Anda di halaman 1dari 15

Analgetik

Farmakologi 1



ANALGETIKA

Disusun Oleh :
NUR WAHIDATUN (24121030)
PAHMI FIKRI EFENDI (24121032)
PEPY S SOFFIAWATY (24121033)
POPPIE PURWANTI (24121034)
PUPU INDAH PURNAMASARI (24121035)
PUTRI SEKAR (24121036)
RIAZ ISFANDIAR ZUNIAN (24121039)
RIMA WAROKA (24121040)
RINI ROHIMAH (24121041)
RIO Y UMBARA (24121042)
RISNA ANGGRAENI KUSUMA (24121043)
RIZKY INDRA PRAYOGA (24121044)
RUDI KURNIAWAN (24121045)
REFLI SEPTIAN A (24121064)

STFB S1 NON REGULER 2012



Analgetik
Farmakologi 2


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Obat analgesik merupakan obat yang sudah di kenal luas, banyak dijual sebagai kemasan
tunggal maupun kemasan kombinasi dengan bahan obat lain. Obat ini tergolong sebagai obat
bebas sehingga mudah ditemukan di apotik toko obat maupun warung pinggr jalan. Karena
mudah didapatkan resiko untuk terjadi penyalahgunaan obat ini semakin besar. Di Amerika
Serikat di laporkan lebih dari 100.000 kasus per tahun yang menghubungi pusat informasi
keracunan, 56.000 kasus datang ke unit gawat darurat, 26.000 kasus memerlukan perawatan
intensif di rumah sakit.
Pada umumnya (sekitar 90%) analgesik mempunyai efek antipiretik. Bagi para pengguna
mungkin memerlukan bantuan dalam mengkonsumsi obat yang sesuai dengan dosisi-dosis
obat. Penggunaan Obat Analgetik Narkotik atau Obat Analgesik ini mampu menghilangkan
atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan
hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik atau Analgesik ini tidak
mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian obat analgetik?
2. Apa macam-macam obat analgetik?
3. Apa itu Nyeri?
4. Apa prevalensi Nyeri?
5. Apa patofisiologi Nyeri?
6. Apa diagnosa Nyeri?
7. Bagaimana mekanisme dan target kerja obat analgetik terhadap nyeri?
8. Bagaimana evaluasi terapi obat analgetik terhadap nyeri?

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari obat analgetik.
2. Untuk mengetahui macam-macam obat analgetik.
3. Untuk mengetahui prevalensi Nyeri
4. Untuk mengetahui patofisiologi Nyeri
5. Untuk mengetahui diagnosa Nyeri
6. Untuk mengetahui mekanisme dan target kerja obat analgetik terhadap nyeri.
7. Untuk mengetahui evaluasi terapi obat analgetik.

1.4 Metode Pembuatan Makalah
Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan. Metode studi
kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telah pustaka tentang Analgetik. Selain itu,
kami juga memperoleh data dari internet.



Analgetik
Farmakologi 3



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Penggolongan Analgesik
Analgetik adalah obat atau senyawa yang
dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan
perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni
penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan
reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap
perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik)
mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi
ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan
narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang
diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan
suatu gejala, yang fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang
adanya gangguan-gangguan di dalam tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-
infeksi kuman atau kejang-kejang otot.
Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang
dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang
disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput
lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui
saraf-saraf sensoris ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke
thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan
sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamine, serotonin,
plasmakinin-plasmakinin, dan prostaglandin-prostagladin, serta ion-ion kalium.
Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa
cara, yaitu:
1. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh
analgetika perifer atau anestetika lokal.
2. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan
anestetika lokal.
3. Blokade dari pusat nyeri dalam Sistem Saraf Pusat dengan analgetika sentral (narkotika)
atau anestetika umum.
Analgesik di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang
terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan
menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan
toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan
adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi
ini, maka kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-
Undang Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM.
Secara kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

