Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak


dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan puluh
persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh
kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois(TCA)). Tidak adanya
ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga
terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan
pada kolon yang lebih proksimal.
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886.
Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal
usus akibat defisiensi ganglion.
Pada tahun 1888 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan
perut gembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses. Penyakit
ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang tersering
dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini
pleksus mienterikus tidak ada, sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak
dapat mengembang.
HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit
Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung
yang dirujuk setiap tahunnya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta.



BAB II

Definisi:
Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di
pleksus myenterikus (auerbachs) dan submukosa (meissners).

Insidensi:
Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi
terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita
Down Syndrome.
Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon
transversum pada 17% kasus.
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya
penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai
17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada
anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh
ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien
mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu
laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena
yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.

Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.
a) Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus
myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis
untuk Hirschsprungs disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa
hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest.
vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan.
Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal
unutk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka
mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena
elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor
yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari
sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis, vascular, atau
mekanisme lainnya.
b) Mutasi pada RET Proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2,
telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprungs disease segmen
panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada
tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi
ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk
Hirschsprungs disease adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada
kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan
sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering
ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene
baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi
genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting
untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik. Mutasi pada proto-
oncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan autosom dengan 50-
70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan pada
hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan
pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis.
c) Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi
sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan
bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti
terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprungs disease,
namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol, mengajukan
suatu mekanisme autoimun pada perkembangan penyakit ini.
d) Matriks Protein Ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan
kolagen tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus
aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat
mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam
etiologi dari Hirschsprungs disease.

Manifestasi klinis
Gejala-gejala klinis penyakit Hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir dengan
terlambatnya pengeluaran mekonium. Sembilan puluh sembilan persen bayi lahir cukup
bulan mengeluarkan mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Penyakit Hirschsprung
harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak biasa terjadi pada
bayi kurang bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan
mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi selanjutnya memperlihatkan riwayat
konstipasi kronis. Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia karena enteropati pembuang
protein sekarang adalah tanda yang kurang sering karena penyakit Hirschsprung biasanya
sudah dikenali pada awal perjalanan penyakit. Bayi yang minum ASI tadak dapat
menampakkan gejala separah bayi yang minum susu formula.
Kegagalan mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar
dan perut menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen
meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa terganggu. Stasis
memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis
(Clostridium difficile, Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis
dan tanda-tanda obstruksi usus besar. Pengenalan dini penyakit Hirschsprung sebelum
serangan enterokolitis sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Penyakit Hirschsprung pada penderita yang lebih tua harus dibedakan dari
penyebab perut kembung lain dan konstipasi kronis. Riwayat seringkali menunjukkan
kesukaran mengeluarkan tinja yang semakin berat, yang mulai pada umur minggu-
minggu pertama. Massa tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada
pemeriksaan rektum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan keluar
berupa butir-butir kecil, seperti pita, atau berkonsistensi cair; tidak ada tinja yang besar
dan yang berkonsistensi seperti tanah pada penderita dengan konstipasi fungsional. Pada
penyakit Hirschsprung masa bayi harus dibedakan dari sindrom sumbat mekonium, ileus
mekonium, dan atresia intestinal.
Pemeriksaan rektum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai
dengan semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten obstruksi
intestinum akibat tinja yang tertahan mungkin disertai dengan nyeri dan demam.
Membedakan tanda- tanda penyakit Hirschsprung dan konstipasi fungsional
Variabel Fungsional(didapat) Penyakit Hirschsprung
Riwayat
Mulai konstipasi Setelah umur 2 tahun Saat lahir
Enkopresis Lazim Sangat jarang
Gagal tumbuh Tidak lazim Mungkin
Enterokolitis Tidak Mungkin
Nyeri perut Lazim Lazim
Pemeriksaan
Perut kembung Jarang Lazim
Penambahan BB jelek Jarang Lazim
Tonus anus Normal Normal
Pemeriksaan rektum Tinja di ampula Ampula kosong
Laboratorium
Manometri anorektal Rektum mengembang
karena relaksasi sfingter
interna
Tidak ada sfingter atau
relaksasi paradoks atau
tekanan naik
Biopsi rektum Normal Tak ada sel ganglion
Pewarnaan
asetilkolinesterase
meningkat
Enema barium Jumlah tinja banyak, tidak
ada daerah peralihan
Daerah peralihan,
pengeluaran tertunda (lebih
dari 24 jam)

DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan
diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme anus.
Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan
memiliki gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik yang
saksama dapat membedakan keduanya.
Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya
ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan
Differensial Diagnosis:
- Konstipasi
- Ileus
- Iritable Bowel Syndrome
- Gangguan Motilitas Usus
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal
biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai
dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada
penatalaksanaan cairan dan elektrolit.
b. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan
platelet preoperatif.
c. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
3. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Polos Abdomen dapat menunjukkan adanya loop usus yang distensi
dengan adanya udara dalam rectum
b. Barium enema
Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum
memasukkan kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada
daerah zona transisi.
Kateter diletakksan didalam anus, tanpa mengembungkan balon, untuk
menghindari kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya perforasi.
Foto segera diambil setelah injeksi kontras dan diambil lagi 24 jam
kemudian.
Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang
mengalami dilatasi merupakan gambara klasi penyakit Hirschsprung. Akan
tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpretasi dan sering
kali gagal memperlihatkan zona transisi.
Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung
adalah adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema
dilakukan
4. Pemeriksaan lainnya
Manometri dan biopsi-isapan rektum merupakan indikator penyakit
Hirschsprung yang paling mudah dan paling dapat dipercaya. Manometri
anorektal mengukur tekanan sfingter ani interna saat balon dikembangkan di
rektum. Pada individu normal, penggembungan rektum mengawali refleks
penurunan tekanan sfingter interna. Pada penderita penyakit Hirschsprung,
tekanan gagal menurun, atau ada kenaikan tekanan paradoks karena rektum
dikembungkan. Ketepatan uji diagnostik ini lebih dari 90%, tetapi secara
teknis sulit pada bayi muda. Respons normal pada evaluasi manometri ini
menyingkirkan diagnosis penyakit Hirschsprung; hasil meragukan atau
respons sebaliknya membutuhkan biopsi rektum.
Biopsi-isap rektum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari
linea dentata untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir
usus. Biopsi harus mengandung cukup sampel submukosa untuk
mengevaluasi adanya sel ganglion. Biopsi dapat diwarnai untuk
asetilkolinesterase, untuk mempermudah interpretasi. Penderita dengan
aganglionosis menunjukkan banyak sekali berkas saraf hipertrofi yang
terwarnai positif untuk asetilkolinesterase dan tidak ada sel ganglion.
Diagnosis dengan foto rontgen pada penyakit Hirschsprung
didasarkan pada adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang
melebar normal dan kolon distal tersumbat dengan diamater yang lebih kecil
karena usus besar yang tanpa ganglion tidak berelaksasi. Daerah peralihan
ini biasanya tidak ada sebelum umur bayi 1 sampai 2 minggu dan pada
gambaran rontgen ada daerah usus berbentuk corong antara kolon
proksimal yang melebar dan usus distal yang konstriksi. Pemeriksaan
radiologis harus dilakukan tanpa persiapan untuk menghindari pelebaran
sementara segmen yang tanpa ganglion. Foto-foto tunda 24 jam banyak
membantu. Jika sejumlah barium masih tertinggal di dalam kolon, barium ini
meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit Hirschsprung walaupun daerah
peralihan tidak didapatkan. Pemeriksaan enema barium berguna dalam
menentukan luasnya aganglionosis sebelum pembedahan dan dalam
mengevaluasi penyakit lain yang ada bersama dengan obstruksi usus besar
pada neonatus. Biopsi seluruh lapisan rektum dapat dilakukan pada saat
operasi untuk memastikan diagnosis dan derajat keterlibatan.
Gambaran radiologi dari Hirschprung disease :










Penatalaksanaan
Preoperatif
a. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi buruk
disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan yang
disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar memerlukan
resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral. Meskipun demikian bayi dengan HD
yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy danpat diberikan larutan
rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama dilatasi rectal
preoperative dan irigasi rectal.
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan untuk
mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya. Untuk mempersiapkan
usus adalah dengan dekompresi rectum dan kolon melalui serangkaian pemeriksaan dan
pemasangan irigasi tuba rectal dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral
dan intravena diberikan dalam beberapa jam
sebelum pembedahan.
Operatif
Tindakan operatif tergantung pada jenis segmen yang terkena.
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan
mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.
Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat
dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada
penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomosis.
b. Tindakan Bedah Definitif
1. Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan
operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada
penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah
rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm
rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik,
sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang
ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964)
dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm
rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior. Prosedur Swenson dimulai dengan
approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke
bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum,
kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar
sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon
proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui
saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk
bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end
to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan seromuskuler. Setelah anastomose selesai, usus
dikembalikan ke kavum pelvik/ abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan
kavum abdomen ditutup (Kartono,1993; Swenson dkk,1990).
2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur
ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui
bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior
rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to
side Fonkalsrud dkk,1997). Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan
pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan
apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi
prosedur Duhamel diantaranya:
a) Modifikasi Grob (1959) : Anastomosis dengan pemasangan 2 buah
klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah
inkontinensia;
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian
stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
c) Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
d) Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal
dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah
klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih
dititikberatkan pada fungsi hemostasis.
3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun
1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi.
Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah
definitive Penyakit Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini
adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik
terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum
yang telah dikupas tersebut.
4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level
otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan
1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,
sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.

Post Operatif
Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal pull-through),
pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan
long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian
baru dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun
Swenson. Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap
tanpa kolostomi sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan
anastomosis. Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan
pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke empat pada
pasien yang sering muntah pada pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi
selama periode ini dan memerlukan perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau
dihentikan.
2.9 Komplikasi
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif, konstipasi
dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil jangka panjang
dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan secara umum berhasil dengan baik bila
ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada
aganglionik kolon total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya
berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga
konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi.

2.10 Prognosis
Terdapat perbedaan hasil yang didapatkan pada pasien setelah melalui proses perbaikan penyakit
Hirschsprung secara definitive. Beberapa peneliti melaporkan tingkat kepuasan tinggi,
sementara yang lain melaporkan kejadian yang signifikan dalam konstipasi dan
inkontinensia. Belum ada penelitian prospektif yang membandingkan antara masing-
masing jenis operasi yang dilakukan. Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit
Hirschsprung membutuhkan kolostomi permanen untuk memperbaiki inkontinensia.
Umumnya, dalam 10 tahun follow up lebih dari 90% pasien yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan. Kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%




DAFTAR PUSTAKA

1. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON
TEXTBOOK of SURGERY. 17
th
edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114.

2.Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in: Ashcraft
Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-468.

3. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:
Schwartzs PRINCIPLES OF SURGERY. 8
th
edition. McGraw-Hill. New York. Page
1496-1498.

4. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In:
Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.

5. Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter 35 Digestive System In Netters Atlas of
Humans Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.

6. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of
The Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10
th
edition.
Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.

Anda mungkin juga menyukai