SATUAN BATUPASIR FORMASI HALANG BERDASARKAN ASOSIASI LITOFASIES DI DAERAH AJIBARANG, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS, PROPINSI JAWA TENGAH
Bobby Prima Sitanggang Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung- Sumedang KM.21, Jatinangor-45363 Email : hazel.fransiskus90@gmail.com
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di sungai Tajum, Desa Ajibarang, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Pengambilan data dilapangan dilakukan dengan mengukur ketebalan perlapisan singkapan batuan. Daerah penelitian didominasi oleh perlapisan batulempung dan batupasir disebelah selatan, namun didominasi oleh perlapisan batupasir pada sebelah utara. Hal ini menimbulkan dugaan adanya perubahan fasies dari arah selatan menuju utara daerah penelitian. Hasil dari analisis penampang litologi, singkapan batuan menunjukkan karakteristik struktur sedimen berupa massive sandstone, graded bedding, upper parallel lamination, lower parallel lamination, cross lamination, climbing-ripple cross lamination, dan convolute lamination yang diendapkan dengan media air. Sedangkan dari hasil analisis mikropaleontologi, batuan diendapkan pada lingkungan Batial Atas-Tengah. Litofasies yang teridentifikasi pada penampang litologi adalah B, C, D dan F (berdasarkan endapan submarine fan Mutti & Ricci Lucchi, 1972) dan Classical Turbidite (C.T.), Massive Sandstone (M.S.) dan Debris Flow (D.F.), (berdasarkan fasies turbidit Walker, 1978). Analisis asosiasi fasies menunjukkan daerah penelitian berada pada sistem kipas bawahlaut (submarine fan) dengan fasies berupa Mid-fan Suprafan lobes dan Slope hingga Upper-fan yang merupakan hasil pengendapan laut dalam dengan sistem pengendapan arus turbidit dan aliran debris. Pada penampang litologi juga menunjukkan adanya perubahan fasies yang dipengaruhi oleh naik- turunnya permukaan air laut, yaitu pada dua fase transgresi dan satu fase regresi. Analisis arah arus purba (paleocurrent) dilakukan dengan indikator struktur sedimen sekunder berupa flute cast pada bidang perlapisan batulempung. Restorasi lineasi sumbu memanjang flute cast dengan menggunakan stereonet menghasilkan arah arus dengan azimuth N118oE, yang mengindikasikan arah arus pengendapan pada saat material sedimen diendapkan berasal dari arah Baratlaut menuju ke arah Tenggara. Secara keseluruhan, maka lingkungan pengendapan pada daerah penelitian adalah laut dalam, khususnya pada sistem pengendapan kipas bawahlaut. Kata kunci : litofasies, fasies, asosiasi fasies, lingkungan pengendapan, struktur sedimen, arah arus purba, kipas bawahlaut, sungai Tajum
ABSTRACT This research is conducted in river Tajum, Ajibarang village, district Ajibarang, Banyumas, Central Java province. Field data is done by measuring the thickness of bedding rock outcrops. The research area is dominated by mudstone and sandstone bedding in the south , but is dominated by sandstone bedding on the north. This has led to interpretation of facies environment change from south to north area of research. Results from cross-sectional analysis of lithology, rock outcrops shows the characteristic of sedimentary structures in the form of massive sandstone, graded bedding, parallel lamination upper, lower parallel lamination, cross- lamination, climbing- ripple cross lamination, and convolute lamination precipitated with aqueous media. While the results of the micropaleontology analysis, rocks deposited on the Middle - Upper Bathyal environment. Litofacies identified in the lithological cross section are B, C, D and F (based on submarine fan deposition, Mutti & Ricci Lucchi,1972) and the Classical Turbidite (CT), Massive Sandstone (MS) and
2
Debris Flow (DF), (based on turbidite facies Walker,1978). Facies association analysis shows the study area is located on the submarine fan system (submarine fan) with a Mid-fan Suprafan lobes facies and Slope to the Upper-fan that result in the deposition of marine turbidite deposition system flow and debris flow. In cross-section also shows the lithological facies changes are influenced by the rise and fall of sea level, which is the two phases of the transgression and regression phases. Analysis of ancient current direction (Paleocurrent) performed with the secondary indicators of sedimentary structures such as flute casts on bedding plane of claystone. Lineation restoration of longitudinal axis of the flute cast using stereonet analysis generate current direction with azimuth N118 o E, which indicate the direction of flow during the deposition of sediments material deposited comes from the Northwest heading Southeast towards. Overall, the depositional environment in the study area is deep marine, especially in submarine fan depositional systems.. Keywords : lithofacies, facies, facies associations, depositional environments, sedimentary structures, paleocurrent, submarine fan, river Tajum
1. PENDAHULUAN
Batupasir merupakan batuan yang banyak diperhatikan oleh ahli geologi karena setengah dari cadangan minyak dan gas dunia terjadi pada batuan ini. Demikian juga dengan shales, karena zat organik yang terkandung didalamnya dipercaya sebagai sumber dari material minyak dan gas (Boggs, 2006). Oleh karena itu penulis memilih untuk mengadakan penelitian tentang fasies dan lingkungan pengen- dapan pada daerah Ajibarang. Mengingat hasil dari pemetaan geologi lanjut yang telah dilakukan oleh penulis sebelumnya didaerah sekitar sungai Tajum didominasi oleh batupasir dan batulempung menyerpih (shale).
Setiap lingkungan dengan keadaan tertentu dapat menghasilkan batuan yang berbeda pula, begitu juga sebaliknya himpunan batuan yang terbentuk akan menghasilkan ciri khas lingkungan pengendapannya. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menerapkan teori-teori Geologi yang telah dipelajari selama duduk di bangku kuliah terutama untuk kajian khusus sedimen- tologi dan stratigrafi di lapangan.
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya untuk dikembangkan dan bila memungkinkan dilakukan pene- litian lebih lanjut untuk mencari keter- dapatan sumber-sumber daya mineral dan energi disekitar tempat ini.
Maksud dari penelitian Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Formasi Halang di daerah penelitian.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengungkap sistem atau mekanisme pengendapan didaerah penelitian berdasarkan struktur sedimen primer. 2. Membagi litologi yang teridentifikasi menjadi beberapa litofasies pada penampang litologi perlapisan batuan dilapangan. 3. Mengklasifikasikan litofasies menjadi beberapa asosiasi fasies untuk membentuk fasies pengendapan daerah penelitian. 4. Menentukan atau menginterpretasikan lingkungan pengendapan berdasarkan analisis fosil dan analisis penampang litologi secara vertikal. 5. Menentukan arah arus purba (paleo- current) dengan indikator struktur sedimen menggunakan stereonet untuk restorasi lineation sumbu arus pengendapan.
Lokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian kajian khusus dan pemetaan
3
geologi lanjut adalah daerah Ajibarang, Kec. Ajibarang, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah.
