Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)
Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah
suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan
perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap
sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. CSR atau TJSL sebagai suatu
konsep, berkembang pesat sejak 1980 an hingga 1990 an sebagai reaksi dan suara
keprihatinan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringan tingkat global
untuk meningkatkan perilaku etis, fairness dan responsibilitas korporasi yang tidak
hanya terbatas pada korporasi, tetapi juga pada para stakeholder dan komunitas atau
masyarakat sekitar wilayah kerja dan operasinya.
CSR harus melibatkan seluruh stakeholder secara aktif dalam kegiatan CSR.
Bahwa harus ada keseimbangan antara kegiatan bisnis dan nilai-nilai bisnis dan harus
beyond filantrophy. CSR bukan untuk menolong pihak yang lebih lemah tetapi
merupakan strategi bisnis perusahaan. Corporate Social Responsibility (CSR)
merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan
kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan
sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar
profitability. Kalangan bisnis telah menyuarakan penolakan dimasukkannya pasal
tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang PT yang baru.
Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) dipopulerkan oleh J hon
Elkington, (1997) melalui bukunya Cannibal with Forks, the Tripple Bottom Line of
Twentieth Century Business. Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line
Universitas Sumatera Utara
dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Definisi
dari CSR, pertama dalam Pemerintah Inggris, dikatakan Voluntary action that
bussines can take over and above compliance with minimum requirement,. Inti dari
CSR adalah dijalankan beyond compliance to law (melampui kepatuhan terhadap
hukum).
Melalui buku tersebut, Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan
yang ingin berkelanjutan, haruslah memperhatikan 3P. Selain mengejar profit,
perusahaan juga mesti memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkonstribusi aktif dalam menjaga kelestarian
lingkungan (planet). Hubungan ini kemudian diilustrasikan dalam bentuk segitiga
sebagai berikut:







Gambar 1. Hubungan Garis Segitiga (Triple Bottom Line)
Sumber: Elkington,(1997)

Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi diharapkan pada tanggung
jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan
dalam kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan
Lingkungan
(Planet)
Ekonomi
(Profit)
Sosial (people)
Universitas Sumatera Utara
lingkungannya. Perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang
berpijak hanya pada single bottle lines yaitu, nilai perusahaan (corporate value) yang
direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja, tetapi tanggung jawab
perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines, yaitu berupa: finansial, sosial dan
lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh
dan berkembang secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan akan
terjamin apabila korporasi juga turut memperhatikan demensi sosial dan lingkungan
hidup; Masuknya konsep CSR ke dalam wacana dan praktik perusahaan tampaknya
membawa berkah perubahan.
Tak dapat disangkal lagi, ada kekuatan besar yang mengubah perilaku
banyak perusahaan di hadapan para pemangku kepentingannya. Tekanan yang
diberikan oleh para aktivis telah membuat perusahaan-perusahaan mengubah strategi
bisnisnya dari single bottom line pencarian keuntungan menuju triple bottom line
keseimbangan ranah ekonomi-sosial-lingkungan. Tentu saja hal ini patut disyukuri,
namun juga harus tetap dikawal dengan ketat. Bagaimanapun kecenderungan banyak
perusahaan untuk mengedepankan keuntungan ekonomi bagi dirinya dibandingkan
keadilan sosial dan lingkungan tetaplah besar. Melihat hal ini, banyak akademisi
yang kemudian mengingatkan bahwa skeptisisme yang sehat terhadap perilaku
perusahaan khususnya berkaitan dengan peran mereka dalam pembangunan haruslah
tetap dijaga.
Watt dan Zimmerman (1978), Abbot dan Monsen (1979), Ulmann. C.A
(1985) menyatakan bahwa biaya sosial (social cost) yang dikeluarkan perusahaan
memiliki kemanfaatan meningkatkan citra perusahaan dimata masyarakat,
meningkatkan laba perusahaan dan dapat mengurangi munculnya negetive
externalities.
Universitas Sumatera Utara
Khasali Reinald (2007) menyatakan bahwa umumnya sering terjadi
ketidaksepahaman antara perusahaan dengan masyarakat tentang tanggungjawab
social (social responsibility). Lebih lanjut dinyatakan, bahwa perlu sosialisasi efektif
lewat berbagai kegiatan sosial maupun pelaporan perusahaan, agar terjadi
pemahaman batasan tanggungjawab sosial (social responsibility) secara simetris. Hal
itu, menentukan efektifitas tanggungjawab sosial (social responsibility) yang telah
dilakukan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Freedman dan J aggi (1974) menyatakan bahwa perusahaan perlu melakukan
keterbukaan atas aktivitas social yang telah dilakukan. Lebih lanjut dinyatakan,
bahwa tingkat pengungkapan social dapat meningkatkan legitimasi stakeholders
sehingga dapat menurunkan legitimacy gap, dan ketidak-seimbangan pemahaman
dan informasi. Menurut Philip Kotler dan Nancy Lee ada 6 (enam) pilihan dalam
menjalankan CSR, yaitu cause promotion, cause related marketing, corporate social
marketing, corporate philanthropy, community volunteering, dan social resposible
business practices. Beberapa pilihan tersebut telah dipilih untuk dijalankan oleh
perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Achwan (2006), mengemukakan dua tesis yang melatarbelakangi
perkembangan wacana CSR, yang pertama adalah bahwa konsep CSR merupakan
suatu bentuk kemampuan adaptasi perubahan perusahaan modern dalam
menyesuaikan dirinya dengan perubahan sosial politik yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat. Tesis kedua mengatakan, konsep CSR sebagai bentuk respon
perusahaan modern dalam ekonomi pasar untuk mempertahankan dominasinya
terhadap setiap tantangan publik yang mengganggu kekuasaannya (Corporate
Power) dengan membangun aliansi dengan lembaga atau aktor strategis.
Universitas Sumatera Utara
Pergulatan wacana tersebut bermuara pada tiga definisi dan praktik CSR,
definisi pertama berangkat dari asumsi the business of business is business, bahwa
setiap perusahaan pada hakekatnya memiliki tujuan tunggal yaitu memaksimalkan
keuntungan kepada pemiliknya dan keberadaannya dipercaya dapat menciptakan
lapangan pekerjaan. Inti dari definisi yang pertama ini lebih merupakan penolakan
terhadap prinsip-prinsip kedermawanan perusahaan, Community Development atau
donasi yang dianggap bertentangan dengan hakekat perusahaan.
Definisi kedua adalah Corporate Voluntarism yang menekankan aspek
kebajikan (virtue) dalam mengejar keuntungan. Asumsi dasar definisi ini yang
pertama adalah bahwa setiap perusahaan dengan sukarela sesuai dengan kekuatan
dan kelemahannya dapat mengembangkan CSR dan menolak campur tangan negara
dalam mengatur perusahaan. Asumsi yang kedua beranggapan bahwa kepedulian
terhadap masyarakat atau konsumen dapat mendorong keuntungan ekonomi suatu
perusahaan, dan yang ketiga adalah bahwa keberadaan perusahaan tidak dapat
dilepaskan dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi.
Defenisi ketiga adalah Corporate Involuntarism dengan asumsi dasar bahwa
setiap perusahaan memiliki kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial yang
harus dituangkan dalam bentuk undang-undang karena self regulation dan
voluntarism dianggap sudah tidak lagi mencukupi karena dalam konteks kekinian
pengaruh multi national corporation dianggap jauh berpengaruh dibanding negara/
bangsa.
LEAD Indonesia dan LABSOSIO FISIP UI (2005), menyebutkan bahwa
dalam banyak kasus yang melibatkan industri ekstraktif dengan masyarakat sering
kali program Community Development mendominasi praktek CSR sebagai upaya
pendekatan khusus untuk mencegah konflik. Hal tersebut menyebabkan konsepnya
Universitas Sumatera Utara
menjadi tersederhanakan atau disamakan dengan kegiatan Community Development,
padahal CSR merupakan konsep yang mencakup berbagai kegiatan dimana salah
satunya adalah kegiatan Community Development.
Putusan undang-undang Nomor 53/PUU-IV/2008 Sifat CSR/TJSL yang
voluntairly perlu terus menerus di tingkatkan dengan tidak mengubahnya menjadi
kewajiban hukum (legal obligation). Ada beberapa problema dan kelemahan dasar
bilamana merumuskan CSR menjadi tanggung jawab hukum, antara lain:
1. Memaknai CSR sebagai kewajiban hukum dapat membuktikan
pemahaman yang dimiliki Pemerintah terhadap CSR/TJSL semata-mata
hanya karena peluang sumber daya finansial yang dapat segera diberikan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban atas regulasi yang berlaku.
Akibatnya aktivitas CSR/TJSL akan menjadi kewajiban legal yang bersifat
normatif dan formal.
2. Mengubah prinsip dasar voluntairly CSR menjadi bersifat mandatory.
Tindakan sedemikan, apapun alasannya, akan meniadakan atau setidaknya
meminimalisasi ruang dan medium pilihan yang ada berikut kesempatan
masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik.
3. Adanya perubahan CSR sebagai tindakan yang berlandaskan tanggung
jawab etik menjadi kewajiban hukum akan potensial mengarahkan
program CSR hanya pada formalitas untuk pemenuhan suatu kewajiban
saja.
4. Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia mengatur CSR sebagai
kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh suatu korporasi yang prinsip
dasarnya bersifat voluntair.
Universitas Sumatera Utara
5. Menempatkan CSR sebagai kewajiban hukum menimbulkan kerancuan dan
kebingungan, karena CSR itu sendiri sudah merupakan tindakan yang
melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku
(beyond legal compliance).

