Tanggal masuk rumah sakit : 14 Oktober 2013 Pukul 13.10 WIB
Tanggal pemeriksaan : 16 Oktober 2013 Pukul 14.20 WIB
ANAMNESIS Identitas Pasien Nama : R.S Usia : 10 tahun Pekerjaan : Pelajar Alamat : Jati Agung Lampung Selatan Jenis Kelamin : Laki-laki Suku : Jawa Agama : Islam No. MR : 324207
ANAMNESIS (auto-alloanamnnesis), 16 Oktober 2013 Keluhan Utama: Digigit ular pada punggung kaki kanan dekat jari kelingking Keluhan Tambahan : mual, muntah dan demam
Riwayat Perjalanan Penyakit : Pasien datang dengan keluhan digigit ular pada punggung kaki kanan dekat jari kelingking 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Peristiwa ini terjadi saat pasien sedang duduk di atas terpal sambil menonton televisi di rumahnya, pasien tidak mengetahui bahwa di bawah terpal tersebut terdapat ular. Ketika itu pasien langsung terkejut dan merasakan kesakitan pada punggung telapak kaki dan melihat tanda berupa dua titik bekas gigitan ular, bengkak dan kemerahan. Pasien juga merasa lemas, mata berkuang-kunang dan mual. Keluhan rasa keram pada seluruh tubuh, berkeringat, menggigil ataupun mengeluarkan air ludah yang banyak tidak ada. Keluarga pasien melihat jenis ular tersebut yaitu jenis ular yang kepalanya menyerupai sendok. Sebelum dibawa kerumah sakit pasien diberi pertolongan dengan cara menghisap bisa ular menggunakan mulut dari anggota keluarga yang lain.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit keturunan tertentu seperti sakit jantung, darah tinggi, sakit maag, kencing manis, alergi ataupun asam urat. Kesan: tidak memiliki riwayat penakit keturunan tertentu
STATUS PRESENT A. STATUS UMUM Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis Kulit : sawo matang
B. PEMERIKSAAN FISIK Tanda vital Tekanan darah : 120/70 mmHg Frekuensi nadi : 127 x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup Pernapasan : 25x/menit, teratur, kedalaman cukup, retraksi (-) Suhu : 38,2 C (per axiler)
Pemeriksaan fisik per sistem Sistem Deskripsi Kulit Tidak di dapatkan pucat, sianosis, ikterus, perdarahan maupun oedem umum. Turgor kulit baik, lemak sub kutan cukup Kepala Normocephal Rambut Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata Mata Konjungtiva anaemis, mata cekung (-), tidak ada edema palpebra, sklera ikterik (-), pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+) Hidung Tidak ada napas cuping hidung, tidak ditemukan sekre dan tidak didapatkan deviasi septum Telinga Bentuk normal, simetris, liang lapang dan tidak terdapat sekret Mulut Bibir kering Leher Kaku kuduk tidak ada, bentuk simetris, tidak didapatkan deviasi trakea, pembesaran KGB (-) dan JVP tidak meningkat Dada Simetris pada keadaan statis maupun dinamis. Paru - Inspeksi : Hemithoraks sinistra = dextra pada keadaan statis maupun dinamis. - Palpasi : Fremitus vokal sinistra = dextra, fremitus taktil sinistra = dextra - Perkusi : Sonor - Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler (+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-) Jantung Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar bising (murmur) ataupun irama derap (gallop). Abdomen - Inspeksi : Datar - Palpasi : Lemas, hepar tak teraba membesar, limpa tak teraba membesar, tidak teraba massa, nyeri tekan epigastrium (+) - Perkusi : Timpani - Auskultasi : Bising usus 6x/menit Genitalia Tidak diperiksa (tidak ada indikasi) Ekstremitas - Ekstremitas atas : Pucat (-), eritema palmaris (-), nyeri otot dan sendi (-), edema (-) - Ekstremitas bawah : Tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan, pucat (-),eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan 14-10-2013 Hematologi Kimia Darah Hb (g/dL) 14,7 Leukosit (/L) 22.000 Hitung jenis (%)* 0/0/0/75/17/8 LED (mm/jam) 4 Natrium (mmol/l) Kalium (mmol/l) Kalsium (mmol/l) Chlorida (mmol/l) 139 3,7 9,2 109 Masa perdarahan (menit) 2 Masa pembekuan (menit) 10 SGPT 33 SGOT 17 *basofil/eosinofil/bat aang/sesegmen/limfo sit/monosit