Secara geografis masuk kedalam koordinat garis bujur 109 o 00' 13" - 109 o 05' 39" BT dan garis lintang 07 o 23' 35" - 07 o 28' 59" LS pada lembar Peta Rupabumi Digital Indonesia (Bakosurtanal) Ajibarang No. 1308-611 skala 1:25000.
2. METODE PENELITIAN
Penyusunan penampang stratigrafi terukur dilakukan setelah memperoleh data la- pangan yang akan digunakan untuk menganalisis lingkungan pengendapan ba- tuan sedimen pada penampang vertikal. Data-data yang akan disajikan pada pe- nampang vertikal merupakan data-data yang diambil dilapangan, data tersebut berupa ketebalan lapisan deskripsi litologi batuan secara lengkap, struktur sedimen primer dan sekunder, serta kontak antar perlapisan. Perhitungan ketebalan per- lapisan batuan dilapangan dilakukan berdasarkan pertimbangan kemiringan lereng, sudut kemiringan perlapisan batuan (dip) dan arah pengukuran.
Secara garis besar, proses analisis ini dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu : 1. Tahap deskripsi litologi pada penampang vertikal. 2. Penafsiran awal lingkungan pengen- dapan, berdasarkan kenampakan lito- logi, mekanisme pengendapan yang terekam pada struktur sedimen, dan keberadaan fosil. 3. Penarikan kesimpulan lingkungan pengendapan berdasarkan data-data yang telah dianalisis.
Untuk lebih jelasnya, tahap-tahap diatas akan dijelaskan sebagai berikut : 1. Data-data dari lapangan digambarkan didalam penampang vertikal. Data- data tersebut meliputi litologi, kete- balan sebenarnya (true thickness), ukuran butir, kandungan fosil, struktur sedimen primer dan sekunder, struktur sedimen biogenik, trend siklus dan deskripsi lengkap batuan. 2. Menafsirkan lingkungan pengendapan dari data- data yang ada secara garis besar, kemudian lebih spesifik dengan memperhatikan asosiasi dari bukti- bukti geologi dilapangan. Hal ini dilakukan untuk mempersempit ke- mungkinan ruang lingkup lingkungan pengendapan yang akan dianalisis. 3. Setelah diinterpretasikan lingkungan pengendapannya, maka perlu dila- kukan pembuktian melalui kesesuaian kenampakan singkapan dilapangan dengan literatur-literatur lingkungan pengendapan secara spesifik. 4. Kemudian litologi pada penampang vertikal yang telah disusun, dibagi- bagi atau diklasifikasikan menjadi lebih detail berdasarkan model fasies yang sesuai dengan keadaan sing- kapan batuan dilapangan. 5. Pada penelitian ini, penulis ingin membagi fasies berdasarkan kenam- pakan litologi secara fisik (litofasies). Setelah itu, litofasies tersebut dibagi lagi menjadi beberapa asosiasi lito- fasies dan terakhir menentukan ling- kungan pengendapan dari asosiasi litofasies tersebut. 6. Analisis lainnya adalah analisis pengaruh naik turunnya permukaan air laut terhadap perubahan fasies dalam penampang vertikal. 7. Jika memungkinkan dilakukan analisis arah arus purba (paleocurrent) saat material sedimen diendapkan dengan menggukan indikator arah arus sedi- mentasi berupa struktur sedimen. 8. Pada tahap akhir dilakukan rekon- struksi data- data yang telah ada dan hasil dari analisis lingkungan pengen- dapan untuk menentukan sejarah pengendapan sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan sebelum- nya.
4
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Penampang Litologi Untuk memudahkan penulis dalam men- deskripsikan batuan sedimen yang ditemu- kan pada daerah penelitian, maka akan dilakukan pembagian penampang litologi. Penampang ini dibagi menjadi 8 penam- pang litologi (Gambar 1), disusun dalam bentuk strati-grafi penampang litologi, yaitu :
3.1.1 Penampang Litologi 1 Secara umum terdapat tiga jenis litologi yang berkembang pada penampang ini. Litologi tersebut adalah batupasir, silty clay dan batulempung menyerpih (shale). Struktur sedimen yang terbentuk adalah graded bedding, cross lamination, lower parallel lamination dan convolute lamina- tion. (Gambar 2)
Pada penampang litologi bagian bawah terdapat batupasir massive dengan ukuran butir halus hingga medium. Batupasir ini mengandung karbonat pada pada lapisan- nya serta nodul-nodul karbonatan yang ada dalam singkapan batupasir (Gambar 3). Ju- ga dapat dilihat permukaan batupasir memiliki banyak cavity yang kemungkinan adalah merupakan fosil jejak galian (burrowing).
3.1.2 Penampang Litologi 2 Lokasi ini disusun oleh dua jenis litologi yaitu batupasir dan batulempung serpih (shale) dalam bentuk perselingan seperti yang ditunjukkan pada penampang lito- logi (Gambar 4). Singkapan memperli- hatkan batupasir dengan ukuran butir sangat halus hingga medium. Terdapat struktur sedimen graded bedding dan lower parallel lamination pada beberapa perlapisan batupasir.
3.1.3 Penampang Litologi 3 Secara umum terdapat dua jenis litologi yang berkembang pada penampang ini. Litologi tersebut adalah batupasir dan batulempung menyerpih (shale) (Gambar 5).Struktur sedimen yang berkembang pa- da batupasir adalah parallel lamination, flute cast dan climbing ripple-cross lami- nation.
3.1.4 Penampang Litologi 4 Secara umum terdapat dua jenis litologi yang berkembang pada penampang ini. Litologi tersebut adalah batupasir dan breksi sedimen. Breksi sedimen ini didominasi oleh matriks (matrix support- ed) (Gambar 6).
Pada bagian atas dari penampang ini terdapat batupasir. Struktur sedimen yang terbentuk pada batupasir ini adalah struktur massive (Gambar 7).
3.1.5 Penampang Litologi 5 Pada penampang litologi ini, secara umum terdapat dua jenis litologi yang berkem- bang. Litologi tersebut adalah batupasir dan batulanau (siltstone). Penampang ini didominasi oleh perlapisan batupasir. Ba- tupasir ini juga mengandung urat mineral karbonat yang banyak dijumpai pada singkapan batuan di lapangan. Kenam- pakan urat itu berwarna putih, karbonatan dan memanjang mengisi rekahan-rekahan yang ada pada singkapan batupasir (Gambar 8).
3.1.6 Penampang Litologi 6 Pada penampang litologi ini berkembang jenis litologi batupasir dan tuf (Gambar 9). Struktur sedimen yang berkembang pada singkapan batuan ini berupa struktur sedimen massif dan struktur sedimen biogenik berupa fosil jejak (trace fossils) Thalassinoides. Fosil jejak ini memiliki bentuk tubular panjang dan bercabang- cabang. Berwarna cokelat kemerahan dan tersebar di salah satu lapisan batupasir.
3.1.7 Penampang Litologi 7 Penampang litologi ini tersusun atas dua jenis litologi yaitu batupasir dan batu- lempung lanauan (Gambar 10). Penam- pang ini didominasi oleh batupasir. Pada beberapa perlapisan batupasir terlihat
5
struktur sedimen berupa lower parallel lamination yang tipis.