Pelaksanaan CSR yang melebihi pemenuhan hukum dan peraturan, berarti
memiliki batas yang tak terhingga yang tidak dapat dijangkau oleh hukum dan
peraturan yang dinormatifkan menjadi kewajiban. Korporasi itu sendiri yang dapat
menentukan batas atas yang ingin dicapainya dan pelaksanaannya dilakukan secara
sukarela.
Priyanto (2008) ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti
merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi
usahanya.
Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya
wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan mesti
menyadari bahwa mereka beroperasi dalam suatu tatanan lingkungan masyarakat.
Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas
penguasaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang
kadang bersifat ekspansif dan ekploratif, di samping sebagai kompensasi sosial
karena timbulnya ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat, semua ini
diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang memaksa
karena adanya market driven. Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan
CSR ini menjadi tren seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat
global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan
memperhatikan kaidah-kaidah sosial.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang
bersifat simbiosa mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat,
setidaknya license to operate, wajar bila perusahaan juga dituntut untuk memberikan
kontibusi positif kepada masyarakat sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan
bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Implementasikan program
karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven), perusahaan
telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi
untuk menciptakan keuntungan (profit) demi kelangsungan bisnisnya, melainkan
juga tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk
meredam bahkan menghindari konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat
dampak operasional perusahaan ataupun akibat kesenjangan struktural dan ekonomis
yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan, dan dipraktekkan
lebih karena faktor eksternal (external driven). Hampir bisa dipastikan implementasi
adalah sebagai upaya dalam konteks kehumasan (public relation) merupakan
kebijaksanaan bisnis yang hanya bersifat kosmetik.
(Cropanzano, Byrne, Bobocel and Rupp, 2001). Dalam konsep Tanggung
J awab Sosial menurut ISO 26000, ditetapkan adanya 7 (tujuh) prinsip Tanggung
J awab Sosial yang merupakan perilaku yang berdasarkan standar, panduan atau
peraturan berperilaku yang dikenal sebagai bermoral dan benar, khususnya pada
konteks situasi tertentu. Ketujuh prinsip tersebut adalah:
1. Akuntabilitas: organisasi sebaiknya akuntabel akan dampaknya terhadap
masyarakat dan lingkungan.
2. Tranparansi: organisasi sebaiknya transparan akan keputusan dan aktivitasnya
yang berdampak terhadap pihak lain.
Universitas Sumatera Utara
3. Perilaku etis: organisasi sebaiknya berperilaku etis sepanjang waktu.
4. Stakeholder: organisasi sebaiknya menghargai dan mempertimbangkan
kepentingan stakeholdernya.
5. Peraturan hukum: organisasi sebaiknya menghormati hukum yang berlaku.
6. Norma internasional: organisasi sebaiknya menghormati norma internasional
yang relevan, bila norma ini lebih mendukung pembangunan berkelanjutan
dan kesejahteraan masyarakat, dan
7. Hak asasi manusia: organisasi sebaiknya memahami pentingnya dan
universalnya hak asasi manusia.

