Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Mata merupakan salah satu indera di tubuh manusia yang
mempunyai peranan yang penting untuk kehidupan. Trauma pada mata dapat
menyebabkan kebutaan unilateral yang umum terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa muda yang termasuk kedalam bagian terbesar penderita trauma.
Akibat dari trauma bisa terjadi trauma yang sangat ringan yang hanya sedikit
mengganggu fungsi dan kosmetik sampai sangat berat yang menyebabkan
kebutaan dan kematian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 10% pasien
rawat inap di bangsal mata, disebabkan oleh trauma. Trauma dapat
menyebabkan perdarahan pada atau disekitar mata.
1
Akumulasi darah di bilik mata depan atau kamera okuli anterior
(KOA) merupakan salah satu masalah klinis yang menjadi tantangan yang
dihadapi oleh dokter mata. Bahkan apabila terdapat darah di KOA sedikit
dapat menjadi tanda dari trauma intraokular besar yang berhubungan dengan
kerusakan pembuluh darah dan jaringan intraokular lainnya.
2
Akumulasi
darah di KOA disebut juga hifema. Menurut Ghafari, dkk (2013) insiden rata-
rata hifema dalam setahun secara signifikan lebih besar laki-laki dari pada
perempuan yaitu masing-masing : 20,2 per 100 populasi dan 4,1 per 100 , dan
pada kedua jenis kelamin terjadi 12.2 kasus dimana 70 % terjadi pada anak-
anak. Hifema sering disebabkan oleh trauma benda tumpul dan trauma
intraoperasi pada mata. Trauma tumpul pada mata dapat mengakibatkan
cedera pada iris, sfingter papile, struktur yang mempunyai sudut, lensa,
zonula, retina, bdan vitreus, saraf optik dan struktur intraokular lainnya.
Hifema merupakan kasus yang penanganannya dapat dibantu dokter umum
pada pertolongan pertama untuk mencegah terjadinya hal yang lebih
parah.
2,3,4


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari hifema ?
2. Bagaimana klasifikasi dari hifema ?
3. Bagaimana patofisiologi dari hifema ?
4. Bagaimana penatalaksanaan hifema ?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengertian hifema
2. Klasifikasi dari hifema
3. Patofisiologi hifema
4. Penatalaksanaan hifema

D. Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai ilmu kedokteran tentang penyakit dan
atau trauma pada mata, khususnya mengenai hifema.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata.













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Mata

Mata merupakan organ perifer sistem penglihatan, karenanya
perlindungan organ ini amat penting. Untuk menciptakan keadaan struktural
yang mampu melindungi mata dari jejas tanpa mengurangi dan bahkan
mengoptimalkan fungsinya, maka bola mata terletak didalam rongga skeletal
yang disebut orbita. Bagian bola mata membentuk dua bola berlainan, dimana
bola yang lebih kecil terletak di dalam bola mata yang lebih besar. Bagian
depan dari bola kecil membentuk segmen anterior mata, sedangkan sebagian
besar bola membentuk segmen posterior. Segmen anterior dibatasi oleh
kornea yang jernih didepan, serta lensa dan penggantung lensa dibelakang.
Sedangkan segmen posterior terletak di belakang lensa. Segmen anterior
terbagi menjadi dua, terletak diantara lensa dan iris disebut kamera okuli
posterior dan antara iris dan kornea disebut kamera okuli anterior. Kamera
okuli anterior berbatasan dengan lapisan endotel kornea anterior, dengan
sudut iridokornea di teepiannya, dengan iris dan kapsul anterior lensa
diposterior. Apabila pupil tidak miosis, maka ujung pupiler iris tidak
menyentuh kapsul anterior lensa, sehingga humor aquous di kamera okuli
anterior bisa berhubungan dengan humor aquous di kamera okuli posterior.
Kamera okuli posterior berbatasan dengan tepi belakang iris di anterior,
dengan capsul anterior lensa dan dengan ligamenta suspensoria lentis (zonula)
diposterior, dan dengan perlekatan zonula pada pars plikata badan silier.
Kedalaman kamera okuli anterior (KOA) adalah 3,4 mm dan
volumenya yaitu 0,3 mL. Pada mata miopi kamera ini dalam dan pada
hipermetropi relatif dangkal. Pada tepi KOA terdapat sudut iridokorneal
dengan kanal Schlemm pada apeksnya. Kanal Schlemm ini kemudian
berhubungan dengan vena episklera lewat kanal-kanal pembuangan yang
disebut sebagai kanal kolektor. Kamera okuli posterior (KOP) dilewati oleh
zonula zinnii. KOA dan KOP berhubungan lewat celah melingkar antara tepi
pupil dan lensa. Cairan akuos diproduksi oleh badan silier yaitu pada prosesus
siliaris yang berjumlah 70 hingga 80 buah. Humor aquous berjalan dari KOP
ke KOA, kemudian ke kanal schlemm akhirnya ke sistem vena episklera
untuk kembali ke jantung.
1


