kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa
tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad itu dilanggar oleh para
sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan
tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging
kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang
miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad
bersabda, "Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu
yang membutuhkannya".
Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan
tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-
dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka
larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.
Dari ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad, Maqasid Al Syariah
telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti
itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian terlihat jelas dalam
beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al Khattab. Kajian Maqasid Al
Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam ushul fiqh, yang dikembangkan oleh para
ushuli dalam penerapan qiyas, ketika berbicara tentang Masalik Al Illah. Kajian demikian
terlihat dalam beberapa karya ushul fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al Syafii, Al-Musthafa
karya Al Ghazali, Al-Mu'tamad karya Abu Al Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini
kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi.1
Dalam kelanjutannya, Maqasid Al Syariah malah menjadi bahasan yang kurang populer
atau bahkan diabaikan dalam banyak buku referensi yang berbicara tentang ushul fiqh.
Penelusuran tentang bahasan Maqasid Al Syariah menjadi tidak mudah didapat. Sejauh
ini pembahasan Maqasid Al Syariah lebih banyak diidentikkan dengan Abu Ishaq al
Shathibi.
Sedikitnya kitab-kitab ushul fiqh salaf terutama dari ulama madzhab Syafi'i yang
membicarakan Maqasid Al Syariah atau bahkan mengabaikannya dalam pokok bahasan
mereka, tersebab keterkaitan bahasan ini dengan teologi yang diyakininya.
Argument-argumen teologis yang merambat ke dalam ushul fiqh ini, karena banyak
penulis dalam bidang ushul fiqh juga menulis di bidang teologi.3 Namun demikian, ushul
fiqh menuntut suatu cara berpikir dan metode penalaran yang berbeda dari metode kalam.
Pemikiran hukum mengharuskan bahwa kehendak bagi tindakan-tindakan sukarela
manusia harus dihubungkan dengan manusia itu sendiri jika ia secara hukum harus
bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Karena ketaatan kepada perintah-perintah
Tuhan tergantung pada kehendak manusia, maka perintah itu harus diperlihatkan
dimotivasi oleh perkembangan kepentingan-kepentingan manusia. Sebagai
konsekwensinya, premis mashlahah harus diterima dalam ushul fiqh dalam kerangka
sebab, motif dan tujuan.
Perdebatan mengenai Maqasid Al Syariah ini, tidak saja terkait dengan teologi, tetapi
juga terkait dengan kehujjahan Maqasid Al Syariah sebagai sumber pengembangan
hukum. Metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqasid Al
Syariah seperti istihsan dan mashlahah mursalah,4 adalah metode pengembangan yang
diperselisihkan keberadaannya. Imam Syafi'i contohnya, atas istihsan dia menyatakan:
"Barang siapa yang menggunakan istihsan maka ia telah benar-benar mencipta syara'".5
Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum
Islam.6 Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan
sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya.
Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang
ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.7 Menurut Syathibi tujuan akhir
hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat
manusia.8
Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs,
akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini
disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut
mafsadah.12
Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga
tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.13
Kebutuhan dhoruriyat
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer.
Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan
terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang
termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan
harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap
ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain
adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas:
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang
bertakwa"14
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman
terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
Kebutuhan al hajiyat
Kebutuhan al tahsinat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal
pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal
yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak
dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan
akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah
SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh
anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan
penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.
Batasan Maslahah
• Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di
akhirat.
• Syari' menghendaki masalih harus mutlak
Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus
abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam
kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).
Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal. Kemutlakan
berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan
pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan
pribadi, keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu.
Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan
subjektif, yang bukan merupakan pertimbangan syari' dalam mashlahah, meski mungkin
dipertimbangkan dalam budaya adat.
Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil)
unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan
universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan
dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan
diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak
mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang hukuman.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …".18
Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la tansa
nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi akhiratnya.
Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar dari
kriteria mashlahah:19
• Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima
hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan
kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang
dibenarkan syara' dan lain-lain.
• Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi
menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasar hadits: "innamal a'malu
binniyat".
Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri
sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan
demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar
kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang
mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar
syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak
mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan
dua hal:20
• Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap
ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'.
Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.
• Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara
parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah
keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena
kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk
memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan
dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al
Hadits.21
Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al
Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan
hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana
disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak
disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.