Analgetik
Farmakologi 4

Alkaloid candu alamiah dan sintesis morfin dan kodein, heroin, hidromorfon,
hidrokodon, dan dionin.
Pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari:
a) Petidin dan turunannya, fentanil dan sufentanil.
b) Metadon dan turunannya:dekstromoramida, bezitramida, piritramida, dan d-
ptopoksifen.
c) Fenantren dan turunannya levorfenol termasuk pula pentazosin.
2. Analgetika Perifer (non-narkotik)
Obat obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf
Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika
perifer juga memiliki kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan
demam, maka disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya
terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di
kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut:
Salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, dan benirilat.
Derivat-derivat p-aminofenol:fenasetin dan parasetamol.
Derivat-derivat pirozolon:antipirin,aminofenazon, dipiron, fenilbutazon dan turunan-
turunannya.
Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat.

2.2 Mekanisme dan Target Kerja Obat
Mekanisme Kerja
1. Mekanisme kerja Analgetik Opioid
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgetiknya dan efek sampingnya.
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin,
penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme supreaditif ini tidak
diketahui dengan tepat mungkin menyangkut perubahan dalam kecepatan biotransformasi
opioid yang berperan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opioid
yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi
napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu dan selain itu ada efek hipotensi
fenotiazin.
2. Mekanisme Kerja Obat Analgesik Non-Nakotik
Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam mengatur nyeri dan
temperature. AINS secara selektif dapat mempengaruhi hipotalamus menyebabkan
penurunan suhu tubuh ketika demam. Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis
prostaglandin (PG) yang menstimulasi SSP. PG dapat meningkatkan aliran darah ke perifer
(vasodilatasi) dan berkeringat sehingga panas banyak keluar dari tubuh.
Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik di hipotalamus atau di tempat cedera.
Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta pelepasan zat aktif seperti
brandikinin, PG dan histamin. PG dan brandikinin menstimulasi ujung saraf perifer dengan
membawa impuls nyeri ke SSP. AINS dapat menghambat sintesis PG dan brandikinin
sehingga menghambat terjadinya perangsangan reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak
digunakan sebagai analgetik dan antipiretik adalah golongan salisilat dan asetominafin
(parasetamol).


Analgetik
Farmakologi 5

Indikasi dan Kontraindikasi Obat Analgetik
1. Analgetik Opioid atau Analgetik Narkotika
a) Morfin dan Alkaloid Opium
Indikasi
Meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan dengan
analgesik non-opioid.
Mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai
gagal jantung kiri.
Mengehentikan diare
Kontraindikasi
Orang lanjut usia dan pasien penyakit berat, emfisem, kifoskoliosis, korpulmonarale
kronik dan obesitas yang ekstrim.
b) Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Meperidin digunakan juga
untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat praanestetik.
Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena terjadinya
perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan
bersama antisipkosis, hipnotif sedative dan obat-obat lain penekanSSP. Pada pasien yang
sedang mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan,
gejala eksitasi dan demam.
2. Obat Analgetik Non-narkotik
a) Salisilat
Indikasi
Mengobati nyeri tidak spesifik misalnya sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid,
neuralgia dan myalgia.
Demam reumatik akut
Kontraindikasi
Pada anak dibawah 12 tahun
b) Parasetamol
Indikasi
Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesic dan antipiretik, telah
menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik lainnya, parasetamol sebaiknya
tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik.
Kontraindikasi
Penggunaan semua jenis analgesic dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi
berpotensi menyebabkan nefropati analgesik.
c) Asam mefenamat
Indikasi
Sebagai analgesik, sebagai anti-inflamasi.
Kontraindikasi
Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak dibawah 14 tahun dan wanita hamil dan
pemberian tidak melebihi 7 hari. Penelitian klinis menyimpulkan bahwa penggunaan
selama haid mengurangi kehilangan darah secara bermakna.
d) Ibuprofen
Indikasi
Bersifat analgesik dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat.

Analgetik
Farmakologi 6

Kontraindikasi
Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui karena ibuprofen
relative lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis
analgesik.

2.3 PENATALAKSANAAN NYERI

DESKRIPSI PENYAKIT
A. Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya (aktual) atau potensi kerusakan jaringan atau keadaan yang
menggambarkan kerusakan tersebut.