B. Hifema
1. Definisi
Hifema adalah adanya darah di daerah frontal (ruang anterior)
bagian mata. Darah terakumulasi di belakang kornea dan di depan iris
yaitu kamera okuli anterior. Hifema dapat terjadi akibat trauma tumpul
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
5,6


2. Etiologi
Hifema dapat terjadi dari trauma tumpul, post operasi intraokular,
spontan misalnya dalam kondisi keratouveitis, leukemia, hemofilia.
Trauma tumpul merupakan penyebab paling umum atau paling sering.
Gaya tekan dari trauma dapat menyebabkan cedera pada iris, badan siliar,
trabecular meshwork dan pembuluh darah terkait yang mengakibatkan
akumulasi sel darah merah terkumpul dalam kamera okuli anterior.
7

Etiologi hifema dibagi dalam beberapa bagian, yaitu
8
:
a. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat
trauma pada segmen anterior bola mata
b. Hifema akibat tindakan medis / iatrogenik (misalnya kesalahan
prosedur operasi mata).
c. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier,
sehingga pembuluh darah pecah.
d. Hifema akibat neovaskularisasi karena diabetes melitus, iskemik atau
sikatrik.
e. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya
juvenile xanthogranuloma, anemia sel bulan sabit).
f. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).

3. Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda dari hifema, antara lain
5, 9
:
a. Perdarahan dalam kamera okuli anterior
b. Mata dirasakan sakit atau nyeri
c. Sensitif terhadap cahaya
d. Gangguan penglihatan
e. Selain itu, mual dan muntah dapat menyertai hifema akibat trauma.
f. Temuan umum pemeriksaan fisik lainnya adalah anisocoria,
pewarnaan darah kornea, dan tekanan intraokular tinggi.

Pasien akan mengeluh nyeri pada mata yang disertai dengan mata
berair. Penglihatan akan menurun. Terdapat penumpukan darah yang
terlihat dengan mata telanjang apabila jumlahnya cukup banyak. Bila
pasien duduk, darah pada hifem akan terlihat terkumpul di bagian bawah
bilik mata depan atau kamera okuli anterior. Selain itu, pada hifema
dapat terjadi peningkatan tekanan intra okular, dimana keadaan yang
harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya glaukoma. Terdapat
pula tanda dan gejala yang relatif jarang yaitu: penglihatan ganda,
blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat.
8

4. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibedakan menjadi
1
:
a. Hifema primer : hifema yang terjadi sesaat setelah terjadinya trauma.
b. Hifema sekunder : hifema yang terjadi sesudah hari ke 3, antara hari
ke 3 hingga ke 5 terjadinya trauma atau setelah perdarahan yang
pertama teresorbsi.

