Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000
meter) dengan koordinat: 4652.86N 1183743.52E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter)
dengan koordinat: 49N 11853E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui
Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur
hukum Mahkamah Internasional
Dalam interaksi konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Sengketa adalah
adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai
penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Ditinjau dari konteks hukum
internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek
mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak
lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman.
Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah
menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik.
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi
pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak,
bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi
maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian
sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang
bersengketa.
Begitu halnya dengan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. Walaupun antara
kedua Negara tersebut satu rumpun dan sering melakukan hubungan baik baik dalam hubungan
bilateral maupun multilateral, namun tidak selamanya hungan itu ber jalan lancar ini dapat
dibuktikan dengan adanya berbagai persoalan kedaulan salah satu diantaranya adalah pada tahun
2002 Indonesia dengan Malaysia terjadi sebuah sengketa yang mana di sengketa tersebut hal
yang disengketakan agalah tentang batas kedaulatan wilayah antara Indonesia dengan Malaysia
mengenai kepemilikan pulau yang ada di perbatas tersebut dan keduanya mengklaim bahwa
pulau tersebut adalah masuk batas territorial negaranya baik itu Malaisia maupun Indonesia.
Dalam penyelesaian sengketa ini jalan yang ditempuh oleh kedua Negara ini
yaitu Indonesia dan Malaisia adalah dengan jalan penyelesaian sengketa Internasional secara
damai dan penyelesaiannya secara yudicial di Mahkamah Internasional.
Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas
Kontinen IndonesiaMalaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau
Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal
kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang
menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa
berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan
fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat
yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan
mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta.
Luas Pulau Sipadan adalah 13 km, lebih besar dari Pulau Ligitan, terletak di koordinat
lintang utara 406 dan 11837 garis bujur timur, 42 mil dari pantai timur Pulau Sebatik. Di
Ligitan ada semak dan beberapa pohon. Sipadan, pucuk gunung berapi di bawah permukaan laut
dengan ketinggian 600-700 meter, lebih rimbun. Hingga tahun 1980-an, Sipadan dan Ligitan tak
berpenduduk.
Klaim kepemilikan Pulau dan Sipadan Ligitan oleh Malaysia
Pada tahun 1969 Malaysia mengklaim bahwa Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia, karena
kedua pulau itu berdsarkan chain of title (rantai kepemilikan) merupakan wilayah dibawah
kekuasaan Inggris yang menjajah Malaysia sebelum Malaysia menyatakan merdeka. Pada saat
itu, Inggris telah membangun penangkaran penyu dan eksploitasi sumber daya alamdi kedua
pulau tersebut. Jadi Malaysia melakukan klaim bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan adalah milik
Malaysia. Sepeninggalan Inggris dari Malaysia, Malaysia melanjutkan berbagai proyek yang
dulu dilakukan Inggris di Pulau Sipadan dan Ligitan. Berbagai proyek tersebut adalah
penangkaran penyu, eksploitasi sumberdaya alam, dan Malaysia juga melakukan pengembangan
sektor pariwisata dikedua pulau tersebut.
Indonesia dan Malaysia memasukan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi wilayah kedua
tersebut. Dan kemudian Indonesia dan Malaysia menyepakati bahwa masalah perebutan Pulau
Sipadan dan Ligitan dibawa dalam keadaan setatus quo. Namun disini Indonesia dan Malaysia
mengartikan berbeda. Malaysia malah mengartikan bahwa status quo adalah masih dibawah
Malaysia, dan Malaysia pun malah membangun resot parawisata yang dikelola oleh pihak swasta
Malaysia sampai masalah ini selesai. Disini pula Malaysia memasukan pulau Sipadan dan
Ligitan itu kedalam peta nasionalnya pada tahun 1969. Disini berbeda halnya dengan Indonesia.
Dalam status quo ini, Indonesia salah mengartikan. Disini malah Indonesia mengira kedua pulau
Sipadan dan Ligitan tidak boleh ditempati, dan tidak boleh diduduki sampai masalah tersebut
selesai. Untuk menyelesaikan masalah ini Dewan Tinggi ASEAN menyelesaikan perselisihan
Indonesia dan Malaysia.
Disini Malaysia menolak bantuan Dewan Tinggi Asean karena Malaysia beranggapan
bahwa terlibat sengketa pada Singapore untuk klaim pulau batu puteh. Disini Indonesia
mengambil sikap, bahwa masalah ini harus diselesaikan pada Dewan Tinggi ASEAN, dan
Indonesia menolak kasus ini dibawa ICJ (Inteternational Court Justice). Pada tanggal 31 Mei
1997 Presiden Soeharto menyetujui kesepakatan Final and Binding berasama dengan perdana
mentri Muhatir Muhamad pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan
tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49
Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Sipadan-Ligitan akan menorehkan momentum penting bagi dua negara dalam
penyelesaian sengketa wilayah. Konflik mencuat pada 1969, ketika Malaysia-Indonesia
membahas Landas Kontinen. Perselisihan berawal dari perbedaan penafsiran atas Perjanjian
1891 yang dibuat dua kolonialis, Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan. Delegasi
Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menuding Malaysia telah
melanggar bahkan mencaplok Sipadan, lantaran kedua negara sejak awal telah sepakat tidak ada
aktivitas apa pun atas dua pulau yang jadi obyek sengketa. Angkatan laut Malaysia tidak hanya
"mengamankan" Sipadan, tapi juga membangun pariwisata dan penangkaran penyu. Lebih dari
itu, Indonesia mengklaim kedua pulau itu layak masuk peta kedaulatannya. Tapi, dalam sejumlah
kasus, Mahkamah Internasional cenderung memenangkan negara yang lebih dulu melakukan
aktivitas di atas sebuah kawasan. Indonesia akan kehilangan Sipadan-Ligitan, dan Malaysia
menang?