3.1.8 Penampang Litologi 8 Penampang litologi ini tersusun atas dua jenis litologi yaitu batupasir dan batulem- pung (Gambar 11). Sebagian perlapisan batupasir memperlihatkan struktur sedi- men berupa lower parallel lamination.
3.2 Karakteristik Struktur Sedimen pada Litologi dan Mekanisme Sedimen- tasi Berdasarkan pengamatan di lapangan, pe- nulis membagi batuan menjadi litologi dengan beberapa struktur sedimen yang berbeda. Pembagian ini dilakukan berda- sarkan ciri-ciri dan karakter secara fisik te- rutama struktur sedimen primer dari li- tologi yang ada di daerah penelitian. Pe- nampakan fisik yang berbeda dari litologi ini menunjukkan mekanisme pengendapan yang berbeda dan lingkungan yang ber- beda pula.
3.2.1 Litologi Batupasir Massif dengan Nodul Karbonatan Litologi ini terdapat pada penampang litologi 1. Litologi batupasir ini memiliki struktur sedimen massif dengan nodul- nodul karbonatan di dalamnya. Batupasir ini memiliki struktur sedimen massif (massive sandstone). Pada tubuh batupasir ini juga terlihat banyak cavity yang ke- mungkinan adalah merupakan fosil jejak galian (burrowing). Karakteristik sedimen batupasir massif ini menunjukkan proses pengendapan mekanisme arus traksi secara bed load. Litologi batupasir massif ini ditandai dengan adanya percampuran pada endapan secara berturut-turut (amal- gamation) dan membentuk lapisan ga- bungan (composite beds), Walker (1992).
3.2.2 Litologi Batulempung Abu-Abu Menyerpih (Shale) Litologi ini mendominasi kenampakan batulempung pada penampang litologi 1, 2 dan 3. Litologi ini memiliki ciri-ciri menyerpih dan kenampakan fissile di la- pangan. Karakteristik batulempung ini me- nunjukkan proses pengendapan partikel- partikel sedimen sangat halus yang mengalami suspensi di dalam air dan mengendap setelah partikel pasir yang memiliki berat jenis lebih besar selesai diendapkan. Serpih secara khas dien- dapkan pada air yang sangat tenang dan sering dijumpai pada endapan danau dan lagoonal, endapan delta sungai, pada floodplain dan offshore dari pantai yang tersusun atas pasir. Shale juga bisa ter- endapkan pada continental shelf, secara relatif dalam, serta air yang tenang. Setelah terendapkan, partikel lempung (clay) mengalami kompaksi sehingga clay men- jadi keras. Proses tersebut membentuk lempung yang telah mengalami kon- solidasi dengan kenampakan fisik menyer- pih dan fissile (Middleton,1980).
3.2.3 Litologi Batupasir dengan Convolute Lamination Litologi ini cukup banyak terlihat pada penampang litologi 1. Struktur sedimen convolute lamination merupakan salah satu jenis soft-sediment deformation structures. Mekanisme terbentuknya adalah struktur terbentuk pada saat diendapkan atau sesaat setelah diendapkan, selama tahap awal dari konsolidasi sedimen. Hal ini dikarenakan sedimen yang terendapkan memerlukan wujud seperti cairan atau belum meng- alami konsolidasi (unsolidified) untuk membentuk suatu deformasi yang akan menghasilkan struktur sedimen berupa convolute lamination. Singkapan batuan yang memperlihatkan struktur sedimen ini juga disebut sebagai water-escape struc- tures oleh Lowe (1975).
3.2.4 Litologi Batupasir dengan Lower Parallel Lamination (Sand Laminated) Litologi ini muncul di beberapa interval penampang litologi 1, 2 dan 3. Laminasi berkembang pada sedimen dengan ukuran butir yang sangat halus hingga halus. Partikel butiran halus turun mengendap, hal ini hanya terjadi pada air yang tenang (quiet water). Beberapa contoh lingkungan
6
pengendapan dimana struktur parallel lamination bisa terbentuk adalah lantai samudera laut dalam, lantai dasar danau (lacustrine), tempat dimana naik-turun muka air laut terjadi dan menciptakan perbedaan siklus dalam suplai sedimen (mudflats), Boggs (2006).
3.2.5 Litologi Batulempung dengan Up- per Parallel Lamination (Silt and Mud Laminated) Litologi ini muncul di beberapa interval penampang litologi 1, 2 dan 3. Laminasi berkembang pada sedimen dengan ukuran butir yang sangat halus. Mekanisme pem- bentukannya sama dengan lower parallel lamination, yaitu melalui suspensi pada larutan (Boggs, 2006). Namun pembeda upper parallel lamination adalah tersusun atas lamina silt atau mud.
3.2.6 Litologi Breksi Sedimen Litologi breksi sedimen ini terdapat pada penampang litologi 4. Breksi ini memiliki kontak dengan batupasir massif. Kontak antara breksi sedimen dengan batupasir tersebut memiliki kenampakan scour atau bergelombang di lapangan. Namun kom- ponen pada breksi sedimen ini tidak semuanya berbentuk butir menyudut, akan tetapi ada sebagian komponen batuan yang berbentuk butir membundar, serta breksi ini didominasi oleh matriks (matrix supported). Oleh karena itu penulis juga menginterpretasi breksi ini merupakan diacmitite, berdasarkan kenampakannya di lapangan. Diamictite paling sering berasal dari pengendapan aliran massa di bawah laut (submarine mass flows) seperti turbidite dan olistostromes dalam area tektonik aktif. Aliran ini juga dapat diproduksi dalam cakupan yang luas dari setiap kondisi formasi geologi. Salah satu kemungkinan diendapkannya diamictite ini adalah lingkungan pengendapan laut (marine), yaitu dalam bentuk aliran debris, turbiditic olistostromes dan percampuran sedimen dari longsoran bawah laut (submarine), Boggs (1992).
3.2.7 Litologi Batupasir dengan Normal Graded Bedding Batupasir dengan struktur normal graded bedding ditunjukkan oleh penampang litologi 1 dan 2. Normal graded bedding dicirikan oleh perubahan sistematis ukuran butir dari bagian bawah hingga atas lapisan (bed), dimana bagian bawah dari bed me- miliki ukuran butir yang lebih kasar dibandingkan pada bagian atasnya, secara berangsur material sedimen berukuran butir kasar berubah menjadi material se- dimen berukuran butir lebih halus. Meka- nisme pengendapannya terjadi pada arus yang mengalami penurunan energi saat material sedimen diendapkan, namun memungkinkan juga terjadi selama peris- tiwa pengendapan yang cepat (Boggs, 2006). Hal ini paling baik ditunjukkan oleh strata turbidit yang mengindikasikan ada- nya arus kuat terjadi tiba-tiba, mengen- dapkan material sedimen yang kasar dan berat terlebih dahulu kemudian diikuti oleh pengendapan material yang lebih halus selama arus melemah. Struktur sedimen ini banyak terjadi pada tempat yang memiliki kemiringan lereng dan bisa memicu pergerakan vertikal yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi, misalnya pada continental shelf dan continental slope menuju ke laut dalam.