Hifema dibagi menjadi beberapa tingkatan atau grade berdasarkan
jumlah darah yang ada di kamera okuli anterior
2
:
a. Grade 1 : darah menempati kurang dari sepertiga kamera okuli
anterior.
b. Grade 2 : darah mengisi sepertiga sampai setengah dai kamera okuli
anterior.
c. Grade 3 : darah mengisi setengah sampai kurang dari total ruangan
kamera okuli anterior.
d. Grade 4 : total darah mengisi seluruh ruangan kamera okuli anterior,
total darah beku sering disebut Blackhall atau 8-ball hyphema.

Gambar Klasifikasi hifema secara skematis (Sumber: drhem.com)

5. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan
8
:
a. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata
Snellen, visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous
humor, iris dan retina.
b. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi
vaskuler okuler, glaukoma.
c. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
d. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
e. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
f. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila
TIO normal atau meningkat ringan.


Gambar- Foto Slit-lamp yang menggambarkan injeksi konjungtiva,
edema kornea dengan lipatan Descemet membran, dan hifema 1 mm
setelah trauma benda tumpul dari airbag.
(http://eyewiki.aao.org/Hyphema).

Gambar- Foto Slit-lamp dengan hifema terlihat dalam ruang KOA
inferior. (http://eyewiki.aao.org/Hyphema).

Uji Laboratorium yang dapat dilakukan :
Uji laboratorium pada hifema jarang sekali dilakukan.
Pengecualian untuk pasien Amerika keturunan Afrika atau yang dicurigai
dengan hifema yang harus diskrining untuk penyakit sell sabit atau
suspect sel sabit. Penyakit sel darah merah sabit dengan obstruksi
trabekular meshwork mempunyai resiko yang lebih besar untuk
peningkatan tekanan intraokular dan kehilangan penglihatan permanen
dari kerusakan saraf optik. Elektroforesis hemoglobin dapat digunakan
sebagai tes konfirmasi untuk suspect penyakit sel sabit yang positif.
7

6. Patofisiologi
Trauma tumpul yang merupakan penyebab tersering dari hifema
umumnya disebabkan misalnya oleh bola, batu, mainan anak-anak,
maupun tinjuan. Jika trauma menghantam bagian depan mata,
mengakibatkan perubahan bola mata berupa kompresi diameter
anteroposterior serta ekspansi bidang ekuatorial. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intraokular secara transien
sehingga terjadi penekanan struktur pembuluh darah di uvea (iris dan
badan silier). Pembuluh darah tersebut akan meregang kemudian
mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (kamera
okuli anterior)
7
.
Hifema yang timbul dan merupakan komplikasi dari proses operasi
seperti pembedahan atau hifema iatrogenik ini dapat terjadi intraoperatif
maupun postoperatif. Pada tindakan pembedahan atau operatif pada
umumnya melibatkan struktur kaya pembuluh darah yang apabila ruptur
mengakibatkan hifema
2
.
Neovaskularisasi seperti pada diabetes melitus, iskemi, maupun
sikatrik, adanya kelainan segmen posterior mata (retina yang mengalami
iskemi, maupun diabetik retinopati) akan mengeluarkan faktor
pertumbuhan endotel vaskular (misalnya VEGF) yang oleh lapisan kaya
pembuluh darah (seperti iris dan badan silier) dapat mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah
baru tersebut biasanya bersifat rapuh, mudah alami ruptur maupun
kebocoran. Kondisi tersebut meningkatkan perdarahan bilik mata depan.
7
Neoplasma, seperti retinoblastoma pada umumnya melibatkan
neovaskularisasi juga seperti yang dijelaskan sebelumnya. Anomali
vaskuler atau kelainan pembuluh darah seperti juvenile xanthogranuloma,
pada mata ditemukan nodul iris yang difus atau diskret, yang bisa
memunculkan pembuluh darah dan terjadi perdarahan spontan sehingga
terjadi hifema.
7

