Anda di halaman 1dari 40

KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA : STUDI

KASUS APBN TAHUN 2005 - 2011




KEBIJAKAN FISKAL :
STUDI KASUS APBN
TAHUN 2005-2011











KARYA JAYA / 10.6337
KHAIRUN NISA / 10.6339
LIGUORI YURIDIS LEDHE / 10.6348
LUALIYATUZ ZAHRO / 10.6352








SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK
(STIS) JAKARTA
2013/2014





I. Pendahuluan

Pengamatan empiris tentang peranan pemerintah dalam perekonomian dan
pembangunan ekonomi telah mendorong para ahli untuk merumuskan teori tentang
kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan kebijakan pengeluaran pemerintah dan kebijakan perpajakan. Jika kondisi
pengeluaran pemerintah adalah lebih besar daripada penerimaannya maka akan terjadi
defisit yang pada akhirnya mengaitkan kebijakan fiskal dengan utang atau pinjaman.
Kebijakan fiskal dalam prakteknya merupakan salah satu upaya di samping
kebijakan moneter untuk mengatasi permasalah ekonomi makro pada umumnya dan
menciptakan fundamental ekonomi yang kokoh. Permasalahan yang dimaksud adalah
tingkat harga (inflasi), produk domestik bruto, penyerapan tenaga kerja dan neraca
pembayaran. Dalam konteks pembangunan ekonomi, kebijakan fiskal tidak hanya
diarahkan untuk mengembangkan perekonomian seperti peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan perkapita, distribusi pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan
stabilisasi ekonomi melainkan juga pada pengembangan aspek sosial sperti pemerataan,
pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan fiskal merupakan keputusan bersama antara
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan ini berkaitan dengan besarnya
penerimaan dan pengeluaran serta pinjaman yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan demikian, untuk memahami kebijakan fiskal di
Indonesia baik arah dan perkembangannya serta hubungannya dengan beberapa
indikator ekonomi dan kesejahteraan rakyat seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi,
pengangguran dan kemiskinan perlu dikaji perkembangan APBN di Indonesia dari
waktu ke waktu. Dalam penelitian ini, kajian kebijakan fiskal hanya dibatasi pada
periode waktu 2005-2011. Hal ini terjadi karena sejak tahun 2005 pemerintah
menerapkan format baru pada anggaran keuagannya yang dilakukan untuk
menyesuaikan format anggaran negara dengan standar internasional serta untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Dalam format baru, belanja pemerintah pusat menggunakan sistem penganggaran
terpadu dengan menggabungkan belanja rutin dan belanja pembangunan. Perubahan
lainnya adalah, pengeluaran pemerintah pusat dirinci menurut jenis, fungsi dan
organisasi

II. Kebijakan Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

2.1 Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perpajakan
dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi suatu perekonomian. Kebijakan ini
merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang otoritas utamanya berada di
tangan pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Keuangan. Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menyebutkan bahwa presiden memberikan
kuasa pengelolaan keuangan dan kekayaan negara kepada Menteri Keuangan selaku
pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan.
2.2 Fungsi Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal memiliki tiga fungsi , antara lain :
a. Fungsi stabilisasi adalah fungsi kebijakan fiskal untuk menjaga perekonomian
agar selalu berada dalam keadaan yang stabil yang ditandai dengan kestabilan
indikator ekonomi makro baik di sektor moneter maupun sektor riil. Fungsi ini
nampak dalam minimalnya volatilitas siklus bisnis yang terjadi. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengendalikan penawaran dan permintaan agregat.
b. Fungsi alokasi yakni melalui kebijakan fiskal pemerintah mengintervensi
perekonomian dengan mengalokasikan sumber daya ekonomi. Intervensi ini dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Intervensi langsung dilaukan
melalui belanja barang dan jasa oleh pemerintah. Intervensi tidak langsung
dilakukan melalui intrumen pajak atau subsidi.
c. Fungsi Distribusi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berkaitan dengan distribusi
barang dan jasa dalam masyakat, isu pemerataan dan trade-off antara pemerataan
dan efisiensi.
2.3 Instrumen Kebijakan Fiskal
Instrumen kebijakan fiskal adalah pendapatan dan pengeluaran pemerintah yang
diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan
dengan undang-undang. APBN mencakup:
a. Anggaran pendapatan yang terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak
dan hibah;
b. Anggaran belanja yang terdiri atas belaja pemerintah pusat dan dana perimbangan
keuangan yang ditransfer ke daerah;
c. Pembiayaan yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan
maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Kebijakan APBN di Indonesia diarahkan kepada balanced budget over cyclical.
Artinya, APBN dirancang untuk mencapai keseimbangan dalam suatu siklus ekonomi.
Untuk itu kebijakan APBN harus bersifat counter cyclical. Pada masa terjadi resesi
ekonomi, kebijakan APBN haruslah merupakan kebijakan fiskal ekspansif yang
dijalankan dengan anggaran defisit untuk menstimulasi aktivitas ekonomi. Pada masa
puncak atau booming dalam perekonomian, APBN yang diterapkan adalah APBN
dengan surplus untuk menyebabkan kontraksi ekonomi. Dengan demikian dalam suatu
jangka menengah, APBN akan berada dalam keadaan seimbang.
Sebagai alat kebiajakan fiskal, APBN merupakan instrumen untuk mengatur
penerimaan dan pengeluran pemerintah untuk pembiayaan perekonomian dan
kehidupan sosial untuk mencapai pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
APBN dapat menciptakan kemakmuran rakyat melalui:
a. Penciptaan stabilitas ekonomi,
b. Penyediaan barang publik dan peningkatan kualitas pelayanan dasar,
c. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,
d. Perlindungan terhadap kelompok miskin, serta
e. Pengembangan ekonomi daerah melalui desentralisasi fiskal dalam rangka
f. Otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab (pertumbuhan yang inklusif).
Untuk, itu APBN harus dijaga untuk berada dalam kondisi yang
berkesinambungan yang ditandai dengan:
a. Defisit yang terkendali menuju keseimbangan atau surplus;
b. Keseimbangan primer terjaga positif;
c. Rasio hutang terhadap PDB yang cenderung menurun.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APBN
Perkembangan besaran APBN dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal
maupun eksternal. Faktor-faktor internal meliputi:
a. Arah dan strategi politik pembangunan yang dijalankan untuk mencapi tujuan
negara dan bangsa yang tercantum dalam UUD 1945. Tujuan tersebut
diterjeakan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan rencana
pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).
b. Perkembangan dan kinerja perekonomian nasional yang menggambarkan
potensi, kapasitas dan struktur penerimaan negara. Penerimaan pajak suatu
negara akan meningkat dengan berkembangnya perekonomian dan sering diukur
dengan rasio penerimaan pajak terhadap perekonomian yang diukur dengan
Produk Domestik Bruto.
c. Kemampuan perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian belanja negara. Hal
ini berkaitan dengan politik anggaran dan masalah serta kualitas birokrasi.
Belanja negara diharapkan diprioritaskan pada peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat. Realisasi belanja negara juga dapat digerogoti oleh
inefektivitas dan inefisiensi birokrasi serta praktik korupsi.
d. Kemapuan pengelolaan pembiayaan. Jika APBN dalam keadaan surplus maka
yang menjadi persoalan adalah bagaimana pemanfaatan surplus APBN untuk
mengantisipasi kemungkinan keadaan sosial ekonomi pada masa yang akan
datang. Jika terjadi defisit APBN maka yang menjadi tantangannya adalah
menemukan sumber-sumber pembiyaan baik dalam negeri maupun luar negeri
dengan risiko minimal.
e. Kondisi non-ekonomi seperti keadaan alam, stabilitas politik dan keamanan
yang dapat mempengaruhi aktivitas perekonomian dan penerimaan serta belanja
negara.
Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap APBN adalah kondisi perekonomian
global, kinerja ekonomi negara mitra dagang utama, harga minya dunia, dan suku bunga
internasional.
III. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kondisi Ekonomi dan Kesejahteraan
Rakyat
3.1 Pertumbuhan Ekonomi
Hubungan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi dapat ditinjau
melalui penggunaan dua instrumen kebijakan fiskal utama yakni pengeuluaran
pemerintah dan pajak. Dalam kondisi resesi dengan pertumbuhan ekonomi yang
melambat maka kebijakan fiskal yang dapat diterapkan adalah kebijakan fiskal
ekspansif melalui peningkatan pengeluaran pemerintah atau pengurangan pajak.
Peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat terhadap
barang dan jasa yang dapat memberikan stimulus pada pasar dan produsen. Hal yang
sama juga terjadi ketika pajak diturunkan yang mengakibatkan peningkatan pendapatan
disposebel rumah tangga pada pendapatan tetap dan peningkatan laba perusahaan serta
penurunan harga barang konsumsi. Kenaikan permintaan agregat agar mendorong
perusahaan/produsen meningkatkan penawaran dengan cara menambah output.
Peningkatan output dapat terjadi melalui peningkatan penggunaan faktor produksi yang
akan mengurangi pengangguran dan memperbesar keterkaitan antarsektor ekonomi.
Kebijakan fiskal yang lainnya yang berkaitan langsung dengan pertumbuhan
ekonomi adalah kebijakan fiskal kontraksi yang dapat diterapkan pada saat
perekonomian sedang booming. Kebijakan fiskal kontraksi diterapkan dengan
menurunkan pengeluaran pemerintah atau meningkatkan pajak. Akibatnya, akan terjadi
penurunan permintaan agregat yang akhirna memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Penerapan kebijakan fiskal melalui kedua instrumen tersebut akan menimbulkan
efek pengganda (multiplier effect)menurut teori Keynes. Efek pengganda untuk
pegeluaran pemerintah dan pajak adalah:
1
1