Resume Pasien laki-laki usia 10 tahun datang dengan keluhan digigit ular pada punggung kaki kanan dekat jari kelingking 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Peristiwa ini terjadi saat pasien sedang duduk di atas terpal sambil menonton televisi di rumahnya, pasien tidak mengetahui bahwa di bawah terpal tersebut terdapat ular. Ketika itu pasien langsung terkejut dan merasakan kesakitan pada punggung telapak kaki dan melihat dua tanda bekas gigitan ular, bengkak dan kemerahan. Pasien juga merasa lemas, mata berkuang-kunang dan mual. Keluhan rasa keram pada seluruh tubuh, berkeringat, menggigil ataupun mengeluarkan air ludah yang banyak tidak ada. Keluarga pasien melihat jenis ular tersebut yaitu jenis ular yang kepalanya menyerupai sendok. Sebelum dibawa kerumah sakit pasien diberi pertolongan dengan cara menghisap bisa ular menggunakan mulut dari anggota keluarga yang lain Tanda vital Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 120/70 mmHg Frekuensi nadi : 127 x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup Pernapasan : 25x/menit, teratur, kedalaman cukup, tidak tampak retraksi Suhu : 38,2 C (per axiler)
Pemeriksaan fisik Pada ekstremitas bawah tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan, pucat (-), eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+)
Diagnosis kerja Vulnus morsum ular
Penatalaksanaan IVFD RL gtt X Anti bisa ular 2 vial @ 5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% 40-80 tetes/menit Ceftriaxon 2 x 750mg Ranitidin 3 x 50mg Ketorolac 1 x 15mg Paracetamol 3 x 250mg ATS 750 IU intra muskular
Pemantauan selama perawatan (14 Oktober 2013 17 Oktober 2013) Senin, 14 Oktober 2013 S Demam (+), mual (+), bengkak pada kaki kanan (+) O Keadaan Umum Kesadaran : kompos mentis Keadaan : tampak sakit sedang Laju nadi: 110 kali per menit, teratur, isi cukup Laju napas: 23 kali per menit tanpa retraksi atau napas cuping hidung Suhu tubuh: 38,3 o C
Keadaan Spesifik - Thorax: pergerakan simetris, perkusi sonor, suara napas dasara vesikuler (+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-) - Abdomen: datar, hepar tak teraba membesar, limpa tak teraba membesar, tidak teraba massa, bising usus normal - Ekstremitas bawah : tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan, pucat (-),eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+) A Vulnus morsum ular P IVFD RL gtt X Anti bisa ular 1 x 1gr Ceftriaxon 2 x 750mg Ranitidin 3 x 50mg Ketorolac 1 x 15mg Paracetamol 3 x 250mg
Rabu, 16 Oktober 2013 S Demam (+), mual (+), bengkak pada kaki kanan (+) O Keadaan Umum Kesadaran : kompos mentis Keadaan : tampak sakit sedang Laju nadi: 128 kali per menit, teratur, isi cukup Laju napas: 25 kali per menit tanpa retraksi atau napas cuping hidung Suhu tubuh: 38,2 o C
Keadaan Spesifik - Thorax: pergerakan simetris, perkusi sonor, suara napas dasara vesikuler (+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-) - Abdomen: datar, hepar tak teraba membesar, limpa tak teraba membesar, tidak teraba massa, bising usus normal - Ekstremitas bawah : tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan, pucat (-),eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+)
Pasien disarankan konsul ke spesialis bedah A Vulnus morsum ular P IVFD RL gtt X Anti bisa ular 1 x 1gr Ceftriaxon 2 x 750mg Ranitidin 3 x 50mg Ketorolac 1 x 15mg Paracetamol 3 x 250mg
Kamis, 17 Oktober 2013 S Demam (+), mual (+), bengkak pada kaki kanan (+) O Keadaan Umum Kesadaran : kompos mentis Keadaan : tampak sakit sedang Laju nadi: 113 kali per menit, teratur, isi cukup Laju napas: 20 kali per menit tanpa retraksi atau napas cuping hidung Suhu tubuh: 38,3 o C
