Anda di halaman 1dari 10

Sie Infokum Ditama Binbangkum

1
ARBITRASE












Diunduh dari : http://ualawyer.ru/id/media/95/


A. Latar Belakang
Dalam suatu perjanjian antara para pihak atau suatu hubungan bisnis,
selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang terjadi seringkali
terkait mengenai cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi
perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya di luar yang diatur dalam perjanjian.
Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, ada beberapa cara yang biasanya
dapat dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.
Berbicara mengenai arbitrase atau lembaga arbitrase, sebenarnya
sudah ada dan telah dipraktekkan selama berabad-abad (bahkan pertama kali
diperkenalkan oleh masyarakat Yunani sebelum masehi). Namun, definisi pasti
mengenai apakah arbitrase itu, masih saja ditemui begitu banyaknya perbedaan
pendapat. Namun, perbedaan pendapat tersebut tidak sampai menghilangkan
makna arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa melainkan justru
memberikan konsep yang berbeda-beda mengenai arbitrase.

B. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata Arbitrare (bahasa Latin) yang
berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh
para sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang
sama.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang
diberikan oleh hakim yang mereka pilih
1
.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu
proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh
para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada
bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak
2
.

1
Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992, hlm.1.
2
H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional) di luar
Pengadilan, Makalah, September 1996, hlm.1.

Sie Infokum Ditama Binbangkum
2
H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase
yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak
bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah
pihak
3
.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin
penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan
(judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing
court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus
untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim
dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya
untuk kasus yang sedang ditangani
4
.
Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses
yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin
agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan
mereka di mana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para
pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan
mengikat
5
.
Di Indonesia, perangkat aturan mengenai arbitrase yakni UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1
angka 1 mendefinisikan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Blacks Law Dictionary juga memberikan definisi arbitrase sebagai a
method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are
usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding, atau
Arbitration is an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected
persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of
justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and
vexation of ordinary litigation.
Dari berbagai pengertian arbitrase di atas, maka terdapat beberapa
unsur kesamaan, yaitu:
1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa,
baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang atau beberapa
orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan;
2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang
menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya di sini
dalam bidang perdagangan industri dan keuangan; dan
3. Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan mengikat (final and binding).

3
H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran, Cetakan III, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm.1.
4
Brierly J. Law, The Law of Nation, Oxford, Clarendon Press, 1983, hlm.347.
5
Frank Elkoury dan Edna Elkoury, How Arbitration Work, Washington DS., 1974, dikutip dari M. Husseyn
dan A. Supriyani Kardono, Kertas Kerja Hukum Ekonomi, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia,
Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri Negara
Koordinasi Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, 1995, hlm.2.

Sie Infokum Ditama Binbangkum
3
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo);
atau
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa (Akta Kompromis).

C. Historis Yuridis Arbitrase di Indonesia
1. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa semua peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini. Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada
zaman Kolonial Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini
belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan
UUD 1945 tersebut.
2. Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR
atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa :
Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan
mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi
peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa. Sebagaimana
dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropa
yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara
Perdata yang diatur dalam RV.
3. Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab
Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
- Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623
RV)
- Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
- Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
4. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan
lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat
(1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang menyatakan Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas
dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.
5. Pasal 80 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di
Indonesia yaitu UU No. 14 Tahun 1985, sama sekali tidak mengatur
mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU
Sie Infokum Ditama Binbangkum
4
No. 14 Tahun 1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang
telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang
peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah
Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1 Tahun 1950
tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung
Indonesia. UU No. 1 Tahun 1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai
pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase
mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,-
(Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1 Tahun 1950).
6. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1967 menyatakan: Jikalau
di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah,
macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan
arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1967 : Badan arbitrase terdiri atas tiga
orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu
orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh
pemerintah dan pemilik modal.
UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing kemudian dicabut
dan digantikan dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
pada Pasal 32 menyatakan :
(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanaman modal, para pihak terlebih dahulu
menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri, para pihak dapat
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian
sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak,
dan jika penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan
menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang
harus disepakati oleh para pihak.
7. UU No. 5 Tahun 1968 tentang Pengesahan Persetujuan Atas Konvensi
Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai
Penanaman Modal atau sebagai ratifikasi atas International Convention On
the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of
Other States
Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai
wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai
Sie Infokum Ditama Binbangkum
5
penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement
of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
8. Keppres No. 34 Tahun 1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Convention On the Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Awards disingkat New York Convention
(1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di New
York, yang diprakarsai oleh PBB.
9. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Keppres No. 34
Tahun 1958, oleh Mahkamah Agung dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal dikeluarkan.
10. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang
dimaksudkan untuk menggantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase
yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan
perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan
Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan
hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan
ketentuan yang terdapat dalam UU No. 30 Tahun 1999.

