Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa hidung
menghasilakn sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau
busuk.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti.
Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan
ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menunjukkan perbaikan,
dilakukan operasi. Biasanya sekret berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijauan.
Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara
pasien sendiri menderita (anosmia).
Menurut Boeis frekuensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki-laki adalah 3 : 1. Penyakit
ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering
ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang
buruk dan dinegara sedang berkembang.
Rinitis atrofi atau ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan
sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersamaan dengan suatu penurunan tajam dalam
insidens ozaena.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Hidung
Sadler dalam bukunya mengelompokkan perkembangan hidung pada mudigah
bersamaan dengan perkembangan wajah.
Pada akhir minggu ke 4, mesenkim yang berasal dari krista neuralis mulai membentuk
tonjol-tonjol wajah yaitu (1) tonjol maksila, yang terletak disebelah lateral stomodeum,
yaitu di sebelah ventral vesikel otak terjadi proliferasi mesenkim yang membentuk
prominensia frontonasalis, yang di kanan kirinya muncul plakoda nasal (olfaktorius) yang
merupakan penealan-penebalan setempat yang berasal dari ektoderm permukaan dibawah
pengaruh induksi bagian ventral otak depan.
Selama minggu ke 5, plakoda hidung tersebut mengalami invaginasi membentuk
lubang hidung Plakoda hidung membentuk suatu rigi jaringan yang masing-masing
mengelilingi lubang dan membentuk tonjol hidung lateral dan tonjol hidung medial.
Selama 2 minggu selanjutnya, ukuran tonjol maksila terus bertambah besar, dan
tumbuh ke arah medial sehingga mendesak tonjol hidung medial ke arah garis tengah.
Selanjutnya celah antara dua tonjol medial dan tonjol maksila tersebut menghilang,
keduanya bersatu.
Awalnya tonjol maksila dan tonjol hidung terpisah oleh sebuah alur yang dalam yaitu
alur nasolakrimal. Ektoderm di lantai alur ini membentuk sebuah tali epitel padat yang
melepaskan diri dari ektoderm dibawahnya. Setelah terjadi kanalisasi, tali ini membentuk
duktus nasolakrimalis, ujung atasnya melebar membentuk saccus lakrimalis. Setelah
lepasnya tali tersebut, tonjol maksila dan tonjol hidung lateral menyatu. Duktus lakrimalis
kemudian berjalan dari tepi medial mata menuju ke meatus inferior rongga hidung.
Tonjolan maksila kemudian membesar sampai membentuk pipi dan maksila.
Hidung terbentuk dari tonjol-tonjol wajah ke 5; tonjol frontal membentuk
jembatannya, gabungan tonjol-tonjol hidung medial membentuk lengkung cuping dan ujung
hidung, dan tonjol lateral membentuk sisi-sisinya.





2.2 Anatomi Hidung
2.2.1. Hidung Luar dan Hidung Dalam
Secara letak, anatomi hidung dibagi menjadi 2 bagian yaitu hidung luar dan hidung
dalam. Dilihat dari arah depan, hidung merupakan organ berbentuk piramida yang terletak
pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, sedangkan di dalam hidung terbagi
menjadi 2 oleh sekat hidung (septum nasi). Susunan hidung luar dari atas kebawah meliputi
(1) pangkal hidung (bridge) (2) batang hidung atau dorsum, (3) puncak hidung (tip\apeks),
(4) ala nasi, (5) kolumela dan (6) lubang hidung (nares anterior). Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut
filtrum.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkanatau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari (1) tulang hidung (os nasal), (2) prosesus
frontalis os maksila, (3) prosesus nasalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari (1)
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, (2) sepasan nasalis lateralis inferior (kartilago
ala mayor), (3) tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi merupakan daerah yang dimulai dari os internum di
bagian anterior sampai ke koana di bagian posterior. Pintu (lubang) masuk rongga hidung di
bagian belakang disebut nares posterior (koana) yang merupakan penghubung rongga
hidung dan nasofaring. Cavum nasi dibagi menjadi 2 oleh septum nasi dibagian tengahnya.
Septum nasi strktur tulang dibagian tengah yang terdiri dari tulang dan tulang rawan.
Bagian tulangnya meliputi (1) lamina perpendikularis os etmoid terletak disebelah atas, (2)
vomer dan rostrum sfenoid di bagian posterior (3) krista nasalis os maksila, (4) krista
nasalis os palatina kedua krista merupakan struktur bagian bawah. Bagian tulang rawan
meliputi (1) kartilago septum (kuadrangularis) di bagian anterior dan (2) kolumela.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Dinding lateralnya terdiri dari 4
buah konka, (1) konka inferior, paling besar dan letaknya paling bawah, (2) konka media,
lebih kecil, letaknya tepat diatas konka inferior, (3) konka superior, ukurannya lebih kecil
lagi dari konka media, letaknya diatas konka media (4) konka suprema merupakan yang
terkecil, biasanya rudimeter, jarang ditemukan. Disela-sela konka, terdapat rongga udara
sempit yang tidak teratur, yang disebut meatus. Penamaan meatus sesuai dengan konka
yang ada diatasnya. Pada meatus inferior bagian anterior, terdapat duktus nasolakrimalis.
Hiatus semilunaris pada meatus media merupakan muara sinus anterior (frontalis,
maksilaris dan etmodalis anterior). Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoidales
posterior, sedangkan sinus sfenoidales bermuara di resesus sfenoidalis.