B. Patofisiologi
NYERI NOSISEPTIF
Nyeri nosisetif (akut) meliputi nyeri somatik ( sember nyeri berasal dari kulit, tulang,
sendi, otot, atau jaringan penghubung) atau viseral (berasal dari organ dalam seperti
usus besar atau pankreas).

Perangsangan pada ujung saraf bebas yang dikenal dengan istilah nosiseptor merupakan
tahap pertama yang mengawali timbulnya rasa nyeri. Reseptor ini dapat ditemukan baik
di struktur viseral ataupun somatik serta teraktivasi oleh rangsangan mekanis , termal
(panas) dan kimiawai. Pelepasan bradikinin. K
+
, prostaglandin, histamin, leukotrien,
serotonin, dan subtance P dapat menimbulkan potensial aksi yang dihantarkan
sepanjang serabut saraf aferena ke spinal cord (sumsum tulang belakang)

Potensial aksi berlanjut dari tempat rangsangan ke dorsal horn (ujung seperti tanduk)
dari spinal cord (sumsum tulang belakang)dan kemudian secara asenden ke arah pusat
yang lebih tinggi. Talamus beraksi sebagai stasiun pemancar dan meneruskan
rangsangan ke struktur pusat yang akan memproses rasa nyeri lebih lanjut.

Tubuh mengatur rasa nyeri melalui beberapa proses. Sistem opiat endogen terdiri dari
neurotransmitter (misal : enkepalin, dinorfin, dan -endorfin) dan reseptor yang
ditemukan di seluruh sistem saraf pusat (SSP). Opioid endogen terikat pada reseptor
opioid dan menghambat penghantaran rangsangan nyeri
SSP juga mengandung suatu sistem desending untuk mengontrol penghantaran rasa
nyeri. Sistem ini berawal dari otak dan dapat menghambat penghantaran nyeri sinaptik
pada dorsal horn. Neurotransmiter penting meliputi opoid endogen, serotonin,
norepinefrin, -amino butirat (GABA) dan neurotensin.
NYERI NEUROPATIK
Nyeri neuropatik (kronis) terjadi akibat pemprosesan input sensorik yang abnormal oleh
sistem saraf pusat atau perifer. Terdapat sejumlah besar sindrom nyeri neuropatik yang
seringkali sulit diatasi (misal : nyeri punggung bawah, neuropati diabetik, posterpic
neuralgia, nyeri akibat kanker, luka pada spinal cord/sumsum tulang belakang).
Kerusakan saraf atau rangsangan terus menerus dapat menyebabkan sirkuit/ lintasan
nyeri untuk menimbulkan rangsangan saraf secara spontan, rangsangan nyeri saraf
otonom dan meningkatkan pelepasan bahan-bahan dari saraf dorsal horn yang
progresif.


Analgetik
Farmakologi 7

C. Manifestasi Klinik
UMUM
Pasien mungkin berada dalam keadaan distress (kesakitan) akut yang nyata (nyeri trauma)
atau tampak tuidak menderita keluhan yang berarti (kronis/memetap).


GEJALA
Nyeri dapat digambarkan sebagai : tajam menusuk, pusing, panas seperti terbakar,
menyengat, pedih, nyeri yang merambat, rasa nyeri yang hilang-timbul, dan berbeda
tempat rasa nyeri.
Setelah beberapa lama, rangsangan nyeri yang sama dapat memunculkan gejala yang
sama sekali berbeda (contoh: dari nyeri menusuk menjadi pusing, dari nyeri yang terasa
nyata menjadi samar-samar)
Gejala yang tidak spesifik meliputi kecemasan, depresi, kelelahan, insomnia (gangguan
pola tidur), rasa marah dan ketakutan.