Keadaan Spesifik - Thorax: pergerakan simetris, perkusi sonor, suara napas dasara vesikuler (+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-) - Abdomen: datar, hepar tak teraba membesar, limpa tak teraba membesar, tidak teraba massa, bising usus normal - Ekstremitas bawah : tampak bekas gigitan ular pada jari kelingking kaki kanan, pucat (-),eritema palmaris (-), edema (+), nyeri tekan (+) A Vulnus morsum ular P IVFD RL gtt X Anti bisa ular 1 x 1gr Ceftriaxon 2 x 750mg Ranitidin 3 x 50mg Ketorolac 1 x 15mg Paracetamol 3 x 250mg
ANALISA KASUS
1. Anamnesis Anamnesis dapat dilakukan autoanamnesis maupun alloanamnesis kepada orang yang melihat kejadian. Anamnesis pada kasus gigitan ular dapat diperoleh riwayat terjadinya peristiwa (lokasi gigitan, berapa jumlah gigitan), waktu dan tempat kejadian (dihubungkan dengan insidensi ular yang hidup di area tersebut), jenis dan ukuran ular (dapat lebih digali mengenai kenampakan ular, bentuk, pupil atau mata ular, apakah terdapat garis-garis, pola kulit atau suara berderak yang khas, serta panjang ular), luka pada bekas gigitan ular. 1,2,3 Selain itu juga perlu ditanyakan gejala-gejala yang muncul dalam 30 menit sampai 24 jam setelah kejadian. Apakah terdapat gejala lokal seperti bengkak dan nyeri pada luka. Apakah terdapat gejala sistemik seperti lemas, otot lemah, berkeringat, menggigil, hipotensi, mual, hipersalivasi, rasa metalik di mulut, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur, perdarahan dan berkemih. 1,2,3,4
Pada pasien dengan gigitan ular, ditanyakan pula riwayat penyakit sebelumnya (terutama riwayat alergi terhadap serum anti bisa ular) dan riwayat pengobatan yang telah didapat. 1,5
Pada pasien ini didapatkan gejala sistemik berupa merasa lemas, mata berkuang-kunang dan mual. Sedangkan keluhan rasa keram pada seluruh tubuh, berkeringat, menggigil ataupun mengeluarkan air ludah yang banyak tidak ada. Keluarga pasien melihat jenis ular tersebut yaitu jenis ular yang kepalanya menyerupai sendok.
2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan pada kasus snake bite atau gigitan ular adalah pemeriksaan kesadaran. Bisa ular yang bersifat neurotoksin dapat menyebabkan penurunan kesadaran sampai koma. Neurotoksin dapat menimbulkan gejala berupa ptosis, diplopia, disartria, kelumpuhan, distres pernapasan. 3,4,5
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan tanda vital. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat gejala sistemik atau tidak. Daya toksik dari bisa ular yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebar melalui peredaran darah sehingga terjadi gangguan pada sistem neurologis, kardiovaskuler, serta pernafasan. Gangguan sistem neurologis dapat terjadi karena bisa ular mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernafasan sehingga terjadi oedem pada saluran pernafasan sehingga pasien akan sulit bernafas. Toksik yang masuk ke pembuluh darah juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem kardiovaskuler yaitu hipotensi. 6,7,8 Pemeriksaan tanda vital meliputi : a. Tekanan darah b. Nadi c. Respiration Rate d. Suhu Pemeriksaan suhu digunakan untuk menilai kondisi metabolisme di dalam tubuh. Salah satu penyebab produksi panas dalam tubuh adalah proses infeksi. 6,7
Gambaran klinis atau gejala lokal yang timbul pada tempat gigitan dapat dinilai dengan inspeksi maupun palpasi. Gejala lokal tersebut antara lain adalah : - bekas taring atau gigitan - nyeri dan pendarahan lokal - ekimosis - inflamasi (bengkak, kemerahan, panas) - bula - infeksi lokal - nekrosis - limfangitis - pembesaran limfonodi 10,13,14
Pemeriksaan mengenai fungsi pembekuan juga perlu dilakukan dengan cara menilai perdarahan dari bekas gigitan. Efek snake bite adalah kerusakan otot. Jadi untuk pemeriksaannya perlu dinilai, kelenturan otot, nyeri, ROM, kelemahan, urine berwarna coklat atau merah yang mengindikasikan myogobinuria. Periksa juga tanda gejala sistemik dan gejala khusus yang muncul pada snake bite 7,15