1
dengan MPC adalah marginal propensity to consume.
3.2 Inflasi
Hubungan antara kebijakan fiskal dengan inflasi dapat dijelaskan melalui teori
demand pull inflation dan cost push inflation. Kenaikan pengeluaran pemerintah atau
penurunan pajak yang meningkatkan permintaan agregat dapat mendorong kenaikan
harga-harga barang dengan asumsi kapasitas dalam meningkatkan penawaran agregat
terbatas. Selain itu kenaikan pajak dapat menjadi beban bagi kegiatan produksi yang
dapat mengakibatkan penurunan penawaran agregat. Peningkatan pajak juga dapat
meningkatkan biaya produksi yang akan medorong peningkatan harga barang hasil
produksi.
3.3 Distribusi Pendapatan
Salah satu fungsi kebijakan fiskal adalah fungsi distribusi yang dapat dimaknai
sebagai upaya dalam pemerataan taraf hidup masyarakat dan mengurangi kesenjangan.
Instrumen fiskal utama yang dapat mengurangi kesenjangan adalah pajak. Sistem pajak
peghasilan yang proporsional atau progresif dapat menjadi jalan untuk mengurangi
kesenjangan. Sistem pajak yang proporsional adalah pajak yang nilai sebanding dengan
nilai pendapatan sedangkan pajak progresif adalah pajak yang nilainya akan meningkat
seiring dengan meningkatnya nilai penghasilan wajib pajak.
3.4 Tingkat Pengangguran
Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan yang dapat mempengaruhi
tingkat pengangguran dan penyerapan tenaga kerja. Kebijakan fiskal ekspansif yang
sifatnya mendorong investasi untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat akibat
dapat memberikan peluang yang besar bagi penyerapan tenaga kerja. Pengeluaran
pengeluaran pemerintah yang meningkatkan investasi dalam bentuk proyek-proyek
pembangunan atau uapay lainya dalam penyediaan lapangan kerja dapat meningkatkan
penyerapan tenaga kerja sehingga dapat menurunkan pengangguran. Meskipun
demikian, ada juga argumen yang menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang ekspansif
justru dapat menyebabkan pengangguran apabila ekspansionari fiskal dialatarbelakangi
oleh defisit dalam APBN yang dibiayai oleh utang. Peningkatan utang ini dapat
mendorong peningkatan suku bunga yang menurunkan gairah investasi dalam negeri.
Menurunnya investasi dapat berdampak pada meluasnya pengangguran karena
sedikitnya lapangan kerja yang tersdia.
3.5 Kesejahteraan Rakyat
Dampak kebjakan fiskal terhadap kesejahteraan rakyat dapat ditinjau dari sisi
kebijakan perpajakan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan perpajakan yang
ditempuh pemerintah dapat berpengaruh langsung terhadap pendapatan disposebel
masyarakat dan tingkat harga-harga barang. Kenaikan pada pajak penghasilan dapat
menurunkan pendapatan disposebel sedangkan kenaikan pada pajak pertambahan nilai
dan pajak yang dikenakan pada perusahaan dapat mendorong peningkatan harga-harga
barang. Peningakatan harga barang ini dapat mengurangi daya beli masyarakat sehingga
menurunkan konsumsinya.
Pengeluaran pemerintah ditinjau menurut jenis dan fungsinya memiliki pegaruh
yang besar terhadap kesejahteraan rakyat. Logika sederhana adalah pemberian subsidi
secara langsung untuk meningkatkan daya beli dan keterjakaungan harga seperti pada
subsidi BBM, subsidi listrik, pupuk, benih dan aneka subsidi lainnya. Selain itu,
pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan dan pengembangan
infrastruktur dan perekonomian dapat secara langsung meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
IV. Kajian Empiris Kebijakan Fiskal Indonesia 2005-2011

4.1 Penerimaan Negara
Penerimaan negara adalah penerimaan pemerintahan yang meliputi penerimaan
pajak, penerimaan yang dperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan
dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang dan sebaginya
(Suparmoko, 1986:93).
Penerimaan negara baik dari dalam negeri ataupun yang berasal dari luar negeri
sangat penting bagi proses keberhasilan proses pembangunan nasional, terutama
penerimaan pemerintah dari dalam negeri yaitu berupa penerimaan pajak dan bukan
pajak serta penerimaan migas dan non migas. Penerimaan ini digunakan untuk menutupi
pengeluaran rutin pemerintah dan sisanya akan menjadi tabungan pemerintah.
Kelebihan dana tersebut yang kemudian akan menjadi sumber pembangunan apabila
tidak tersedia, maka pembangunan harus dibiayai dengan pinjaman luar negeri.
Penerimaan (Rutin) Dalam Negeri
Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan perpajakan dan penerimaan
negara bukan pajak.
4.1.1 Penerimaan perpajakan
Penerimaan perpajakkan dapat dikelompokkan atas beberapa jenis, yaitu:
1). Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan merupakan biaya atau tarif yang ditetapkan sesuai dengan
besarnya penghasilan seseorang
2). Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM)
Pajak pertambahan nilai barang dan jasa merupakan tarif yang dikenakan atas
nilai tambah barang dan jasa sedangkan pajak penjualan atas barang mewah
merupakan pajak yang dikenakan terhadap barang-barang mewah merupakan
pajak yng dikenakan terhadap barang-barang mewah yang diimpor dari luar
negeri
3). Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak bumi dan bangunan merupakan pungutan yang dikenakan atas tanah dan
bangunan yang didirikan di atasanya.
4). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan jenis penerimaan pajak
yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan atas bangunan yang
meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.
5). Pajak lainnya
Pajak lainnya terdiri bea materai dan cukai. Bea materai merupakan tarif yang
dikenakan atas dokumen, dokumen terutang dan tidak terutang. Cukai merupakan
pemungutan atas barang kenai cukai yang digunakan sebagai bahan baku atau
bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir.
6). Cukai
Kebijaksanaan pemungutan cukai tidak semata-mata dilaksanakan untuk mengisi
kas negara tetap juga bertujuan sebagai alat pengatur dalam rangka perlindungan
bagi masyarakat. dasar perhitungan besarnya tarif cukai tergantung kepada jumlah
barang kena cukai, tarif, dan harga dasar
7). Bea Masuk
Bea masuk merupakan tarif yang dikenakan atas barang-barang yang di impor dari
luar negeri. selain sebagai penerimaan negara bea masuk yang bertujuan untuk
memproteksi produksi dalam negeri
8). Tarif Ekspor
Tarif ekspor merupakan tarif atas beberapa komotidi yang akan di ekspor.
Kebijakan pemerintah dibidang pendapatan negara diarahkan untuk mendukung
kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui optimalisasi pendapatan negara
khususnya pajak. Dibidang perpajakan, selain melakukan kebijakan yang bersifat
reguler seperti reformasi dibidang administrasi, peraturan perundang-undangan dan
pengawasan serta penggalian potensi, pemerintah melakukan upaya tambahan baik
dibidang pajak maupun dibidang kepabeanan dan cukai. Pajak inilah salah satu yang
diharapkan menjadi sumber untuk pembiayaan program-program pembangunan.