Gambar 2.2.1. Hidung luar dan Tulang pembentuk hidung
2.2.2. Vakularisasi Hidung
Sistem perdarahan hidung bermula dari 2 arteri utama yaitu (1) arteri maksilaris
interna dan (2) arteri etmoidalis. Sistem drainase vena berawal dari pleksus kavernosus
dibawah membran mukosa, lalu melalui vena oftalmika, vena fasialis anterior, dan vena
sfenopalatina.
Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Di
anterior septum kartilaginosa, a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor beranastomosis menjadi pleksus kiesselbach (little area) yang merupakan
lokasi epitaksis tersering.




2.2.3 Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari
nervus oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian
bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus
infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian
anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen
Na.karotis interna a.oftalmika H a. etmoidalis
Jjhsinus frontalis
sjj
etmoidalis anterior , dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan
lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut sensorid dari nervus maksila. Serabut parasimpatis
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang dan sedikit
diatas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung.


Gambar 2.2.3 Persarafan Hidung






2.3.1 Fisiologi Hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak
menguntungkan.
Fungsi fisiologis hidung dan SPN adalah (1) fungsi respirasi: air conditioning,
purifikasi udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologiknlocal, (2) fungsi penghidu, (3) fungsi fonasi, (4) fungsi statik dan mekanik,
(5) refleks nasal, mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan fas berhenti.
Pada fungsi respirasi, vibrissae pada vestibulum nasi, silia serta palut lendir
membantu filtrasi udara pada insipirasi. Perlu diketahui bahwa anatomi hidung dalam
yang ireguler menyebabkan arus balik udara inspirasi yang mengakibatkan penimbunan
partikel dalam hidung dan nasofaring, akan tetapi benda asing tersebut akan di
ekspektorans atau diangkut melalui transport mukosiliar ke lambung untuk disterilkan
menggunakan asam lambung. Pada fungsi penyesuaian udara atau air conditioning udara
yang masuk ke hidung akan disesuaikan suhunya dengan suhu tubuh yaitu berkisar 37C
oleh pembuluh darah yang ada di bawah epitel, permukaan konka dan septum yang luas
(turbulensi mengenai konka dan septum).
Cabang nervus olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas
septum berperan dalam fungsi penghidu hidung. Partikel bau dapat mencapai daerah
nervus sensorius tersebut dengan cara difusi dengan palut lendir dan dengan cara menarik
nafas dengan kuat. Hidung juga membantu dalam proses pengecapan untuk membedakan
asal rasa manis dan membedakan asam cuka atau asam jawa.
Proses bicara merupakan suatu roses yang kompleks, melibatkan paru-paru sebagai
sumber tenaga, laring sebagai generator suara, dan struktur kepala dan leher seperti bibir,
lidah, gigi sebagai articulator untuk mengubah suara dasar dari laring menjadi
pembicaraan yang dapat di mengerti. Sinus, nasofaring dan resonansi hidung berperan
pula dalam artikulasi, khususnya pada bunyi tertentu seperti m, n, ing.