1.2. Masalah
1. Bagaimana diplomasi yang dilakukan Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kasus
Sipadan-Ligitan?
2. Kenapa Indonesia dapat kalah dalam kasus tersebut padahal peluang Indonesia-Malaysia
adalah fity-fifty?
3. Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya dalam
mengatasi kasus yang serupa?
4. Siapakah yang berhak memiliki hak atas kedaulatan terhadap pulau Sipadan dan Ligitan
setelah adanya klaim dari masing-masing pihak mengenai kedaulatan terhadap kedua
pulau tersebut, apakah Indonesia atau Malaysia?

BAB II
PEMBAHASAN
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini
pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara
damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi
kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-
Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat
ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota
ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand
dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan
adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja
sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang
sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya.
Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High
Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional.
Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah
klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya
merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang
tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah
penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan
Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan
diplomasinya.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti
historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari
mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence),
penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya
ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah
lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar
Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait
lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola
Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan
beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah
kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim
selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun
ekonomi.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk
menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis
pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu
segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini
memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus,
pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya
unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.

2.1. Kronologis
Kronologi sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan
pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. SIPADAN dan Ligitan tiba-
tiba menjadi berita. Ini dikarenakan dua pulau kecil yang berstatus (quo) dan terletak di Laut
Sulawesi itu dibangun resot dan cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu,
kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi
hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai.
Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes
ke Kuala Lumpur, dan meminta agar pembangunan di sana dihentikan untuk sementara.
Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada
tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali
ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau
Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di
Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak
Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan
pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim
atas kedua pulau.
2.2. Keputusan Mahkamah Internasional
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU
4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik
Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena
Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli
AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau
kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar
pengajuan klaim.
Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa
activities by private persons cannot be seen as effectivit, if they do not take place on the basis
of official regulations or under governmental authority Oleh karena kegiatan tersebut bukan
bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah,
maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai
adanya effective occupation.
Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti
berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa
sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris
tersebut menunjukkan adanya suatu regulatory and administrative assertions of authority over
territory which is specified by name.
Pada hari Selasa telah ditetapkan pada hari Selasa tanggal 17 Desember 2002,
Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia memiliki hak atas kedaulatan
terhadap pulau Sipadan Dan Ligitan.

2.3. Dasar Hukum
PERPU NOMOR 4 TAHUN 1960 TENTANG PERAIRAN INDONESIA
Menimbang :
1. bahwa bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari
beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri;
2. bahwa menurut sejarah sejak dahulu kala kepulauan Indonesia merupakan suatu
kesatuan;
3. bahwa bagi keutuhan wilayah Negara Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak
diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat;
4. bahwa penentuan batas laut wilayah seperti termaktub dalam "Teritoriale Zee en
Maritieme Kringen Ordonnantie 1939" (Staatsblad 1939 No. 442) pasal 1 ayat (1) tidak
lagi sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, karena membagi wilayah
daratan Indonesia dalam bagian-bagian yang terpisah dengan laut wilayahnya sendiri-
sendiri;
5. perlu mengadakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang tentang perairan
Indonesia yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan tersebut diatas;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia;
Mendengar :
Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 20 Januari 1960;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang perairan Indonesia.
Pasal 1.
1. Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia.
2. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar duabelas mil laut yang garis luarnya
diukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis
lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari pada pulau-pulau
atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa
jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut dan Negara
Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah
Indonesia ditarik pada tengah selat.
3. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari
garis dasar sebagai yang dimaksud pada ayat (2).
4. Mil laut ialah, seperenam puluh derajat lintang.
Pasal 2.
Pada peta yang dilampirkan pada Peraturan ini ditentukan dengan jelas letaknya titik-titik serta
garis-garis yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2).
Pasal 3.
1. Lalu-lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan air
asing.
2. Dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur lalu-lintas laut damai yang dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 4.
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada hari
diundangkannya.
2. Mulai hari tersebut pada ayat (1) tidak berlaku lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai engan
4 "Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939" (Staatsblad 1939 No. 442).
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Pebruari 1960. Presiden Republik Indonesia.
SOEKARNO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Pebruari 1960. Menteri Muda Kehakiman,