3.2.8 Litologi Batupasir dengan Cross Lamination Litologi ini banyak ditemukan pada penampang litologi 1. Cross lamination merupakan satuan horizontal yang secara internal tersusun atas lapisan-lapisan yang memiliki kemiringan atau membentuk sudut terhadap sumbu horizontal (Boggs, 2006). Arah pergerakan dari cross lamina- tion dapat menunjukkan arah aliran purba atau arah angin (paleocurrent). Material sedimen yang diendapkan biasanya mela- lui medium yang mengalir, yaitu air atau angin. Cross lamination terbentuk di ber- bagai lingkungan seperti sungai, tide- dominated coastal dan marine setting. Da- lam marine setting, cross lamination juga bisa terlihat dalam sikuen arus turbidit
7
Bouma yang termasuk salah satu penciri divisi Tc.
3.2.9 Litologi Batupasir dengan Climbing-Ripple Cross Lamination Litologi ini banyak terdapat pada penam- pang litologi 3. Struktur sedimen ini secara mekanisme sama dengan pengendapan ripple yaitu mengindikasikan adanya per- golakan pada air atau angin baik melalui gelombang ataupun arus. Namun hasil pengendapan ini akan menghasilkan unsur pergerakan vertikal dan pergeseran hori- zontal dari puncak ripple (crest). Climbing ripple terbentuk saat adanya aliran yang mengalami perlambatan berasosiasi dengan river floods atau arus turbidit.
3.2.10 Litologi Batulempung dengan Flute Cast Litologi ini terdapat di penampang litologi 3 pada salah satu lapisan batulempung. Struktur ini merupakan salah satu bagian dari sole mark, ditemukan pada bagian bawah strata dengan memperlihatkan alur- alur dalam skala kecil. Flute cast meru- pakan hasil gerusan kedalam lapisan se- dimen yang halus dan lunak yang kemu- dian diisi oleh lapisan yang berada di atasnya. Sumbu dari struktur ini dapat juga dijadikan bahan untuk analisis arah arus purba yang terjadi pada saat pengendapan (paleocurrent). Flute cast biasanya terben- tuk pada mekanisme arus turbidit (Nichols, 2009).
3.3 Interpretasi Awal Lingkungan Pengendapan Selama berada didaerah penelitian, penulis tidak menemukan adanya kelimpahan fosil-fosil makro pada singkapan batuan. Hasil analisis paleontologi mikrofosil yang dilakukan dilaboratorium ditemukan fosil- fosil mikro berupa foraminifera planktonik dan bentonik. Untuk sementara, penulis menginterpretasi lingkungan pengendapan batuan adalah berupa lingkungan pengen- dapan laut (marine) berdasarkan analisis foraminifera planktonik dan bentonik. Berdasarkan karakteristik struktur sedimen primer yang terlihat di lapangan maka mekanisme pengendapan sangat bervariasi. Paralel laminasi baik laminated sand (lower parallel lamination) maupun lamin- ated silt and mud (upper parallel lamina- tion) mengindikasikan arus yang sangat tenang pada saat pengendapan (tranquil) atau mekanisme endapan secara suspensi. Normal graded bedding mengindikasikan mekanisme endapan partikel sedimen pada arus turbidit secara bed-load. Cross lami- nation mengindikasikan endapan partikel sedimen pada arus yang searah khususnya pada media pengendapan air dan angin. Convolute lamination mengindikasikan bentuk endapan yang seperti cairan (liquid-like), terjadi pada partikel sedimen pasir halus hingga lanauan (silty), memiliki kenampakan laminasi yang mengalami lipatan (fold) atau overturned, dan sedimen yang diendapkan dengan cepat akibat dari adanya gangguan. Dari keberadaan aso- siasi struktur-struktur sedimen primer yang ditemukan di lapangan, maka ditentukan mekanisme arus pengendapan yang terjadi adalah percampuran antara mekanisme arus turbidit dan suspensi pada material endapan. Untuk endapan laut (marine), lingkungan yang paling mendekati karak- teristik tersebut adalah delta dan laut da- lam (deep marine) yang berasosiasi dengan lereng (slope). Namun untuk me- nentukan suatu lingkungan pengendapan yang lebih spesifik dibutuhkan analisis lebih lanjut. Karena banyak kemungkinan suatu endapan bisa diendapkan diberbagai lingkungan yang berbeda dengan karak- teristik litologi yang hampir sama. Fosil-fosil makro berupa cangkang molus- ka dan struktur-struktur sedimen berupa akar tumbuhan (roots) serta akumulasi bahan organik (organic matter) sebagai salah satu ciri-ciri pengendapan di ling- kungan darat dan transisi tidak ditemukan selama melintasi lintasan penelitian. Sing- kapan batuan yang terdapat pada daerah penelitian juga didominasi oleh per- selingan antara batupasir dan batulempung
8
menyerpih pada bagian selatan dan per- lahan berubah menjadi singkapan batuan yang didominasi oleh batupasir kearah utara. Dari hal ini penulis menduga ada perubahan fasies dari arah selatan menuju arah utara darerah penelitian. Karakteristik fisik berupa struktur sedimen, litologi, dan biologi berupa analisis fosil mikro- paleontologi menunjukkan karakteristik endapan berada di lingkungan laut. Oleh karena tidak ditemukannya indikasi en- dapan pada lingkungan delta, maka secara garis besar lingkungan pengendapan dae- rah penelitian diinterpretasikan termasuk kedalam lingkungan pengendapan laut dalam (deep marine), khususnya pada endapan submarine fan dimana arus tur- bidit akan meninggalkan struktur sedimen seperti yang telah dijelaskan di atas.
3.4 Pembagian Litofasies Kenampakan litologi dengan ciri khas struktur sedimen primer dan sekunder yang berkembang di lapangan serta per- selingan antara batupasir dan batulempung serpih memperlihatkan beberapa peru- langan perlapisan. Litofasies pada ancient submarine fan dapat dibagi menjadi tujuh bagian besar berdasarkan ukuran butir, kemas dan ketebalan lapisan, serta asosiasi dari struktur sedimen pada lapisan batuan (beds). Lingkungan yang mengindikasikan kipas bawah laut purba dapat direkon- struksi dari asosiasi litofasies secara lateral dan karakter dari siklus lapisan secara vertikal (Normark & Howell, 1982). Berdasarkan hasil analisis mikropaleon- tologi, fosil-fosil foraminifera yang dite- mukan pada sampel batuan di daerah pene- litian menunjukkan umur relatif batuan diendapkan pada kala Miosen Akhir hingga Pliosen Awal. Keseluruhan karak- teristik litologi, keberadaan struktur sedi- men dan fosil jejak yang ada di lapangan disebandingkan dengan karakteristik for- masi dari geologi lembar Purwokerto & Tegal (1309-3 & 1309-6) skala 1 : 100.000 oleh Djuri dkk, 1996. Setelah disebanding- kan, maka daerah penelitian termasuk ke- dalam formasi Halang. 3.4.1 Litofasies pada penampang litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m) Penampang ini tersusun atas litologi batupasir dan serpih (shale). Litofasies pa- da penampang litologi 1 ini terdiri dari beberapa litofasies (ber-dasarkan model endapan submarine fan, Mutti & Ricci Lucchi, 1972), yaitu lito-fasies B, C dan D. Pada composite log tepatnya penampang litologi 1 yang berada pada interval 446,8 579,5 m memiliki ketebalan kira-kira 132,7 meter.