2.3.2 Sistem Mukosiliar Hidung
2.3.2.1 Histologi Mukosa
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150cm dan total volumenya sekitar 15ml.
Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung
terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia,
membrana basalis, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.
2.3.2.2 Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu pitel skuamous kompleks pada
vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar
berlapis semu bersilia pada sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki
banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria
ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet
merupakan kelenjar uniseluler yan menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan
sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar
mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir
dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinngi di daerah konka inferior sebanyak
5700sel/mm. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan
epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
dengan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel
bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah siia dapat mencapai 200 buah
pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6m dengan diameter 0,3m. Struktur silia terbentuk
dari 2 mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi 9 pasang mikrotubulus luar. Masing-
masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin
dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah
permukaan sel.
Pada gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.
Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi
(recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan
silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak
secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area
arahnya sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang bersal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh
ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam
pasangannya. Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan
bahan elastis yang diduga neksin.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2m dan diameternya
0,1m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel
kolumnar versilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya
mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan
bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang membantu pertukaran
cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Degan demikian mencegah kekeringan
permukaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibandingkan dengan sel
epitel gepeng.

2.3.2.3 Palut Lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari 2
lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut
lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan
superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak
sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak
berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya.
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi
dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia,
karena sebagian besar batang silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang
lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap
partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan
ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembapan rendah, gas atau
aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan
palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang
perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan
mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas
atau terhenti sama sekali.

2.4 Defenisi Rhinitis Atrofi
Rhinitis Atrofi merupakan penyakit kronik nonspesifik yang ditandai dengan
mukosa dan konka yang atrofi, kelainan mukosa yang menyebabkan terbentuknya krusta,
kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk. Rhinits atrofi memiliki banyak istilah
lain seperti Rhinitis sika, Rhinitis kering, sindrom hidung terbuka dan ozaena.

2.5 Epidemiologi dan Etiologi Rhinitis Atrofi
2.5.1 Epidemiologi
Insidensi terjadinya Rhinitis atrofi sudah berkurang pada abad terakhir, dicurigai
akibat meningkatnya penggunaan antibiotik pada kasus infeksi kronis nasal. Selain
menyerang manusia, rhinitis atrofi juga menyerang babi dan sapi.
Prevalensi terjadinya rhinitis atrofi primer tinggi pada daerah yang kering, jarang
hujan seperti pada gurun-gurun di Arab Saudi. Studi melaporkan bahwa rhinitis atrofi
banyak ditemui di pada orang asia, Hispanics dan afrika-amerika.
Pada satu studi dilaporkan bahwa 69,6% penderita berasal dari rural area dan 43,5%
merupakan pekerja pabrik. Rhinitis atrofi banyak menyerang orang dengan sosial ekonomi
rendah, dan higienis yang buruk. Angka kejadian enam kali lebih sering pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki.
2.5.2 Etiologi
Penyebab dari rhinitis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi infeksi
bakteri kronik pada hidung dan nasal sering dikatakan sebagai penyebab terjadinya rhinitis
alergi primer. Dari hasil pemeriksaan sediaan apus nasal, ditemukan Klebsiella Ozaenae
(paling banyak), Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas Aeruginosa. Defisiensi FE,
defisiensi vitamin A, kelainan hormonal, penyakit kolagen dan kelainan autoimun juga
sering dikaitkan dengan terjadinya kasus rhinitis atrofi.
Rhinitis atrofi sekunder merupakan rhinitis atrofi yang terjadi setelah ada kondisi
fisik yang terjadi sebelumnya, seperti trauma, infeksi, post operation, dalam terapi radiasi
dan lainnya.


2.6 Patologi Rhinitis Atrofi
Rinitis atrofi mempunyai gejala yang khas yaitu dengan adanya perubahan atrofi
pada seluruh bagian hidung. Adapun trias dari rinitis atrofi meliputi bau, krusta, atrofi
nasal.
Histopatologi rinitis atrofi ditandai dengan adanya perubahan epitel respirasi normal
menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa bertingkat (metaplasia) dengan atau
tanpa keratinisasi. Atrofi pada silia, mukosa dan kelenjar submukosa, dimana mukosa
menjadi pucat dan menjadi lebih tipis, tampak lengket, terdapat sekret yang mengering
membentuk krusta berwarna hijau kekuningan dan scabs. Bau yang tercium merupakan
akibat dari terjadinya infeksi sekunder.
Keluhan anosmia terjadi karena proses atrofi juga mengenai epitel olfaktorius, sel
saraf bipolar dan serat saraf, ditambah dengan insufisiensinya udara untuk mencapai area
olfaktorius karena adanya krusta yang menghalangi.
Rinitis atrofi dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
1. Rinitis atrofi tipe 1, merupakan tipe yang sering terjadi, dimana ditemukannya
endarteritis obliterans, periarteritis dan fibrosis periarteria terminal arteriol akibat dari
infeksi kronik dengan infiltrate sel plasma. Rinitis atrofi tipe satu ini berespon baik
terhadap efek vasodilator terapi estrogen.
2. Rinitis atrofi tipe 2 lebih jarang ditemui. Pada tipe ini, sel endotel pada kapiler yang
berdilatasi memiliki sitoplasma yang berlebih, dan menunjukkan adanya resorpsi tulang
melalui ditemukannya alkaline fosfatase. Rinitis atrofi tipe 2 tidak berespon baik terhadap
terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe 1. Endateritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang
menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar
seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka
menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses
autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein
A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung
terhdap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi
mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia.
Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa
hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel
epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan
kuman.