7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi dari hifema, yaitu
10
:
a. Peningkatan tekanan intraokular (glaukoma sekunder)
Mekanisme terjadinya glaukoma berhubungan dengan darah yang
berada di ruang kamera okuli anterior termasuk penyumbatan
trabekular. Tekanan intra okular yang tinggi terjadi selama fase akut
hifema pada 24 jam pertama. Periode awal TIO meningkat merupakan
hasil dari penyumbatan trabecular oleh pembekuan darah (eritrosit dan
fibrin). Periode berikutnya hari ke 2 sampai ke 6 terjadi penurunan
tekanan karena produksi humor aquoes berkurang. Periode hipotoni
tersebut umumnya diikuti oleh kenaikan kembali tinggi atau normal
tekanan intra okular karena pulihnya produksi humor aquoes oleh
badan siliar.
b. Perdarahan sekunder
Perdarahan sekunder disebabkan oleh lisis dan retraksi bekuan
fibrin dan agegrat pembekuan darah yang telah berfungsi secara stabil
untuk menyumbat pembuluh darah yang mengalami ruptur atau
kebocoran. Perdarahan sekunder merupakan hal yang harus
diwaspadai pada hifema. Hal ini disebabkan 1/3 dari perdarahan
sekunder justru dapat lebih berat dibandingkan hifema awal, yakni
dapat mengakibatkan hifema total. Perdarahan sekunder umumnya
terjadi pada hifema derajat 3 dan 4, dan secara umum terjadi pada
22% kasus hifema, dengan rentang antara 6,5% hingga 38%.
Perdarahan sekunder membuat prognosis pasien menjadi buruk,
dengan penelitian menunjukkan tajam penglihatan pasien (kurang dari
20/50 atau 6/15) yang mengalami perdarahan sekunder lebih buruk
dibandingkan dengan yang tidak mengalami komplikas ini (79,5% vs
64%). Perdarahan sekunder juga dapat menyebabkan peningkatan TIO
dan pewarnaan kornea sehingga prognosis memburuk.
Keadaan yang menjadi faktor prediksi terjadinya perdarahan
sekunder adalah:
Sickel cell trait
Tajam penglihatna saat presentasi <20/200 (6/60)
Derajat hifema saat presentasi yang lebih dari II
Ada riwayat penggunaan salisilat (aspirin), antiplatelet (seperti
pada penderita angina pektoris)
Penanganan hifema yang lebih dari dua puluh empat jam

c. Formasi sinekia posterior
Sinekia posterior terjadi pada pasien hifema traumatik, juga terjadi
pada keadaan sekunder untuk iritis atau iridosiklitis. Namun sinekia
posterior merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada hifema post
tindakan operatif. Kemungkinan pasien memerlukan pembedahan.

d. Sinekia anterior perifer
Sinekia anterior sering terjadi pada pasien hifema yang telah
diobati namun darah tetap berada dalam KOA untuk waktu yang lama
(9hari atau lebih). Patogenesis secara pasti masih belum ditegakkan,
namun kemungkinan karena iritis berkepanjangan terkait dengan
trauma awal dan atau iritis karena proses kimiawi dari cairan darah di
KOA. Bekuan di sudut ruangan juga menghasilkan fibrosis yang dapat
menutup sudut KOA dengan iris.

e. Corneal blood staining
Pewarnaan darah pada kornea terjadi terutama pada pasien yang
memiliki hifema total dan peningkatan TIO. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan terjadinya corneal blood staining : (1) keadaan awal
dari endotelium kornea (penurunan viabilitas akibat trauma atau usia
lanjut (misalnya, kornea guttata), (2) trauma bedah yang terjadi pada
endotel, (3) terbentuk bekuan darah dalam jumlah yang banyak
sehingga terjadi kontak dengan endotelium, dan (4) elevasi
berkepanjangan TIO. Semua faktor ini mempengaruhi integritas
endotel kornea. Pewarnaan darah dapat terjadi dengan TIO rendah
atau normal. Pewarnaan darah pada kornea berpotensi pada pasien
yang memiliki hifema total yang menetap selama minimal 6 hari
dengan TIO terus menerus di atas 25 mm Hg. Pewarnaan darah kornea
mungkin memerlukan pemulihan antara beberapa bulan hingga 2
tahun.