Implementasi CSR di perusahaan pada umumnya dipengaruhi beberapa
faktor. Yang pertama, adalah terkait dengan komitmen pimpinannya. Yang kedua,
menyangkut ukuran dan pematangan perusahaan, Ketiga, regulasi dan sistem
perpajakan yang diatur oleh pemerintah.
Kotler (2005), mengungkapkan bahwa CSR hendaknya bukan merupakan
aktivitas yang hanya merupakan kewajiban perusahaan secara formalitas kepada
lingkungan sosialnya, namun CSR seharusnya merupakan sentuhan moralitas
perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. Selanjutnya Philip Kotler dan Nancy Lee
(2005), berpendapat bahwa aktivitas CSR haruslah berada dalam koridor strategi
perusahaan yang diarahkan untuk mencapai bottom line business goal seperti
mendongkrak penjualan dan pangsa pasar, membangun positioning merk, menarik,
membangun, memotivasi loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional hingga
membangun citra korporat dipasar modal. Dengan argumentasi tersebut dapat dilihat
bahwa CSR bukan merupakan aktivitas tempelan atau yang terpinggirkan, tapi
merupakan denyut nadi perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Arif Siregar (2004) mengatakan bahwa dalam CSR mengandung empat
prinsip, yaitu ekonomi, hukum, etis dan filantropis. Ekonomi adalah inti dari
kegiatan perusahaan dimana lebih banyak dibicarakan dibandingkan filantropis dan
hukum wajib dipatuhi oleh setiap korporasi. Bahwa pada praktik di bidang
pertambangan, sejak awal masuk ke suatu daerah perusahaan sudah menerapkan
prinsip CSR walaupun tanpa ada aturan dari Pemerintah. Dalam melakukan
eksploitasi terhadap suatu daerah, perusahaan selalu menggunakan tenaga kerja local.
Bahwa harus dipisahkan antara kewajiban Pemerintah dan kewajiban lokal,
konsekuensi jika CSR diatur, maka apa yang diharapkan masyarakat belum tentu
tercapai. Bahwa CSR tidak dapat dibakukan, karena setiap daerah berbeda.
Kegiatan CSR kompleks bukan hanya masalah filantropis saja tetapi
seluruhnya. Bahwa perusahaan sadar socialize diperlukan demi keberlanjutan suatu
usaha. Dana CSR tidak disetorkan ke Pemerintah, jika ini ditambah terus maka akan
melemahkan perusahaan. Motivasi dari suatu perusahaan yang mendorong untuk
mempunyai kepedulian terhadap keadilan dan kemudian terlibat dalam kegiatan
melaksanakan CSR adalah adanya:
a. Instrumental motives.
b. Relational motives.
c. Morality-based motives.

Instrumental motives didorong oleh kepentingan pribadi (self-interest),
relational motives diarahkan oleh kepedulian akan status dan pengakuan atas
keberadaannya di dalam suatu kelompok, dan morality motives didorong oleh
perilaku etis serta kesejahteraan dari kelompok yang lebih besar hingga mencakup
kesejahteraan dunia.(Cropanzano, Byrne, Bobocel and Rupp, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Poerwanto (2006), menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial adalah
tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan perusahaan dalam interaksi dengan
lingkungannya yang didasarkan pada etika. Secara umum etika dipahami sebagai
aturan tentang prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral yang mengarahkan perilaku
seseorang atau kelompok masyarakat mengenai baik atau buruk dalam pengambilan
kebijakan atau keputusan.
Terdapat tiga pendekatan dalam proses pembentukan tanggung jawab sosial
tersebut:
1. Pendekatan moral, yaitu kebijakan atau tindakan yang didasarkan pada prinsip
kesantunan dengan pengertian bahwa apa yang dilakukan tidak melanggar atau
merugikan pihak-pihak lain secara sengaja.
2. Pendekatan kepentingan bersama, yaitu bahwa kebijakan-kebijakan moral harus
didasarkan pada standar kebersamaan, kewajaran dan kebebasan yang
bertanggung jawab.
3. Pendekatan manfaat, adalah konsep tanggungjawab sosial yang didasarkan pada
nilai-nilai bahwa apa yang dilakukan oleh perusahaan menghasilkan manfaat
besar bagi pihak-pihak berkepentingan secara adil.
Suharto (2005), menyebutkan konsep CSR merupakan bentuk kepedulian
perusahaan terhadap masyarakat di seputar perusahaan yang keberadaannya telah
memunculkan masalah sosial ekonomi yang tajam antara masyarakat perusahaan
dengan penduduk lokal, dan pemiskinan struktural masyarakat setempat lewat
ekploitasi dan perusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan.
Munculnya konsep tanggung jawab sosial perusahaan didorong oleh
terjadinya kecenderungan pada masyarakat industri yang dapat disingkat sebagai
fenomena DEAF (dalam Bahasa Inggris disebut tuli) sebuah akronim dari
Universitas Sumatera Utara
Dehumanisasi, Equalisasi, Aquariumsasi dan Feminisasi (Suharto, 2005), dimana
munculnya fenomena-fenomena tersebut adalah karena terciptanya persoalan
hubungan, tuntutan dan lain-lain antara masyarakat perusahaan dan masyarakat
sekitar perusahaan.

