas gigitan ular.
1,2,3
Selain itu juga perlu ditanyakan gejala-gejala yang muncul dalam 30 menit
sampai 24 jam setelah kejadian. Apakah terdapat gejala lokal seperti bengkak
dan nyeri pada luka. Apakah terdapat gejala sistemik seperti lemas, otot lemah,
berkeringat, menggigil, hipotensi, mual, hipersalivasi, rasa metalik di mulut,
muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur, perdarahan dan berkemih.
1,2,3,4

Pada pasien dengan gigitan ular, ditanyakan pula riwayat penyakit sebelumnya
(terutama riwayat alergi terhadap serum anti bisa ular) dan riwayat pengobatan
yang telah didapat.
1,5

Pada pasien ini didapatkan gejala sistemik berupa merasa lemas, mata berkuang-kunang dan
mual. Sedangkan keluhan rasa keram pada seluruh tubuh, berkeringat, menggigil ataupun
mengeluarkan air ludah yang banyak tidak ada. Keluarga pasien melihat jenis ular tersebut
yaitu jenis ular yang kepalanya menyerupai sendok.



2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan pada kasus snake bite
atau gigitan ular adalah pemeriksaan kesadaran. Bisa ular yang bersifat
neurotoksin dapat menyebabkan penurunan kesadaran sampai koma.
Neurotoksin dapat menimbulkan gejala berupa ptosis, diplopia, disartria,
kelumpuhan, distres pernapasan.
3,4,5

Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan tanda vital. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat gejala sistemik atau tidak.
Daya toksik dari bisa ular yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebar melalui
peredaran darah sehingga terjadi gangguan pada sistem neurologis,
kardiovaskuler, serta pernafasan. Gangguan sistem neurologis dapat terjadi
karena bisa ular mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernafasan
sehingga terjadi oedem pada saluran pernafasan sehingga pasien akan sulit
bernafas. Toksik yang masuk ke pembuluh darah juga dapat menyebabkan
gangguan pada sistem kardiovaskuler yaitu hipotensi.
6,7,8
Pemeriksaan tanda vital meliputi :
a. Tekanan darah
b. Nadi
c. Respiration Rate
d. Suhu
Pemeriksaan suhu digunakan untuk menilai kondisi metabolisme di dalam
tubuh. Salah satu penyebab produksi panas dalam tubuh adalah proses
infeksi.
6,7

Gambaran klinis atau gejala lokal yang timbul pada tempat gigitan dapat dinilai
dengan inspeksi maupun palpasi. Gejala lokal tersebut antara lain adalah :
- bekas taring atau gigitan
- nyeri dan pendarahan lokal
- ekimosis
- inflamasi (bengkak, kemerahan, panas)
- bula
- infeksi lokal
- nekrosis
- limfangitis
- pembesaran limfonodi
10,13,14

Pemeriksaan mengenai fungsi pembekuan juga perlu dilakukan dengan
cara menilai perdarahan dari bekas gigitan. Efek snake bite adalah kerusakan
otot. Jadi untuk pemeriksaannya perlu dinilai, kelenturan otot, nyeri, ROM,
kelemahan, urine berwarna coklat atau merah yang mengindikasikan
myogobinuria. Periksa juga tanda gejala sistemik dan gejala khusus yang
muncul pada snake bite
7,15

Pada saat pasien dibawa ke UGD RSAM, pasien tampak dalam keadaan sakit
sedang dan dalam kesadaran yang compos mentis.
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 127 x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 25x/menit, teratur, kedalaman cukup, tidak tampak retraksi
Suhu : 38,2 C (per axiler)

Dan didapatkan gejala lokal berupa bengkak dan kemerahan pada punggung telapak kaki dan
melihat tanda berupa dua titik bekas gigitan ular