f. Atrofi optik
Atrofi optik merupakan keadaan akhir akibat glaukoma traumatik
yang dapat terjadi pada pasien dengan hifema. Terjadinya peningkatan
tekanan intraokular mengakibatkan tekanan diteruskan ke seluruh
bagian mata, termasuk ke tunika neuralis. Tunika neuralis yang
merupakan retina akan mengalami tekanan dan mengakibatkan
kerusakan pada saraf. Kerusakan pada saraf mata akibat tekanan akan
timbul dalam bentuk atrofi optik. Pada tekanan bola mata 50 mmHg,
kerusakan dapat terjadi dalam 7 hari, sedangkan pada tekanan bola
mata 35 mmHg kerusakan dapat terjadi dalam 5 hari. Pada individual
dengan sickle cell trait, kerusakan bahkan lebih cepat terjadi pada
tekanan yang lebih rendah, mengindikasikan pentingnya penanganan
segera terutama pada pasien-pasien ini.

8. Penatalaksanaan
Pengelolaan hifema yang dikarenakan traumatik fokus pada
pencegahan adanya trauma mata berulang dan perdarahan sekunder,
membuang endapan darah dari sumbu visual, kontrol terjadinya trauma
uveitis anterior, dan pengobatan untuk pencegahan glaukoma sekunder
serta blood staining kornea.
11

Penatalaksanaan hifema juga tergantung pada derajat hifema,
komplikasi yang terjadi, serta respon terhadap pengobatan. Hal tersebut
dapat menentukan apakah pasien perlu dirawat atau berobat jalan saja.
Untuk terapi konservatif dapat meliputi :
a. Membatasi aktivitas pasien, terutama membatasi pergerakan kepala.
b. Melakukan penutupan mata dengan eye patch atau eye cover
c. Melakukan elevasi kepala 30-45
o
. Adapun maksud dari elevasi kepala
adalah untuk membuat darah mengumpul di bagian inferior dari KOA
dan tidak menghalangi tajam penglihatan. Posisi ini juga
mempermudah dalam evaluasi harian KOA tentang resorpsi hifema
sehingga dapat menunjukkan kemajuan pengobatan. Selain itu posisi
ini merupakan posisi optimal dalam mencegah kontak sel-sel darah
merah dengan korena dan trabekula Fontana.
d. Memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif. Hal
ini juga sesuai dengan poin pertama.
e. Pemberian analgesik, apabila dirasakan nyeri yang ringan dapat
diberikan asetaminofen, atau nyeri yang cukup berat dapat diberikan
kodein. Hindari penggunaan aspirin dan obat anti-inflamasi non-
steroid (OAINS, NSAID) sebab dapat menimbulkan perdarahan dan
berisiko menyebabkan perdarahan sekunder.
f. Pemberian koagulan atau fibrinolisis, dapat diberikan asam
traneksamat. Menurut penelitian Hosseini,S.H.R.J, et al (2004)
membandingkan pengobatan hifema dengan menggunakan asam
traneksamat oral dan topikal. Asam traneksamat topikal dapat
memberikan hasil yang baik pula walaupun pada keadaan tertentu
mengharuskan menggunakan asam traneksamat oral. Asam
traneksamat topikal diberikan dengan dosis asam traneksamat 5% eo
(tetes mata) diberikan setiap 6 jam.
g. Pemantauan berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan
intraokular, serta regresi hifema.
Tujuan terapi untuk pencegahan komplikasi yang mungkin terjadi.
Untuk mengatasi peningkatan tekanan intraokular, dapat dilakukan
pemberian antiglaukoma topikal, seperti timolol (antagonis reseptor beta),
latanoprost (analog prostaglandin), serta brimonidin (agonis reseptor
2