Carrol dalam Poerwanto (2006) membagi Tanggung J awab Sosial
perusahaan ke dalam empat kriteria:
1. Tanggung jawab sosial ekonomi, dimana perusahaan harus dioperasikan dengan
berbasis laba serta dengan misi tunggal untuk meningkatkan keuntungan selama
berada dalam batas-batas peraturan pemerintah.
2. Tanggung jawab sosial sebagai tanggungjawab legal, dimana kegiatan bisnis
diharapkan untuk memenuhi tujuan ekonomi para pelaku dengan berlandaskan
kerangka kerja legal maupun nilai-nilai yang berkembang di masyarakat secara
bertanggung jawab.
3. Tanggung jawab sosial sebagai tanggungjawab etika, yang didefinisikan sebagai
kebijakan dan keputusan perusahaan yang didasarkan pada keadilan, bebas dan
tidak memihak, menghormati hak-hak individu, serta memberikan perlakuan
berbeda untuk kasus yang berbeda yang menyangkut tujuan perusahaan.
4. Tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab sukarela atau diskresioner,
dimana kebijakan perusahaan dalam tindakan sosial yang murni sukarela dan
didasarkan pada keinginan perusahaan untuk memberikan kontribusi sosial yang
tidak memiliki kepentingan timbal balik secara langsung.



Universitas Sumatera Utara
Tanggungjawab
Sukarela
Tanggungjawab Etik
Tanggungjawab Legal
Tanggungjawab Ekonomi





Gambar 2. Empat Kriteria Tanggung J awab Sosial Perusahaan Model Carrol
Sumber: Poerwanto,(2006)

Dari keempat kriteria tanggung jawab sosial perusahaan tersebut, tanggung
jawab sosial sebagai tanggung jawab sukarela menjadi kriteria ideal untuk
membangun suatu pola kemitraan dalam suatu model program pemberdayaan
masyarakat. Melalui kriteria tersebut kemitraan akan menjadi garis tegas yang
memisahkan motif tanggung jawab sosial perusahaan, antara tindakan ekonomi
untuk memaksimalkan keuntungan dengan tindakan sosial sukarela.
Sebagai tindakan sosial sukarela, kemitraan cenderung akan melibatkan
partisipan yang tidak berorientasi ekonomi seperti pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat serta masyarakat itu sendiri. Sebaliknya apabila tanggung jawab sosial
lebih berorientasi pada pencapaian tujuan ekonomi perusahaan maka partisipan yang
terlibat tentunya merupakan pelaku-pelaku ekonomi. Tindakan sosial sukarela akan
menjamin adanya kesesuaian tindakan masing-masing partisipan dengan tujuan
pemberdayaan masyarakat sebagai tujuan bersama, sementara dalam tindakan
ekonomi masing-masing partisipan lebih menyesuaikan tindakannya dengan nilai
ekonomi yang diharapkan dari kemitraan.
Universitas Sumatera Utara
Konsep tanggungjawab sosial pada perkembangannya telah memunculkan
konsep baru, yakni konsep Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social
Investment). Konsep ini lebih merupakan suatu kritik terhadap konsep CSR yang
dianggap filantropis dengan hanya melibatkan program-program sosial jangka
pendek dan pemberian uang atau barang dari perusahaan bagi sekelompok
masyarakat. Konsep CSI (Corporate Social Investment) umumnya memiliki dampak
yang berdimensi lebih luas dan jangka panjang (sustainable).
Konsep CSI juga tidak dipandang semata-mata sebagai bentuk pelunasan
tanggung jawab sosial perusahaan, namun lebih jauh sebagai bagian dari rekayasa
sosial dan strategi perusahaan yang rasional, terencana dan berorientasi pada
keuntungan sosial jangka panjang bagi pihak perusahaan maupun masyarakat.
Masyarakat juga mempunyai peran penting sebagai pendukung sosio-ekonomi
sustainability dimana masyarakat diharapkan dapat mengoreksi dampak negatif
perusahaan serta aktif menjadi dinamisator keberdayaan publik. Partisipasi aktif dari
komunitas lokal dalam setiap pelaksanaan CSR sangat diperlukan sehingga memberi
manfaat hubungan timbal balik (mutual benefit) dengan perusahaan atau korporasi.
Peran pemerintah sangat menentukan dalam membangun usaha yang
kondusif dan tidak manipulatif. Sinergi yang paling diharapkan adalah kemitraan
antara perusahaan, pemerintah dan komunitas (masyarakat) yaitu sinergi yang
disebut kemitraaan tripartit. Warhurst (1998), mengajukan prinsip-prinsip Corporate
Sosial Responsibility (CSR) dengan adanya prioritas corporate, manajemen terpadu,
proses perbaikan, pendidikan bagi karyawan, pengkajian, produk dan jasa, informasi
publik, fasilitas operasi, penelitian, prinsip pencegahan, kontraktor dan pemasok,
siaga menghadapi darurat, transfer best practise, memberi sumbangan, dan
keterbukaan serta pencapaian dalam pelaporan. Dow J ones Sustainability Group
Universitas Sumatera Utara
Indexes mengembangkan prinsip-prinsip sebagaimana yang tertuang pada tabel
berikut ini :
Tabel 1. Prinsip-prinsip keberlanjutan Perusahaan
Prinsip-prinsip Keberlanjutan Komponen
1. Teknologi
Kreasi, Produksi dan pengiriman barang dan jasa yang
didasarkan pada organisasi dan teknologi inovatif yang
memanfaatkan sumber-sumber daya alam, financial dan social
secara efektif, efisien, dan ekonomis dalam jangka panjang
2. Tata Pamong
Keberlanjutan perusahaan didasarkan pada standar tertinggi
tata pamong termasuk tanggung jawab manajemen, kapasitas
organisasional, kultur korporat dan hubungan dengan stake
holders
3. Pemegang Saham
Tuntutan pemegang saham hendaknya sesuai dengan
kebutuhan balikan (return) financial, pertumbuhan ekonomi
berjangka panjang, menjamin daya kompetitif global, dan
member sumbangan pada capital intelektual.
4. Industri
Perusahaan-perusahaan yang berkelanjutan hendaknya
mengarahkan industrinya untuk beralih pada keberlanjutan
dengan menunjukkan komitmennya dan mempublikasikannya
kinerja yang unggul
5. Masyarakat
Perusahaan-peruahaan yang berkelanjutan hendaknya
mendorong kesejahteraan social yang abadi melalui respons
yang cepat dan tepat terhadap perubahan social yang cepat,
peningkatan demografis, arus migrasi, pergeseran pola- pola
cultural dan kebutuhan pada pendidikan sepanjang hayat dan
pendidikan berkelanjutan.