Tabel 1.
PENERIMAAN PERPAJAKAN, 2005-2011
(dalam miliar rupiah)
URAIAN 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P RAPBN
Penerimaan
Perpajakan
347,031.10 409,203.00 490,988.70 658,700.80 619,922.20 743,325.90 839,540.30
a. Pajak dalam
Negeri
331,791.90 395,971.50 470,051.90 622,358.70 601,251.80 720,764.50 816,422.30
i. Pajak
Penghasilan
175,541.20 208,833.10 238,431.00 327,497.70 317,615.00 362,219.00 414,498.00
1. PPh Migas 35,143.20 43,187.90 44,000.50 77,018.90 50,043.70 55,382.40 54,184.60
2. PPh Nonmigas 140,398.00 165,645.20 194,430.50 250,478.80 267,571.30 306,836.60 360,313.50
ii. Pajak
Pertambahan
Nilai
101,295.80 123,035.90 154,526.80 209,647.40 193,067.50 262,963.00 309,335.10
iii. Pajak Bumi
dan Bangunan
16,216.70 20,858.50 23,723.50 25,354.30 24,270.20 25,319.20 27,676.20
iv. BPHTB 3,431.90 3,184.50 5,953.40 5,573.10 6,464.50 7,155.50 -
v. Cukai 33,256.20 37,772.10 44,679.50 51,251.80 56,718.50 59,265.90 60,711.50
vi. Pajak Lainnya 2,050.20 2,287.40 2,737.70 3,034.40 3,116.00 3,841.90 4,201.50
b. Pajak
Perdagangan
Internasional
15,239.20 13,231.50 20,936.80 36,342.10 18,670.40 22,561.40 23,118.10
i. Bea Masuk 14,920.90 12,140.40 16,699.40 22,763.80 18,105.50 17,106.80 17,988.00
ii. Bea Keluar 318.2 1,091.10 4,237.40 13,578.30 565 5,454.60 5,130.10
Sumber : Kemenkeu

Kondisi perekonomian yang cukup kondusif dalam periode 2005-2009 menjadi
faktor utama yang mendorong meningkatnya pendapatan negara khususnya penerimaan
dalam negeri, meskipun sempat terjadi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 sampai
dengan 2009. Selain faktor kestabilan ekonomi, penerapan berbagai kebijakan dibidang
perpajakan dan PNBP juga menjadi salah satu faktor pendukung tingginya realisasi
penerimaan dalam negeri. Terus membaiknya kondisi perekonomian pada tahun 2010
menyebabkan pemerintah optimis dapat mencapai target pendapatan negara dan hibah.
Untuk diketahui, penerimaan dalam negeri terutama yang berasal dari pajak
memberikan kontribusi rata-rata sebesar 65,44% terhadap belanja negara dari tahun
2005-2009 dan pertumbuhan rata-rata pajak sepanjang tahun 2006-2009 sebesar 16,5%.
Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan adalah 68,09% menjadi 61,34%
tahun 2006, kemudian 64,80% pada tahun 2007 menjadi 66,82% pada tahun 2008, dan
selanjutnya menjadi 66,13% pada tahun 2009. Semakin tingginya kontribusi
penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa peranan penerimaan perpajakan
menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan pembangunan. Sementara itu,
apabila dilihat dari kontribusinya terhadap PDB, yang selanjutnya disebut tax ratio,
penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi antara 10-14% selama periode
2005-2009. Perkembangan tax ratio dalam periode 2005-2010 dapat dilihat pada grafik
1.

Grafik 1. Tax Ratio dan Penerimaan Pajak , 2005 2011
Sumber : Kemenkeu ( diolah)
Sesuai dengan perkembangan ekonomi tahun 2010 dan juga arah kebijakan
perpajakan, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp743,3 triliun dalam APBN-P
tahun 2010 dengan tax ratio sebesar 11,53%. Apabila dibandingkan dengan realisasi
penerimaan perpajakan tahun 2009, target tersebut mengalami peningkatan sebesar
Rp123,4 triliun atau 19,9%. Relatif tingginya pertumbuhan ekonomi dan ICP pada
0.00
100,000.00
200,000.00
300,000.00
400,000.00
500,000.00
600,000.00
700,000.00
800,000.00
900,000.00
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
M
i
l
y
a
r

R
p
P
e
r
s
e
n
Tahun
Penerimaan Perpajakan
Tax Ratio
tahun 2010 menjadi dua faktor utama yang mendorong meningkatnya penerimaan
perpajakan. Selain itu, upaya extra effort yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mengoptimalkan penerimaan perpajakan dinilai telah cukup berhasil meningkatkan
penerimaan. Berbagai upaya yang dilakukan antara lain melalui pemeriksaan,
penagihan, dan peningkatan pengawasan penerimaan.
Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, pemerintah membuat kegiatan
ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Program ekstensifikasi tahun 2010
dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu: (1) pendekatan berbasis pemberi kerja
dan bendahara pemerintah dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham
atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, satf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan
pejabat negara; (2) pendekatan berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan
dan/atau pertokoan, dan perumahan; dan (3) pendekatan berbasis profesi dengan sasaran
dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya. Tiga pendekatan ini
cukup berhasil ditunjukkan dengan peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada
tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April 2010. Sedangkan program intensifikasi atau
penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan
melalui (1) kegiatan mapping dan benchmarking; (2) pemantapan profil seluruh wajib
pajak KPP Madya; (3) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office
(LTO) dan Khusus; (4) pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama; (5) pembuatan
profil high rise building; (6) pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer; dan (7)
pengawasan intensif wajib pajak orang pribadi potensial.
Untuk menjamin penegakan hukum dibidang kepabeanan dan cukai, pemerintah
meningkatkan fungsi pengawasan dan audit. Untuk pengawasan dilakukan antara lain
(1) mengembangkan manajemen risiko kepabeanan dan cukai; (2) membangun sistem
dokumentasi pelanggaran kepabeanan dan cukai; (3) melaksanakan pemberantasan
penggunaan pita cukai palsu; (4) melaksanakan pemberantasan peredaran rokok ilegal;
dan (5) melaksanakan pemberantasan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai.
Sedangkan peningkatan audit dilakukan antara lain melalui (1) pembuatan dokumentasi
sistem informasi perencanaan audit; (2) penyusunan database profil dan objek audit; (3)
monitoring pelaksanaan audit; serta (4) penyempurnaan aplikasi sistem audit.
Penerimaan perpajakan yang dominan berasal dari pajak dalam negeri dengan
rata-rata Rp484,2 triliun dari tahun 2005-2009. Sementara pajak perdagangan
internasional dengan rata-rata Rp20,8 triliun selama 2005-2009.


Grafik 2. Penerimaan Perpajakan 2005-2011 (miliar rupiah)
Sumber : Kemenkeu
Jika dilihat perkembangan item atau rincian dari penerimaan pajak dalam negeri,
menunjukkan pajak penghasilan memberi kontribusi yang paling besar, dengan rata-rata
Rp253,5 triliun selama tahun 2005-2009, sementara pajak lainnya memberikan
kontribusi terkecil dengan rata-rata Rp20,8 triliun selama tahun 2005-2009.


Grafik 3. Pajak Dalam negeri 2005-2011 ( Miliar rupiah )
0.00
100,000.00
200,000.00
300,000.00
400,000.00
500,000.00
600,000.00
700,000.00
800,000.00
900,000.00
M
i
l
y
a
r

R
p
Tahun
a. Pajak dalam Negeri
b. Pajak Perdagangan
Internasional
0.00
50,000.00
100,000.00
150,000.00
200,000.00
250,000.00
300,000.00
350,000.00
400,000.00
450,000.00
2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P
2010
RAPBN
2011
M
i
l
y
a
r

R
p
Tahun
i. Pajak Penghasilan
ii. Pajak Pertambahan Nilai
iii. Pajak Bumi dan Bangunan
iv. BPHTB
v. Cukai
vi. Pajak Lainnya
Sumber Kemenkeu
Peningkatan yang terjadi pada PPn dan PPnBM impor secara umum sejalan
dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, yang berimbas pada meningkatnya
kegiatan ekspor-impor Indonesia. PPn dan PPnBM ini memberikan kontribusi rata-rata
30,7% terhadap total penerimaan pajak selama 2005-2009.
Sementara itu, faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan
PBB adalah naiknya nilai jual objek pajak (NJOP) dari tahun ke tahun dan perluasan
objek PBB. PBB memberikan kontribusi rata-rata 4,5% terhadap total penerimaan pajak
selama 2005-2009. Faktor yang mempengaruhi NJOP adalah harga pasar properti baik
tanah maupun bangunan. Khusus untuk PBB sektor perkebunan, kehutanan, dan
pertambangan, kenaikan NJOP juga dipengaruhi oleh nilai produksinya, dan PPB
pertambangan dipengaruhi karena ICP yang cenderung naik dan jumlah areal
pertambangan yang terus bertambah.
Peningkatan penerimaan BPHTB terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah
transaksi jual beli tanah dan bangunan. BPHTBhanya memberikan kontribusi rata-rata
1% terhadap total penerimaan pajak selama 2005-2009. Sebagaimana diketahui kegiatan
usaha dibidang properti sempat mengalami booming pada periode 2005-2007, meskipun
agak melemah pada tahun 2008 dan 2009. Kenaikan penerimaan BPHTB pada tahun
2010 lebih banyak dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi di sektor properti. Hal ini
sejalan dengan tren penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang berpengaruh
terhadap turunnya bunga kredit kepemilikan apartemen (KPA) dan kredit kepemilikan
rumah (KPR). Selain itu, meningkatnya transaksi properti juga dipengaruhi oleh
semakin mudahnya persyaratan pemberian kredit.
Penerimaan cukai bersumber dari cukai hasil tembakau, cukai ethil alkohol (EA),
cukai MMEA, denda administrasi cukai, dan cukai lainnya.Penerimaan cukai
cukupmemberikan kontribusi yang besar, dengan rata-rata 9% terhadap total
penerimaan pajak selama 2005-2009. Perkembangan penerimaan cukai hasil tembakau,
contohnya, periode 2005-2009 menunjukkan kecenderungan meningkat yang terutama
dipengaruhi oleh kebijakan dibidang tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai,
peningkatan pengawasan administrasi pembukuan.
Penerimaan pajak lainnya memberikan kontribusi rata-rata yang kecil, yaitu, 0,5%
terhadap total penerimaan pajak selama 2005-2009. Sebagian besar dari penerimaan
pajak lainnya tersebut bersumber dari bea materai. Secara umum, penerimaan pajak
lainnya dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi yang menggunakan dokumen
bermeterai.
Dilihat dari komposisinya, penerimaan PPh migas memberikan kontribusi rata-
rata sebesar 10,3% terhadap total penerimaan perpajakan selama periode 2005-2009,
sedangkan PPh non migas memberikan kontribusi rata-rata sebesar 40,3%.
Perkembangan realisasi penerimaan PPh migas yang cenderung meningkat tersebut
sesuai dengan perkembangan ICP yang menunjukkan adanya tren kenaikan, meskipun
lifting mengalami flukuasi. Selain faktor ekonomi, peningkatan penerimaan PPh
nonmigas terutama disebabkan oleh upaya perbaikan administrasi perpajakan dan extra
effort sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.