2.7 Gejala dan Tanda klinis
Keluhan yang biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau,
ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa
tersumbat.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan jika krusta diangkat terlihat rongga hidung
sangat lapang, konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen
dan krusta yang berwarna hijau kadang-kadang kuning atau hitam, mukosa hidung tipis
dan kering. Bisa juga ditemui ulat/telur larva (karena bau busuk yang timbul). Ozaena
secara klinik dibagi dalam 3 tingkatan yaitu :
a. Tingkat 1 : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.

2.8 Pemeriksaan
2.8.1 Anamnesa
Keluhan yang paling sering dikeluhkan pasien adalah adanya perasaan hidung yang
tersumbat dikarenakan adanya blunting effect, dan krusta yang besar yang menghalangi
aliran udara.
Keluhan lain yang juga sering dikeluhkan pasien adalah bau busuk yang dikeluhkan
orang sekitar, yang membuat pasien jadi memiliki masalah sosial, pasien sendiri tidak
dapat mencium bau busuk tersebut, karena pasien mengalami anosmia.
Pusing, sekret purulent, krusta kehijauan berbau busuk yang terlepas dan
menyebabkan perdarahan hidung.




2.9 Pemeriksaan Penunjang
2.9.1 Radiologi
Pada foto rontgen ditemukan (1) penebalan mukoperiosteal pada SPN, (2) hipoplasia
sinus maksilaris, (3) pembesaran kavum nasi dengan erosi dan bowing pada dinding
lateralnya, (4) resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan konka media.
Posisi foto yang dapat digunakan posisi Waters, AP, Caldwell dan Lateral.
2.9.2 Mikrobiologi
Ditemuinya kuman Klebsiella Ozaena, Pseudomonas Aeroginosa dan lainnya seperti
yang tertera di etiologi pada hasil kultur bakteri.

2.9.3 Biopsi (Histopatologi)
Mukosa Normal Rinitis Atrofi
Epitel kolumnar bertingkat semu Metaplasia skuamosa
Terdapat kelenjar serosa dan kelenjar
mukus
Atrofi kelenjar mucus
Absensi silia
Endarteritis obliterans

2.10 Diagnosis Kerja
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis (trias rhinitis atrofi), pemeriksaan
darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan fe serum, Mantoux test,
pemeriksaan histopatologi dn test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.

2.11 Diagnosis Banding
Diagnosis bandig dari rhinitis atrofi yaitu :
a. Rinitis kronik TBC
b. Rinitis kronik lepra
c. Rinitis kronik sifilis
d. Sinusitis

2.12 Komplikasi
Komplikasi rhinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
a. Perforasi septum
b. Faringitis
c. Sinusitis
d. Miasis hidung
e. Hidung pelana