tipe perifer). Kesemua agen ini bertujuan untuk mengurangi produksi
akueous humor dan dapat membantu menurunkan tekanan intraokular.
Apabila masih tinggi, dapat dicobakan pemberian inhibitor enzim
karbonat-anhidrase (CAI) topikal.. Tekanan yang belum terkontrol
mengindikasikan pemberian agen lain, yakni CAI sistemik (melalui oral),
yakni asetazolamid dengan dosis 20 mg/kg/hari terbagi dalam empat dosis.
Hal ini terutama digunakan apabila tekanan masih di atas 22 mmHg.
Pilihan terakhir apabila tekanan masih tinggi adalah pemberian agen
osmotik (seperti manitol IV 1,5 g/kg dalam larutan 10% 2 kali sehari atau
3 kali sehari apabila tekanan sangat tinggi), atau pemberian gliserol per
oral.
Untuk mencegah perdarahan sekunder, dapat diberikan asam
aminokaproat / ACA yang merupakan agen anti-plasmin. Plasmin
merupakan enzim yang melisiskan bekauan darah sehingga dapat
mengakibatkan perdarahan ulang. Asam aminokaproat yang pertama kali
diteliti menggunakan dosis 100 mg/kg dan diberikan setiap 4 jam (dengan
maksimal 30 g setiap hari) melalui oral. Agen ini diberikan selama 5 hari
dan terbukti secara klinis sangat menurunkan kejadian perdarahan
sekunder, dibandingkan dengan pemberian plasebo. Penelitian lanjutan
menunjukkan bahwa asam aminokaproat 50 mg/kg juga sama efektifnya
dengan pemberian 100 mg/kg. Pemberian asam aminokaproat terutama
diindikasi pada hifema dengan kurang dari 75% COA sebab pada kondisi
yang lebih dari ini mencegah lisis dari bekuan darah dianggap tidak efektif
dalam mencegah terjadinya perdarahan sekunder. Penelitian lanjutan juga
menunjukkan pemberian asam aminokaproat secara topikal juga sama
efektifnya, sehingga apabila tersedia agen topikal, agen ini lebih
dianjurkan diberikan secara topikal. Steroid juga terbukti dapat
menunjukkan risiko perdarahan sekunder.
4

Pasien diindikasikan rawat inap jika:
a. Pasien mengalami hifema derajat II atau lebih, sebab berpotensi
terjadinya perdarahan sekunder
b. Merupakan sickle cell trait
c. Terjadi trauma tembus okuli
d. Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan
e. Pasien yang memiliki riwayat glaukoma
Dalam pasien rawat, perlu dilakukan pemantauan secara intensif
seperti tajam penglihatan, tekanan intraokular, serta resolusi hifema. Selain
itu perlu pula diamati apakah terdapat indikasi bedah pada pasien.
Parasentesis merupakan prosedur pembedahan untuk mengambil
darah dari kamera okuli anterior. Parasentesis dilakukan dengan insisi pada
kornea dekat dengan limbus, kemudian cairan darah diambil, setelah
diambil mata diberikan salep dan diperban. Indikasi umum parasentesis :
hifema total dan sudah terjadi pewarnaan kornea, TIO tidak terkontrol
walaupun sudah diobati, adanya darah dalam KOA yang menetap terlalu
lama dengan bekuan darah (stolse) kontak langsung dengan endotel.
Indikasi absolut parasentesis : jika TIO diatas 35 mmHg selama 2 hari dan
atau diatas 25 mmHg selama 6 hari meskipun sudah diberikan pengobatan
secara maksimal. Hifema total yang memberi pewarnaan pada kornea.
12