Grafik 4. Pajak Penghasilan 2005 2011 ( miliar rupiah )
Sumber : Kemenkeu
Penerimaan pajak perdagangan internasional yang dominan berasal dari bea
masuk dengan rata-rata Rp16,9 triliun dari tahun 2005-2009. Sementara pajak
perdagangan internasional dengan rata-rata Rp3,9 triliun selama 2005-2009. Dalam
realisasi penerimaan pajak perdagangan internasional selama 2006-2009, mengalami
pertumbuhan rata-rata 17,5%, walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2006
2005 2006 2007 2008 2009
APBN-
P
2010
RAPB
N
2011
1. PPh Migas 35,143. 43,187. 44,000. 77,018. 50,043. 55,382. 54,184.
2. PPh Nonmigas 140,398 165,645 194,430 250,478 267,571 306,836 360,313
0.00
50,000.00
100,000.00
150,000.00
200,000.00
250,000.00
300,000.00
350,000.00
400,000.00
m
i
l
y
a
r

r
p
tahun
1. PPh Migas
2. PPh Nonmigas
dan tahun 2009. Secara umum, peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh
meningkatnya harga komoditas strategis seperti CPO dan turunannya.
Dalam periode 2008-2010, bea masuk mengalami penurunan. Bea masuk
memberikan kontribusi rata-rata sebesar 3,41% terhadap total penerimaan perpajakan
selama periode 2005-2009. Penurunan ini disebabkan oleh penerapan kebijakan
harmonisasi tarif bea masuk Most Favoured Nations (MFN). Selain itu, kebijakan
penurunan tarif juga terjadi sebagai konsekuensi dari kerjasama perdagangan
internasional dengan negara-negara di Asia, baik melalui kerjasama regional, regional
plus one(ASEAN-Tiongkok, ASEAN-Korea)dan bilateral (Indonesia-Jepang).
Penerimaan bea keluar bersumber dari penggunaan bea keluar atas ekspor rotan,
kulit, kayu, kelapa sawit, CPO dan produk turunannya. Pertumbuhan tertinggi terjadi
pada pertengahan tahun 2008 ketika harga CPO di pasaran internasional melampaui
level USD1.200 per ton. Pada tahun berikutnya penerimaan bea keluar cenderung
menurun mengikuti perkembangan harga CPO internasional.

Grafik 5. Pajak Perdagangan Internasional 2005 -2011 ( miliar )
Sumber : Kemenekeu

4.1.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak
0.00
5,000.00
10,000.00
15,000.00
20,000.00
25,000.00
2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P
2010
RAPBN
2011
M
i
l
y
a
r

R
p
Tahun
i. Bea Masuk
ii. Bea Keluar
Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
mendefenisikan PNBP sebagai penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari
penerimaan perpajakan. Dalam Undang-undang tersebut, PNBP antara lain
dikelompokkan ke dalam (1) penerimaan negara yang bersumber dari pengelolaan dana
pemerintah; (2) penerimaan pemanfaaran sumber daya alam;(3) penerimaan dari hasil-
hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;(4) penerimaan dari kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan pemerintah;(5) penerimaan berdasarkan putusan
pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;(6) penerimaan berupa
hibah yang merupakan hak pemerintah; dan 7) penerimaan lainnya yang diatur dalam
Undang-undang tersendiri.
Dalam struktur APBN, PNBP dikelompokkan ke dalam (1) penerimaan sumber
daya alam (SDA); (2) penerimaan bagian pemerintah atas Laba Badan Usaha Negara
(BUMN);(3) PNBP lainnya; dan (4) pendapatan badan layanan umum (BLU).
Penerimaan SDA terbagi atas penerimaan SDA minyak bumi dan gas bumi ( migas) dan
penerimaan SDA non migas.
Perkembangan Peneriman Negara Bukan Pajak (PNBP)
Berdasarkan tabel 2 , Secara nominal PNBP mengalami pertumbuhan yang
tinggi pada tahun 2006 yaitu 54,5 persen atau Rp146888,30 miliar pada tahun 2005
menjadi Rp226950,10 miliar pada tahun 2006. Namun, di tahun 2009 PNBP
mengalami pertumbuhan negatif atau penurunan yang sangat tinggi yakni mencapai -
29,1 persen , yaitu dari Rp320604, 60 miliar ditahun 2008 menjadi Rp227174,40 miliar
di tahun 2009.
Tabel 2
Perkembangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2005 -2011
(miliar rupiah)
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009
2010
(APBN-P)
2011
(RAPBN)
I. Penerimaan SDA 110.467,20 167.473,80 132.892,60 224.463,00 138.959,20 164.726,70 158.173,70
a. Migas 103.762,00 158.086,10 124.783,70 211.617,00 125.752,00 151.719,90 145.261,20
b. Non Migas 6.705,20 9.387,70 8.108,90 12.846,00 13.207,30 13.006,90 12.912,50
II. Bagian Pemerintah
atas Laba BUMN
12.835,20 21.450,60 23.222,50 29.088,40 26.049,50 29.500,00 26.590,40
III. PNBP lainnya 23.585,90 38.025,70 56.873,40 63.319,00 53.796,10 43.462,80 43.429,80
IV. Pendapatan BLU 2131,20 3734,30 8369,50 9486,90 14895,80
PNBP
146.888,30 226.950,10 215.119,70 320.604,60 227.174,40 247.176,40 243.089,70
Sumber : Kementerian Keuangan
a. Penerimaan SDA
Penerimaan SDA, yang terdiri dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas
bumi (migas) dan penerimaan SDA non migas merupaka sumber utama PNBP. Dapat
dilihat dari grafik 6 , penerimaan SDA memberikan konstribusi yang paling besar
terhadap PNBP jika dibandingkan dengan bagian pemerintah atas Laba BUMN, PNBP
lainnya dan pendapat BLU.

Grafik 6. kontribusi Sumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak 2005-2011 (persen)
Sumber : kementerian keuangan (diolah)
Selama periode 2005-2011 , penerimaan SDA mempelihatkan perkembangan
yang berfluaktif. Secara nominal, penerimaan SDA terbesar yakni sebesar Rp224.463
pada tahun 2008, atau mengalami peningkatan sebesar 68,9 persen bila dibanding
realisasi tahun 2007. Penurunan realisasi terjadi pada tahun 2007 dan 2009, yakni
masing-masing sebesar 20,6 persen dan 38,1 persen.
Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan SDA ditargetkan sebesar Rp164.726,70.
Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, perkiraan penerimaan SDA tersebut
2005 2006 2007 2008 2009
2010
(APBN-P)
2011
(RAPBN)
Pendapat BLU 0.99 1.16 3.68 3.84 6.13
PNBP Lainnya 16.06 16.76 26.44 19.75 23.68 17.58 17.87
Bagian Pemerintah atas Laba
BUMN
8.74 9.45 10.80 9.07 11.47 11.93 10.94
Penerimaan SDA 75.20 73.79 61.78 70.01 61.17 66.64 65.07
0
20
40
60
80
100
mengalami peningkatan. Grafik 2.2 memperlihatkan perkembangan penerimaan SDA
periode 2005-2011


Grafik 7. perkembangan Penerimaan SDA periode 2005-2011 (miliar rupiah)
Sumber : kementerian Keuangan
Penerimaan SDA Migas dan Non Migas
Penerimaan SDA migas merupakan sumber utama yang mendominasi penerimaan
dalam struktur PNBP. Peningkatan atau penurunan terhadap penerimaan SDA miga
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap PNBP secara keseluruhan. Selama
periode 2005-2009 , rata-rata kontribusi penerimaan SDA migas terhadap total
penerimaan SDA masing-masing sebesar 93,4 persen. Penerimaan SDA migas tersebut
bersumber dari penerimaan minyak bumi dan penerimaan gas alam.
Sedangkan penerimaan SDA non migas merupakan penerimaan negara yang
diperoleh dari pengelolaan sumber daya non migas yang terdiri atas: (1) penerimaan
pertambangan umum;(2) penerimaan kehutanan; (3) penerimaan perikanan ;dan (4)
penerimaan pertambangan panas bumi. Pada tahun 2009, kontribusi terbesar dari
penerimaan SDA non migas terhadap total penerimaan SDA yakni sebesar 9,50 persen.
0.00
50,000.00
100,000.00
150,000.00
200,000.00
250,000.00
penerimaan SDA

Grafik 8. Konstribusi Migas dan Non Migas terhadap Penerimaan SDA pada PNBP 2005-2011
Sumber : kementerian Keuangan

b. Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
Menurut ketentuan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN,
dijelaskan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan. Seiring perkembangan waktu, pada saat ini BUMN
memegang lima peranan dalam ekonomi nasional, yakni: (a) memberikan sumbangan
bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara
pada khususnya; (b) mengejar keuntungan; (c) menyelenggarakan kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak; (d) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha
yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; dan (e) turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi, dan masyarakat. Kelima peran ekonomi tersebut merupakan amanah dari pasal
2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003.