TANDA-TANDA

Nyeri akut dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, midriatik, dan pallor (pucat),
tetapi gejala tersebut tidak memastikan diagnosis nyeri
Nyeri selalu bersifat subyektif; jadi lebih baik diagnosis didasarkan pada gambaran dan
riwayat penyakit yang diceritakan pasien
Nyeri nosiseptik seringkali akut, terlokalisasi, dapat digambarkan dengan jelas, dan
membaik dengan analgesic konvensional. Nyeri biasanya berupa nyeri seperti dipukul
dan rasa tidak nyaman yang terlokalisasi, tetapi nyeri visceral rasanya seperti berasal
dari struktur lain atau timbul sebagai fenomena yang terlokalisasi.
Nyeri neuropatik seringkali kronis, tidak dapat dijelaskan dengan baik, dan tidak mudah
diobati dengan analgesic konvensional. Pasien umumnya merasakan nyeri seperti
membakar, pedih, seperti tersengat listrik, atau menusuk; respon nyeri berlebihan
terhadap rangsanganyang membahayakan (hiperalgesia); atau respon nyeri terhadap
rangsangan yang secara normal tidak membahayakan (allodynia)
Pengobatan nyeri yang tidak efektif dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan oksigen),
hypercapnea, hipertensi, aktivitas jantung berlebihan, dan gangguan emosional
Nyeri kronis dapat dibagi menjadi 4 subtipe : (1) nyeri yang menetap lebih dari waktu
sembuh normal untuk luka akut, (2) nyeri akibat penyakit kronis, (3) nyeri yang tidak
jelas organ penyebabnya, serta (4) nyeri baik akut maupun kronis yang disebabkan oleh
kanker
Pasien dengan nyeri kronis mungkin timbul maslah psikologis, ketergantungan dan
toleransi terhadap analgesic, gangguan pola tidur, serta peka terhadap perubahan
lingkungan yang justru memperparah nyeri.

2.4 TERAPI
A. Tujuan Terapi
Tujuan terapi adalah untuk meminimalkan nyeri dan memberikan kenyamanan yang
memadai pada dosis analgesik efektif rendah. Selain itu, pada nyeri kronis juga
diharapkan meliputi rehabilitasi (pemuliahan) dan resolusi (menghilangkan) terhadap
masalah psikososial.



Analgetik
Farmakologi 8

B. Pendekatan Umum
Orang berusia lanjut dan belia (anak-anak) mempunyai resiko terbesar untuk mengalami
undertreatment (pengobatan tidak memadai) oleh karena salah memahami patofisiologi
rasa sakit yang mereka derita.

TERAPI FARMAKOLOGI

Beberapa jenis analgetik (obat pereda nyeri) bisa membantu mengurangi nyeri
Analgetik opioid (narkotik)
Analgetik non-opioid
Analgetik ajuvan. Analgetik opioid merupakan
pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Analgetik Opioid
Secara kimia analgetik opioid berhubungan dengan morfin. Morfin merupakan bahan alami
yang disarikan dari opium, walaupun ada yang berasal dari tumbuhan lain dan sebagian
lainnya dibuat di laboratorium. Analgetik opioid sangat efektif dalam mengurangi rasa
nyeri namun mempunyai beberapa efek samping.
Semakin lama pemakai obat ini akan membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Selain itu
sebelum pemakaian jangka panjang dihentikan, dosisnya harus dikurangi secara bertahap,
untuk mengurangi gejala-gejala putus obat. Berbagai kelebihan dan kekurang dari analgetik
opiod:
Morfin, merupakan prototipe dari obat ini, yang tersedia dalam bentuk suntikan, per-oral
(ditelan) dan per-oral lepas lambat. Sediaan lepas lambat memungkinkan penderita
terbebas dari rasa nyeri selama 8-12 jam dan banyak digunakan untuk
mengobati nyeri menahun.
Analgetik opioid seringkali menyebabkan sembelit, terutama pada usia lanjut. Pencahar
(biasanya pencahar perangsang, contohnya senna atau fenolftalein) bisa membantu
mencegah atau mengatasi sembelit.
Opioid dosis tinggi sering menyebabkan ngantuk. Untuk mengatasinya bisa diberikan
obat-obat perangsang (misalnya metilfenidat).
Analgetik opioid bisa memperberat mual yang dirasakan oleh penderita. Untuk
mengatasinya diberikan obat anti muntah, baik dalam bentuk per-oral, supositoria
maupun suntikan (misalnya metoklopramid, hikroksizin dan proklorperazin).
Opioid dosis tinggi bisa menyebabkan reaksi yang serius, seperti melambatnya laju
pernafasan dan bahkan koma. Efek ini bisa dilawan oleh nalokson, suatu penawar yang
diberikan secara intravena.