Referensi
1
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam
di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hal.42-43
2
Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan
oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 225
3
Ibid. hal 226
4
Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 hal.294
5
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 hal 748
6
Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal. 292
7
Wahbah Zuhaili, op.cit. hal.225
8
Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal. 225
9
Nasrun Rusli, op.cit hsl 43
10
Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al Qur'an dan
Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997 hal 251
11
Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al
Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71.
12
Ibid. hal. 110.
13
Ibid, baca juga: Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal 292-294.
14
Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.
15
Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal
Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988, hal 153
16
Muhammad Khalid Mas'ud, Op.cit. hal. 238.
17
Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
18
Al qur'an: Al Qashash 112.77.
19
Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal.
20
Ibid, hal 108.
21
Taufik Abdullah (ketua editor), op cit. hal 294.
BAGIAN PERTAMAPENDAHULUAN
D
emikian salah satu syair yang diciptakan Rasyid Ridha terhadap dua buah kitab karya
Imam asy-Syathibi (selanjutnya disebut Syathibi), yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham.
Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah gelar bagi Imam Syathibi yaitu Mujaddid fi
al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-
nya.Salah satu di antara karya Syathibi yang paling populer di kalangan sarjana muslim
adalah al-Muwaqaat fi Ushul asy-Syari’ah, di mana ia mengintrodusir secara sistematis
apa yang kemudian disebut dengan al-Maqashid asy-Syari’ah. Teori Maqashid
selanjutnya dielaborasi lebih jauh oleh banyak cendekiawan muslim pada berbagai
dimensi Islam. Urgensi dan signifikansi teori tersebut mendapatkan banyak tempat di
lingkaran Islamic studies, baik itu dalam wilayah hukum, fiqh, sosial, dan tidak terkecuali
dalam wilayah ekonomi.Selain itu, tidak sedikit para sarjana muslim yang menjadikan
teori Maqashid sebagai sebuah obyek riset untuk penulisan karya-karya besar, baik dalam
bentuk tesis, disertasi maupun karya ilmiah lainnya. Di antara beberapa karya tersebut
antara lain:1. Nadhariyyatul Maqasid ‘inda al-Imam al-Syathibi (Ahmad Raisuni)
2. al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah (Hammadi al-Ubaidhi) 3. Qawaid al-
Maqasid ‘inda al-Imam al-Syathibi (Abdurrahman Zaid al-Kailani)4. Fikru al-
Maqashid ‘inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat (Abdul Mun’in Idris)5.
Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur (Abd Majid
Najar)6. al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘inda al-Syathibi (Jailani al-Marini)7. al-
Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah (Basyir Mahdi al-Kabisi)8. Maqasid
al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li al-Syathibi (Habib Iyad). Tidak mungkin teori
Maqashid hanyalah teori “cemen” yang tidak mempunyai spektrum luas, jika kemudian
teori tersebut banyak dikaji oleh ilmuan muslim pada generasi berikutnya. Seleksi alam
dalam dunia akademis agaknya telah memilih teori Maqashid sebagai sebuah teori yang
mempunyai akseptabilitas tinggi di banyak kalangan umat Islam. Teori ini pun juga lebih
populer jika dibandingkan dengan teori-teori yang muncul belakangan, sebut saja teori
al-Hudud atau pun teori Double Movement. Selain itu, yang menarik adalah bahwa
meskipun teori Maqashid bukanlah sesuatu yang genuine datang dari pemikiran Syathibi,
namun demikian teori tersebut lebih melekat pada nama Syathibi. Uraian dalam makalah
ini setidaknya akan mengupas tiga hal, yaitu pertama; teori Maqashid yang diawali
dengan uraian tentang definisi dan sejarahnya. Yang kedua, akan dibahas pula mengenai
mengapa teori Maqashid menjadi isu penting yang nyaris selalu dikaitkan dalam Islamic
Studies. Selanjutnya akan dibahas bagaimana teori Maqashid diderivasikan dalam
Ekonomi Islam. BAGIAN KEDUAPEMBAHASAN Seperti yang telah
disinggung sebelumnya bahwa teori Maqashid pada dasarnya sudah pernah diintrodusir
oleh para cendekiawan muslim sebelum Syathibi, walaupun kemudian Syathibi-lah yang
kemudian mampu ”mengkomunikasikan” teori tersebut dalam bentuk yang well-
designed. Meskipun istilah Maqashid yang dimaksud dalam uraian berikut ini lebih
merujuk kepada teori yang dikonstruk oleh Syathibi, namun demikian bukan berarti akan
mengeleminir dan menafikan kontribusi pihak lain yang turut membangun konsep
Maqashid. A. Definisi dan Sejarah MaqashidMaqashid merupakan bentuk plural
(jama’) dari maqshud. Sedangkan akar katanya berasal dari kata verbal qashada, yang
berarti menuju; bertujuan; berkeinginan dan kesengajaan.[1] Kata maqshud-maqashid
dalam ilmu Nahwu disebut dengan maf’ul bih yaitu sesuatu yang menjadi obyek, oleh
karenanya kata tersebut dapat diartikan dengan ’tujuan’ atau ’beberapa tujuan.’