2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
non migas 6.07 5.61 6.10 5.72 9.50 7.90 8.16
migas 93.93 94.39 93.90 94.28 90.50 92.10 91.84
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
c. PNBP lainnya
Dalam struktur APBN, PNBP lainnya terdiri atas penerimaan yang bersumber dari
(1) pendapatan penjualan dan sewa;(2) pendapatan jasa;(3) pendapatan bunga; (4)
pendapatan kejaksaan dan peradilan;(5) pendapatan pendidikan;(6) pendapatan
gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (7) pendapatan iuran dan denda; serta (8)
pendapatan lain-lain
d. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU)
Pendapatan BLU merupakan jenis pendapatan yang baru dimulai sejak tahun
2007. Namun, perkembangan penerimaan BLU dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Dapat dilihat dari grafik 2.3.

Grafik 9. Perkembangan Pendapatan BLU periode 2007-2009 (miliar rupiah)
Sumber : Kementerian Keungan
4.2 Pengeluaran Negara

4.2.1 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis
Belanja pemerintah pusat menurut jenis dibagi menjadi beberapa komponen
utama yakni belanja pagawai, belanja barang/jasa, belanja modal, pembayaran bungan
utang, subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja lainnya.
0.00
2,000.00
4,000.00
6,000.00
8,000.00
10,000.00
12,000.00
14,000.00
16,000.00
2007 2008 2009 2010
(APBN-P)
2011
(RAPBN)
pendapatan BLU
Menurut jenisnya, belanja rutin pemerintah pusat masih didominasi oleh
pengeluaran pemerintah untuk berbagai subsidi, belanja pegawai dan pembayaran bunga
hutang dan belanja barang/jasa (Grafik 1). Secara rata-rata pengeluaran untuk subsidi
mencakup 28,21 persen total belanja rutin. Belanja pegawai menghabiskan 18,42 persen
belanja rutin. Pembayaran bungan utang pemerintah secara rata-rata mencapai 15,31
persen total belanja rutin. Belanja barang dan jasa dialokasikan 11,55 persen dari total
pengeluaran rutin pemerintah pusat. Dengan demikian belanja pemerintah yang bersifat
mengikat/wajib mencakup 73,49 persen sedangkan sisanya adalah untuk belanja yang
sifatnya tidak mengikat seperti belanja modal, belanja hibah, bantuan sosial dan belanja
lain-lain. Hal ini menyebabkan ruang fiskal yang tersedia bagi pemerintah untuk
melakukan intervensi bagi kegiatan ekonomi masyarakat dengan memberikan stimulus
fiskal terhadap perekonomian, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan
kesejahteraan rakyat menjadi terbatas. Oleh karena itu pemerintah menempuh upaya
peningkatan kualitas belanja negara dengan lebih memperhatikan efisiensi, ketepatan
alokasi, serta pengaruhnya terhadap perekonomian.


Grafik 10. Belanja pemerintah Pusat Menurut Jenis
Sumber: Kemenkeu (Diolah)
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah komponen pengeluaran pemerintah yang terus meningkat
dari tahun ke tahun baik dari sisi nominal maupun proporsi terhadap total
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P
2010
RAPBN
2011
54254.2
73252.3
90425
112829.9
127669.7
162659
180624.1
65199.6
79082.6 79806.4
88429.8
93782.1
105650.2
116402.8
120765.3
107431.8
150214.4
275291.5
138082.2
201263
184816.8
Belanja lain-lain
Belanja bantuan sosial
belanja hibah
subsidi
pembayaran bunga utang
belanja modal
Belanja barang
Belanja Pegawai
pengeluaran.Perubahan belanja pegawai sangat dipengaruhi oleh jumlah pegawai dan
penerima pensiun, komposisi pangkat dan jabatan pegawai serta kebijakan kepegawaian
yang diterapkan pemerintah. Rata-rata peningkatan pengeluaran untuk belanja pegawai
pertahun adalah 22,27 persen. Belanja pegawai telah meningkat dari 54,254 triliun
rupiah (15,02 persen dari total pengeluaran) pada tahun 2005 menjadi 180,624 triliun
rupiah (21,93 persen dari total pengeluaran) pada tahun 2011 atau secara rata-rata
mencakup 2,33 persen PDB.
Dalam periode 2005-2010 misalnya telah diterapkan kebijakan untuk
meningkatkan kesejahteraan pegawai dan aparatur negara. Pada tahun 2006 dan 2007
gaji PNS dan TNI/Polri dinaikkan rata-rata lima belas persen pertahun, dua puluh
persen secara rata-rata pada tahun 2008, lima belas persen pada tahun 2009 dan rata-rata
lima persen apda tahun 2010. Selain itu, dilakukan juga kenaikan untuk tunjangan
jabatan struktural dan tunjangan fungsional serta pemberian tunjangan umum bagi
pegawai nonpejabat. Upaya ini telah secara signifikan meningkatkan kesejahteraan
pegawai negeri dan aparatur negara.
b. Belanja Barang
Dalam kurun waktu 2005-2011 belanja barang telah meningkat 54,254 triliun
rupiah (15,02 persen dari total pengeluaran) menjadi 180,624 triliun rupiah (21,93
persen dari total pengeluaran. Kenaikan pengeluaran pemerintah untuk belanja barang
pada periode ini sejalan dengan meningkatnya ketersediaan sarana dan prasana kerja,
meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana kerja, baik perangkat kerasmaupun
perangkat lunak, serta pengadaanperalatan kantor guna memenuhi
kebutuhanadministrasi dan operasional yang semakinmeningkat di berbagai instansi.
Selain itu terjadi pertambahan jumlah satuan kerja yangberdampak pada meningkatnya
jumlah asetdan barang inventaris Pemerintah yangmemerlukan pemeliharaan. Faktor
lain yang turut meningkatkan belanja barang adalah meningkatnya harga barang dan
jasa yangsangat mempengaruhi biaya pemeliharaanmaupun perjalanan dinas. Di
samping itu, kegiatan pemilihan umum (Pemilu) juga telahmeningkatkan realisasi
belanja barang dalam tahun 2009.
c. Belanja Modal
Belanja modal adalah salah satu komponen belanja pemerintah yang meningkat
cukup signifikan dengan rata-rata pertumbuhan 21,12 persen pertahun. Pada tahun 2005
realisasi belanja modal adalah sebesar 32,89 triliun rupiah (9,1 persen dari tota
pengeluaran). Pengeluaran ini meningkat menjadi 95,024 triliun rupiah (12,16 persen
dari total pengeluaran) pada tahun 2010. Pada tahun 2011, belanja modal dialokasikan
sebesar 121,659 triliun rupiah (14,77 persen dari total pengeluaran). Peningkatan
pengeluaran belanja modal ini merupakan dampak dari diusahakannya pergeseran pola
pengeluaran pemerintah dari belanja barang menjadi belanja modal untuk memacu
pertumbuhan ekonomi. Selain itu, peningkatan belanja modal diakibatkan oleh
peningkatan pembangunan infrastruktur di tanah air untuk meningkatkan akses
masyarakat ke pelayanan dasar, mendukung dan meningkatkan pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi serta konektivitas antar wilayah.
d. Pembayaran Bunga Utang
Pembayaran bunga utang yang dilakukan pemerintah terdiri atas pembayaran
bunga utang dalam negeri (Surat Berharga Negara/SBN Domestik) dan pembayaran
bunga utang luar negeri dan SBN internasional. Dalam kurun waktu 2005-2010
pembayaran bunga utang didominasi oleh pembayaran bunga utang dalam negeri
sebesar 65 persen sedangkan bunga utang luar negeri sebesar 35 persen. Bunga SBN
dipengaruhi oleh beberapa komponen utama termasuk di dalamnyayield penerbitan
SBN, banyaknya penerbitan dalam tahun berjalan, suku bunga SBI 3 bulan dan nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS.
Secara nominal pembayaran bunga utang luar negeri meningkat dari tahun ke
tahun dengan rata-rata peningkatan sebesar 10,49 persen pertahun. Pembayaran bunga
utang telah meningkat dari 65,2 triliun rupiah pada tahun 2005 menjadi 116,403 triliun
rupiah pada tahun 2011. Dari segi proporsi terhadap total pengeluaran, pembayaran
bunga utang pemerintah cenderung menurun, yakni dari 18,05 persen pada 2005
menjadi 14,13 persen pada tahun 2011.
e. Subsidi
Pengeluaran untuk subsidi umunya berfluktuasi dari tahun ke tahun. Meskipun
demikian, subsidi umumnya telah meningkat sebesar 64,051 triliun dari 120,765 triliun
rupiah (4,4 persen terhadap PDB) pada 2005 menjadi 184,817 triliun rupiah (2,5 prsen
terhadap PDB) pada 2011 atau tumbuh secara rata-rata 15,82 persen per tahun. Subsidi
tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 275,292 triliun rupiah meningkat 83,3
persen dibandingkan tahun 2007. Perubahan realisasi subsidi dalam periode ini
berkaitan dengan perubahan harga minyak mentah Indonesia dan nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat serta perubahan parameter yang diguanakan dalam
memperhitugkan subsidi.
Subsidi dibagi menjadi dua komponen utama yakni subsidi energi dan subsidi
nonenergi. Subsidi energi adalah subsidi yang diberikan kepada perusahaan/lembaga
yang menyediakan atau mendistribusikan bahan bakar minyak jenis tertentu, LPG
tabung 3 kg dan tenaga listrik sehingga harganya terjangkau oleh masyarakat. Subsidi
non-energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembagayang
memproduksi dan/atau menjual barang dan/atau jasa tertentu yang ditetapkan
olehPemerintah selain BBM jenis tertentu, BBN, LPG tabung 3 kg, dan tenaga listrik,
sehinggaharga jualnya terjangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah.
Tabel 3.
Subsidi Energi dan Non energi serta persentasenya terhadap PDB Periode 2007-2011
( Miliar Rupiah )
Sumber: Kemenkeu (Diolah)
Subsidi energi secara rata-rata mencakup 77,97 persen total subsidi pertahun.
Subsidi nonenenergi secara rata-rata mencakup 22,03 persen dari total subsidi per tahun.
Dengan demikian pengeluaran subsidi untuk energi adalah pengeluaran subsidi terbesar.