Sumber : Dow J ones Sustainability Group Indexes, (1999)
Universitas Sumatera Utara
Kasali (2005), menyatakan stakeholders bisa berarti pula setiap orang yang
mempertaruhkan hidupnya pada perusahaan. Ibarat sebuah jagad yang di kelilingi
planet-planet, maka perusahaan juga di kelilingi dengan stakeholders dan membagi
stakeholders menjadi 5 bagian yaitu :
1. Stakeholders internal yaitu stakeholders yang berada didalam lingkungan
organisasi seperti karyawan, manajer, dan shareholders atau pemegang
saham. Sedangkan stakeholders eksternal adalah yang berada di luar
lingkungan organisasi atau perusahaan seperti masyarakat, pemerintah,
pers, dan lain-lain
2. Stakeholders Primer, stakeholders sekunder, stakeholders marginal.
Ketiga stakeholders ini disusun berdasarkan skala prioritas.stakeholders
yang paling penting adalah primer, sekunder baru marjinal.urutan ini bisa
berubah ubah dari waktu kewaktu
3. Stakeholders Tradisional dan stakeholders masa depan.karyawan dan
masyarakat adalah stakeholders tradisional sedangkan stakeholders masa
depan adalah yang diperkirakan memberikan pengarung pada organisasi
seperti mahasiswa, peneliti, dan konsumen potensial.
4. Proponents, opponents dan uncommitted.Proponents merupakan
kelompok yang memihak organisasi, menentang organisasi adalah
opponents dan pihak yang tidak peduli yaitu uncommitted.
5. Silent majority dan vocal minority. Silent majority adalah memberikan
dukungan secara pasif sedangkan vocal minority adalah mendukung
secara aktif.

Universitas Sumatera Utara
Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan
organisasi perusahaan, misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham
(shareholder) serta keluarga karyawan. Stakeholders eksternal adalah pihak-pihak
yang berada di luar kendali perusahaan (uncontrollable). Pemimpin perusahaan perlu
membekali diri dengan teknik untuk mendesain organisasinya sesuai dengan keadaan
lingkungan eksternalnya. Beberapa stakeholders eksternal diantaranya adalah
konsumen, penyalur, pemasok, pemerintah, pers, pesaing dan komunitas atau
masyarakat. Mempraktekkan CSR dengan cara yang paling sederhana dapat dimulai
dari aktivitas karitas (charity).
Langkah awal bisa dimulai dari lingkungan internal perusahaan dengan
memperhatikan kebutuhan karyawan. Programnya misalnya memberikan fasilitas
kerja karyawan diatas standar, menyediakan beasiswa untuk anak-anak karyawan
dan menyediakan ruang perawatan bayi atau taman bermain anak dan setelah itu baru
melihat dan mengimplementasikan CSR ke luar perusahaan secara eksternal
(Koestoer, 2007 dalam www. swa.co.id)
2.2. Pengembangan Masyarakat (Community Development) dalam
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)


Twelvetrees (1991) membagi perspektif pengembangan masyarakat kedalam
2 bingkai, yakni pendekatan professional dan pendekatan radikal. Pendekatan
professional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan
memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam rangka relasi-relasi sosial.
Sedangkan pendekatan radikal lebih berfokus kepada upaya mengubah
ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-
kelompok lemah.
Universitas Sumatera Utara
Suharto (1997) terdapat 3 model-model pengembangan masyarakat yakni,
penembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial, aksi sosial.
1. Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditunjukan untuk
menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat itu
sendiri.pengembangan masyarakat local pada dasarnya merupakan proses
interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi pekerja-
pekerja sosial.
2. Perncanaan sosial adalah proses pragmatis untuk menentukan keputusan
dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu
seperti kemiskinan, kesehatan masyarakat, pengangguran, kenekalan
remaja. Pekerja sosial berperan sebagai perencanan sosial yang
memandang mereka sebagai konsumen. Para perencana sosial
dipandang sebagai ahli dalam melakukan penelitian, menganalisis
masalah dan kebutuhan masyarakat, serta dalam mengidentifikasi,
meleksanakan dan mengevaluasi program-program pelayanan
kemanusiaan.
3. Aksi sosial adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan
dan struktur masyarakat, melalui proses pendistribusian kekuasaan,
sumber distribusi, dan pengambilan keputusan.