Sedangkan asy-Syari’ah¸ merupakan bentuk subyek dari akar kata syara’a yang artinya
adalah ’jalan menuju sumber air sebagai sumber kehidupan.’[2] Oleh karenanya secara
terminologis, al-Maqashid asy-Syari’ah dapat diartikan sebagai ’tujuan-tujuan ajaran
Islam’ atau dapat juga dipahami sebagai ’tujuan-tujuan pembuat syari’at (Allah) dalam
menggariskan ajaran/syari’at Islam.’Tidak dapat disangkal bahwa Syathibi adalah peletak
dasar Ilmu Maqashid sehinga wajar jika kemudian ia disebut-sebut sebagai ”Bapak
Maqashid asy-Syari’ah.” Syathibi juga yang kali pertama menyusun al-Maqashid asy-
Syari’ah secara sistematis—sebagaimana Imam asy-Syafi’i dengan ilmu Ushul Fiqh yang
disusunnya—sehingga Maqashid lebih komunikatif dan akseptabel di kalangan sarjana
muslim. Namun demikian, Maqashid pada dasarnya sudah muncul jauh sebelum Syathibi
menulis teori tersebut dalam al-Muwafaqat-nya.Lalu siapakah cendikiawan muslim yang
sebenarnya mengintrodusir Maqashid? Setidaknya ada dua pendapat yang dapat kita
cermati untuk dapat memperoleh jawaban dari pertanyaan di atas, yaitu pendapat yang
dikemukakan oleh Ahmad ar-Raysuni, dan pendapat yang diutarakan oleh Hammadi al-
Ubaydi.
Ada pula yang menulis sejarah Maqashid dengan membaginya menjadi dua tahapan.
Tahap pertama adalah Maqashid pada fase sebelum Ibnu Taimiyah, sedangkan fase
kedua adalah Maqashid pasca Ibnu Taimiyah.[5] Pada sisi yang lain, sejarah Maqashid
dapat dibagi menjadi tiga fase. Pertama; fase fase kenabian Muhammad. Fase ini adalah
fase pengenalan maqashid syari’ah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam
bentuk sinyal-sinyal beku yang belum tercairkan, atau hanya dalam bentuk pandangan-
pandangan tersirat yang belum diteorikan. Kedua; fase sahabat dan tabi’in terkemuka.
Pada masa ini mulai diletakkanlah batu pertama perkembangan pesat sejarah Maqashid.
Fase ketiga atau yang terakhir adalah fase teoritisasi Maqashid yang banyak diolah para
cendekiawan muslim.[6]Dengan mengesampingkan perbedaan pendapat tentang asal-usul
teori Maqashid namun benang merahnya adalah bahwa teori tersebut memang telah
muncul jauh sebelum Syathibi mengintrodusirnya. Hanya saja beliau menyajikan kembali
teori di atas dalam sebuah design yang lebih tertata, communicated dan dapat diterima
oleh banyak kalangan umat Islam. Teori Maqashid dipopulerkan oleh Syathibi melalui
salah satu karyanya yang berjudul al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, sebuah kitab
yang ia tulis sebagai upaya untuk menjembatani beberapa titik perbedaan antara ulama-
ulama Malikiyah dan ulama-ulama Hanafiyah.[7] Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh teori
Maqashid juga merepresentasikan sebuah upaya untuk mengatasi fiqh karena ilmu Ushul
yang dibangun Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i masih terjebak dalam
literalisme teks dan kurang menyentuh aspek paling dalam sebuah teks. Syathibi
melengkapi teori ushul fiqh klasik tersebut dalam al-Muwafaqat dan merumuskan
maqashid al-syari’ah yang berpijak pada al-kulliyatu al-khamsah. Sebelum diberi nama
al-Muwafaqat, kitab tersebut pada awalnya diberi judul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif.