3.4.2 Litofasies pada penampang litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m) Penampang ini tersusun atas litologi batupasir dan serpih (shale). Secara umum kenampakan lapisan batuan ini adalah perselingan antara batupasir dengan serpih (shale). Beberapa fasies yang teriden- tifikasi di penampang litologi pada interval ini adalah B, C, dan D.
3.4.3 Litofasies pada penampang litologi 3 (Interval 138,2 226,3 m) Penampang litologi ini disusun oleh per- lapisan batupasir dan serpih. Secara kese- luruhan kenampakan penampang litologi ini adalah perselingan batupasir dan batu- lempung serpih, dengan perlapisan batu- lempung serpih yang lebih tebal diban- dingkan perlapisan batupasir. Beberapa fa- sies yang teridentifikasi di penampang litologi adalah C dan D, dengan dominasi fasies D.
3.4.4 Litofasies pada penampang litologi 4 (Interval 0 56,2 m) Penampang litologi 4 ini tersusun oleh breksi sedimen dan juga batupasir massif. Penampang litologi ini dimasukkan ke- dalam fasies B dan F berdasarkan karak- teristik endapannya.
9
3.5 Asosiasi Litofasies Untuk menginterpretasi suatu fasies dari sebuah singkapan batuan maka analisis harus disertai oleh data yang mencer- minkan urutan-urutan fasies tersebut se- cara vertikal. Dalam urutan-urutan fasies pengendapan sering ditemukan kelompok fasies yang membentuk asosiasi fasies (facies association) yang mencerminkan lingkungan pengendapannya. Asosiasi fa- sies itu akan melingkupi gabungan dari beberapa fasies yang secara umum diendapkan dalam lingkungan pengen- dapan besar (broad) yang sama, dimana kemungkinan adanya perbedaan mekanis- me pengendapan dan fluktuasi muka air laut bisa terjadi.
3.5.1 Asosiasi Litofasies Penampang Litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m) Secara keseluruhan dimulai dari interval 446,8 531,3 m, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar berdasarkan asosiasi fasies turbidit yang dikembangkan oleh penelitian ancient submarine fan sebelumnya (Walker, 1978), yaitu ter- masuk kedalam Classical Turbidite (C.T.) dan Massive Sandstone (M.S.) (Gambar 12). Sedangkan pada interval 531,3 579,5 m juga dibagi menjadi dua bagian besar asosiasi fasies turbidit (Walker, 1978), yaitu Clasiccal Turbidite (C.T.) dan Massive Sandstone (M.S.) (Gambar 13).
3.5.2 Asosiasi Litofasies Penampang Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m) Secara keseluruhan dimulai dari interval 370,5 394,8 m, asosiasi litofasies dibagi menjadi dua bagian asosiasi fasies turbidit (Walker, 1978), yaitu Clasiccal Turbidite (C.T.) dan Massive Sandstone (M.S.). Penampang litologi 2 ini didominasi oleh asosiasi litofasies berupa Classical Tur- bidite (C.T.). Pada bagian atas penampang ini ditandai dengan perselingan batulem- pung serpih (shale) yang tebal dengan batupasir yang tipis (Gambar 14).
3.5.3 Asosiasi Litofasies Penampang Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m) Kenampakan secara keseluruhan pada interval 138,2 226,3 m, dapat diklasifi- kasikan kedalam asosiasi fasies turbidit yang dikembangkan oleh Walker, 1978. Interval ini termasuk kedalam Classical Turbidite (C.T). Dimana Classical Tur- bidite disini memperlihatkan perselingan antara batupasir sangat halus hingga halus dengan serpih (shale). Kenampakan di lapangan menunjukkan ketebalan lapisan (beds) didominasi oleh serpih yang tebal (Gambar 15 dan Gambar 16).
3.5.4 Asosiasi Litofasies Penampang Litologi 4 (Interval 0 56,2 m) Kenampakan secara keseluruhan pada in- terval 0 56,2 m, memperlihatkan asosiasi fasies turbidit berupa Debris Flow (D.F.) dan Massive Sandstone (M.S.) (Gambar 17). Debris flow ini dicirikan oleh breksi sedimen yang memiliki pemilahan buruk. Kemu-dian massive sandstone dicirikan oleh keberadaan batupasir yang massif tidak menunjukkan adanya perselingan dengan serpih ataupun lempung. Kedua litologi ini dibatasi oleh batas scouring di lapangan (Gambar 7).
3.5.5 Asosiasi Litofasies Penampang Litologi 5, 6, 7 dan 8 Penampang litologi 5, 6, 7 dan 8 ini berada disebelah utara penampang litologi 1, 2, 3, dan 4, dimana pada penampang litologi 1, 2, 3 didominasi oleh perselingan batupasir dengan batulempung menyerpih (shale), litologi 4 disusun atas breksi sedimen dan batupasir massif, sedangkan pada penam- pang litologi 5, 6, 7 dan 8 lebih didominasi oleh batupasir massif. Sulit untuk mem- bagi penampang litologi 5, 6, 7 dan 8 menjadi asosiasi fasies karena lapisan litologi yang hampir seragam dan kebe- radaan struktur sedimen yang kurang melimpah. Namun jika dimasukkan keda- lam litofasies pengendapan laut maka pe-
10
nampang litologi 5, 7 dan 8 adalah Massive Sandstone (M.S). Namun pada penampang litologi 6 dite- mukan struktur sedimen biogenik insitu berupa fosil jejak Thalassinoides. Jejak ini sangat melimpah di salah satu lapisan batupasir ukuran butir medium berwarna cokelat pada singkapan dengan ciri-ciri bentuknya bercabang-cabang seperti ta- bung dengan diameter mencapai 4 cm. Dengan keberadaan fosil jejak Thalassinoides ini, maka penulis mengin- terpretasikan lingkungan saat diendap- kannya lapisan batuan yang mengandung fosil jejak ini dengan ichnofacies. Skema lingkungan bathimetri pengendapan laut berdasarkan skema ichnofasies (Gambar 18) menunjukkan Thalassinoides terdapat pada bagian sublittoral zone.
3.6 Fasies Lingkungan Pengendapan Fasies adalah tubuh batuan dengan karak- teristik yang khusus serta mencerminkan kondisi dimana endapan sedimen dari batuan tersebut terbentuk (Reading & Levell 1996). Untuk menggambarkan fa- sies dari tubuh sedimen harus meng- ikutsertakan karakteristik litologi, tekstur, struktur sedimen dan kandungan fosil yang bisa membantu untuk menentukan proses dari pembentukan formasi seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan asosiasi litofasies yang telah dijelaskan di atas, maka penulis membagi fasies seperti yang dijelaskan sebagai berikut.