9. Prognosis
Prognosis hifema tergantung banyaknya darah yang tertimbun pada
kamera okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah sedikit dan tanpa
glaukoma maka prognosisnya akan baik (bonam) karena darah akan
diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan
hifema dengan komplikasi glaukoma, prognosisnya tergantung seberapa
besar glaukoma tersebut menimbulkan defek penglihatan. Bila tajam
penglihatan mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosisnya buruk
(malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.
8
Secara umum, hifema grade I memiliki kemungkinan 80% untuk
mencapai tajam penglihatan minimal 6/12. Hifema yang lebih tinggi, yakni
grade II memiliki kemungkinan 60%, sedangkan pada hifema total
kemungkinan tajam penglihatan minimal 6/12 relatif rendah, yakni sekitar
35%.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan dari uraian diatas yaitu :
1. Hifema adalah adanya darah di daerah frontal (ruang anterior) bagian mata.
2. Etiologi terjadinya hifema yaitu hifema karena traumatik, tidakan medis /
iatrogenik, inflamasi, neovaskulerisasi, kelainan sel darah merah, dan
neoplasma.
3. Gejala dan tanda hifema yaitu nyeri, perdarahan di KOA, fotofobia, tekanan
intra okular meningkat.
4. Klasifikasi dari hifema tergantung waktu terjadinya dibagi menjadi hifema
primer dan sekunder, sedangkan menurut jumlah darah yang ada di KOA
dibagi berdasarkan tingkatan yaitu grade I,II,III,dan IV.
5. Komplikasi yang terjadi dari hifema dapat menyebabkan glaukoma
sekunder, perdarahan sekunder, sinekia posterior, sinekia anterior, cornea
blood staining, dan atrofi optik.
6. Penatalaksanaan hifema yaitu membatasi aktivitas pasien, melakukan
penutupan mata dengan eye patch atau eye cover, melakukan elevasi kepala
30-45
o
, memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif,
pemberian analgesik, pemberian koagulan atau fibrinolisis, pemantauan
berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan intraokular, serta
regresi hifema, terapi pencegahan untuk mengatasi peningkatan tekanan
intraokular, dapat dilakukan pemberian antiglaukoma topikal.
7. Prognosis hifema tergantung banyaknya darah yang tertimbun pada kamera
okuli anterior.






DAFTAR PUSTAKA

1. Suhardjo. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas
Kedokteran UGM : Yogyakarta.
2. Sheppard, J.D. 2013. Hyphema. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview. acces : Mei,
2014
3. Rizky, G. 2013. Hifema. Available at : http://medicinesia.com/kedokteran-
dasar/penginderaan-kedokteran-dasar/hifema/. Acces : Mei, 2014
4. Ghafari, A.B; Siamiar, H; Aligolbandi,K; Vahedi, M. 2013. Hyphema
Caused by Trauma. Med Arh original paper. Vol 65(5) : 354-356.
5. Frankim, W et al. 2012. Hyphema. Available at :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/spanish/ency/article/001021/html.
acces : mei, 2014
6. Ilyas, S. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. Hal : 264
7. Oldham, G.W. 2012. Hyphema. Available at :
http://eyewiki.aao.org/Hyphema. acces : Mei, 2014.
8. Yosephvena. 2013. Hifema. Available at :
redboxmedicalplus.wordpress.com/2013/06/20/hifema/. Access : Mei, 2014
9. Rajasekhar, A. 2012. Traumatic Hyphema. Available at :
drhem.com/2012/03/12/intern-report-5-17. Access : Mei,2014
10. Crouch, JrER; Crouch ER. 2006. Trauma : rupture and Bleeding (Chapter
61). In: Tasman W,Jaeger E, Dvane,s ophtalmology. Philadelphia :
lippincott Williams and Wilkins.
11. Gharaibeh, A et al. 2012. Medical Intervention for Traumatic Hyphema.
National Institude of Health Public Access Cochrane Data Base Sys Rev
(1).
12. Chuka, O.C; Obizoba, O.L. 2012. Paracentesis as Surgical Intervention in
Traumatic Hyphema : opinions and Practices of nigerion ophtalmologist.
Ophtalmology and Eye disease. Vol 2012 (4)
13. Hosseini, S.H.R.J; Khalili, M.R; Motallebi, M. 2014. Comparison Between
Topical and Oral Tranekxamic Acid in Management of Traumatic
Hyphema. Iran J Med Sci Supplement. Vol 39 No 2.

Anda mungkin juga menyukai