Penamaan ini dikaitkan dengan sebagian materi kitab yang berupaya mengupas berbagai
segi di balik hukum taklif. Akan tetapi Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini
sampai suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini beliau bertemu dengan salah
seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya itu
berkata kepada Imam Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah
buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan
kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali
maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba menyelaraskan dua madzhab yaitu
Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam Syathibi menggantinya dengan nama al-
Muwafaqat.[8] B. al-Maqashid asy-Syari’ah: The Ultimate Mengkaji teori Maqashid
tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang maslahah. Hal ini karena sebenarnya dari
segi substansi, wujud al-maqashid asy-syari’ah adalah kemaslahatan.[9] Meskipun
pemahaman atas kemaslahatan yang dimaksudkan oleh penafsir-penafsir maupun
mazhab-mazhab, tidaklah seragam, ini menunjukkan betapa maslahat menjadi acuan
setiap pemahaman keagamaan. Ia menempati posisi yang sangat penting.[10] Menurut
Syathibi, Maqashid dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu Maqshud asy-Syari’ dan
Maqshud al-Mukallaf. Dalam pembahasan ini akan difokuskan pada yang pertama
(Maqshud asy-Syari’), karena dalam bagian tersebut terdapat teori pokok tentang
Maqashid. Maqshud asy-Syari’ terdiri dari empat bagian, yaitu: 1. Qashdu asy-Syari’
fi Wadh’i asy-Syari’ah (maksud Allah dalam menetapkan syariat)2. Qashdu asy-
Syari’ fi Wadh’i asy-Syari’ah lil Ifham (maksud Allah dalam menetapkan syari’ahnya ini
adalah agar dapat dipahami)3. Qashdu asy-Syari’ fi Wadh’i asy-Syari’ah li al-Taklif
bi Muqtadhaha (maksud Allah dalam menetapkan syari’ah agar dapat dilaksanakan)4.
Qashdu asy-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf tahta Ahkam asy-Syari’ah (maksud Allah
mengapa individu harus menjalankan syari’ah). Dalam pandangan Syathibi, Allah
menurunkan syariat (aturan hukum) bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan
menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid), baik di dunia maupun di
akhirat. Aturan-aturan dalam syari’ah tidaklah dibuat untuk syari’ah itu sendiri,
melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan.[11] Sejalan dengan hal tersebut,
Muhammad Abu Zahrah juga menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah
kemaslahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syari’ah baik dalam al-Qur’an dan
Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.[12] Dengan demikian dapat
dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah dalam syari’ah
adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan menghindarkannya dari
segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak saja di kehidupan dunia
namun juga di akhirat. Kata kunci yang kerap disebut kemudian oleh para sarjana muslim
adalah maslahah yang artinya adalah kebaikan, di mana barometernya adalah
syari’ah.Adapun kriteria maslahah, (dawabith al-maslahah) terdiri dari dua bagian:
pertama maslahat itu bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan
membuatnya tunduk pada hawa nafsu.[13] Kedua; maslahat itu bersifat universal
(kulliyah) dan universalitas ini tidak bertentangan dengan sebagian (juz`iyyat)-
nya.Terkait dengan hal tersebut, maka Syathibi kemudian melanjutkan bahwa agar
manusia dapat memperoleh kemaslahatan dan mencegah kemadharatan maka ia harus
menjalankan syari’ah, atau dalam istilah yang ia kemukakan adalah Qashdu asy-Syari’ fi
Dukhul al-Mukallaf tahta Ahkam asy-Syari’ah (maksud Allah mengapa individu harus
menjalankan syari’ah). Jika individu telah melaksanakan syari’ah maka ia akan terbebas
dari ikatan-ikatan nafsu dan menjadi hamba yang—dalam istilah Syathibi—ikhtiyaran
dan bukan idhtiraran.[14] Selanjutnya maslahah dapat di-break down menjadi tiga
bagian yang berurutan secara hierarkhis, yaitu dharuriyyat (necessities/primer),
hajjiyyyat (requirements/se-kunder), dan tahsiniyyat (beautification/tersier). [15]
[1] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: McDonald & Evan
Ltd., 1980), h. 767.
[2] Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar ash-Shadr, t.th), VIII. h. 175.