3. Diagnosis Dan Differential Diagnosis
Diagnosis snake bite ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis serta
pemeriksaan fisik. Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan
bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik
sebagai berikut :
a. Gejala lokal : nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24
jam), ditemukan fang marks, perdarahan lokal, memar, pembesaran
limfonodi, tanda inflamasi (edema, kemerahan, panas), terdapat bulla, atau
bisa ditemukan nekrosis.
b. Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, abdominal pain, dan pandangan
kabur
29

c. Gejala khusus gigitan ular berbisa
14,15
:
Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit
(petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular
diseminata (KID)
Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan,
ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang
dan koma
28

Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma, syok, aritmia, oedem
pulmo, gangguan vaskular
Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P
(pain, palor, paresthesia, paralysis, pulselesness).
8,13



Diagnosis banding untuk snake bite antara lain :
Gigitan laba-laba atau sengatan kalajengking
Pada gigitan laba-laba, ditemukan riwayat kontak dengan laba-laba pada
anamnesis. Pada regio yang tergigit, ditemukan pembengkakan dengan
onset lambat dan menyebabkan kekakuan otot. Gejala ini tidak ditemukan
pada gigitan ular yang pembengkakannya terjadi progresif.
8,11,12
Scorpion sting
Tusukan duri
Pada tusukan duri tidak ditemukan gejala lokal berupa oedem dan gejala
sistemik yang progresif seperti pada kasus snake bite.
16


4. Pemeriksaan Penunjang Dan Penilaian Hasil Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah yang diperlukan pada adalah Hb, leukosit,
trombosit, kreatinin, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu
protrombin, fibrinogen, APTT, uji faal hepar, dan golongan darah.
13,17
Angka rujukan normal untuk hasil pemeriksaan di atas adalah:
Hb : 12-15 g/dL Natrium : 135-145 mEq/L
AE : 4,2-6,2. 10
3
/L Kalium : 3,1-4,3 mEq/L
AL : 4-11.10
3
/L Klorida : 95-105 mEq/L
AT : 150-350.10
3
/L Kreatinin : 0,5-1,5 mg/dL
Hct : 38-51% GDS : < 200 mg/dL
PT : 11-14 detik Albumin : 3-5,5 g/dL
APTT : 20-40 detik
Gigitan ular dari spesies tertentu dapat menyebabkan perdarahan pada organ
internal seperti organ-organ abdomen. Selain itu, dapat terjadi perdarahan pada
tempat gigitan atau perdarahan spontan dari mulut atau luka yang lama.
Perdarahan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan syok. Adanya perdarahan
massif ditunjukkan pada penurunan hemoglobin. Pemeriksaan trombosit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan darah, waktu protrombin juga perlu dilakukan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat gangguan faktor
pembekuan darah yang menyebabkan perdarahan terus menerus maupun
gangguan koagulopati. Pemeriksaan Analisis Gas Darah dan pH juga
diperlukan pada pasien dengan gejala neurotoksis (gangguan sistem
respirasi).
13,15,18
Selain pemeriksaan darah, dapat juga dilakukakan pemeriksaan urine rutin
untuk mengetahui apakah terdapat hematuria, haemoglobinuria, maupun
proteiunria (mioglobinuria). Adanya hematuria, hemoglobinuria, maupun
mioglobinuria menunjukkan bahwa gigitan ular sudah sampai menyerang organ
ginjal.
13,18,19
Pemeriksaan EKG dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada gigitan ular
family Viperidae dapat terjadi gangguan kardiovaskuler seperti aritmia.
13,17

Pada pasien ini hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan baik itu
pemeriksaan hematologi ataupun kimia darah masih dalam batas normal.
Namun belum dilakukan pemeriksaan penunjang yang lainnya seperti
pemeriksaan analisis gas darah, urin rutin ataupun EKG.