Rukminto (2008) Pengembangan Masyarakat (Community Development)
dapat digambarkan sebagai berikut: dari aspek keterlibatan masyarakat, praktek
Community Development dapat dikelompokkan ke dalam 3 bentuk, yaitu:
development for community, development with community dan development of
community.
Universitas Sumatera Utara
Development for community adalah bentuk Community Development dimana
masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor luar.
Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian, melakukan konsultasi, dan
melibatkan tokoh setempat namun apabila keputusan dan sumber daya pembangunan
berasal dari luar maka pada dasarnya masyarakat tetap menjadi objek.
Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola
kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil
merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua
belah pihak.
Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif,
perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat
membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini lebih sebagai
sistem pendukung bagi proses pembangunan.
Ketiga pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan akhir yang sama,
yaitu memperbaiki kualitas kehidupan dan kelembagaan masyarakat lokal. Perbedaan
yang ada lebih berada pada sarana (means) yang dipakai. Efektivitas sarana ini
sangat ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada
masyarakat tertentu mungkin pendekatan development for community lebih sesuai
sementara pada masyarakat yang lain development with community justru yang
dibutuhkan.
Ke depan, dengan memperhatikan kompleksnya permasalahan masyarakat,
program CSR mestinya dapat bersinergi dengan program-program yang sudah ada.
Dalam aspek pengentasan kemiskinan misalnya, program ini bisa menopang
Universitas Sumatera Utara
komitmen Indonesia untuk mencapai salah satu target dalam Millenium
Development Goals (MDGs) yaitu mengatasi kemiskinan sebelum 2015.
Di beberapa daerah, program ini juga dapat menunjang program lainnya yang
di sesuaikan dengan permasalahan dan karakteristik daerah masing-masing. Di
wilayah masyarakat, program CSR masih diperlukan khususnya dalam memberi
solusi terhadap berbagai persoalan yang secara riil ada di lapangan. Misalnya
beasiswa pendidikan bagi yang berprestasi dari keluarga tidak mampu, bantuan bagi
perbaikan sarana umum atau sarana ibadah, bantuan bagi bencana alam, program
kelestarian lingkungan, dan lain-lain. Program yang bersifat insidental ini
memerlukan respons yang cepat dengan birokrasi yang mudah.
Faktor utama yang menentukan pemilihan ketiga pendekatan tersebut adalah
seberapa jauh kelembagaan masyarakat telah berkembang. Pada masyarakat yang
kelembagaannya sudah lebih berkembang development of community akan lebih
tepat.

Pada saat ini community development telah mengalami proses pengkayaan
sehingga menjadi sebuah pendekatan yang multi aspek, dan sekarang secara umum
terdiri dari beberapa aspek kunci sebagai berikut:
a. Adalah sebuah proses akar rumput.
b. Menjadi lebih swadaya (self reliance).
c. Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning Community).
d. Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan.
e. Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan.
f. Menguatnya modal sosial.
g. Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Sering terjadi Pengembangan Masyarakat (Community Development) justru
mengubah keseimbangan elemen-elemen dalam masyarakat yang ada dalam jangka
panjang akan merugikan masyarakat. Community Development sebaiknya
dilaksanakan dengan mempertahankan perspektif keseimbangan yang ada dalam
masyarakat lokal.
Secara umum Pengembangan Masyarakat (Community Development) dapat
didefinisikan sebagai kegiatan pengembangan masyarakat yang diarahkan untuk
memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi untuk mencapai kondisi
sosial-ekonomi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya
kegiatan pembangunan, sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraannya.
Dengan community development sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih
bermakna dari pada sekedar aktivitas charity ataupun dimensi-dimensi lainnya,
antara lain yaitu community relation yang hanya mengembangkan hubungan yang
dinamis. Dalam pelaksanaan community development bersama-sama antara
perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktifitas dan keberlanjutan.
Dalam aktualisasi Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate
Governance/GCG), kontribusi dunia usaha untuk turut serta dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat harus mengalami metamorfosis, dari aktivitas yang bersifat
charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan penciptaan kemandirian
masyarakat, yakni program pemberdayaan.




Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Karakteristik Tahap-tahap Kedermawanan Sosial
Paradigma Charity Philanthropy Good Corporate
Citizenship
(GCC)
Motivasi Agama, tradisi,
adaptasi
Norma, etika dan
hukum universal
Pencerahan diri &
rekonsiliasi dengan
ketertiban sosial
Misi Mengatasi masalah
setempat
Mencari dan
mengatasi akar
masalah
Memberikan
kontribusi kepada
masyarakat
Pengelolaan J angka pendek,
mengatasi masalah
sesaat
Terencana,
terorganisir dan
terprogram
Terinternalisasi
dalam kebijakan
perusahaan
Pengorganisasian Kepanitiaan Yayasan/dana
abadi/
profesionalitas
Keterlibatan baik
dana maupun
sumber daya lain
Penerima
Manfaat
Orang miskin Masyarakat luas Masyarakat luas
dan perusahaan
Kontribusi Hibah sosial Hibah
pembangunan
Hibah (sosial &
pembangunan serta
keterlibatan sosial)
Inspirasi Kewajiban Kepentingan
bersama
Kepentingan
bersama
Sumber: Zaidi,(2003)
2.3. Kemitraan dalam Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dan
Governance

Perlunya upaya aktif diarahkan pada pemberdayaan potensi dan kekuatan
sosial-ekonomi masyarakat dan butuh dukungan dari usaha skala besar (perusahaan)
dan bermitra dengan pemerintah sebagai fasilitator, dinamisator, stimulator dan
koordinator dalam perekayaaan perkembangan masyarakat dalam pengentasan
masyarakat miskin (proverty community).
Sulistiyani (2004), menyatakan model kemitraan idealnya mencerminkan
pembagian yang setara kepada tiga aktor pembangunan, yaitu pemerintah, swasta
dan masyarakat. Model kemitraan yang setara akan memberi citra positif bagi
pemerintah dengan berlaku transparan dan mengembangkan kemitraan yang
partisipatif.
Universitas Sumatera Utara
Budimanta, Prasetijo dan Rudito (2004), mengibaratkan corporate social
responsibility dan good governance sebagai dua sisi dari satu mata uang yang
menjadikan masyarakat sebagai komunitas dan sebagai warga negara sebagai
fokusnya serta pendekatan stakeholders sebagai pelakunya. Konteks implementasi
corporate sosial responsibility, partisipasi masing-masing stakeholdelrs sangat
menentukan berjalannya usaha pengembangan masyarakat yang sekaligus juga
memberikan keuntungan bagi perusahaan dan masyarakat.
Lebih jauh mengenai prinsip kemitraan Budimanta (2004) juga menjelaskan
bahwa kemitraan menciptakan keuntungan bersama, dan tidak menciptakan
persaingan negatif yang berpengaruh pada keberlanjutan perusahaan. Kemitraan
yang berwujud interaksi antar stakeholders pada dasarnya merupakan suatu bentuk
pemberdayaan masyarakat (community development) sebagai muara dari corporate
sosial responsibility. Pemberdayaan dimaksud sebagai upaya peningkatan
kemampuan atau kualitas anggota-anggotanya yang tergabung dalam komuniti-
komuniti untuk dapat bermitra dan berfungsi satu dengan lainnya sebagai
keseluruhan anggota masyarakat. Konsep partisipasi menyangkut kesamaan dan
kesepakatan program dalam struktur pengembangan yang sudah terpadu dan
terencana dalam program community development yang dibangun secara bersama.