[5] Untuk selengkapnya lihat dalam Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, Maqashid al-
Syari’ah ‘inda Ibn Taimiyyah (Yordan: Dar an-Nafais, 2000), h. 75-112.
[6] Abdul Qodir Salam, Teori Dharurah dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Status
Hukum dalam www.jurnalislam.com, diakses 22 Desember 2007.
[7] Seperti yang tercatat dalam rekaman sejarah bahwa Syathibi hidup di mana rezim
yang berkuasa menggunakan mazhab Maliki sebagai mazhab resmi negara. Imam
Syathibi mengkritik fanatisme berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan
masyarakat Andalusia saat itu terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap
orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Karena mereka terlalu berlebihan dalam
ta’asub, mereka tidak lagi mengenal bahkan cenderung tidak bersahabat dengan
madzhab-madzhab lainnya terutama madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin
Asyur melukiskan: “Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam
Malik”. Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah lepas dari
cercaan bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh al-Allammah Baqa bin Mukhlid,
seorang ulama besar bermadzhab Hanafi.
[9] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi (Jakarta: Rajawali
Press, 1996), h. 69.
[10] Said Aqiel Siradj, Fiqh Berwawasan Etika, dalam www.repulika.co.id, diakses 13
November 2007.
[12] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 336.
[13] Muhammad Khalid Mas’ud, Shatibi’s of Islamic Law (Islamabad: Islamic Research
Institute, 1995), h. 157-159.
[14] Imam Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, t.th.), juz. I, h. 128.
[15] Teori hirarki kebutuhan ini kemudian ‘diambil’ oleh William Nassau Senior yang
menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri dari kebutuhan dasar (necessity),
sekunder (decency), dan kebutuhan tertier (luxury). Bandingkan juga dengan pembagian
al-Juwaini tentang al-Maqashid asy-Syari’ah, yang ia bagi menjadi lima tingkatan jika
dilihat dari ‘illah-nya, yaitu: asl yang masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat
al-ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat
dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Abd al-Malik
ibn Yusuf Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Kairo: Dar
al-Ansar,1400 H), II: 923-930. Bandingkan juga dengan hirarki al-masâlih yang yang
diintrodusir oleh Asmuni, yaitu pertama, al-masâlih al-hayawiyah, kedua al-masâlih al-
aqliyah dan ketiga al-masâlih al-rûhiyah. Asmuni, Penalaran Induktif Syatibi dan
Perumusan al-Maqosid menuju Ijtihad yang Dinamis, dalam www.yusdani.com, diakses
13 November 2007.
[17] Ibid., h. 4.
[18] Ibid., h. 9.
[19] Ibid., h. 5.
[20] Ibid.
[21] Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Maqashid al-Syari’at al-Islamiyyah, (ttp.: al-Basair,
cet. I, 1998), h. 110.
[23] Ulasan selengkapnya tentang hal ini lihat Syed Nawab Haider Naqvi, Islam,
Economics and Society (London & New York: Kegan Paul International, 1994), bab 5.
[24] Said Aqiel Siradj, Fiqh Berwawasan Etika, dalam www.repulika.co.id, diakses 13
November 2007.
[26] Sebagaimana yang dikutip oleh Zuhairi Misrawi (ed.), Dari Syari’at Menuju
Maqashid Syari’at (Jakarta: KIKJ & Ford Foundation, 2003), h. 56. Sebagaimana yang
diketahui, Yusuf al-Qardhawy menulis dua buah buku yang berupaya membedah
pembaruan fiqh. Sistematika fiqh tidak dimulai dari peribadatan, akan tetapi dimulai dari
permasalahan yang muncul di masyarakat. Dua kitab tersebut adalah Fiqh al-Awlawiyat
dan Min Fiqh al-Muyassar li al-Muslim al-Mu’ashir.
[27] Untuk diskusi lebih lanjut bahwa Ekonomi Islam adalah fiqh mu’amalat, dapat
dibaca di A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek
Berkembangnya Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 175-199.
[30] Wael B. Hallaq, “The Primacy of The Qur’an in Syathibi Legal Theory”, dalam
Wael B. Hallaq dan Donald P. Little (eds.), Islamic Studies Presented to Charles J.
Martin (Leiden: EJ. Brill, 1991), h. 89.
[31] Imam Syathibi, al-Muwafaqat., juz. II, h. 32. Lebih lanjut ia juga menjelaskan
bahwa karena posisinya sebagai ushulnya ushul, maka Maqashid Syari’ah harus berdasar
pada dalil-dalil yang qath’iy atau definitif, bukan yang dhonny. Oleh karenanya, menurut
Syathibi, dalil naqli yang digunakan sebagai dasar adalah yang mutawatir, sanadnya
tersambung dan matan-nya tidak mengandung kecacatan. Selain itu ia juga menolak
intervensi nalar/rasio dalam wilayah ini, karena jika digunakan maka nalar/rasio akan
dengan mudahnya ”menghakimi” agama.
[32] Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy (Islamabad: Islamic Research
Institute, 1977), h. 223-224.
[33] Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, dalam www.yusdani.com, diakses
13 November 2007. Kami harapkan tidak muncul pemahaman bahwa dalam wilayah
‘ibadah tidak ada maslahah di sana, hanya saja nalar manusia tidak bisa menemukan
secara pasti maslahah apa yang ada dibalik penetapan sebuah ibadah. Maslahah apa yang
bisa Anda prediksi dari ditetapkannya putaran thawaf harus 7 kali?
[34] Sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid., h. 127-128.
[36] Muhammad Abid al-Jabiri sebagaimana yang dikutip Muhammad Guntur Romli,
Menggagas Fiqh Maqashid dalam www.islamlib.com,, diakses 29 Oktober 2007.
[37] M. Fahim Khan dan Nur Muhammad Ghifari, “Shatibi’s Objectives of Shari’ah and
Some Implications for Consumer Theory,” dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit
Ghazali (eds.), Reading in Islamic Economic Thought (Malaysia: Longman Malaysia,
1992), h. 194.
[39] Selengkapnya lihat dalam Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Maqashid., h. 233-312.
[40] Untuk bahasan lebih terperinci lihat dalam Mustafa Zaid, Al- Maslahah fi at-Tasyri’
al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1954),hlm 127-132 dan Husein
Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi al- Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdah
al-Arabiyah, 1971), hlm. 529.
[41] Referensi pokok pada sub-bab ini mengacu pada M. Fahim Khan dan Nur
Muhammad Ghifari, “Shatibi’s Objectives.,” dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit
Ghazali (eds.), Reading., bab XI.
[43] Pendapat ini masih menyisakan ruang untuk diperdebatkan, karena sebagian lagi
berpendapat bahwa wants dalam ekonomi konvensional dipengaruhi juga oleh sejumlah
nilai, seperti materialisme dan hedonisme.
[44] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 69-70.
[45] Muhammad Najetullah Siddiqi, “Islamic Consumer Behaviour”, dalam Sayyid Tahir
et. all (eds.), Reading in Microeconomics: An Islamic Perspective (Malaysia: Longman
Malaysia, 1992), h.55.
[46] Namun seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya bahwa al-kuliyyah al-
khamsah bukanlah sesuatu yang final. Dituntut ijtihad para ekonom muslim untuk
mengekstensifikasikan konsep tersebut dalam kerangka ekonomi.
[47] Asad Zaman, “Towards Foundation for an Islamic Theory of Consumer Behaviour”
dalam F.R. Faridi (ed.), Essays in Islamic Economic Analysis (New Delhi: Genuine
Publication & Media Pvt Ltd., 2002), h. 40-42.
[48] M. Fahim Khan dan Nur Muhammad Ghifari, “Shatibi’s Objectives.,” dalam
AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Reading., h. 198-200.
[49] Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Trans Vincent Monteil, 1978), h. 200.
[50] Al-Maqrizi, as-Suluk fi Ma’rifati al-Duwal wa al-Muluk (Cairo: t.t.t., 1956), I:2,120.
[51] Dalam banyak hal, adanya lembaga al-Hisbah ini menjadi alasan pembenar atas
intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur mekanisme pasar. Intervensi
pemerintah yang dimaksud dalam Ekonomi Islam sebatas untuk memastikan bahwa
mekanisme pasar telah berjalan sesuai dengan kekuatannya; dus bukan intervensi ketat a
la Sosialisme demikian juga bukan intervensi longgar a la Kapitalisme. Baca makalah
menarik yang ditulis Juhaya S. Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah
dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang
diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakata dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta,
November, 1999.
[52] Yassine Essid, A Critique of The Origins of Islamic Economic Thought (Leiden: E.J.
Brill, 1995), h. 115-116,
[53] Ibid.
[54] Jasa pertahanan dan keamanan negara tidak mungkin untuk “diprivatisasi”.
Kedaulatan teritorial tidak dapat diserahkan kepada jasa swasta.
[55] Non-rivalrous & excludable goods adalah barang yang tidak dapat diproduksi secara
efisien, namun menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga pemerintah berkewajiban
untuk memproduksinya demi kepentingan publik. Untuk kasus Indonesia, energi listrik
yang masing sangat mengandalkan BBM adalah contoh yang dapat digunakan untuk hal
ini.
[56] Sebagai ilustrasi, keberadaan BULOG dan “almarhum” BPPC adalah sampel untuk
tujuan tersebut di atas meskipun dalam prakteknya banyak ditemui penyimpangan.
Pengertian Mazhab
Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari
akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara
bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi,
1994: 208).
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang
berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai
kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling
terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208;
Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab
mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam
mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk
menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata,
“Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah
al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-
Islamiyah, II/395).
Lahirnya Mazhab
Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga
pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah
yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209; Khallaf, 1985:46;
Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih
(di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri
(w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H),
al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198
H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270
H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w.
310 H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).
Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu?
Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai faktor dalam masyarakat
yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab
fikih, antara lain:
Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.
Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan
pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan
tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.
Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini
merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih (Nahrawi, 1994:
164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182; Khallaf, 1985: 46-48; Al-Hashari,
1991: 209-213).
Terbentuknya Mazhab
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat
dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna
nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts
(fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang
tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka
disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha
Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara
tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak
menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir
(ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang
senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili,
1996: 909-911).
Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal
ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa
Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa
nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut
mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya.
Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak
mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).
Tentang Bermazhab
Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan kecuali
mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu.
(An-Nabhani, 1994: 232).
Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali
hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-
Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yang digali oleh orang lain, yaitu para
mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada
hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu
sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab
mereka (An-Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang
dibenarkan syariat Islam?
An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini.
Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yang digali
oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan
syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi
mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab
seperti ini adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani,
1994: 232).
Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan sangat seksama;
sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti hanyalah hukum syariat yang
digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang bersangkutan. Kalau seseorang
bermazhab Syafi’I, misalnya, maka wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia
ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum
syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian,
maka para pengikut mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa
Jalla, mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi yang
statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab itu? (An-
Nabhani, 1994: 232 & 394).
Bermazhab Secara Benar
Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang
bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya 2 (dua) prinsip
penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu:
Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub) terhadap
mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar, ketika Syaikh Abu
Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi, berkata secara
fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang menyalahi ketetapan mazhab kita bisa
ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).” (Abdul Jalil Isa, 1982: 74).
Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah, dan
pendapat yang benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk
mengikuti pendapat yang benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri
mengajarkan agar kita tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa
Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu
hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni, 1994: 90).
Satu persoalan yang juga menarik adalah, apakah Hizbut Tahrir itu suatu mazhab atau
bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah partai
politik yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir adalah sebuah kelompok yang berdiri di
atas dasar ideologi Islam yang diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk
menjadi pengatur interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir (1995: 22) bab Keanggotaan Hizbut Tahrir,
bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor
kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka
semua dengan pandangan Islam. (Lihat: Hizbut Tahrir, 1995: 22).
Namun demikian, jika umat Islam menaruh kepercayaan (tsiqah) kepada kualitas
keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallâhu ‘anhu, pendiri Hizbut Tahrir,
maka dimungkinkan akan dapat terwujud mazhab An-Nabhani—bukan mazhab Hizbut
Tahrir—pada masa mendatang. Sebab, beliau adalah mujtahid mutlak yang memiliki
metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat
berdasarkan ushul fikih tersebut. Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah
Al-Ijtima’iyah (1991: 267) berkata, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang
mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak
mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya, beliau
mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali hukum-hukum syariat
berdasarkan ushul fikih tersebut.”
Wallâhu a‘lam. []
Daftar Pustaka
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut: Darul
Fikr.
Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar Ihya’ al-
Kutub al-‘Arabiyah.
Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khilâf).
Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah Târîkh at-
Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno. Yogyakarta:
Dua Dimensi.
Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-
Islâm). Terjemahan oleh Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.
2. Tatabbu' rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai
dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia
menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya. Wallahu a'lam
bishshowab. (Syahidin).