5. Rencana Penatalaksanaan
Pada pasien ini pertolongan pertama yang diberikan kepada pasien oleh
keluarga adalah menghisap racun dari bekas gigitan dengan mulut anggota
keluarga pasien. Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam
menangani gigitan ular :
7,19,20,21
a. Pertolongan pertama
Tujuan pertolongan pertama adalah:
memperlambat absorpsi sistemik dari racun
mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa ke RS
mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya
mengatur pengiriman pasien secara cepat dan tepat ke RS yang
mampu menangani dengan maksimal

Pertolongan pertama yang dapat diberikan diantaranya adalah
menenangkan korban, imobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan
atau bidai. Setiap gerakan atau kontraksi otot akan meningkatkan absorpsi
racun ke pembuluh darah maupun limfe. Pada pertolongan pertama,
hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat menyebabkan
infeksi , meningkatkan absorbs racun, serta meningkatkan perdarahan.
Penderita juga diistirahatkan dalam posisi horizontal. Jika timbul gejala
sistemik yang cepat sebelum pemberian antibisa, daerah proksimal dan
distal dari gigitan diikat (tourniquet). Pemasangan tourniquet ini bertujuan
untuk menahan aliran limfe. Pemasangan tourniquet kurang berguna jika
dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan.

Pengawasan gejala keracunan awal yang berbahaya dapat dilakukan
dengan observasi:
Oedem yang bertambah dengan cepat pada tempat gigitan
Pembesaran limfonodi lokal, yang menunjukkan bahwa racun telah
menyebar melalui saluran limfe
Gejala sistemik seperti syok, mual, muntah, nyeri kepala hebat,
mudah mengantuk ataupun ptosis
Urin yang berwarna coklat gelap

b. Segera kirim ke RS

c. Resusitasi dan penanganan klinis segera, meliputi:
Penatalaksanaan jalan nafas
Penatalaksanaan fungsi pernafasan
Penatalaksanaan fungsi sirkulasi dengan pemberian infus cairan
kristaloid
Pada luka gigitan dapat diberikan verband ketat dan luas diatas
luka serta imobilisasi dengan menggunakan bidai.

d. Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis spesies ular

e. Pemberian SABU (serum anti bisa ular)
Serum anti bisa ular harus diberikan secepatnya setelah gejala dan tanda
local maupun sistemik ditemukan. Serum anti bisa ular akan menetralkan
efek bisa ular walaupun gigitan ular sudah terjadi beberapa hari yang lalu.
Atau pada kasus kelainan hemostatik, anti bisa ular masih dapat diberikan
walaupun sudah terjadi lebih dari 2 minggu. Tetapi beberapa bukti klinis
menyebutkan bahwa anti bisa ular efektif dalam beberapa jam setelah
digigit ular.
Teknik pemberian: 2 vial @ 5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau
Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20
vial). Kemudian diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya
gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) anti serum dapat terus
diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80 - 100 ml). Anti serum yang
tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan.

f. Observasi respon serum bisa ular
Pedoman terapi serum anti bisa ular menurut Luck :
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian
antivenom
Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat,
waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian
serum anti bisa ular. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam
berikutnya. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin spesifik,
plasma fresh-frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, faktor VIII), fresh
whole blood.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu
pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi
pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor
dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati
berulang.

g. Pemberian terapi suportif dan profilaksis
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frozen (dan
antivenin)
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota
badan
Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase),
diawali dengan sulfas atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan. Pada pasien ini diberikan
Anti Tetanus Serum 750 IU intra muskular
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari
penggunaan obat obatan narkotik depresan. Pada pasien ini
diberikan Ketorolac 1 x 15 mg
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang
dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp,
B.fragilis. pada pasien ini diberikan Ceftriaxon 2 x 750 mg.
Pemberian anti piretik untuk menurunkan demam pada pasien
akibat dari reaksi inflamasi. Pada pasien ini diberikan Paracetamol
3 x 250 mg.

h. Rehabilitasi
Pemulihan fungsi normal di bagian digigit harus diawasi. Fisioterapi
konvensional dapat mempercepat proses ini.
9,12,22,23,26

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gigitan ular merupakan suatu keadaan gawat darurat yang apabila tidak
segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Resiko infeksi gigitan lebih besar
dari luka biasa karena toksik/ racun mengakibatkan infeksi yang lebih parah.
Tidak semua ular berbisa tetapi karena hidup pasien tergantung ketepatan
diagnosa maka pada keadaan yang meragukan ambil sikap menganggap semua
gigitan ular berbisa. Pada kasus gigitan ular 11 % kemungkinan meninggal karena
racun ular bersifat hematotoksik, neurotoksik, dan hitaminik.

B. Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga
pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin
saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai
macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam
seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim
prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat
dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan
dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai
untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada
Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan
ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab
pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vaskular.
Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-
nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum
jelas. (Sudoyo,2006).
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi
jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak
bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun (de Jong, 1998).
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang
ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik,
sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak
tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat
zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo,
2006).

C. Jenis jenis ular berbisa
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang
berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular
dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:
Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular
anang dan ular cabai.
Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular
bandotan puspo.
Familli Hydrophidae, misalnya ular laut.
Familli Colubridae, misalnya ular pohon.

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak
dapat dipakai rambu rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas
gigitan sebagai berikut:
Ciri ciri ular tidak berbisa:
Bentuk kepala segi empat panjang.
Gigi taring kecil.
Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung.
Ciri ciri ular berbisa:
Kepala segi tiga.
Dua gigi taring besar di rahang atas.
Dua luka gigitan utama akibat gigi taring.
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak
dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :
Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau),
Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada
bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan
kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade
pembekuan).
Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular
sendok), ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti -
bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada
motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -
bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan
fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada
neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi
rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan
mionekrosis pada tempat gigitan.

D. Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah
mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat
bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan
bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat
ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari
mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang
dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat
merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi
pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular
berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian
dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan
mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis
sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan
nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin,
yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan
konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).

E. Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas
dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak
sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis
jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru,
dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang
terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa
lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala
dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual,
salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan
sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot
pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai
mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998).

F. Diagnosis
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau
luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut:
Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30
menit 24 jam).
Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil,
mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur.
Gejala khusus gigitan ular berbisa :
- Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit
(petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular
diseminata (KID)
- Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan,
ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang
dan koma
- Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
- Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P
(pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006).


Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai
berikut:
1. Gigitan Elapidae. Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa
kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau
kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra
Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang
rusak dekat gigitan melebar. Semburan kobra pada mata dapat
menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata,
bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.

Efek sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian
dalam bentuk paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan
tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun,
susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan
kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot
pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun,
denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali
terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam
dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24
jam.

2. Gigitan Viperidae. Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa
jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke
seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan.

Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa
muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang
dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah,
urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah.
Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan
jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah
rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan
di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan
hebat.

3. Gigitan Hidropiidae. Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa
tebal, berkeringat dan muntah. Setelah 30 menit sampai beberapa jam
biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang,
paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini
penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.

4. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae. Efek lokal berupa tanda gigitan taring,
pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan
indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen
crotalidae antivenin. Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan
tanda penting

5. Gigitan Coral Snake. Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi,
diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006).
Tanda dan gejala lokal berupa tanda gigi taring, nyeri lokal, pendarahan
lokal, bruising, lymphangitis, bengkak, merah, panas, melepuh dan
terdapat necrosis

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT,
D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang
Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
EKG


H. Diagnosis Banding
Gigitan laba-laba atau sengatan kalajengking
Pada gigitan laba-laba, ditemukan riwayat kontak dengan laba-laba pada
anamnesis. Pada regio yang tergigit, ditemukan pembengkakan dengan
onset lambat dan menyebabkan kekakuan otot. Gejala ini tidak ditemukan
pada gigitan ular yang pembengkakannya terjadi progresif.
8,11,12

Scorpion sting
Tusukan duri
Pada tusukan duri tidak ditemukan gejala lokal berupa oedem dan gejala
sistemik yang progresif seperti pada kasus snake bite.
16

I. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular, menetralkan bisa ular yang sudah
masuk ke dalam sirkulasi darah dan mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo,
2006).
Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang
bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan
pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut
asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh
cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips
karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak cm dari lubang gigitan,
sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket
beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang
terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih
rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita
diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada
pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan
es. Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena
atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum
polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang
hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji
sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok
anafilaksis. Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan
pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan
fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga
pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan
dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum
luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu
dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan
upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas
batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.

