0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
395 tayangan15 halaman
Teks tersebut merupakan ringkasan tentang diagnosa dan penatalaksanaan perdarahan post partum yang disebabkan oleh atonia uteri. Teksnya menjelaskan tentang definisi PPH, penyebab-penyebabnya termasuk atonia uteri, tanda-tanda klinis, pemeriksaan yang perlu dilakukan, diagnosis banding, dan faktor risiko terjadinya atonia uteri.
Deskripsi Asli:
BLOK25 PBL
Judul Asli
Diagnosa dan Tatalaksana Perdarahan Post Partum et causa Atonia Uteri
Teks tersebut merupakan ringkasan tentang diagnosa dan penatalaksanaan perdarahan post partum yang disebabkan oleh atonia uteri. Teksnya menjelaskan tentang definisi PPH, penyebab-penyebabnya termasuk atonia uteri, tanda-tanda klinis, pemeriksaan yang perlu dilakukan, diagnosis banding, dan faktor risiko terjadinya atonia uteri.
Teks tersebut merupakan ringkasan tentang diagnosa dan penatalaksanaan perdarahan post partum yang disebabkan oleh atonia uteri. Teksnya menjelaskan tentang definisi PPH, penyebab-penyebabnya termasuk atonia uteri, tanda-tanda klinis, pemeriksaan yang perlu dilakukan, diagnosis banding, dan faktor risiko terjadinya atonia uteri.
Diagnosa dan Tatalaksana Perdarahan Post Partum et causa Atonia Uteri
Ivan Laurentius S 102011265 / D3 Mahasiswa FK UKRIDA Semester 6 FK UKRIDA 2011 Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 E-mail: archgear@gmail.com
Pendahuluan Perdarahan post partum (postpartum hemorrhage, PPH) adalah hilangnya darah >500 ml secara cepat atau lambat setelah melahirkan. PPH dini terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan. PPH lanjut dapat terjadi 24 jam sampai 4 minggu setelah melahirkan. PPH dini dapat disebabkan oleh masalah plasenta, atonia uteri, robekan jalan lahir, rupture uteri, diskrasia darah, atau salah penatalaksaan kala tiga persalinan. Biasanya perdarahan postpartum lanjut disebabkan oleh hasil konsepsi yang tertinggal. 1 Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum dan sekuelenya. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbesar secara global. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan post partum secara fisiologis dikontrol oleh serabut-serabut myometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut myometrium tersebut tidak berkontraksi.
Anamnesis Ada beberapa hal penting yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis: 1. Identitas Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun 2. Keluhan utama 2
Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang. 3. Riwayat kehamilan dan persalinan Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsia / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala II dan III. 4. Riwayat kesehatan Kelainan darah dan hipertensi
Pada kasus ditemukan seorang wanita telah melahirkan seorang bayi laki-laki yaitu anaknya yang ketiga pada jam 15.30. Persalinannya berjalan lancar. Ketika perawat memeriksanya pada jam 16.10, pasien berada dalam keadaan kurang sadar dan pucat. Pemeriksaan fisik mendapatkan hasil tekanan darah 90/70 mmHg, nadi 100x/menit, pernafasan 20x/menit, dan suhu 37C. Fundus uteri setinggi pusat, konsistensi kenyal. Dari vagina tampak mengalir darah. Pada kasus ini, anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesis, yaitu secara tidak langsung dengan pasien, melalui suami atau keluarga terdekat. Hal ini karena pasien berada dalam keadaan kurang sadar. Di antara hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis adalah seperti berikut. Waktu persalinan dan durasi persalinan Apakah bayi besar? Apakah melahirkan bayi kembar? Apakah persalinan dibantu dengan alat seperti vakum dan/atau forseps? Apakah plasenta telah keluar lengkap? Riwayat persalinan sebelumnya, status GPA (Gravid, Partus, Abortus) Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan dahulu Apakah ada komplikasi selama kehamilan seperti hidramnion Riwayat keluarga dengan kelainan pembekuan darah.
Pemeriksaan Fisik 1. Pemerikasan tanda tanda vital Pemeriksaan suhu badan Suhu biasanya meningkat sampai 380C dianggap normal. Setelah satu hari suhu akan kembali normal (36 37C), terjadi penurunan akibat hipovolemia. 3
Nadi Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi hipovolemia yang semakin berat. Tekanan darah Tekanan darah biasanya stabil, memperingan hipovolemia. Pernafasan Bila suhu dan nadi tidak normal pernafasan juga menjadi tidak normal. 2
2. Pemeriksaan fisik Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus 3. Pemeriksaan obstetri Mungkin kontraksi usus lembek, uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan lahir 4. Pemeriksaan ginekologi: Dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, dapat diketahui kontraksi uterus, luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta.
Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk. Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode antenatal. Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan .
2. Pemeriksaan radiologi Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya jendalan darah dan retensi sisa plasenta USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya. 3,4
4
Diagnosis Kerja Definisi PPH adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan dini akan memerikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi <90 mmHg dan nadi >100/menit), maka penangan harus segera dilakukan. Efek perdarahan terhadap ibu hamil bergantung pada volume darah saat ibu hamil, seberapa tingkat hipervolemia yang sudah dicapai dan kadar hemoglobin sebelumnya. Anemia dalam kehamilan yang masih tinggi di Indonesia serta fasilitas transfusi darah yang masih terbatas menyebabkan PPH akan mengganggu penyembuhan pada masa nifas, proses involusi dan laktasi. PPH bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausalnya. Misalnya, PPH karena atoni uteri, PPH oleh karena robekan jalan lahir, PPH oleh karena sisa plasenta atau oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahan pada PPH bisa banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit demi sedikit tanpa henti. Berdasarkan saat terjadinya PPH dapat dibagi menjadi PPH primer, yang terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversion uteri. PPH sekunder yang terjadi seetelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonis / kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Diagnosisnya ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500 1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti. 3 Adapun faktor predisposisi terjadinya atonia uteri: umur, paritas, partus lama dan partus terlantar, obstetri operatif dan narkosa, uterus terlalu regang dan besar misalnya pada gemelli, hidramnion atau janin besar, kelainan pada uterus seperti mioma uteri, uterus couvelair pada solusio plasenta, faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi.
5
Diagnosis Banding 1. Robekan Jalan Lahir Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstrasi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai rupture peritonei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra, dan bahkan, yang terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mecari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia danadanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdaragan yang terbuka harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan terhenti. 3
2. Retensio Plasenta Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut sebgai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara palsenta dan uterus. Disebut sebgai plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer, disebut sebgai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus myometrium dan disebut plasenta perkreta bili vili korialis sampai menebus perimetrium. Faktor perdisposisi terjadinya palsenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalm uterus disebut rest palcenta dan dapat menimbulkan PPH primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan / separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak 6
akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta manual atau amenemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual / digital atau kuret dan pemebrian uterotonika. Anemia yang ditumbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfuse darah sesuai keperluannya. 3
3. Inversi Uterus Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit. Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnyta ditarik keras dari bawah) atau ada tekan pada fundus uteri dari atas (maneuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin). Inversi uteri ditandai dengan tanda-tanda: Syok karena kesakitan. Perdarahan banyak bergumpal. Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat. Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi. 3
4. Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah Kausal PPH karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan 7
sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarhan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial tromboplastin time). Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid). 3
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja Uterus tidak berkontraksi dan lembek. Perdarahan segera setelah anak lahir Syok Bekuan darah pada serviks atau posisi telentang akan menghambat aliran darah keluar Atonia uteri Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir Uterus berkontraksi dan keras Plasenta lengkap Pucat Lemah Menggigil
Robekan jalan lahir Plasenta belum lahir setelah 30 menit Perdarahan segera Uterus berkontraksi dan keras Tali pusat putus akibat traksi berlebihan Inversio uteri akibat tarikan Perdarahan lanjutan Retensio plasenta Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak Retensi sisa plasenta 8
tidak lengkap Perdarahan segera berkurang Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa Tampak tali pusat (bila plasenta belum lahir) Neurogenik syok Pucat dan limbung Inversio uteri Hasil pemeriksaan hemostasis abnormal BT & CT memanjang, trombositopenia, hipofibrinogenemia, FDP +, Pt & APTT memanjang Anemia
Perdarahan karena Gangguan pembekuan darah Tabel 1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum. 2
Epidemiologi Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika Serikat diperkirakan 7 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada tiga peringkat teratas penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya. Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. Pada tahun 1965-1969 di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 60 %), sisa plasenta (23 24 %), retensio plasenta (16 17 %), laserasi jalan lahir (4 5 %), kelainan darah (0,5 0,8 %). 5
Etiologi 9
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum. 5
Patofisiologi Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempatin sersinya plasenta terbuka. Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perinium. Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus terus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiotomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah. Penyakit pada darah ibu misalnya fibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak adanya atau kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shok hemoragik. 4
10
Manifestasi Klinis Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh ke dalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang berlagsung secara gradual sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh ke dalam syok. Antara gejala klinis pada perdarahan postpartum adalah seperti berikut: 1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol 2. Penurunan tekanan darah 3. Peningkatan denyut nadi 4. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum.