D. Obyek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan
melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain:
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik
intelektual. Sementara itu Pasal 5 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan perumusan negatif
bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak
dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III
bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.



Sie Infokum Ditama Binbangkum
6
E. Jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase
melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan
aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau
UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan
berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta
prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase
Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase
6
.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh
berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan
sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-
badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang
internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of
Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri
7
.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul
arbitrase sebagai berikut:
8

"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus
oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan
prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of
International Trade Law) adalah sebagai berikut:
9

"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan
dengan perjanjian ini, atau wanprestasi, pengakhiran atau sah tidaknya
perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan
UNCITRAL.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali
adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul
arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat
jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian
arbitrase dibuat setelah sengketa timbul
10
.

F. Keuntungan dan Kelemahan Arbitrase
Dalam Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, terdapat beberapa keuntungan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dibandingkan melalui proses peradilan, yaitu:


6
Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006),
hal 27.
7
Ibid.
8
Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA). Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian,
http://www.gontha.com/view.php?nid=104.
9
Ibid.
10
Ibid.
Sie Infokum Ditama Binbangkum
7
1. kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
2. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapat dihindari;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan
adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian
masalahnya;
para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase;
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui
prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Menurut Prof. Subekti, bahwa bagi dunia perdagangan atau bisnis,
penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa
keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan
secara rahasia.
Sementara itu, HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya
peradilan wasit (arbitrase) adalah:
11

1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat;
2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-
sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan
para pihak;
3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak;
4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui
tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia
pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ini :
As compared with the court system, the main advantages clained for arbitration
are:
1. quicker resolution of disputes;
2. lower costs in time and money to the parties; and
3. the availability of professional who are often expert in the subject matter of
dispute.
Selain keunggulan diatas, arbitrase juga mempunyai kelemahan, yaitu
masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan
untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup
jelas, ini khususnya terjadi di Indonesia dari praktek arbitrase yang sudah
berjalan selama ini. Selain itu, di negara-negara tertentu proses peradilan dapat
lebih cepat dari pada proses arbitrase.
Beberapa kelemahan dari Arbitrase adalah :
1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun
masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai

11
Budhy Budiman, Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan
Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm.
Sie Infokum Ditama Binbangkum
8
contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan
kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI.
2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan
memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapat
dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui
lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
3. Lembaga Arbitrase tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan
melakukan eksekusi putusannya.
4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang
dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan
berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan,
gugatan pembatalan dan sebagainya.
5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme
extra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti
kejujuran dan kewajaran.

G. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 s.d. Pasal 64
UU No. 30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan
putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan
pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada
kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan
lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau
kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat
mandiri, final dan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekekuatan hukum tetap) sehingga Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang
dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal
terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU No. 30 Tahun 1999, sebelum memberi perintah
pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila
tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Pada mulanya pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia
didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda
yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa
Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di
Sie Infokum Ditama Binbangkum
9
New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement
of Foreign Arbitral Award.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengaksesi Konvensi New York tersebut
dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan
didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Kemudian pada 1 Maret
1990 ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya
Konvensi New York 1958. Oleh karenanya, dengan terbitnya PERMA tersebut
maka hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih
ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

H. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Walaupun arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase, namun lembaga
arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase. Hal ini terjadi karena masih adanya keharusan
untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Sehingga ini
menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa
terhadap para pihak untuk menaati putusan.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar Pasal 14
ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999, antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau
majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan dan dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional yang harus
dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendaftaran putusan
tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase
internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam hal sengketa para pihak yang telah ditentukan penyelesaian
sengketanya melalui lembaga arbitrase, maka Lembaga Peradilan diharuskan
menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat
(2) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak
berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal
tersebut merupakan prinsip limited court involvement.
Namun, dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang
menentang, bahkan ketika lembaga arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan
putusannya. Hal tersebut terjadi, seperti dalam kasus Bankers Trust Company
dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk
(Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada
klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999
tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat
dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto
02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT
bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran
Sie Infokum Ditama Binbangkum
10
ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa
perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan
hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan
Mahkamah Agung No.02 K/Exr/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.




Referensi:
1. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
2. Blacks Law Dictionary;
3. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992;
4. H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan
Penundaan Pembayaran, Cetakan III, Djambatan, Jakarta, 1992;
5. Frank Elkoury dan Edna Elkoury, How Arbitration Work, Washington DS., 1974, dikutip
dari M. Husseyn dan A. Supriyani Kardono, Kertas Kerja Hukum Ekonomi, Hukum dan
Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan
Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri Negara Koordinasi Bidang Ekonomi,
Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, 1995;
6. H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional) di
luar Pengadilan, Makalah, September 1996;
7. Budhy Budiman, Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik
Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, http://www.uika-
bogor.ac.id/jur05.htm;
8. Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006).

Anda mungkin juga menyukai