Analgetik
Farmakologi 9

Analgetik Opioid
Obat Masa efektif Keterangan
Morfin
Suntikan
intravena/intramuskuler:2-3 jam
Per-oral:3-4 jam Sediaan lepas
lambat:8-12jam
Mula kerjanya cepat Sediaan per-
oral sangat efektif untuk
mengatasi nyeri karena kanker
Kodein Per-oral:3-4 jam
Kurang kuat dibandingkan
dengan morfin Kadang diberikan
bersamaan dengan aspirin atau
asetaminofen
Meperidin
Suntikan
intravena/intramuskuler:sekitar 3
jam Per-oral:tidak terlalu efektif
Bisa menyebabkan epilepsi,
tremor dan kejang otot
Metadon
Per-oral:4-6 jam, kadang lebih
lama
Juga digunakan untuk mengobati
gejala putus obat
karena heroin
Proksifen Per-oral:3-4 jam
Biasanya diberikan bersamaan
dengan aspirin atau
asetaminofen,
untuk mengatasi nyeri ringan
Levorfanol
Suntikan intravena atau
intramuskuler:4 jam Per-
oral:sekitar 4 jam
Sediaan per-oral sangat ampuh
Bisa digunakan sebagai
pengganti morfin
Hidromorfon
Suntikan
intravena/intramuskuler:2-4 jam
Per-oral:2-4 jam Suppositoria
per-rektum:4 jam
Mula kerjanya cepat Bisa
digunakan sebagai pengganti
morfin Efektif untuk mengatasi
nyeri karena kanker
Oksimorfon
Suntikan
intravena/intramuskuler:3-4 jam
Suppositoria per-rektum:4 jam
Mula kerjanya cepat
Oksikodon Per-oral:3-4 jam
Biasanya diberikan bersama
aspirin atau asetaminofen
Pentazosin Per-oral:sampai 4 jam
Bisa menghambat kerja analgetik
opioid lainnya Kekuatannya
hampir sama dengan kodein
Bisa menyebabkan linglung &
kecemasan, terutama pada usia
lanjut
Fentanyl patch : 48-72 jam