Tiga skenario kemitraan menurut Wibisono (2007), yaitu kemitraan antara
perusahaan dengan pemerintah maupun dengan komunitas/masyarakat sebagai
berikut:
1. Pola Kemitraan Kontra Produktif
Pola ini akan terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional
yang hanya mengutamakan kepentingan pemilik modal (shareholders) yaitu
Universitas Sumatera Utara
mengejar keuntungan (profit) sebesar-besarnya. Fokus perhatian perusahaan
memang lebih tertumpu pada bagaimana perusahaan bisa meraup kentungan
secara maksimal, sementara hubungan dengan pemerintah dan komunitas
atau masyarakat hanya sekedar pemanis belaka.
2. Pola Kemitraan Semi Produktif
Dalam skenario ini pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap
sebagai obyek dan masalah di luar perusahaan. Perusahaan tidak tahu
program-program pemerintah, pemerintah juga tidak memberikan iklim yang
kondusif kepada dunia usaha dan masyarakat yang bersifat pasif. Pola
kemitraan ini masih mengacu pada kepentingan jangka pendek dan belum
atau tidak menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) di pihak
masyarakat dan low benefit dipihak pemerintah. Kerjasama lebih
mengedepankan aspek kariatif atau public relation dimana pemerintah dan
komunitas atau masyarakat masih lebih dianggap sebagai objek.
3. Pola Kemitraan Produktif
Pola kemitraan ini menempatkan mitra sebagai subjek dan dalam paradigma
kepentingan umum (common interest). Prinsip saling menguntungkan
(simbiosis mutualisme) sangat kental pada pola ini. Perusahaan mempunyai
kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, pemerintah memberikan iklim
yang kondusif bagi dunia usaha dan masyarakat memberikan support positif
kepada perusahaan. Bahkan bisa jadi mitra dilibatkan pada pola hubungan
berbasis sumber daya (resource-based partnership) dimana mitra diberi
kesempatan menjadi bagian dari shareholders.

Universitas Sumatera Utara
Menurut Parson (2005), sistem delivery model campuran sektoral,
merupakan model yang sangat dinamis dan paling sempurna. Sistem ini terdiri dari
campuran tanggung jawab publik dan privat, dan antara sektor sukarela (lembaga
swadaya) dengan agen komunitas. Kerjasama keempat sektor tersebut sangat
dimungkinkan terjadi dalam bidang kebijakan yang bersifat sosial dengan sifat
hubungan yang saling menguntungkan.
Mulyadi (2003) rendahnya tingkat partisipasi stakeholders, khususnya
masyarakat dan pemerintah daerah, mengakibatkan tidak terkoordinasinya program
yang dijalankan perusahaan dengan program pembangunan regional yang dijalankan
pemerintah daerah serta ketidak sesuaian program dengan kebutuhan masyarakat.
Namun sebaliknya, banyaknya stakeholders yang terlibat sebagai partisipan dalam
program CSR perusahaan dapat menjadi potensi konflik baru apabila setiap
stakeholders memiliki kepentingan yang berbeda, saling berseberangan dan sangat
mungkin saling merugikan satu sama lain.
Prinsip saling mendukung dalam sebuah Tanggung J awab Sosial Perusahaan
(CSR) melalui garis hubungan antar sektor (secara timbal-balik) dengan memahami
fungsi masing-masing sektor dan sektor di sebelahnya. Hubungan dari berbagai
pihak tersebut dapat dilihat pada skema garis hubungan di bawah ini






Universitas Sumatera Utara






Legi t i masi
DAU, Desent r al i sasi OTDA



Demokrasi pelayan pajak, royalty
publik demokrasi konsesi.regulasi kemitraan
kepercayaan investasi,lisensi


Tenaga ker j a, J ami nan Keamanan

TSP (CSR)
Keamanan +Promosi

Gambar 3. Garis Hubungan antar sektor dalam Program Corporate Social
Responsibility
Sumber : Modifikasi dari Soepomo, (2002)


Pemerintah pusat
(Government)

Pemerintah daerah
(Government)
Masyarakat
(Community)

Perusahaan
(Corporate)

Universitas Sumatera Utara

Dwiyanto (2004) menyebutkan tiga dimensi yang menjadi ciri governance:
1. Dimensi kelembagaan dimana sistem administrasi dilaksanakan dengan
melibatkan banyak pelaku (multi stakeholders) baik dari pemerintah maupun
dari luar pemerintah.
2. Dimensi nilai yang menjadi dasar tindakan administrasi lebih kompleks dari
sekedar pencapaian efisiensi dan efektifitas namun lebih mengakodomir nilai-
nilai universal seperti keadilan, partisipasi, kesetaraan, demokratisasi dan
nilai-nilai lain yang terkandung dalam norma kehidupan masyarakat.
3. Dimensi proses, dimana proses administrasi merupakan suatu tindakan
bersama yang dikembangkan dalam bentuk jaringan kerja untuk merespon
tuntutan dan kebutuhan publik melalui upaya formulasi dan implementasi
kebijakan publik.
Selanjutnya Dwiyanto (2004) menekankan konsep governance pada
pelaksanaan fungsi memerintah (governing) yang dilaksanakan secara bersama-sama
(kolaboratif) oleh lembaga pemerintah, semi pemerintah, dan non pemerintah yang
berlangsung setara (balance) dan multi arah (partisipatif).