Pada saat pasien dibawa ke UGD RSAM, pasien tampak dalam keadaan sakit sedang dan dalam kesadaran yang compos mentis. Tekanan darah : 120/70 mmHg Frekuensi nadi : 127 x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup Pernapasan : 25x/menit, teratur, kedalaman cukup, tidak tampak retraksi Suhu : 38,2 C (per axiler)
Dan didapatkan gejala lokal berupa bengkak dan kemerahan pada punggung telapak kaki dan melihat tanda berupa dua titik bekas gigitan ular
3. Diagnosis Dan Differential Diagnosis Diagnosis snake bite ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis serta pemeriksaan fisik. Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut : a. Gejala lokal : nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam), ditemukan fang marks, perdarahan lokal, memar, pembesaran limfonodi, tanda inflamasi (edema, kemerahan, panas), terdapat bulla, atau bisa ditemukan nekrosis. b. Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, abdominal pain, dan pandangan kabur 29
c. Gejala khusus gigitan ular berbisa 14,15 : Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID) Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma 28
Diagnosis banding untuk snake bite antara lain : Gigitan laba-laba atau sengatan kalajengking Pada gigitan laba-laba, ditemukan riwayat kontak dengan laba-laba pada anamnesis. Pada regio yang tergigit, ditemukan pembengkakan dengan onset lambat dan menyebabkan kekakuan otot. Gejala ini tidak ditemukan pada gigitan ular yang pembengkakannya terjadi progresif. 8,11,12 Scorpion sting Tusukan duri Pada tusukan duri tidak ditemukan gejala lokal berupa oedem dan gejala sistemik yang progresif seperti pada kasus snake bite. 16
4. Pemeriksaan Penunjang Dan Penilaian Hasil Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium darah yang diperlukan pada adalah Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, uji faal hepar, dan golongan darah. 13,17 Angka rujukan normal untuk hasil pemeriksaan di atas adalah: Hb : 12-15 g/dL Natrium : 135-145 mEq/L AE : 4,2-6,2. 10 3 /L Kalium : 3,1-4,3 mEq/L AL : 4-11.10 3 /L Klorida : 95-105 mEq/L AT : 150-350.10 3 /L Kreatinin : 0,5-1,5 mg/dL Hct : 38-51% GDS : < 200 mg/dL PT : 11-14 detik Albumin : 3-5,5 g/dL APTT : 20-40 detik Gigitan ular dari spesies tertentu dapat menyebabkan perdarahan pada organ internal seperti organ-organ abdomen. Selain itu, dapat terjadi perdarahan pada tempat gigitan atau perdarahan spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan syok. Adanya perdarahan massif ditunjukkan pada penurunan hemoglobin. Pemeriksaan trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan darah, waktu protrombin juga perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat gangguan faktor pembekuan darah yang menyebabkan perdarahan terus menerus maupun gangguan koagulopati. Pemeriksaan Analisis Gas Darah dan pH juga diperlukan pada pasien dengan gejala neurotoksis (gangguan sistem respirasi). 13,15,18 Selain pemeriksaan darah, dapat juga dilakukakan pemeriksaan urine rutin untuk mengetahui apakah terdapat hematuria, haemoglobinuria, maupun proteiunria (mioglobinuria). Adanya hematuria, hemoglobinuria, maupun mioglobinuria menunjukkan bahwa gigitan ular sudah sampai menyerang organ ginjal. 13,18,19 Pemeriksaan EKG dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada gigitan ular family Viperidae dapat terjadi gangguan kardiovaskuler seperti aritmia. 13,17
Pada pasien ini hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan baik itu pemeriksaan hematologi ataupun kimia darah masih dalam batas normal. Namun belum dilakukan pemeriksaan penunjang yang lainnya seperti pemeriksaan analisis gas darah, urin rutin ataupun EKG.