Pethidine


Analgetik
Farmakologi 10

Alfentanil 5-10 menit

Sufentanil 5-10x lebih kuat dari fentanyl

Remifentanil plg cepat efeknya

Tramadol

Analgetik Non-opioid
Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti peradangan non-
steroid (NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drug). Obat-obat ini bekerja melalui 2 cara:
1. Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang bertanggungjawab terhadap
timbulnya rasa nyeri.
2. Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang seringkali terjadi di sekitar luka
dan memperburuk rasa nyeri.
Aspirin merupakan prototipe dari NSAID, yang telah digunakan selama lebih dari 100
tahun. Pertama kali disarikan dari kulit kayu pohon Willow. Tersedia dalam bentuk per-
oral (ditelan) dengan masa efektif selama 4-6 jam. Efek sampingnya adalah iritasi
lambung, yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Karena mempengaruhi
kemampuan darah untuk membeku, maka aspirin juga menyebabkan kecenderungan
terjadinya perdarahan di seluruh tubuh. Pada dosis yang sangat tinggi, aspirin bisa
menyebabkan gangguan pernafasan. Salah satu pertanda dari overdosis aspirin adalah
teling berdenging (tinitus). Mula kerja dan masa efektif dari berbagai NSAID berbeda-
beda, dan respon setiap orang terhadadap NSAID juga berbeda-beda. Semua NSAID bisa
mengiritasi lambung dan menyebabkan ulkus peptikum, tetapi tidak seberat aspirin.
Mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan makanan dan antasid bisa membantu mencegah
iritasi lambung. Obat misoprostol bisa membantu mencegah iritasi lambung dan ulkus
peptikum; tetapi obat ini bisa menyebabkan diare.
Asetaminofen berbeda dari aspirin dan NSAID. Obat ini bekerja pada sistem
prostaglandin tetapi dengan mekanisme yang berbeda. Asetaminofen tidak mempengaruhi
kemampuan pembekuan darah dan tidak menyebabkan ulkus peptikum maupun
perdarahan. Tersedia dalam bentuk per-oral atau supositoria, dengan masa efektif selama
4-6 jam. Dosis yang sangat tinggi bisa menyebabkan efek samping yang sangat serius,
seperti kerusakan hati.
NSAID lainnya adalah Ibuprofen , Naproxen , Fenoprofen , Ketoprofen , Dexketoprofen ,
Indomethacin , Ketorolac , Diclofenac , Piroxicam , Meloxicam , Mefenamic acid ,
Etoricoxib ,Celecoxib
Analgetik Ajuvan Analgetik ajuvan adalah obat-obatan yang biasanya diberikan bukan
karena nyeri, tetapi pada keadaan tertentu bisa meredakan nyeri. Contohnya, beberapa
anti-depresi juga merupakan analgetik non-spesifik dan digunakan untuk mengobati
berbagai jenis nyeri menahun, termasuk nyeri punggung bagian bawah, sakit kepala dan
nyeri neuropatik.
Obat-obat anti kejang (misalnya karbamazepin) dan obat bius lokal per-oral (misalnya
meksiletin) digunakan untuk mengobai nyeri neuropatik.
Anestesi Lokal & Topikal Anestesi (obat bius) lokal bisa digunakan langung pada atau
di sekitar daerah yang luka untuk membantu mengurangi nyeri. Jika nyeri menahun
disebabkan oleh adanya cedera pada satu saraf, maka bisa disuntikkan bahan kimia secara

Analgetik
Farmakologi 11

langsung ke dalam saraf untuk menghilangkan nyeri sementara. Anestesi topikal (misalnya
lotion atau salep yang mengandung lidokain) bisa digunakan untuk mengendalikan nyeri
pada keadaan tertentu. Krim yang mengandung kapsaisin (bahan yang terkandung dalam
merica) kadang bisa membantu mengurangi nyeri karena herpes zoster, osteoartritis dan
keadaan lainnya.

Pengobatan Nyeri Tanpa Obat
Selain obat-obatan, pengobatan lainnya juga bisa membantu mengurangi nyeri. Mengobati
penyakit yang mendasarinya, bisa menghilangkan atau mengurangi nyeri yang terjadi.
Misalnya memasang gipspada patah tulang atau memberikan antibiotik untuk infeksi sendi,
bisa mengurangi nyeri. Tindakan yang bisa membantu mengurangi nyeri adalah:
TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation) merupakan arus listrik ringan yang
diberikan pada permukaan kulit
Akupuntur, memasukkan jarum kecil ke bagian tubuh tertentu. Mekanismenya masih
belum jelas dan beberapa ahli masih meragukan efektivitasnya.
Kompres dingin dan hangat
Ultrasonik bisa memberikan pemanasan dalam dan mengurangi nyeri karena otot yang
robek atau rusak dan peradangan pada ligament
Biofeedback dan teknik kognitif lainnya (misalnya hipnotis atau distraksi) bisa membantu
mengurangi nyeri dengan merubah perhatian penderitanya. Teknik ini melatih penderita
untuk mengendalikan nyeri atau mengurangi dampaknya.
Terapin psikologis harus dilakukan bila disertai adanya depresi dan kecemasan, yang
mungkin akan memerlukan penanganan ahli jiwa.
2.5 Prevalensi Analgesik
Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu penyakit atau kondisi
pada waktu tertentu; pembilang dari angka ini adalah jumlah kasus yang ada dengan kondisi
pada waktu tertentu dan penyebutnya adalah populasi total. (Dorland, 2002).