2.13 Tatalaksana
Karena etiolginya multifaktorial, maka pengobatan rhinitis atrofi belum ada yang
baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologinya dan mengatasi gejala.
Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau pembedahan.
2.13.1 Pengobatan Konservatif
Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, denagn
dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Pengobatan dengan Rifampicin oral 600
mg 1 x sehari selama 6 minggu. Terapi secara paliatif dapat dilakukan dengan melakukan
irigasi atau cuci hidung untuk menghilangkan bau dan membersihkan krusta.
Nasal irrigation dan douches, dengan komposisi 28,4g sodium bicarbonate (disolusi
krusta), 28,4g sodium diborate (antiseptik, bertindak sebagai bakterisidal dalam asam dan
membantu untuk membuffer bicarbonate), 56,7g sodium chloride (untuk membuat larutan
menjadi isotonik). Satu sendok teh campuran diatas dicampur dengan 280ml air hangat-
luke, dapat digunakan sebagai douches pada kavum nasi untuk membersihkan krusta
menggunakan disposibel 10 atau 20 cc. Dapat diulang 3-4 kali sehari. Saat prosedur
berlangsung, pasien diminta untuk terus mengucapkan K,K,K..... untuk menutup
nasofaringeal isthmus, sehingga resiko aspirasi jadi semakin kecil. Larutan dihirup ke
dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang
masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut. Berdasarkan studi di California,
penggunaan hipertonik salin pulsasi nasal irigasi selama 3 sampai 6 minggu menunjukkan
perubahan yang signifikan pada gejala-gejala tersebut. Jika sukar mendapatkan larutan
diatas dapat dilakukan juga dengan menggunakan 100cc air hangat, satu sendok makan
betadine (15cc), atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air
hangat. Dapat diberikan juga vitamin A 3x50.000 unit dan preparat FE selama 2 minggu.
Tetes hidung glukosa-gliserin juga dapat diadministrasikan setelah melakukan
douches. Glukosa diharapkan dapat menghambat infeksi saprofitik, dan bakteri proteolitik,
serta meningkatkan pertumbuhan flora komensal. Gliserin disisi lain membantu sebagai
lubrikan dan agen higroskopik. Efek samping dari gliserin dapat menyebabkan iritasi.
Pada rhinitis atrofi tipe satu dapat diberikan, estradiol dalam minyak arachis dalam
bentuk obat tetes dan semprot (10.000unit/ml), kemisetin anti ozaena solution dan
streptomisin 1g + Nacl 30 ml, diberikan 3 kali sehari masing-masing 3 tetes.
Perlu diperhatikan, penggunaan dekongestan merupakan kontraindikasi pada rhinitis
atrofi karena dapat memperburuk patologis penyakit.
2.13.2 Pengobatan Operasi
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan
mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik bedah
dibedakan menjadi 2 kategori utama :
1. Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal
2. Operasi seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.
Prinsip pembedahan yaitu rhinitis atrofi dibagi dalam 4 kelompok besar yaitu :
a. Mengurangi ukuran dari kavum nasi dan mencegah pengeringan turbulensi udara
dalam kavum nasi dan mencegah pengeringan serta produksi krusta.
b. Menginduksi regenerasi mukosa normal nasal dengan cara penyempitan rongga
hidung sebagian atau total, dengan implantasi dilakukan selama 2 tahun
c. Meningkatkan lubrikasi pada mukosa nasal yang kering
d. Improvisasi vaskularisasi pada kavum nasi
Pembedahan dengan tujuan mengurangi ukuran dari kavum nasi pertama kali
dilakukan oleh Lautenschlager, dengan cara menarik dinding lateral nasal kearah
medial, atau dinding edial dari antrum maksilaris dengan metode Caldwell-Luc.
Tindakan ini sering disebut juga rekalibrasi fosa nasalis. Menginduksi regenerasi
mukosa nasal dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti metode Young, disusul
dengn Modifikasi Sinha, Modifikasi Gadre, Ghoshs vestibulopathy, dan lainnya
saling berkaitan dengan metode young. Induksi lubrikasi pada kavum nasal yang
kering dapat dilakukan dengan metode Wiitmack, dimana dilakukan implantasi
duktus stensen ke antrum maksilaris. Injeksi ganglion stellate dilakukan dengan
tujuan adanya improvisasi vaskularisasi kavum nasi.





2.14 Prognosis
Prognosis rhinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas penyakitnya. Jika
cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit di diagnosis pada tahap
awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi antimikrobial yang
adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat mengembalikan fungs
hidung kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala klinis yang parah, tetap
dicoba dengan terapi medikamentosa dan jika tidak berhasil pelu dipikirkan untuk
melakukan tindakan bedah.


























DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Ed 7. Jakarta : Badan Penerbit FKUI, 2009.
Hal 118-122, 140-141.
2. Adams GL, Boies Jr LR, Higler PA. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6. Wijaya
C, alih bahasa. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC),1997. Hal 173-188, 221-2
3. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman Ed 7. Suyono J, alih bahasa. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 2000. Hal 331-333.
4. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed :
2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.
5.

Anda mungkin juga menyukai