Pada perdarahan post partum karena atoni uteri, dapat timbul manifestasi klinis berikut: Perdarahan pervaginam Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah. Konsistensi rahim lunak Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya. Fundus uteri naik Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal. Terdapat tanda-tanda syok Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, pucat, gelisah, mual dan lain-lain.
Penatalaksanaan 1. Penanganan umum a. Sikap Trendelenburg, memasang venous line dan memberikan oksigen. b. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara : masase fundus uteri dan merangsang puting susu pemberian oksitosin dan turunan ergot secara im, iv atau sc. 11
Memberikan derivat prostaglandin F 2 (carboprost tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris dan takikardia. Pemberian misoprostol 800 1000 ug per-rektal kompresi bimanual eksternal dan atau internal kompresi aorta abdominalis pemasangan tampon kondom, kondom dalam kavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif. Tindakan memasang tampon kasa utero-vaginal tidak dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan. c. Bila semua tindakan itu gagal maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa: ligasi arteria uterina atau arteria ovarica operasi ransel B Lynch supra vaginal histerektomi total abdominal histerektomi. 2
12
Diagram 1. Penilaian Klinik Atonia Uteri 2
2. Tindakan preventif Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu: 1. Menyuntikan Oksitosin Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal. Menyuntikan Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah. 2. Peregangan Tali Pusat Terkendali Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau menggulung tali pusat. 13
Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain kasa dengan jarak 5- 10 cm dari vulva. Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial. 3. Mengeluarkan plasenta Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah bahwa kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva. Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali klem hingga berjarak 5-10 dari vulva. Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15 menit. Suntikan ulang 10 IU Oksitosin i.m - Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh. Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual 4. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban. 5. Masase Uterus Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras) 6. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan Kelengkapan plasenta dan ketuban Kontraksi uterus Perlukaan jalan lahir. 6
Prognosis Perdarahan post partum masih merupakan ancaman yang tidak terduga walaupun dengan pengawasan yang sebaik-baiknya, perdarahan postpartum masih merupakan salah satu sebab kematian ibu yang penting. Sebaliknya menurut pendapat para ahli kebidanan modern Perdarahan post partum tidak perlu membawa kematian pada ibu bersalin. 14
Pendapat ini memang benar bila kesadaran masyarakat tentang hal ini sudah tinggi dan dalam klinik tersedia banyak darah dan cairan serta fasilitas lainnya. Dalam masyarakat kita masih besar anggapan bahwa darahnya adalah merupakan hidupnya karena itu mereka menolak menyumbangkan darahnya, walaupun untuk menolong jiwa istri dan keluarganya sendiri. Pada perdarahan post partum, dilaporkan angka kematian ibu 7,9 %. Tingginya angka kematian ibu karena banyak penderita yang dikirim dari luar dengan keadaan umum yang sangat jelek dan anemis dimana tindakan apapun kadang-kadang tidak menolong. 7
Komplikasi Anemia Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan perubahan hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah. Anemia dapat berlanjut menjadi masalah apabila tidak ditangani, yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga akan berdampak juga pada asupan ASI bayi. Sindrom Sheehan Hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan postpartum sampai syok. Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia yang dapat menyebabkan nekrosis kelenjar hipofisis. Nekrosis kelenjar hipofisis dapat mempengaruhi sistem endokrin. Syok hemoragik Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan. 4
Kesimpulan Perdarahan post partum (PPH) adalah hilangnya darah >500 ml secara cepat atau lambat setelah melahirkan. Berdasarkan kausanya, PPH dapat dibagi karena atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta, inversi uterus, dan gangguan pembekuan darah. Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik obstetri dan ginekologi serta pemeriksaan laboratorium darah.
15
Daftar Pustaka 1. Benson RC, Pernoll ML. Buku Saku Obstetri & Ginekologi. 9th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.173. 2. Saifuddin AB, Adriansz G, Wiknjosastro G, H., Waspodo G, editors. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2002. 3. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H, Sumapraja S, Saifuddin AB, editors. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.h.522-9. 4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri Williams. Vol 1. 23rd ed. Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.759-97. 5. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.810-27. 6. Supriyadi Teddy, Gunawan Johanes. Perdarahan postpartum. Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h. 358-61. 7. Sunatrio, Gunawarman B. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. h.270-1.