3.6.1 Fasies Penampang Litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m) Jika diklasifikasikan lagi menurut hipotesa submarine fan sequence yang dikembang- kan oleh Walker (1978), maka sikuen ini diinterpretasikan kedalam fasies suprafan lobes on mid fan di dalam sub-bagian smooth portion of suprafan lobes, dengan ciri-ciri keberadaan asosiasi Massive Sandstone (M.S.) dan Classical Turbidite (C.T.) dengan trend sikuen ideal coarsening upward (C.U.). Oleh karena itu, pada interval ini diinterpretasikan fasies lingkungan pengendapannya adalah kipas bawah laut bagian tengah (mid submarine fan). Sedangkan berdasarkan asosiasi fasies turbidit dan lingkungan sedimentasi relatif (Mutti and Ricci Lucchi, 1972), maka interval ini termasuk kedalam bagian kipas atau cekungan proksimal bagian tengah (middle). Oleh karena itu, secara keselu- ruhan interval ini diinterpretasikan masih masuk kedalam fasies kipas bawah laut bagian tengah (mid submarine fan).
3.6.2 Fasies Penampang Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m) Interpretasi lingkungan pengendapan dari keberadaan asosiasi fasies ini adalah masih didalam suprafan lobes on mid fan di da- lam sub-bagian smooth portion of suprafan lobes (Walker, 1978). Sedangkan berdasar- kan asosiasi fasies turbidit dan lingkungan sedimentasi relatif (Mutti and Ricci Lucchi, 1972), maka interval ini termasuk kedalam bagian fasies kipas atau cekungan proksimal bagian tengah (middle). Oleh karena itu, secara keseluruhan interval ini diinterpretasikan masih masuk kedalam fasies kipas bawah laut bagian tengah (mid submarine fan).
3.6.3 Fasies Penampang Litologi 3 (Interval 138,2 226,3 m) Jika diklasifikasikan lagi berdasarkan hipotesa submarine fan sequence yang dikembangkan oleh Walker (1978), maka sikuen ini diinterpretasikan kedalam suprafan lobes on mid fan di dalam sub- bagian smooth portion of suprafan lobes, dengan ciri-ciri keberadaan Classical Turbidite (C.T.) yang didominasi oleh batulempung serpih diselingi oleh lapisan tipis batupasir dengan trend sikuen ideal coarsening upward (C.U.). Sedangkan ber- dasarkan asosiasi fasies turbidit dan lingkungan sedimentasi relatif (Mutti and Ricci Lucchi, 1972), maka interval ini termasuk kedalam bagian fasies kipas atau cekungan proksimal bagian tengah (mid). Namun fasies ini sangat didominasi oleh
11
perlapisan shale yang tebal. Oleh karena itu, secara keseluruhan pada interval ini diinterpretasikan lingkungan pengendapan- nya adalah fasies kipas bawah laut bagian tengah (mid submarine fan) namun dekat dengan kipas bagian luar (outer fan).
3.6.4 Fasies Penampang Litologi 4 (Interval 0 56,2 m) Berdasarkan sikuen kipas bawah laut (Walker, 1978), maka asosiasi fasies ini diinterpretasikan kedalam inner fan channel fill hingga bagian dari suprafan lobes on mid fan, lebih detailnya pada bagian channeled portion of suprafan lobes. Berdasarkan asosiasi fasies turbidit dan lingkungan sedimentasi relatif (Mutti and Ricci Lucchi, 1972), maka interval ini termasuk kedalam bagian lereng (slope).
3.7 Lingkungan Pengendapan Berdasarkan analisis penampang stratigrafi terukur (measured section) yang telah dilakukan di lapangan, maka dihasilkan empat litofasies yaitu B, C, D dan F (berdasarkan model endapan submarine fan, Mutti & Ricci Lucchi, 1972). Dari keempat litofasies tersebut, dihasilkan tiga asosiasi litofasies yaitu Classical Turbidit, Massive Sandstone dan Debris Flow (Walker, 1978). Kemudian asosiasi lito- fasies tersebut dianalisis secara vertikal dan dihasilkan dua fasies berupa kipas bawah laut bagian dalam (Submarine- Inner Fan) atau isi dari saluran (Channel Fill) pada bagian bawah lereng bawah laut, serta kipas bawah laut bagian tengah (Submarine-Mid Fan), Walker, 1978. Oleh karena itu maka secara keseluruhan analisis, penulis menginterpretasikan ling- kungan pengendapan daerah penelitian adalah laut dalam (deep marine environ- ment), tepatnya diendapkan pada bagian kipas bawah laut (submarine fan).
3.8 Analisis Arah Arus Purba (Palaeo- current) Analisis arus purba pada daerah penelitian dilakukan pada penampang litologi 3. Se- telah diukur dengan menggunakan kom- pas, maka didapatkan arah perlapisan per- selingan batulempung dan batupasir N86 o E/61 o . Pada salah lapisan batulem- pung (mud) terdapat kenampakan struktur sedimen sekunder berupa flute cast. Secara keseluruhan, sangat sulit untuk menen- tukan arah (azimuth) serta pangkal dan ujung dari sumbu flute cast tersebut, karena sudah banyak mengalami erosi. Namun disuatu tempat terlihat flute cast yang sumbu memanjangnya berada sekitar 32 o dari horizontal (rake) di atas per- mukaan lapisan batulempung. Karena keberadaan data yang kurang baik tersing- kap, maka penulis mengasumsikan rata- rata flute cast rake dari data yang terlihat adalah 32 o dari beberapa sumbu flute cast yang dihitung sudutnya terhadap garis horizontal. Untuk menentukan arah peng- endapan material pada saat diendapkan, harus dilakukan restorasi arah dari indikator-indikator struktur sedimen yang bisa menunjukkan arah pengendapan. Salah satunya adalah scour mark atau salah satu dari bagiannya adalah flute cast. Sumbu memanjang dari flute cast bisa memberikan informasi arah pengendapan pada masa terbentuknya lapisan yang ada di bawahnya. Namun dari hasil pengukuran stratigrafi terukur (measured section) yang dilakukan di lokasi penelitian menunjukkan dise- panjang sungai Tajum semakin ke utara semakin didominasi oleh batupasir dengan ukuran butir yang lebih kasar, sedangkan semakin ke selatan semakin didominasi oleh batulempung, meskipun masih dida- patkan perselingan batupasir yang tipis. Oleh karena itu berdasarkan data rekon- struksi arus purba yang terjadi saat flute cast diendapkan didukung oleh kenam- pakan dominasi batupasir disebelah utara dan dominasi batulempung disebelah selatan, maka penulis menginterpretasikan arah arus pengendapan dari arah Baratlaut (azimuth sekitar N118 o E dari arah utara berdasarkan data rekonstruksi arah arus purba dengan indikator flute cast) dengan
12
asumsi perlapisan belum mengalami rotasi akibat adanya struktur geologi.