Tindakan Pelaksanaan
1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah
Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka
gigitan
Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang
mengandung alkohol.
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia
antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan
mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit
pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe,
bukan menahan aliran vena atau ateri.

2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai
berikut:
Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan fungsi pernapasan
Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas
diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)
Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin,
APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin,
urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika
>10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),
polivalen 1 ml berisi:
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25%

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau
Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial).
Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada
bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way
(Depkes, 2001).
Pedoman terapi SABU menurut Luck:
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah
untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk
penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi
minimal 2 minggu setelah gigitan

3. Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frozen (dan antivenin)
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen,
vitamin K, tranfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali
dengan sulfas atropin
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari
penggunaan obat obatan narkotik depresan

4. Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai
adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
Beri toksoid tetanus
Pemberian serum anti tetanus sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)


J. Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan
untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih
dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai
kaki.
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan
bersemaksemak.
Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti.
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang
tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006).

K. Edukasi, Penyuluhan, Dan Pencegahan Sekunder
Pembekalan kepada dokter dan tenaga kesehatan oleh menteri kesehatan
dalam menanggulangi kasus-kasus snake bite. Meliputi identifikasi spesies
jenis ular melalui klinis pasien, penegakan diagnosis, dan penggunaan
terapi anti venom dengan benar
Hendaknya pasien tidak menunda pengiriman pasien ke pusat kesehatan
untuk mendapatkan penanganan. Selama ini pasien dan keluarga masih
percaya kepada pengobatantradisonal/herbal. Semakin lama pengiriman
pasien, semakin berat risiko yang akan dihadapi.
Dengan mengenali habitat dari ular, kita dapat mengetahui pencegahan apa
saja untuk menghindari terjadinya gigitan ular
Di dalam rumah : ular mungkin masuk ke dalam rumah untuk mencari
makanan atau mencari tempat bersembunyi untuk beberapa waktu. Simpan
ayam atau makanan hewani lainnya ke dalam kontainer tertutup. Jangan
tidur di lantai.
24,25

Di hutan : perhatikan langkah saat berjalan, gunakan sepatu boot dan
celana panjang terutama saat berjalan di dalam gelap. Jangan memasukkan
tangan sembarangan ke dalam lubang di tanah, karena dicurigai sebagai
sarang ular.
Di air : jika melihat ular laut, hindarilah. Dan apabila seorang nelayan
menemukan ular laut di jala hendaknya jangan menyentuhnya.
Ketersedian serum anti bisa ular untuk daerah di mana sering terjadi kasus
gigitan ular.