2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P RAPBN

A. ENERGI
104449.2 94605.4 116865.9 223013.2 94585.9 143997.1 133806.7
B. NON ENERGI
16316.1 12826.5 33348.6 52278.3 43496.3 57265.9 51010
TOTAL
120765.3 107431.8 150214.4 275291.5 138082.2 201263 184816.8
Persentase Subsidi terhadap PDB
A. ENERGI
3.76% 2.83% 2.96% 4.51% 1.69% 2.23% 1.80%
B. NON ENERGI
0.59% 0.38% 0.84% 1.06% 0.78% 0.89% 0.69%
TOTAL
4.35% 3.22% 3.80% 5.56% 2.46% 3.12% 2.49%
Secara rata-rata subsidi energi dan nonenergi masing-masing pertahun mencapai 2,83
persen dan 0,75 persen terhadap PDB. Subsidi energi dan nonenergi tertinggi terjadi
pada tahun 2008 yang mencapai masing-masing 4.51 persen dan 1,06 persen terhadap
PDB.
Perubahan realisasi anggaran subsidi energi (tabel 3) merupakan akibat dari
perubahan parameter dalam penghitungan subsidi energi seperi harga minyak mentah
Indonesia, nilai tukar rupiah, volume BBM bersubsidi, penjualan tenaga listrik serta
kebijakan penetapan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan tarif dasar listrik. Subsidi
energi teridiri atas subsidi BBM dan subsidi listrik. Pemberian subsidi untuk kedua
kelompok barang ini adalah agar menjaga kestabilan sosial dan ekonomi karena
keduanya merupakan komoditi yang memiliki keterkaitan yang erat dengan aspek-aspek
sosial ekonomi. Subsidi energi didominasi oleh subsidi BBM.
Secara nominal subsidi BBM menurun dari 95,6 triliun rupiah pada tahun 2005
menjadi 92,78 triliun rupiah pada tahun 2011.Penurunan ini terjadi karena penurunan
konsumsi volume BBM bersubsidi yang terjadi dalam periode waktu ini. Meskipun
demikian perkembangan subsidi BBM dapat dikatakan berfluktusi (grafik 10 ). Subsidi
BBM tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang diakibatkan oleh kondisi perekonomian
global yang sedang melambat dan meningkatnya harga minya dunia.

Grafik 11. Jenis Subsidi Energi dan Nonenergi
Sumber: Kemenkeu (Diolah)
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
M
i
l
i
a
r

R
u
p
i
a
h
Tahun
Subsidi BBM
Subsidi LIstrik
Subsidi Lainnya
Subsidi Pangan
Subsidi Pajak
Subsidi Pupuk
Subsidi nonenergi meliputi subsidi pangan, pupuk, pajak dan subsidi lainya
(subsidi minyak goreng, subsidi kedelai, subsidi benih, PSO, subsidi kredit program,
dan subsidi lainnya). Subsidi nonengeri cenderung meningkat dari tahun ke tahun (tabel
1). Faktor pendorong peningkatan subsidi ini adalah perubahan prameter dalam
penghitungan subsidi dan penambahan jenis subsidi. Subsidi nonenergi umumnya
didominasi oleh subsidi pajak, subsidi pangan dan subsidi pupuk.
Subsidi pangan secara nominal telah meningkat dari 6,36 triliun pada tahun 2005
menjadi 15,27 triliun rupiah pada tahun 2011 atau meningkat secara rata-rata sebesar
19,23 persen pertahun. Peningkatan subsidi pangan ini berkaitan dengan jumlah rumah
tangga sasaran pembeli raskin, meningkatnya volume raskin, dan semakin melebarnya
selisih harga raskin yang memperbesar subsidi harga per kilogram raskin.
Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan produktivitas serta revitalisasi
sektor pertanian maka pemerintah memberikan subsidi pupuk dan subsidi benih yang
nilainya terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain berbagai jenis subsidi tersebut,
pemerintah juga mengalokasikan anggaran subsidipajak untuk mendukung program
stabilisasi harga kebutuhan pokok dan perkembanganindustri nasional yang strategis.
Perkembangan realisasi subsidi pajak ini sangat tergantungkepada jenis komoditi atau
sektor-sektor tertentu yang diberikan fasilitas pajak dalam bentukpajak ditanggung
pemerintah (DTP). Dalam kurun waktu 2005-2011 subsidi pajak meningkat dari 6,2
triliun rupiah menjadi 14,75 triliun rupiah.Kenaikan realisasi subsidi pajak DTP tersebut
berkaitan dengan kebijakan pemerintah untukmenanggung pajak atas sektor-sektor yang
strategis, yaitu pembebasan pajak pertambahannilai (PPN) atas impor barang untuk
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panasbumi.
4.2.2 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi
Menurut fungsinya belanja pemerintah pusat digunakan untuk membiayai fungsi
pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, perumahan dan
fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan
sosial. Dalam periode 2005-2011, pengeluaran pemerintah sebagiah besar dialokasikan
untuk menjalankan fungsi pelayanan umum. Realisasi dan alokasi pengeluaran untuk
palayanan umum secara rata-rata mencapai 67,55 persen per tahun, dan sisanya
digunakan untuk membiayai fungsi lainnya (Grafik 12).

Grafik 12. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi
Sumber: Kemenkeu (Diolah)
Pengeluaran pemerintah untuk fungsi pelayanan umum mengalami peningkatan
yang signifikan setiap tahunnya. Rata-rata peningakatan pengeluaran pelayanan umum
adalah 15,93 persen pertahun. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pencapaian dari pegeluaran pemerintah di
bidang pelayanan umum ini adalah teralurkannya aneka bentuk subsidi kepada
masyarakat, terlakasananya kewajiban pemerintah dalam mebayar bunga utang,
terselenggaranya penyelamata arsip/dokumen termasuk pasca-bencana.
Pengeluaran menurut fungsi yang cukup menonjol juga adalah pengeluaran untuk
pendidikan yang terdiri atas penyelenggaraan pendidikan yang menjadi wewenang
pemerintah pusat dan daerah. Dalam kurun waktu 2005-2011, pengeluan pendidikan
telah meningkat 29,31 triliun rupiah menjadi 81,99 triliun rupiah. Rata-rata peningkatan
pertahunnya adalah 21,33 persen. Pengeluaran pendidikan ini secara rata-rata mencakup
10,34 persen dari total pengeluaran pemerintah per tahun. Pencapaian dari pengeluaran
ini adalah peningkatan dana BOS, peningakatan jumlah beasiswa, naiknya APK untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah, meningkatnya keberaksaraan penduduk dan
pelayanan pendidikan pada daerah-daerah terpencil.
4.2.3 Dana Perimbangan Daerah
0.00
100,000.00
200,000.00
300,000.00
400,000.00
500,000.00
600,000.00
700,000.00
800,000.00
900,000.00
m
i
l
i
a
r