Invaginasi
Invaginasi merupakan suatu keadaan, bagian saluran cerna
dimasuki oleh segmen bagian bawahnya sehingga
menimbulkan obstruksi intestinum (Pickering, 2000).
Invaginasi dijumpai pada umur antara 3 bulan sampai 6
tahun, kelainan ini jarang pada anak <3 bulan dan frekuensi
menurun setelah 36 bulan. Insiden bervariasi dari 1-4 per
1.000 kelahiran hidup dengan perbandingan laki-laki
berbanding perempuan adalah 4:1 (Pickering, 2000).
Penyebab invaginasi belum diketahui. Pada umur puncak
insidens masih diduga bahwa terjadinya invaginasi akibat
infeksi adenovirus, perubahan cuaca atau perubahan pola makan. Sedangkan pada orang
dewasa 5-10% penderita dapat dikenali hal-hal pendorong untuk terjadinya invaginasi, seperti
apendiks yang terbalik, divertikulum Meckelli, polip usus, atau kistik fibrosis (Pickering,
2000).
Menurut (Pickering, 2000). Berdasarkan lokasi dibagi dalam 5 tipe, yaitu:

Analgetik
Farmakologi 12

1. Ileo-ileal
2. Ileo-colica
3. Ileo-ileocolica
4. Colo-colica
5. Appendical-colica

Pada kasus-kasus yang khas, nyeri kolik hebat yang timbul mendadak, hilang timbul, sering
kumat dan disertai dengan rasa tersiksa yang menggelisahkan serta menangis keras pada anak
yang sebelumnya sehat. Pada awalnya, bayi mungkin dapat dihibur tetapi jika invaginasi
tidak cepat di reduksi bayi menjadi semakin lemah dan lesu. Akhirnya terjadi keadaan seperti
syok dengan kenaikan suhu tubuh sampai 41 C, nadi menjadi lemah-kecil, pernafasan
menjadi dangkal, dan nyeri dimanifestasikan hanya dengan suara rintihan. Muntah terjadi
pada kebanyakan kasus dan biasanya pada bayi lebih sering pada fase awal. Pada fase lanjut,
muntah disertai dengan empedu, tinja dengan gambaran normal dapat dikeluarkan pada
beberapa jam pertama setelah timbul gejala kemudian pengeluaran tinja sedikit atau tidak
ada, dan kentut jarang atau tidak ada. Darah umumnya keluar pada 12 jam pertama, tetapi
kadang-kadang tidak keluar sampai 1-2 hari. Pada bayi 60% mengeluarkan tinja bercampur
darah berwarna merah serta mukus (Mansoer, 2001) dan (Pickering, 2000).
2.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis invaginasi dapat dilakukan anamnese, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan rontgen, dan reposisi enema barium (Jong, 2004) dan (Pickering, 2000):

1. Anamnese
Anamnese dengan keluarga dapat diketahui gejala-gejala yang timbul dari riwayat pasien
sebelum timbulnya gejala, misalnya sebelum sakit, anak ada riwayat dipijat, diberi makanan
padat padahal umur anak dibawah 4 bulan.

2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi sukar sekali membedakan prolapsus rektum dari invaginasi. Invaginasi
didapatkan invaginatum bebas dari dinding anus, sedangkan prolapsus berhubungan secara
sirkuler dengan dinding anus.
Pada palpasi teraba sausage shape, suatu massa yang posisinya mengikuti garis usus colon
ascendens sampai ke sigmoid dan rektum. Massa tumor sukar diraba bila berada di belakang
hepar atau pada dinding yang tegang.
Pada perkusi pada tempat invaginasi terkesan suatu rongga kosong.
Pada auskultasi bising usus terdengar meninggi selama serangan kolik menjadi normal
kembali di luar serangan.
Bila invaginasi panjang hingga ke daerah rektum pada pemeriksaan colok dubur mungkin
teraba ujung invaginasi seperti porsio uterus disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan
terdapat lendir dan darah. Harus dibedakan dengan prolapsus rektum.