3.9 Siklus Sedimentasi dan Sejarah Pengendapan Interpretatif Berdasarkan analisis yang telah dilakukan berupa analisis mikropaleontologi dan analisis fasies pada penampang litologi, maka pada saat pengendapan daerah penelitian merupakan sebuah laut. Lebih tepatnya lingkungan yang berasosiasi dengan lereng bawah laut dan laut bagian dalam (Gambar 19). Dari asosiasi litofasies yang teridentifikasi, ditentukan pada awalnya material sedimen berupa longsoran terjadi pada lereng (slope) yang disebabkan oleh adanya gangguan kemungkinan oleh tektonik atau ketidakstabilan beban pada lereng (slope failure). Longsoran yang terjadi berupa aliran debris dan rotational slide/slumping. Hal ini ditunjukkan oleh endapan breksi sedimen dan endapan perlapisan batupasir yang mengalami lipatan (folded) didalam breksi sedimen. Setelah itu, permukaan air laut naik atau mengalami transgresi. Material sedimen berupa massive sand- stone diendapkan dibagian bawah dari slope yaitu pada inner fan atau bisa diinterpretasikan juga sebagai pengisi dari saluran (channel fill) pada lingkungan lereng sebelah bawah menuju bagian dalam kipas bawah laut (inner fan). Setelah itu permukaan air laut mengalami transgresi lagi sehingga garis pantai sema- kin mundur kearah daratan. Pergerakan muka air laut ini mempengaruhi pengen- dapan material sedimen, sehingga batas fasies pengendapan ikut berubah dan mengalami retrogradasi. Selanjutnya ter- jadi pengendapan material sedimen seperti awal, namun diendapkan pada fasies yang berbeda yaitu bagian tengah kipas bawah laut (mid fan) menuju kearah bagian luar kipas bawah laut (outer fan), hal ini ditunjukkan oleh perselingan batulempung serpih (shale) dan batupasir. Dominasi oleh batulempung menyerpih dengan rasio ketebalan shale lebih tinggi daripada ketebalan batupasir. Setelah itu permukaan air laut mengalami penurunan atau regresi, sehingga batas fasies pengendapan pun mengalami progradasi. Hasilnya berupa endapan perselingan batulempung menyer- pih (shale) dengan batupasir. Rasio kete- balan batulempung menyerpih/batupasir masih tinggi, dengan kata lain masih didominasi oleh batulempung menyerpih (shale). Namun rasio ketebalan serpih/ba- tupasir lebih rendah dibandingkan dengan rasio serpih/batupasir perlapisan berfasies kipas bagian tengah (mid fan) yang ada di bawahnya (semakin tinggi rasio Shale/ sandstone maka fasiesnya diinterpreta- sikan semakin dekat kearah basin plain, dimana pada basin plain didominasi oleh material halus yang akan berubah menjadi perlapisan-perlapisan batulempung yang tebal). Berdasarkan analisis yang dilakukan maka, daerah penelitian memiliki tiga siklus pengendapan secara besar, yaitu awalnya diendapkan aliran debris pada lereng, kemudian permukaan air laut mengalami transgresi, setelah itu diendapkan batupasir massif pada bagian bawah lereng berasosiasi dengan slope bagian bawah atau dekat dengan inner fan, dilanjutkan lagi dengan transgresi, lalu diendapkan perselingan batupasir dan batulempung menyerpih pada bagian mid fan menuju ke outer fan. Pada akhirnya permukaan air laut mengalami regresi. Diendapkan perselingan batupasir dengan batulempung menyerpih, dengan rasio ketebalan shale/ sandstone yang lebih rendah dibandingkan dengan rasio perlapisan shale/sandstone yang ada di bawahnya.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan 1. Struktur-struktur sedimen yang terdapat di lapangan berupa massive sandstone, graded bedding, upper parallel lamina- tion, lower parallel lamination, cross lamination, climbing- ripple cross lami- nation, dan convolute lamination yang
13
menggambarkan media pengendapan berupa air.
2. Litofasies yang teridentifikasi dari analisis penampang litologi terukur (measured section) adalah B, C, D, dan F (berdasarkan endapan submarine fan Mutti & Ricci Lucchi, 1972) dan Classical Turbidite (C.T.), Massive Sandstone (M.S.) dan Debris Flow (D.F.), (berdasarkan fasies turbidit Walker, 1978). 3. Satuan litologi batupasir di daerah penelitian Ajibarang diendapkan pada sistem kipas bawahlaut (submarine fan) dengan fasies berupa Mid-fan Suprafan lobes dan Slope hingga Upper-fan yang merupakan hasil pengendapan laut dalam (deep marine) dengan sistem pengendapan arus turbidit dan aliran debris. 4. Secara keseluruhan, berdasarkan ana- lisis struktur-struktur sedimen pada singkapan batuan, analisis mikrofosil, analisis litofasies dan asosiasi litofasies perlapisan batuan, maka penulis meng- interpretasikan lingkungan pengendap- an batupasir di daerah penelitian berupa laut dalam dengan sistem pengendapan kipas bawah laut. 5. Arah pengendapan material sedimen berdasarkan analisis paleocurrent yaitu berupa restorasi arah sumbu struktur sedimen sekunder flute cast pada perlapisan batuan yang menunjukkan nilai azimuth sumbu memanjang yang bernilai N118 o E dengan arah pengen- dapan dari Baratlaut menuju ke arah Tenggara.
4.2 Saran 1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan mengambil data-data singkapan perlapisan batuan yang lebih lengkap, dan menjadikan penelitian ini sebagai bahan literatur untuk bisa mengem- bangkan dan melengkapi penelitian mengenai lingkungan pengendapan atau pokok kajian yang berhubungan dengan keadaan geologi di daerah penelitian.
2. Karena ada kemungkinan untuk pene- litian selanjutnya, singkapan-singkapan yang ada bisa dihubungkan dengan petroleum system. Seperti batulempung atau shale yang tebal bisa menjadi batuan penudung (seal) yang baik. Singkapan-singkapan dengan sistem pengendapan berupa aliran debris yang ada pada daerah penelitian juga bisa diteliti lebih lanjut permeabilitasnya, sehingga penelitian bisa dikaitkan dengan kualitas breksi atau batupasir sebagai reservoir. 3. Untuk kajian khusus lainnya yang berhubungan dengan arah arus purba, kemungkinan banyak struktur sedimen yang akan ditemukan, terutama struktur sedimen yang bisa digunakan sebagai indikator arah arus, sehingga bisa mem- bantu peneliti di dalam menganalisis arah arus purba (paleocurrent). Hal ini juga bisa dikaitkan dengan sejarah pengendapan material sedimen pada saat diendapkan dengan asumsi perla- pisan batuan belum mengalami rotasi akibat struktur geologi.
4. Lokasi penelitian bisa digunakan seba- gai tempat untuk observasi bahan bela- jar sedimentologi terutama mengenai sistem pengendapan dan struktur sedi- men yang berkembang di lingkungan laut.