r
u
p
i
a
h
Perlindungan Sosial
Pendidikan
Agama
Pariwisata dan Budaya
Kesehatan
Perumahan dan Fasilitas Umum
Ekonomi
Ketertiban dan Keamanan
Pertahanan
Pelayanan umum
Era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberikan kewenangan dan keluasaan
untuk mengelola sumber daya daerahnya. Kewenangan pemerintah daerah tersebut
bertujuan agar daerah lebih mandiri dalam mengelola keuangannya untuk meningkatkan
pembangunan daerah. Pada era desentralisasi ini, Pemerintah Pusat berdasarkan UU No.
33/2004 memberikan dana transfer kepada pemerintah daerah. Dana transfer pusat
tersebut digunakan sebagai perimbangan keuangan daerah. Dana Perimbangan terdiri
atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Adapun pembahasan secara spesifik mengenai ketiga jenis dana perimbangan
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH terdiri dari DBH
Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). DBH Pajak meliputi DBH Pajak Bumi
Bangunan (PBB), DBH Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan dan DBH Cukai Hasil
tembakau (CHT). Sedangkan DBH SDA meliputi Kehutanan, Pertambangan Umum,
Perikanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, serta Pertambangan Panas Bumi.

Grafik 13. Perkembangan Dana Bagi Hasil Pajak Daerah Tahun 2008-2011
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Diolah

Sumatera
DKI
Jakarta
Jawa
Bali dan
Nusa
Tenggara
Kalimanta
n
Sulawesi
Maluku
dan
Papua
2008 0.18 8.53 0.50 0.08 0.22 0.06 0.12
2009 0.19 8.58 0.57 0.08 0.24 0.07 0.12
2010 0.23 9.40 0.68 0.11 0.26 0.08 0.14
2011 0.20 8.60 0.51 0.10 0.24 0.07 0.12
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
M
i
l
i
a
r

R
u
p
i
a
h
Grafik 13 memberikan gambaran mengenai DBH Pajak masing-masing daerah
selama periode 2008-2011. Angka tersebut diperoleh dari penerimaan DBH Pajak
Propinsi yang dirata-ratakan dalam satu daerah tertentu. Dibandingkan dengan daerah
lain, DKI Jakarta selalu memiliki DBH Pajak yang paling tinggi sepanjang periode
tersebut. Hal ini disebabkan karena DKI Jakarta yang merupakan pusat perkantoran
dengan PDRB yang tinggi. Mengingat bahwa DBH Pajak dihitung atas Penerimaan
Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan, maka wajar
jika daerah perkantoran utama seperti DKI Jakarta memiliki DBH Pajak yang paling
tinggi diantara daerah lainya.


Grafik 14. Perkembangan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Daerah Tahun 2008-2011
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Diolah

Grafik 14 memberikan gambaran mengenai DBH SDA masing-masing daerah
selama periode 2008-2011. Seperti halnya DBH Pajak, angka tersebut diperoleh dari
penerimaan DBH SDA Propinsi yang dirata-ratakan dalam satu daerah tertentu.
Dibandingkan dengan daerah lain, Kalimantan dan Sumatera memiliki DBH SDA yang
cukup tinggi sepanjang periode tersebut. Hal ini disebabkan karena wilayah Kalimantan
dan Sumatera merupakan wilayah yang sangat potensial dalam produksi dan
pengelolaan sumber daya alam. Bahkan provinsi Riau telah menjadi provinsi penghasil
minyak terbesar di Indonesia. Sedangkan provinsi Kalimantan Utara juga merupakan
Sumatera
DKI
Jakarta
Jawa
Bali dan
Nusa
Tenggara
Kalimanta
n
Sulawesi
Maluku
dan
Papua
2008 0.528 0.176 0.020 0.006 0.900 0.007 0.072
2009 0.340 0.071 0.055 0.011 0.736 0.003 0.110
2010 0.452 0.139 0.042 0.015 0.998 0.003 0.242
2011 0.385 0.100 0.020 0.016 0.888 0.004 0.164
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
M
i
l
i
a
r

R
u
p
i
a
h
pusat pertambangan batu bara yang cukup familiar di Indonesia. Mengingat bahwa
DBH SDA dihitung atas penerimaan pajak Kehutanan, Pertambangan Umum,
Perikanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, serta Pertambangan Panas Bumi,
maka wajar jika daerah potensial SDA seperti wilayah Kalimantan dan Sumatera
memiliki DBH SDA yang paling tinggi diantara daerah lainya.

b) Dana Alokasi Umum
Definisi
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana pemerintah
kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bersifat Block Grant
yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan
kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.
Dasar Hukum
Dasar Hukum DAU meliputi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP No. 55 Tahun
2005 tentang Dana Perimbangan.
Alokasi DAU
DAU diialokasikan untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota.
Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri
(PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan
untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara
provinsi dan kabupaten/kota.
Formulasi DAU
Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) dan alokasi
dasar. Celah fiskal yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas
fiskal. Komponen variabel kebutuhan fiskal yang digunakan untuk pendekatan
perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari; jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kelemahan Konstruksi (IKK), dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Sedangkan komponen variabel kapasitas
fiskal meliputi sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Adapun alokasi dasar yang dimaksudkan dalam
formula DAU berupa jumlah gaji PNS daerah. Secara ringkasnya dapat ditulis dalam
formula berikut:
DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)
Keterangan:
AD = Realisasi gaji PNS Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi
gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan
peraturan penggajian PNS yang berlaku.
CF = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal


Grafik 15. Perkembangan Dana Alokasi Umum Daerah Tahun 2008-2011
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Diolah

Berdasarkan grafik 15, maka terlihat bahwa provinsi di wilayah Jawa rata-rata
memiliki DAU yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal ini
disebabkan karena kebutuhan fiskal di provinsi-provinsi di wilayah Jawa relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Mempertimbangkan bahwa kebutuhan fiskal
dihitung berdasarkan pendekatan perhitungan kebutuhan daerah seperti IPM, luas
wilayah, jumlah penduduk, dan lain-lain, maka kebutuhan fiskal di wilayah jawa akan
Sumatera
DKI
Jakarta
Jawa
Bali dan
Nusa
Tenggara
Kalimanta
n
Sulawesi
Maluku
dan
Papua
2008 0.49 0.00 0.77 0.53 0.50 0.52 0.65
2009 0.50 0.00 0.82 0.56 0.49 0.54 0.67
2010 0.50 0.00 0.88 0.58 0.48 0.55 0.71
2011 0.59 0.21 0.96 0.65 0.54 0.63 0.77
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
M
i
l
i
a
r

R
u
p
i
a
h
cenderung lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Selain itu alokasi dasar yang meliputi
penghitungan realisasi gaji PNS juga turut berkontribusi dalam menyebabkan tingginya
DAU untuk provinsi-provinsi di wilayah Jawa. Sedangkan kapasitas fiskal yang
diperoleh melalui PAD dan DBH untuk wilayah Jawa cenderung masih rendah. Hal ini
tentunya menyebabkan fiscal gap yang cukup besar sehingga berdampak pada
penghitungan angka DAU yang besar pula.
Sebaliknya, untuk provinsi DKI Jakarta tidak diberikan DAU dalam rentang
periode 2008 hingga 2010. Meskipun kebutuhan fiskal dan alokasi dasar DKI Jakarta
terhitung cukup besar, tetapi kapasitas fiskal yang didorong dari PAD dan DBH DKI
Jakarta juga sangat besar. Hal ini menyebabkan DKI Jakarta telah mampu memenuhi
kebutuhan fiskalnya, sehingga alokasi DAU untuk ibukota ini cenderung rendah bahkan
tidak ada. Namun, di tahun 2011, hampir semua wilayah termasuk DKI Jakarta telah
mengalami kenaikan DAU dengan rata-rata kenaikan semua provinsi sebesar 11 persen.
Berbeda dengan periode sebelumnya yang hanya mengalami kenaikan sebesar 1 hingga
2 persen. Hal ini disebabkan adanya kenaikan Pendapatan Dalam Negeri (PDN) netto
tahun 2010 sehingga berdampak pada kenaikan pagu DAU 2011 (Forum Konsultasi
Daerah Penghasil Migas, 2014).

c) Dana Alokasi Khusus
Definisi
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Besaran
DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
Dasar Hukum
a) UU No. 33 Tahun 200 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah
b) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer Daerah
d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian
Anggaran Transfer ke Daerah.
Alokasi DAK
Kriteria Pengalokasian DAK:
a) Kriteria Umum, dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang
dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai
Negeri Sipil Daerah.
b) Kriteria Khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah.
c) Kriteria Teknis, disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang
akan didanai dari DAK.
Sedangan penghitungan alokasi DAK dilakukan dalam dua tahap:
a) Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK (harus memenuhi kriteria umum,
khusus, dan teknis).
b) Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah (ditentukan dengan
perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, khusus, dan teknis)