2.4. Analisis Hukum
Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa
negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan
orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting
adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan
administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga
tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia
setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan
perundang-undangan.
Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan
Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi hukum internasional, Malaysia
mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum
Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia
dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963.
Indonesia berdasarkan treaty-based title, yaitu 1891 Convention yang membagi wilayah Belanda
dan Inggris, tetapi Indonesia tidak mencantumkan dua pulau itu dalam UU No. 4/Prp/1960
tentang Perairan Indonesia, walaupun menurut Konvensi 1891 Sipadan-Ligitan berada di bawah
wilayah Belanda yang dilanjutkan pada Indonesia. Mahkamah lebih memperhatikan Effective
Control oleh Inggris yang diteruskan pada Malaysia, yaitu (1) collection of turtle eggs sbg the
most important economic activity in 1914, (2) establishment of a bird sanctuary in 1933,
(3)constructed lighthouses in the early 1960s

2.5. Kesimpulan
Putusan Mahkamah Internasional untuk menyerahkan status Sipadan-Ligitan kepada Malaysia
merupakan pengalaman berharga yang mesti ditarik hikmahnya oleh semua pihak yang terkait.
Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah :
1. Bagi pemerintah dan Deplu agaknya masih perlu membagi perhatiannya terhadap isu-isu
konvensional seperti klaim teritorial ini. Di tengah maraknya isu terorisme dan masalah
Aceh yang sangat menguras energi, tampaknya pemerintah masih perlu menyelesaikan
banyak pekerjaan rumah yang tertunda. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia
perlu meneruskan pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih
memiliki klaim tumpang tindih, seperti dengan Filipina, Vietnam, dan Singapura.
2. Mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan
terus menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa
teritorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga
pertimbangan tersebut akan menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah
sengketa teritorial.
3. Mempertanyakan komitmen kita kembali sebagai negara kepulauan untuk secara efektif
menguasai seluruh pulau di batas teritori kita. Tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras
dan koordinasi dari semua lembaga yang berurusan dengan pembinaan pulau dan
penjagaan wilayah laut RI. Koordinasi ini perlu dilakukan karena masalah yang terkait
dengan penjagaan wilayah laut RI juga berkaitan dengan maraknya kejahatan
transnasional. Kejahatan transnasional yang rentan terjadi di Indonesia adalah pencurian
ikan, bajak laut, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata konvensional.
4. Pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih proses sengketa Sipadan-Ligitan
sebagai informasi komprehensif bagi masyarakat pada umumnya. Kronologis sengketa
ini perlu di sajikan lengkap beserta dengan proses diplomasi yang dilakukan kedua
negara agar dapat dimengerti utuh oleh masyarkat. Pemahaman masyarakat yang tidak
utuh terhadap sengketa Sipadan-Ligitan akan menurunkan citra pemerintah dan juga
dapat mengakibatkan mispersepsi terhadap negara sahabat, Malaysia dan dunia
internasional pada umumnya.





Daftar Pustaka

Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Hasjim Djalal, Prof. DR, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi?, SK Kompas,
Jakarta, 13 Januari 2003.
Keputusan mahkamah Internasional tentang kasus perebutan pulau sipadan ligitan antara
Indonesia dan Malaysia. Dalam : http://diplomacy945.blogspot.com.
Presiden Soeharto menyetujui kesepakatan Final and Binding berasama dengan perdana mentri
Muhatir Muhamad pada tanggal 31 Mei 1997 Dalam : http://blog.unsri.ac.id/baradina/hukum-
internasional/pengaruh-keputusan-icj-dalam-kasus-kepulauan-sipadan-dan-ligitan-bagi-
keutuhan-wilayah-ri/mrdetail/30577
Kronologi Sengketa Sipadan dan Ligitan :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan
http://bryantobing01.blog.com/indonesia-malaysia-dalam-perebutan-pulau-sipadan-dan-
ligitan/
Keputusan Mahkamah Internasional
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan&action=edit&section=
2
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1960
TENTANG PERAIRAN INDONESIA : http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_4_perpu_1960.htm




Tugas Makalah
Hukum Laut Internasional

Disusun Oleh :

Mohammad Yusfaneri : 0852011148








UNIVERSITAS LAMPUNG
FAKULTAS HUKUM
2012

Anda mungkin juga menyukai