5. Rencana Penatalaksanaan Pada pasien ini pertolongan pertama yang diberikan kepada pasien oleh keluarga adalah menghisap racun dari bekas gigitan dengan mulut anggota keluarga pasien. Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam menangani gigitan ular : 7,19,20,21 a. Pertolongan pertama Tujuan pertolongan pertama adalah: memperlambat absorpsi sistemik dari racun mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa ke RS mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya mengatur pengiriman pasien secara cepat dan tepat ke RS yang mampu menangani dengan maksimal
Pertolongan pertama yang dapat diberikan diantaranya adalah menenangkan korban, imobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan atau bidai. Setiap gerakan atau kontraksi otot akan meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh darah maupun limfe. Pada pertolongan pertama, hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat menyebabkan infeksi , meningkatkan absorbs racun, serta meningkatkan perdarahan. Penderita juga diistirahatkan dalam posisi horizontal. Jika timbul gejala sistemik yang cepat sebelum pemberian antibisa, daerah proksimal dan distal dari gigitan diikat (tourniquet). Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menahan aliran limfe. Pemasangan tourniquet kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan.
Pengawasan gejala keracunan awal yang berbahaya dapat dilakukan dengan observasi: Oedem yang bertambah dengan cepat pada tempat gigitan Pembesaran limfonodi lokal, yang menunjukkan bahwa racun telah menyebar melalui saluran limfe Gejala sistemik seperti syok, mual, muntah, nyeri kepala hebat, mudah mengantuk ataupun ptosis Urin yang berwarna coklat gelap
b. Segera kirim ke RS
c. Resusitasi dan penanganan klinis segera, meliputi: Penatalaksanaan jalan nafas Penatalaksanaan fungsi pernafasan Penatalaksanaan fungsi sirkulasi dengan pemberian infus cairan kristaloid Pada luka gigitan dapat diberikan verband ketat dan luas diatas luka serta imobilisasi dengan menggunakan bidai.
d. Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis spesies ular
e. Pemberian SABU (serum anti bisa ular) Serum anti bisa ular harus diberikan secepatnya setelah gejala dan tanda local maupun sistemik ditemukan. Serum anti bisa ular akan menetralkan efek bisa ular walaupun gigitan ular sudah terjadi beberapa hari yang lalu. Atau pada kasus kelainan hemostatik, anti bisa ular masih dapat diberikan walaupun sudah terjadi lebih dari 2 minggu. Tetapi beberapa bukti klinis menyebutkan bahwa anti bisa ular efektif dalam beberapa jam setelah digigit ular. Teknik pemberian: 2 vial @ 5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Kemudian diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) anti serum dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80 - 100 ml). Anti serum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan.
f. Observasi respon serum bisa ular Pedoman terapi serum anti bisa ular menurut Luck : Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian serum anti bisa ular. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin spesifik, plasma fresh-frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, faktor VIII), fresh whole blood. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang.
g. Pemberian terapi suportif dan profilaksis Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frozen (dan antivenin) Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan. Pada pasien ini diberikan Anti Tetanus Serum 750 IU intra muskular Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat obatan narkotik depresan. Pada pasien ini diberikan Ketorolac 1 x 15 mg Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis. pada pasien ini diberikan Ceftriaxon 2 x 750 mg. Pemberian anti piretik untuk menurunkan demam pada pasien akibat dari reaksi inflamasi. Pada pasien ini diberikan Paracetamol 3 x 250 mg.
h. Rehabilitasi Pemulihan fungsi normal di bagian digigit harus diawasi. Fisioterapi konvensional dapat mempercepat proses ini. 9,12,22,23,26
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Gigitan ular merupakan suatu keadaan gawat darurat yang apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Resiko infeksi gigitan lebih besar dari luka biasa karena toksik/ racun mengakibatkan infeksi yang lebih parah. Tidak semua ular berbisa tetapi karena hidup pasien tergantung ketepatan diagnosa maka pada keadaan yang meragukan ambil sikap menganggap semua gigitan ular berbisa. Pada kasus gigitan ular 11 % kemungkinan meninggal karena racun ular bersifat hematotoksik, neurotoksik, dan hitaminik.
B. Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5- hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5- nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo,2006). Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun (de Jong, 1998). Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006).
C. Jenis jenis ular berbisa Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu: Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut. Familli Colubridae, misalnya ular pohon.