Arah Kegiatan DAK
DAK difokuskan untuk pembangunan daerah di bidang:
- Pendidikan
- Kesehatan
- Infrastruktur Jalan
- Infrastruktur Irigasi
- Infrastruktur Air Minum
- Infrastruktur Sanitasi
- Prasarana Pemerintahan Desa
- Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan
- Kelautan dan Perikanan
- Keselamatan Transportasi Darat


Grafik 16. Perkembangan Dana Alokasi Khusus Daerah Tahun 2008-2011
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Diolah
Berdasarkan grafik 16, dapat dikatakan bahwa provinsi DKI Jakarta tidak
mendapat DAK selama tahun 2008 sampai 2011. Hal ini disebabkan karena DAK hanya
dialokasikan untuk mendanai urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional.
Prioritas yang dimaksudkan adalah dalam hal pendidikan, kesehatan, infrastrktur, dan
lain sebagainya. Diantara beberapa prioritas tersebut, pendidikan memiliki proporsi
terbesar dalam alokasi DAK. Sedangkan kondisi pendidikan, kesehatan, infrastruktur,
dan sarana prasarana lain di DKI Jakarta sudah terbilang lebih dari cukup dibandingkan
dengan daerah lain yang masih kurang fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur
seperti yang terjadi di wilayah Maluku dan Papua. Hal inilah yang menyebabkan
wilayah Maluku dan Papua secara umum memiliki DAK yang relatif lebih tinggi
dibandingkan wilayah lain. Namun, untuk tahun 2011, prioritas DAK lebih terpusat di
wilayah Nusa Tenggara Barat. DAK tahun 2011 untuk provinsi Nusa Tenggara Barat
yang mencapai sekitar 18 Miliar ini merupakan kenaikan yang cukup sihnifikan dari
DAK tahun sebelumnya yang hanya sekitar 9 Miliar Rupiah. Pemberikan DAK NTB
yang cukup besar di tahun 2011 lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur
jalan dan pasar tradisional di wilayah Sumbawa yang juga merupakan prioritas nasional.



Sumatera
DKI
Jakarta
Jawa
Bali dan
Nusa
Tenggara
Kalimanta
n
Sulawesi
Maluku
dan Papua
2008 0.01 0.00 0.01 0.03 0.03 0.03 0.04
2009 0.03 0.00 0.02 0.05 0.04 0.06 0.08
2010 0.02 0.00 0.03 0.02 0.03 0.02 0.04
2011 0.04 0.00 0.04 0.05 0.04 0.03 0.03
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
M
i
l
i
a
r

R
u
p
i
a
h
4.3 Keseimbangan Primer, Defisit/Surplus dan Pembiayaan
Kesimbangan primer adalah kesimbangan antara penerimaan negara baik pajak
dan bukan pajak dengan pengeluaran negara tidak termasuk pajak. Dalam kurun waktu
2005-2011 kesimbangan primer umumnya bernilai positif (surplus) kecuali pada tahun
2010 (tabel 4). Nilai positif pada kesimbangan primer dapat menjadi indikator
keberhasilan upaya pemerintah dalam melakukan intensifikasi dan eksetensifikasi
perpajakan dan penerimaan domestik serta peningktan kualitas belanja negara. Dalam
periode ini surplus primer terus mengalamai penurunan dari 50,791 triliun rupiah
menjadi 726,2 miliar rupiah pada tahun 2011 kecuali pada tahun 2008 yang terjadi
peningkatan keseimbangan primer hingga 181,4 persen dari tahun 2007. Pada tahun
2010, kesimbangan primer bernilai negatif 28,1 triliun rupiah. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan pengeluaran pemerintah pada tahun ini mencapai 20,14 persen sedangkan
pertumbuhan penerimaan hanya mencapai 16,92 persen dibandingkan tahun 2009.

Tabel 4.
Keseimbangan Primer, Defisit/Surplus dan Pembiayaan APBN
Sumber: Kemenkeu
Dalam kurun waktu 2005-2011 ini pemerintah menjalankan kebijakan fiskal
dengan defisit anggaran. Defisit anggaran cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2011, defisit APBN telah mencapai 115,68 triliun rupiah atau meningkat
secara rata-rata 60,89 persen setiap tahunnya. Rasio defisit terhadap PDB juga
Jenis (Miliar Rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010
APBN-P
2011
RAPBN
Keseimbangan Primer 50791.4 49941.1 29962.6 84308.5 5163.2 (28097.5) 726.2
Surplus/Defisit Anggaran (14408.2) (29141.5) (49843.8) (4121.3) (88618.8) (133747.7) (115676.6)
Pembiayaan 11121.2 29415.6 42456.5 84071.7 112583.2 133747.7 115676.6
I. Pembiayaan Dalam Negeri 21393.2 55982.1 69032.3 102477.6 128133.0 133.903,2 118672.6
II. Pembiayaan Luar negeri (neto) (10272.0) (26566.5) (26575.8) (18405.9) (15549.8) (155.5) (2995.9)
Kelebihan/(Kekurangan)
Pembiayaan
(3287.0) 274.1 (7387.2) 79950.4 23964.4 0.0 0.0
cenderung mengalami peningkatan mulai dari 0.5 persen pada tahun 2005 menjadi 2,07
persen pada tahun 2010 dan 1,6 persen pada tahun 2011 (Grafik).


Grafik 17. Persentase defisit APBN terhadap PDB
Sumber: Kemenkeu (Diolah)
Peningkatan defisit dari tahun ke tahun di atas disebebabkan oleh semakin
meningkatnya subsidi yang membebankan APBN terutama subsidi energi, dan
terjadinya distorsi dalam penyelenggaran belanja pemerintah serta belum maksimalnya
penerimaan negara baik pajak maupun bukan pajak. Menurut Keynes, difisit fiskal
dapat merupakan kebijakan ekonomi ekspansif karena karena akan meningkatkan
permintaan agregat. Namun, dalam kondisi Indonesia, respon sisi penawaran akan
kenaikan permintaan cenderung rendah sehingga defisit anggaran justru berpotensi
menimbulkan inflasi.
Defisit anggaran yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2011 dibiayai dengan dua
sumber pembiayaan utama yakni sumber pembiayaan dalam negeri dan sumber
pembiayaan luar negeri berupa utang luar negeri. Pembiyaan dalam negeri bersumber
dari sektor perbankan dan bukan perbankan termasuk utang dalam negeri. Sumber
pembiayaan luar negeri dapat berupa pinjama program dan pinjaan proyek serta
pinjaman yang diteruskan. Sumber utama pembiyaan defisit dalam periode ini adalah
pinjaman dalam negeri sedangkan pinjama neto dari luar negeri bersifat negatif yang
berarti pembayaran bunga utang dan pokok adalah lebih besar daripada pinjaman baru.


0.52%
0.87%
1.26%
0.08%
1.58%
2.07%
1.56%
0.00%
0.50%
1.00%
1.50%
2.00%
2.50%
2005 2006 2007 2008 2009 2010
APBN-P
2011
RAPBN
4.4 ASUMSI EKONOMI MAKRO

Kebijakan fiskal dalam pengelolaan APBN pada dasarnya mempunyai fungsi
sebagai instrumen kebijakan pemerintah dalam melakukan alokasi, distribusi, dan
stabilisasi perekonomian nasional. Kebijakan keuangan negara yang tertuang dalam
APBN pada dasarnya memuat rencana kerja dan anggaran pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi,
mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja
ekonomi.
Perhitungan berbagai besaran RAPBN didasarkan pada asumsi dasar ekonomi
makro yang diperkirakan akan terjadi pada tahun tersebut. Asumsi dasar ekonomi
makro sebagai basis perhitungan APBN tahun 2010 dan 2011. Arah kebijakan fiskal
dalam tahun 2011 adalah untuk mendukung sasaran pembangunan 2011 dalam bentuk:
(a) pembangunan kesejahteraan; (b) pembangunan demokrasi; (c) penegakan hukum.
Tabel 5
ASUMSI EKONOMI MAKRO 2005-2011
Indikator
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi APBN-P RAPBN
PDB
- Pertumbuhan
Ekonomi (persen)
5.7 5.5 6.3 6 4.5 5.8 6.3
- Nominal (Miliar Rp) 2774281.1 3339216.8 3950893.2 4951356.7 5613441.7 6253789.5 7006726.8
Inflasi (persen) 17.1 6.6 6.6 11.1 2.8 5.3 5.3
SBI 3 bulan rata-rata
(persen)
9705 9164 9140 9691 10408 9200 9300
Harga Minyak
(US$/barel)
9.1 11.7 8 9.3 7.6 6.5 6.5
Lifting Minyak (juta
barel per hari)

- Real Des-Nov
(untuk perhitungan
PNBP Migas)
1.067 0.952 0.904 0.871 0.944 0.965 0.97
- Real Jan-Des (LKPP) 0.999 0.935 0.909 0.931 0.952 0 0
Sumber : Kementerian Keuangan

Anda mungkin juga menyukai