DAFTAR PUSTAKA


1. Harrison RA, et al. 2009. Snake envenoming: a disease of poverty. . Plos
Neglected Tropical Disease. 3 (12): 1-6.
2. Addo V, Kokroe FA, Reindorf RL. 2009. Broad Ligament Haematoma
Following Snake Bite. Ghana Medical Journal. 43 (4): 1-2.
3. Gilbert G, DSouza P, Pletz B. 2009. Snake Bite. San Mateo County EMS
Agency; Adult Treatment Protocols of Snake Bite.
http://www.smchealth.org/sites/default/files/docs/
250977396Snakebite_.pdf
4. Alirol E, et al. 2010. Snake bite in South Asia: a review. Plos Neglected
Tropical Disease. 4 (1): 1-9.
5. White J. 2006. Snake bite and spider bite: management guidelines.
Departement of Health Government of South Australia. Adelaide:
Department of Health. pp:19-77.
6. Blaylock RS. 2005. The identification and syndromic management of
snakebite in South Africa. SA Fam Pract. 47 (9): 48-53.
7. Mora J, et al. 2008. Effect of bothrops asper snake venom on lymphatic
vessels: insight into a hidden aspect of envenomation. Plos Neglected
Tropical Disease. 2(10): 1-10.
8. Theakston RGD, Warrel DA, Griffiths E. 2002. Report of WHO workshop
on the standardization and control of antivenoms. Toxicon. 41 (2003): 541-
557.
9. Warrel DA. 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous
snake. British Medical Journal. 331 : 1244-1247.
10. Evers LH, Bartscher T, Lange T, Mailander P. 2010. Adder bite : an
uncommon cause of compartment syndrome in northern hemisphere.
Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine.
18 (50): 1-5.
11. Mohapatra B, et al. 2011. Snakebite mortality in India: a nationaly
representative. Plos Neglected Tropical Disease. 5(4): 1-8.
12. Agarwal R, et al. 2005. Low dose of snake antivenom is as effective as
high dose in patients with severe neurotoxic snake envenoming. Emerg
Med Journal. 22: 397-399.
13. Kim JS, et al. 2008. Coagulopathy in patients who experience snakebite.
The Korean Journal of Internal Medicine. 23 : 94-99.
14. Sharma N, Chauhan S, Faruqi S, Bhat P, Varma S. 2005. Snake
envenomation in a north Indian hospital. Emerg Med Journal. 22: 118-
120.
15. WHO. 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in
South-East Asia Region. New Delhi: WHO. 2: 13-47.
16. Baylock RS. 2005. The identification and syndromic management of
snake bite in South Africa. SA Fam Pract. 47 (9): 48-53
17. Rahman R, et al. 2010. Annual incidence of snake bite in rural
Bangladesh. Plos Neglected Tropical Disease. 4(10): 1-6.
18. Kasturiratne A, et al. 2008. The global burden of snakebite: a literature
analysis and modelling based on regional. Plos Neglected Tropical
Disease. 5 (11): 1-14.
19. Lavonas EJ, et al. 2011. Unified treatment algorithm for the management
of crotaline snakebite in the United States: results of an evidence-informed
consensus workshop. BMC Emergency Medicine. 11 (2): 1-15.
20. Liu PY, et al. 2012. Shewanella infection of snake bites: a twelve-year
retrospective study. Clinics. 67 (5): 431-435.
21. Malhotra P, Sharma N, Awasthi A, Vasistha RK. 2005. Fatal acute
disseminated encephalomyelitis following treated snake bite in India.
Emerg Med Journal. 22: 308-309.
22. Guetierrez JM, Theakston RDG, Warrel DA. 2006. Confronting the
neglected problem of snake bite envenoming: the need for a global
partnership. Plos Neglected Tropical Disease. 3(6): 727-731.
23. Arshad A, et al. 2011. Snake bite on scrotum a case report . Pan African
Medical Journal. 10 (25): 1-5.
24. Vir D, et al. 2010. Neurological manifestations in speech after snake bite:
a rare case. Pan African Medical Journal. 4 (13): 1-4.
25. Warrell DA. 2010. Guidelines for the Management of Snake Bites. WHO.
pp:1-7
26. Nanton I. 2010. Primary medical care of snake bites. CPD Africa Health.
7(2010):30-32.
27. Fita DS, Neto EMC, Schiavetti A. 2010. Offensive snakes: cultural
beliefs and practices related to snake bites in a Brazilian rural settlement.
Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. (2010) 6:13
28. John J, Gane B D, Plakkal A, Aghoram R, Sampath S. 2008. Snake bite
mimicjing brain death. Cases Journal 2008, I:16.
29. Ahn JH, Yoo DG, Choi SJ, Lee JH, Park MS, Kwak JH, Jung SM, Ryu
DS. 2007. Hemoperitoneum caused by hepatic necrosis and rupture
following a snake bite : a case report with rare CT findings and successful
embolization. Korean J Radiol 2007. 8:556-560.
30. Warrel DA. 2010. Snake bite. Lancert 2010. 375:77-88.

Anda mungkin juga menyukai