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: Ciri ciri ular tidak berbisa: Bentuk kepala segi empat panjang. Gigi taring kecil. Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung. Ciri ciri ular berbisa: Kepala segi tiga. Dua gigi taring besar di rahang atas. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring. Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular : Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan). Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti - bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti - bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.
D. Patofisiologi Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan. Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).
E. Gejala klinis Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998).
F. Diagnosis Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut: Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam). Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur. Gejala khusus gigitan ular berbisa : - Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID) - Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma - Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma - Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006).
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut: 1. Gigitan Elapidae. Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
Efek sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
2. Gigitan Viperidae. Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan.
Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
3. Gigitan Hidropiidae. Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.
4. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae. Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin. Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting
5. Gigitan Coral Snake. Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006). Tanda dan gejala lokal berupa tanda gigi taring, nyeri lokal, pendarahan lokal, bruising, lymphangitis, bengkak, merah, panas, melepuh dan terdapat necrosis
G. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria) EKG
H. Diagnosis Banding Gigitan laba-laba atau sengatan kalajengking Pada gigitan laba-laba, ditemukan riwayat kontak dengan laba-laba pada anamnesis. Pada regio yang tergigit, ditemukan pembengkakan dengan onset lambat dan menyebabkan kekakuan otot. Gejala ini tidak ditemukan pada gigitan ular yang pembengkakannya terjadi progresif. 8,11,12
Scorpion sting Tusukan duri Pada tusukan duri tidak ditemukan gejala lokal berupa oedem dan gejala sistemik yang progresif seperti pada kasus snake bite. 16
I. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular, menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah dan mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006). Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot. Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es. Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis. Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid. Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Tindakan Pelaksanaan 1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol. Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut: Penatalaksanaan jalan napas Penatalaksanaan fungsi pernapasan Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai) Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi: 10-50 LD50 bisa Ankystrodon 25-50 LD50 bisa Bungarus 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix Fenol 0.25%
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001). Pedoman terapi SABU menurut Luck: Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
3. Terapi suportif lainnya pada keadaan : Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frozen (dan antivenin) Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat obatan narkotik depresan
4. Terapi profilaksis Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis Beri toksoid tetanus Pemberian serum anti tetanus sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
J. Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki. Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemaksemak. Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti. Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006).
K. Edukasi, Penyuluhan, Dan Pencegahan Sekunder Pembekalan kepada dokter dan tenaga kesehatan oleh menteri kesehatan dalam menanggulangi kasus-kasus snake bite. Meliputi identifikasi spesies jenis ular melalui klinis pasien, penegakan diagnosis, dan penggunaan terapi anti venom dengan benar Hendaknya pasien tidak menunda pengiriman pasien ke pusat kesehatan untuk mendapatkan penanganan. Selama ini pasien dan keluarga masih percaya kepada pengobatantradisonal/herbal. Semakin lama pengiriman pasien, semakin berat risiko yang akan dihadapi. Dengan mengenali habitat dari ular, kita dapat mengetahui pencegahan apa saja untuk menghindari terjadinya gigitan ular Di dalam rumah : ular mungkin masuk ke dalam rumah untuk mencari makanan atau mencari tempat bersembunyi untuk beberapa waktu. Simpan ayam atau makanan hewani lainnya ke dalam kontainer tertutup. Jangan tidur di lantai. 24,25