3. Pemeriksaan Rontgen
Foto polos abdomen dapat menunjukkan padatan di daerah invaginasi. Dibuat dalam 2 arah,
posisi supine dan lateral dekubitus kiri. Posisi lateral dekubitus kiri ialah posisi penderita
yang dibaringkan dengan bagian kiri di atas meja dan sinar dari arah mendatar. Dengan posisi
ini, selain untuk mengetahui invaginasi juga dapat mendeteksi adanya perforasi. Gambaran
X-ray pada invaginasi ileo-coecal memperlihatkan daerah bebas udara yang fossa iliaca
kanan karena terisi massa. Pada invaginasi tingkat lanjut kelihatan air fluid levels.


Analgetik
Farmakologi 13

4. Reposisi barium enema
Reposisi hidrostatik dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan kateter
dengan tekanan hidrostatik tidak boleh melewati satu meter air dan tidak boleh dilakukan
pengurutan atau penekanan manual di perut sewaktu dilakukan reposisi hidrostatik, dapat
dikerjakan sekaligus sewaktu diagnosis Rontgen ditegakkan, syaratnya adalah keadaan umum
mengizinkan, tidak ada gejala dan tanda rangsangan peritoneum, anak tidak toksik, dan tidak
terdapat obstruksi tinggi. Pengelolaan berhasil jika barium kelihatan masuk ileum.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu foto polos abdomen dan reposisi barium
enema (Latief, dkk., 2005).
1. Foto polos abdomen memperlihatkan bagian proksimal invaginasi banyak udara sedangkan
bagian kanan kosong.
2. Reposisi barium enema di bawah fluoroskopi didapati gambaran cupping dari invaginasi
(pemeriksaan ini kontraindikasi bila sudah terdapat tanda- tanda peritonitis).

2.7 Evaluasi Terapi
Intensitas nyeri, penyembuhan nyeri, dan efek samping obat harus dikaji secara teratur.
Waktu dan keteraturan pengkajian tergantung kepada jenis nyeri dan obat yang digunakan.
Nyeri pasca bedah dan eksaserbasi akut nyeri kanker mungkin memerlukan pengkajian
setiap jam, sedangkan nyeri kronis bukan keganasan mungkin hanya perlu dipantau tiap
hari (atau lebih lama).
Kualitas hidup juga hrus dikaji secara teratur pada semua pasien.
Penatalaksanaan terbaik dari efek samping opioid berupa konstipasi (sembelit) adalah
pencegahan. Pasien harus dikonseling mengenai asupan cairan dan serat yang memadai,
dan dapat ditambahka laksatif jika diperlukan.
Jika nyeri akut tidak berkurang dalam waktu yang telah diramalkan (biasanya 1-2
minggu), diharuskan memeriksa penyebabnya lebih lanjut.






















Analgetik
Farmakologi 14

BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Analgesik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atau
obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Mekanisame kerjanya menghambat sintase PGS di tempat yang sakit/trauma jaringan.
Karakteristik:
1. Hanya efektif untuk menyembuhkan sakit.
2. Tidak narkotika dan tidak menimbulkan rasa senang dan gembira.
3. Tidak mempengaruhi pernapasan.
4. Gunanya untuk nyeri sedang, contohnya: sakit gigi.
Macam-macam Analgetik:
1. Analgetik Opioid / Analgetik Narkotika.
2. Obat Analgetik Non-narkotik.































Analgetik
Farmakologi 15

DAFTAR PUSTAKA
1. Yulinah, Elin S. et al, Iso Farmakoterapi, 2008, PT.ISFI, Jakarta.
2. Dipiro, Joseph T.et al, Pharmacoteraphy Handbook, Sixth Edition, 2006, Mc Graw Hill
Company, Inc, New York, USA.
3. Anief, Moh. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada University Press.
4. Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
5. Mutschler Ernest. 1991. Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi edisi V.
Bandung : Penerbit ITB.
6. Tjay, Tan Hoan, Drs., Rahardja, Kirana, Drs. 2002. Obat-obat Penting. Jakarta :
Gramedia.
7. Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2005. Obat-Obat Penting. Jakarta : PT Gramedia

Anda mungkin juga menyukai