5. DAFTAR PUSTAKA Arif, A. F., 2008. Petunjuk Penulisan Laporan Kerja Lapangan, Usulan Penelitian dan Skripsi. Universitas Padjadjaran Fakultas Teknik Geologi, Jatinangor. Barker, R.W., 1960. Taxonomic Notes, Spec. Publ. Soc. Econ. Paleont. Miner., Tulsa.
14
Boggs, S., 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy 4 th
Ed., Pearson Education, Inc. US. Bolli Hans M.; Saunders, John B., 1985. Plankton Stratigraphy. Cambridge University Press. Bouma, A., 1962. Sedimentology of Some Flysch Deposits. Elsevier, Amsterdam, 168pp. Coe, Angela L., 2010. Geological Field Techniques. Willey-Blackwell Publishing, Association with The Open University, Walton Hall, Milton Keynes, United Kingdom. Djuri, M., Samodra, H., Amin, T.C., dan Gafoer, S., 1996. Geological Map of The Purwokerto and Tegal Quadrangles, Java, scale 1 : 100.000. Geological Research and Development Center, Bandung. Ekdale, A.A., Bromley, R.G., Pemberton, S.G., 1984. ICHNOLOGY, The Use of Trace Fossils in Sedimentology and Stratigraphy. Society of Economic Paleontologists and Mineralogists Tulsa, Oklahoma. Howell, D. G., and Normark, W. R., 1982. Sedimentology of Submarine Fans, in Scholle, P. A., and Spearing, D. R., eds., Sandstone depositional environments, 31 of AAPG Memoirs: Tulsa, OK, AAPG, p. 365-404. Kamtono dan Praptisih, 2011. Fasies Turbidit Formasi Halang di Daerah Ajibarang, Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret 2011 : 13 - 27. Pusat Geoteknologi LIPI, Kompleks LIPI, Jln. Sangkuriang, Bandung. Koesoemadinata, R.P., 1982. Prinsip- prinsip Sedimentasi. ITB, Bandung. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 14 h. Krumbein, W.C. and Sloss, L.L., 1963. Stratigraphy and Sedimentation, 2nd, Ed, W.H. Freeman, San Fransisco. Mutti, E. and Davoli, G., 1992. Turbidite Sandstones, - AGIP, Istituto di geologia, Universit di Parma Mutti, E., and Ricci Lucchi, F., 1972. Turbidite of The Northern Apennines: Introduction to facies analysis (English translation by T. H. Nilsen, 1978): International Geology Review, v. 20, p.125-166. Nichols, G., 2009. Sedimentology and Stratigraphy 2 th Ed., Willey-Blackwell Publishing, United Kingdom. Normark, W. R., 1978. Fan Valleys, Channels, and Depositional Lobes on Modern Submarine Fans: Characters for Recognition of Sandy Turbidite Environments: Am. Assoc. Petroleum Geologists Bull., v. 62, p. 912-931. Phleger, Fred; Parker L. Frances, 1951. Foraminifera Species, Part II, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California. Plint, A.G., 1995. Sedimentary Facies Analysis, Special Publication Number 22 of the International Association of Sedimentologist. Blackwell Science Ltd. London. Reading, H.G. and Levell, B.K., 1996. Facies and Sequence. In Reading, H.G. (editor), Sedimentary environments processes, facies and stratigraphy, Third Edition, Blackwell Sci. Reineck, H.E, & Singh, I.B., 1980. Depositional Sedimentary Environment. Springer- Verlag, Berlin, 549p.
15
Scholle, P.A. & Spearing, D. Sandstone Depositional Environment. AAPG Memoir 31. The American Association of Petroleum Geologists Tulsa, Oklahoma 74101, USA. Selley, R.C., 2000. Applied Sedimentology 2 nd Ed., Academic Press, San Diego, California, USA. Tucker, M., 1982. The Field Description of Sedimentary Rocks. John Wiley & Sons. 111pp. Walker, R.G. and E. Mutti, 1973. Turbidite Facies and Facies Associations in G. V. Middleton, and A. H. Bouma, eds., Turbidites and deep- water sedimentation: SEPM Pacific Sec, p. 119-157. Walker, R.G., & James, N.P., 1992. Facies Models, Response to Sea Level Change. Geological Association of Canada, 409p. Walker, R.G., 1976. Facies Models Turbidites and Associated Coarse Clastic Deposits. Geoscience Canada, Volume 3, Number 1. Department of Geology McMaster University Hamilfon. Walker, R.G., 1978. Deep Water Sand Facies and Ancient Submarine Fans, Model For Exploration Stratigraphic Trap, AAPG.
16
LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 1. Lokasi pengamatan litologi se- kitar sungai Tajum
Gambar 2. Sturktur-struktur sedimen yang berkembang pada lokasi penampang lito- logi 1
Gambar 3. Singkapan batupasir massif dengan nodul-nodul karbonatan pada penampang litologi 1
Gambar 4. Singkapan perselingan batu- pasir dengan batulempung menyerpih pada penampang litologi 2
Gambar 5. Singkapan perselingan batu- pasir dengan batulempung menyerpih (di- dominasi oleh batulempung menyerpih) pada penampang litologi 3
Gambar 6. Singkapan breksi sedimen dengan matrix supported pada penampang litologi 4
17
Gambar 7. Singkapan breksi sedimen dengan batupasir yang memperlihatkan kontak berupa scouring pada penampang litologi 4
Gambar 8. Singkapan batupasir dengan batulanau pada penampang litologi 5
Gambar 9. Singkapan batupasir dengan tuf pada penampang litologi 6
Gambar 10. Singkapan batupasir dengan batulempung lanauan pada penampang litologi 7
Gambar 11. Singkapan batupasir dengan batulempung pada penampang litologi 8 Gambar 12. Asosiasi Litofasies Penam- pang Litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m)
18
Gambar 13. Sambungan asosiasi Litofasies Penampang Litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m) Gambar 14. Asosiasi Litofasies Penam- pang Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m)
Gambar 15. Asosiasi Litofasies Penam- pang Litologi 3 (Interval 138,2 226,3 m) Gambar 16. Sambungan asosiasi Litofasies Penampang Litologi 3 (Interval 138,2 226,3 m)
19
Gambar 17. Asosiasi Litofasies Penam- pang Litologi 4 (Interval 0 56,2 m) Gambar 18. Skema yang memperlihatkan ichnofacies laut yang biasa ditemukan (Modified after Crimes, 1975, didalam bu- ku The Use of Trace Fossils in Sedimen- tology and Stratigraphy by Bromley, 1984 halaman 187)
Gambar 19. Model interpretatif sejarah pengendapan yang dipengaruhi oleh peru- bahan permukaan air laut
TIPE POLA SEBARAN DAN KEMENERUSAN LAPISAN BATUBARA DI LOKASI PENELITIAN, SEKITAR LOKASI, DAN REGIONAL
Kasus wilayah sayap barat Antiklin Palaran yang menunjam