2.4. Penelitian Terdahulu
Ichsan (2007), dalam penelitiannya yang berjudul Implementasi Program
Community Development di Pertamina UPMS IV Semarang menyimpulkan bahwa
kinerja implementasi program community development tidak berjalan dengan baik,
sehingga program tersebut gagal dan perlu ditinjau ulang dalam pelaksanaan
program, karena terdapat bias dari implementasi program community development
Universitas Sumatera Utara
tersebut dilihat dari indikator output, disebabkan Pertamina tidak memiliki
mekanisme dan kriteria standar baku yang dibuat menjadi kebijakan formal.
J osua (2007), dalam penelitiannya yang berjudul Pola Kemitraan dalam
praktek Tanggung J awab Sosial Perusahaan pada Program Community Development
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir
menyimpulkan bahwa motif utama PT. Toba Pulp Lestari Tbk. menggulirkan
kebijakan paradigma baru sebagai deskripsi tanggung jawab sosialnya adalah untuk
mengamankan operasional pabrik. Motif tersebut mengaburkan aspek kerelaan
(voluntarism) dan kemitraan yang dibangun atas dasar hubungan sub ordinasi,
dimana masing-masing partisipan memiliki status, kemampuan dan kekuatan yang
tidak seimbang. Yayasan yang dibentuk idealnya adalah merupakan representasi dari
sektor sukarela (voluntary) yang berperan sebagai agen pembaru (change agent)
untuk mendinamisasi program dalam rangka pemberdayaan masyarakat, namum
kenyataannya lebih cenderung sebagai korporasi negara.
Zaleha (2008), dalam penelitiannya yang berjudul Peranan Corporate Social
Responsibility (CSR) PT. Inalum Divisi PLTA Siguragura Terhadap Pengembangan
Sosio Ekonomi Masyarakat Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir
menyimpulkan bahwa CSR PT. Inalum belum memiliki dokumen perencanaan dan
strategi, masih dianggap biaya (cost) dan belum dianggap sebagai Investasi Sosial
(Social Investment), tingkat pengetahuan (awareness) dan keterlibatan masyarakat
masih rendah dan belum memiliki konsep pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan, pendapatan nominal dan pendapatan riil karyawan sebelum dan sesudah
adanya program CSR berbeda nyata. Pendidikan dan pendapatan nominal masyarakat
sebelum dan sesudah adanya program CSR berbeda nyata, tetapi pendapatan riil
masyarakat tidak berbeda nyata. Peningkatan pendidikan masyarakat lebih tinggi dari
Universitas Sumatera Utara
karyawan karena didukung oleh faktor sosial budaya masyarakat (Batak Toba) yang
sangat mengutamakan pendidikan anak.
Ditinjau dari pendapatan nominal, bantuan memberi peran terhadap ekonomi
karyawan dan masyarakat, namun secara riil belum berperan akibat inflasi yang
tinggi pada tahun 2005. Peran CSR terhadap pengembangan ekonomi lokal (local
economic development) adalah adanya 17 unit usaha mitra kontraktor sebagai
rekanan PT. Inalum yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakat. Korelasi modal
CSR terhadap aktivitas (buka jam) pasar berbeda secara nyata (signifikan) dengan
nilai korelasi negatif. Hal ini menunjukkan aktivitas pasar cenderung turun seiring
kenaikan modal CSR, karena pembangunan pasar sebagai pusat aktivitas ekonomi
masyarakat dan infrastruktur pendukung lainnya tidak bermanfaat dalam
mengembangan masyarakat. Program CSR yang diluncurkan masih lebih banyak
bersifat konsumtif.
Penelitian Louise (2009), dalam penelitiannya yang berjudul Per anan
Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Adonara Bakti Bangsa Libek Project
Terhadap Pendapatan Masyarakat Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis. Dari
hasil penelitian yang dilakukan terhadap peran CSR terhadap pendapatan masyarakat
Kecamatan Mandau, disimpulkan Konsep pelaksanaan CSR yang telah
diimplementasikan PT. ABB Libek Project kepada masyarakat adalah: PT. ABB
belum memiliki dokumen perencanaan dan strategi dalam pencapaian target dan
masih dianggap sebagai biaya (cost) sehingga belum memiliki program yang mampu
memandirikan dan memberdayakan masyarakat melalui program-program yang
diluncurkannya. Tingkat pengetahuan dan keterlibatan masyarakat terhadap
keberadaan Program CSR PT. ABB masih rendah menunjukkan PT. Libek Project
belum melakukan pendekatan dalam proses pembentukan tanggung jawab sosial
Universitas Sumatera Utara
melalui etika moral, keputusan bersama dan etika manfaat. Proses pembentukan
program CSR baik bidang sosial (kerohanian dan pendidikan) belum melibatkan
komite sekolah) dan proses Pengembangan Ekonomi Masyarakat (CSR bidang
ekonomi) masih bersifat karitas (charity) dan belum dapat menggalang partisipasi
aktif masyarakat.

2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

Berkenaan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka digambarkan
kerangka pemikiran yang menjelaskan Dampak Corporate Social Responsibilty
(CSR) PT. Toba Pulp Lestari terhadap Kesejahteraan masyarakat Kabupaten Toba
Samosir (studi kasus : kecamatan Porsea).







\




PT. Toba Pulp Lestari
(PT. TPL)
CSR PT. Toba Pulp Lestari
1. Bidang Pengembangan
Ekonomi
2. Bidang Sosial (Pendidikan,
Sosial dan SDM)
3. Bidang Pembangunan
Infrastruktur
4. Bidang Keamanan
Lingkungan

Metode/Pendekatan PT. Toba Pulp
Lestari
Pendekatan Ekonomi
Pendekatan Agama
Pendekatan Sosial

Pendapatan
Tenaga Kerja
Pendidikan
PT. Toba Pulp Lestari
(PT. TPL)
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai