Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

CML ( Chronic Myeloid Leukemia )




Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi
Departemen Medikal Di Ruang 25 Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang





Oleh :
Sufi Indraini
105070200111002



JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
1. DEFINISI
Chronic Myeloid Leukemia adalah salah satu bentuk dari leukemia yang ditandai dengan
meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur dari sel myeloid di dalam sum-sum tulang
dan terakumulasi juga di dalam darah.
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik kronik adalah
suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu penyakit
mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006). Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten
dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-ABL (break cluster region-
Abelson) (Vardiman, 2007). Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi
dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006).
Leukemia mielositik kronik yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia
(Ph) (Hoffbrand et al, 2005).
Leukemia mieloid kronik (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang
timbul perlahan-lahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML
termasuk kelainan kl onal sel induk pl uripoten, dan digolongkan penyakit
mieloprol iferatif.

2. KLASIFIKASI
Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :
a. Leukemia mielositik kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL).
b. Leukemia mielositik kronik, Ph negatif (CML, Ph-).
Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL dengan
prognosis yang tampaknya lebih buruk daripada leukemia mielositik kronik Ph positif
c. Leukemia mielositik kronik juvenilis.
Penyakit ini mengenai anak kecil dan gambaran klinis yang khas antara lain ruam kulit,
limfadenopati, hepatospleenomegali, dan infeksi rekuren. Pada pemeriksaan apusan darah
terlihat adanya monositosis. Kadar HbF tinggi, kadar fosfatase alkali netrofil normal, dan
kromosom Philadelphia negative. Prognosis buruk dan SCT adalah pengobatan yang
terpilih.
d. Leukemia netrofilik kronik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative
murni, disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik.
e. Leukemia eosinofilik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative
murni, disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik.

3. ETIOLOGI
Menurut Markman (2009), Leukemia mielositik kronik adalah salah satu dari kanker yang
diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari 90% kasus. Transformasi
leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah translokasi respirokal dari gen BCR pada
kromosom 22 dan gen ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan gen BCR-ABL yang
dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan gen tersebut,
meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel ganas.

Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan
sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan
darah perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis
akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan
penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit
meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh
stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
2. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi
yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama
beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
Panas tanpa penyebab yang jelas.
Spleenomegali progresif.
Trombositosis.
Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau
mononuclear yang besar.
Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3. Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel
blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan
limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena
sindrom hiperleukositosis.

4. FAKTOR RESIKO
Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis LMK adalah factor radiasi
ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa laporan kasus LMK lebih tinggi pada
orang yang bekerja di unit radiology, orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang
mendapat terapi radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun
begitu, hanya 5 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan adanya paparan
radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-anak. Berdasarkan penelitian
terhadap penduduk yang hidup setelah terpapar radiasi bom atom, waktu yang diperlukan mulai
dari saat terpapar sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-10 tahun. Pada anak muda,
khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan kejadian LMK, tetapi
tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi dalam kandungan yang ibunya terpapar
saat hamil. Secara skematis perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari masa inisiasi
preleukemia dan akhirnya menjadi leukemia.
a. Paparan radiasi dosis tinggiMenjadi terkena radiasi dosis tinggi (seperti menjadi selamat
dari ledakan bom atomatau kecelakaan reaktor nuklir ) merupakan satu-satunya
faktor risiko lingkungan untuk chronic myeloid leukemia
b. Us i a d a n j e n i s k e l a mi n Risiko terkena CML meningkat sesuai pertambahan
usia. CML sedikit lebih umum terjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi tidak
diketahui alasannya.Tidak ada faktor risiko lain yang terbukti untuk CML. Risiko
terkena CML tampaknyatidak akan dipengaruhi oleh kebiasaan merokok,
diet, paparan bahan kimia, atau infeksi. Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang
faktor predisposisi keturunan.




5. MANIFESTASI KLINIS
Hipermetabolisme
meliputi keringat malam hari, berat badan turun, kelelahan, anoreksia, intoleransi panas,
yang kemudian menstimulasi tirotoksikosis.
Splenomegali ditemukan pada sebagian besar pasien (90%) dan bersifat masif.
Pembesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri ataupun gangguan
pencernaan (perut terasa penuh). Dengan adanya pengobatan di awal, maka frekuensi
terjadinya splenomegali pada pasien mulai menurun.
Anemia, dimulai dengan pucat, dispnea, dan takikardia.
Fungsi trombosit yang abnormal menyebabkan gejala memar, epiktaksis, menoraghia,
ataupun perdarahan di tempat-tempat lain.
Pemecahan urin yang berlebihan menyebabkan hiperurikemia yang bermanifestasi
sebagai gout atau gangguan ginjal.
Gejala yang jarang dijumpai, namun masih ditemukan pada beberapa pasien adalah
gangguan penglihatan dan priapismus.

6. PATOFISIOLOGI
Terlampir

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-
60.000/mmk. Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit
biasanya meningkat 500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau
menurun. (Fadjari, 2006).
b. Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya
polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat,
demikian juga presentasi eosinofil dan basofil. (Fadjari, 2006).
c. Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia,
sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan
pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.
(Fadjari,2006).
d. Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi
kromosom yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9,
+19, +21, i(17). (Fadjari, 2006).

8. PENATALAKSANAAN
a. Imatinib mesylate (imatinib)
digunakan sebagai terapi awal pada fase kronik CML. Regimen ini dapat digunakan
setelah atau bersamaan dengan hydroxyurea ketika terdapat peningkatan jumlah sel darah
putih yang bermakna. Selain itu juga dapat dikombinasikan dengan leukapheresis ketika
sindrom hiperleukositik terjadi. Obat ini merupakan golongan inhibitor tirosin kinase dimana
bekerja dengan menghambat BCR-ABL tirosin kinase yang penting dalam membentuk
fungsi BCR-ABL sehingga sel CML pun dapat dihambat. Obat ini diduga dapat
menghasilkan respon hematologik yang lengkap pada hampir semua pasien yang berada
dalam fase kronik dimana dapat terjadi konversi dari Ph positif menjadi negatif. Oleh karena
itu, obat ini dijadikan sebagai obat lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau
bersamaan dengan interferon atau obat lain.
b. Leukapheresis (suatu prosedur pemisahan sel darah putih dari sampel darah)
Leukapheresis dapat mengontrol CML namun hanya sementara. Sangat bermanfaat
terutama untuk pasien hiperleukositik dan wanita hamil selama kehamilan awal dimana
kemoterapi tidak diperkenankan berkaitan dengan risiko tinggi terhadap kesehatan janin.
c. Hydorxyurea
Merupakan obat kemoterapi yang bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan
mempertahankan hitung leukosit normal pada fase kronik, tetapi diberikan seumur hidup
pasien. Dosisnya dimulai dengan 1-2 g/hari dan kemudian diturunkan setiap minggu sampai
mencapai dosis rumatan sebesar 0,5-1,5 g/hari. Obat ini kemudian dihentikan ketika hitung
sel darah putih telah mencapai kurang dari 5000/l (510
9
/liter).
d. Anagrelide
Digunakan untuk menurunkan jumlah trombosit pasien.
e. Interferon-
Saat ini masih merupakan obat terpilih pada CML dimana banyak digunakan ketika
jumlah leukosit meningkat. Obat ini bekerja dengan mempertahankan jumlah leukosit tetap
rendah (sekitar 410
9
/l). Dosis yang digunakan adalah 3-9 megaunit dan diberikan tiga
sampai tujuh kali setiap minggu secara injeksi subkutan.
f. Transplantasi sel induk
Transplantasi yang bersifat alogen banyak digunakan untuk mengobati CML.
Transplantasi ini dapat dilakukan pada saudara kandung dengan 30% saja yang dapat
mentolerir prosedur ini. Setelah ditransplantasikan ketahanan hidup pasien mencapai 50-
70% dalam 5 tahun. Hasil akan lebih baik dilakukan pada fase kronik dibandingkan dengan
fase akut.

9. KOMPLIKASI
a. Perdarahan berat. Trombositopenia dapat menyebabkan mudah berdarah dan lebam.
Perdarahan bisa merupakan perdarahan hidung, gusi, maupun pada kulit (petechiae).
b. Nyeri. CML dapat menyebabkan nyeri sendi karena sumsum tulang berkembang ketika
terdapat peningkatan sel darah putih.
c. Splenomegali. Sel darah berlebih yang diproduksi pada CML banyak disimpan dalam
limpa. Hal ini menyebabkan limpa membesar dan bengkak. Adanya perbesaran limpa ini
juga dapat menimbulkan rasa penuh pada perut setelah makan atau menyebabkan nyeri
pada sisi kiri di bawah tulang rusuk.
d. Stroke atau pembekuan berlebihan. Pada beberapa orang yang menderita CML terdapat
juga kelebihan produksi platelet. Tanpa adanya pengobatan, trombositosis ini dapat
menyebabkan pembekuan darah berlebihan dan menyebabkan stroke.
e. Infeksi. Meskipun terdapat sel darah putih dalam jumlah yang tinggi, namun fungsi mereka
dalam pertahanan tubuh menurun sehingga imunitas tubuh menurun dan rentan terkena
infeksi. Selain itu, obat-obatan CML juga dapat menurunkan jumlah sel darah putih
(neutropenia) sehingga memudahkan pula infeksi terjadi.
f. Kematian. Terutama jika tidak diobati secara adekuat, dapat menimbulkan kematian.

10. ASKEP
Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data yang akurat dan
sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien,
mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi
Anna Keliat, 1994)

Pengkajian pada leukemia meliputi :
1. Riwayat penyakit
2. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
a). Pucat
b). Kelemahan
c). Sesak
d). Nafas cepat
3. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
a). Demam
b). Infeksi
4. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
a) Ptechiae
b) Purpura
c) Perdarahan membran mukosa
5. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
a). Limfadenopati
b) Hepatomegali
c) Splenomegali
6. Kaji adanya :
a) Hematuria
b) Hipertensi
c) Gagal ginjal
d) Inflamasi disekitar rectal
e) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 17)

3. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah
trombosit
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek samping
agen kemoterapi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia,
malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
7. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi,
imobilitas
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada
penampilan.
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita
leukemia.
11. Antisipasi berduka berhubungan dengan perasaan potensial kehilangan anak.

4. Rencana keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
Tujuan : Anak tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Intervensi :
a). Pantau suhu dengan teliti
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
b). Tempatkan anak dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
c). Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk menggunakan teknik mencuci
tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
d). Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasive
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
e). Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat
penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
f). Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme
g). Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
h). Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh

i) Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
Intervensi :
a) Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dala
aktifitas sehari-hari
Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
b) Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau penyambungan
jaringan
c) Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau dibutuhkan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan intervens
d) Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri

3. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
Tujuan : pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat
diterima anak
Intervensi :
a. Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau
keefektifan intervensi
b. Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat
akses vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
c. Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian atau obat
d. Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
e. Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi,
imobilitas
Tujuan : pasien mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
a) Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
b) Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
c) Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan
Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit
d) Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat terjadi dalam area
radiasi pada beberapa agen kemoterapi
e) Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
f) Dorong masukan kalori protein yang adekuat
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negatif













DAFTAR PUSTAKA

Heslop, Helen E. Leukemia myeloid kronik. In Nelson ilmu kesehatan anak, editor: Nelson,
Waldo E.ed 15 vol 3. Jakarta: EGC;2005.

Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology; 4th Edition. London;
Elsevier Academic Press; 2006.

Roberts, Irene A.G. Chronic myeloid leukemia. In Pediatric hematology, editor: Arceci, Robert J.
3rd edition. London: Blackwell publishing; 2006 .

Sondheimer, Judith M. Myeloproliferative disease. In Current essentials pediatrics. London:
Lange; 2007 .

Chronic Myeloid Leukemia available from http://www.eMedicine.com/hematology/stem cells and
disorders.Chronic Myelogenous Leukemia/ Accessed on January, 14 2009

Anda mungkin juga menyukai