Di hutan : perhatikan langkah saat berjalan, gunakan sepatu boot dan celana panjang terutama saat berjalan di dalam gelap. Jangan memasukkan tangan sembarangan ke dalam lubang di tanah, karena dicurigai sebagai sarang ular. Di air : jika melihat ular laut, hindarilah. Dan apabila seorang nelayan menemukan ular laut di jala hendaknya jangan menyentuhnya. Ketersedian serum anti bisa ular untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harrison RA, et al. 2009. Snake envenoming: a disease of poverty. . Plos Neglected Tropical Disease. 3 (12): 1-6. 2. Addo V, Kokroe FA, Reindorf RL. 2009. Broad Ligament Haematoma Following Snake Bite. Ghana Medical Journal. 43 (4): 1-2. 3. Gilbert G, DSouza P, Pletz B. 2009. Snake Bite. San Mateo County EMS Agency; Adult Treatment Protocols of Snake Bite. http://www.smchealth.org/sites/default/files/docs/ 250977396Snakebite_.pdf 4. Alirol E, et al. 2010. Snake bite in South Asia: a review. Plos Neglected Tropical Disease. 4 (1): 1-9. 5. White J. 2006. Snake bite and spider bite: management guidelines. Departement of Health Government of South Australia. Adelaide: Department of Health. pp:19-77. 6. Blaylock RS. 2005. The identification and syndromic management of snakebite in South Africa. SA Fam Pract. 47 (9): 48-53. 7. Mora J, et al. 2008. Effect of bothrops asper snake venom on lymphatic vessels: insight into a hidden aspect of envenomation. Plos Neglected Tropical Disease. 2(10): 1-10. 8. Theakston RGD, Warrel DA, Griffiths E. 2002. Report of WHO workshop on the standardization and control of antivenoms. Toxicon. 41 (2003): 541- 557. 9. Warrel DA. 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snake. British Medical Journal. 331 : 1244-1247. 10. Evers LH, Bartscher T, Lange T, Mailander P. 2010. Adder bite : an uncommon cause of compartment syndrome in northern hemisphere. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 18 (50): 1-5. 11. Mohapatra B, et al. 2011. Snakebite mortality in India: a nationaly representative. Plos Neglected Tropical Disease. 5(4): 1-8. 12. Agarwal R, et al. 2005. Low dose of snake antivenom is as effective as high dose in patients with severe neurotoxic snake envenoming. Emerg Med Journal. 22: 397-399. 13. Kim JS, et al. 2008. Coagulopathy in patients who experience snakebite. The Korean Journal of Internal Medicine. 23 : 94-99. 14. Sharma N, Chauhan S, Faruqi S, Bhat P, Varma S. 2005. Snake envenomation in a north Indian hospital. Emerg Med Journal. 22: 118- 120. 15. WHO. 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in South-East Asia Region. New Delhi: WHO. 2: 13-47. 16. Baylock RS. 2005. The identification and syndromic management of snake bite in South Africa. SA Fam Pract. 47 (9): 48-53 17. Rahman R, et al. 2010. Annual incidence of snake bite in rural Bangladesh. Plos Neglected Tropical Disease. 4(10): 1-6. 18. Kasturiratne A, et al. 2008. The global burden of snakebite: a literature analysis and modelling based on regional. Plos Neglected Tropical Disease. 5 (11): 1-14. 19. Lavonas EJ, et al. 2011. Unified treatment algorithm for the management of crotaline snakebite in the United States: results of an evidence-informed consensus workshop. BMC Emergency Medicine. 11 (2): 1-15. 20. Liu PY, et al. 2012. Shewanella infection of snake bites: a twelve-year retrospective study. Clinics. 67 (5): 431-435. 21. Malhotra P, Sharma N, Awasthi A, Vasistha RK. 2005. Fatal acute disseminated encephalomyelitis following treated snake bite in India. Emerg Med Journal. 22: 308-309. 22. Guetierrez JM, Theakston RDG, Warrel DA. 2006. Confronting the neglected problem of snake bite envenoming: the need for a global partnership. Plos Neglected Tropical Disease. 3(6): 727-731. 23. Arshad A, et al. 2011. Snake bite on scrotum a case report . Pan African Medical Journal. 10 (25): 1-5. 24. Vir D, et al. 2010. Neurological manifestations in speech after snake bite: a rare case. Pan African Medical Journal. 4 (13): 1-4. 25. Warrell DA. 2010. Guidelines for the Management of Snake Bites. WHO. pp:1-7 26. Nanton I. 2010. Primary medical care of snake bites. CPD Africa Health. 7(2010):30-32. 27. Fita DS, Neto EMC, Schiavetti A. 2010. Offensive snakes: cultural beliefs and practices related to snake bites in a Brazilian rural settlement. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. (2010) 6:13 28. John J, Gane B D, Plakkal A, Aghoram R, Sampath S. 2008. Snake bite mimicjing brain death. Cases Journal 2008, I:16. 29. Ahn JH, Yoo DG, Choi SJ, Lee JH, Park MS, Kwak JH, Jung SM, Ryu DS. 2007. Hemoperitoneum caused by hepatic necrosis and rupture following a snake bite : a case report with rare CT findings and successful embolization. Korean J Radiol 2007. 8:556-560. 30. Warrel DA. 2010. Snake bite. Lancert 2010. 375:77-88.