COPYRIGHT: The concepts and information contained in this document are the property of Leuser Ecosystem Foundation. Use or copying of this document in whole or in part without the written permission of Leuser International Foundation an infringement of copyright. LIMITATION: This report has been prepared on behalf of and for the exclusive use of Leuser International Foundation, and is subject to and issued in connection with the provisions of the agreement between Leuser International Foundation and its Client. Leuser Intenational Foundation accepts no liability or responsibility whatsoever for or in respect of any use of or reliance upon this report by any third party.
iii
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN 1 1. 1. Latar Belakang 1 1. 2. Definisi dan Perspektif 1 2. PENDEKATAN UMUM 6 3. ANALISIS HIDROLOGI 10 4. MONITORING TUTUPAN LAHAN DENGAN CITRA RESOLUSI RENDAH - SEDANG 17 4. 1. Akuisisi (Penyedi aan) Citra 17 4. 2. Akuisisi Data Referensi 21 4. 3. Pra Pengolahan Citra 22 4. 4. Interpretasi Citra 27 4. 5. Contoh Hasil Interpretasi (Dari SPOT) 33 4. 6. Perubahan Tutupan Lahan (Contoh dengan Landsat) 35 Lampi ran I Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut Bapl an 40
1
1. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS), dari sudut pandang ekologi dapat dianggap sebagai sebuah unit ekologis. Di dalam sebuah DAS terdapat komponen biotik dan abiotik yang berinteraksi membentuk siklus hidrologi. Seiring meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas manusia, tekanan terhadap keutuhan eksosistem di dalam unit ekologi DAS semakin meningkat. Berbagai aktifitas manusia yang di dalam unit DAS umumnya meninggalkan jejak berupa perubahan penutupan lahan di daerah dalam areal DAS. Kerusakan ekosistem khususnya hutan di dalam suatu DAS menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup yang pada akhirnya merugikan manusia dalam bentuk bencana seperti erosi, banjir, kekeringan, pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi. Dalam rangka mempertahankan kualitas DAS, pemantauan kondisi tutupan lahan menjadi bagian yang penting dalam pengelolaan sebuah DAS. Saat ini, perkembangan teknologi Penginderaan Jauh (remote sensing) yang dipadukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) semakin menawarkan efektifitas di tengah keterbatasan dana, waktu dan tenaga kerja dengan hasil yang diperoleh memiliki akurasi yang baik, mudah, cepat dan murah, dan dapat dilakukan pada setiap waktu. 1. 2. Definisi dan Perspektif Beberapa definisi dan terminologi yang banyak ditemui dalam monitoring tutupan lahan adalah sebagai berikut: Terminologi Definisi /Perspektif Tutupan Lahan Penutupan lahan (land cover) menurut Lillesand et al. (2004) merujuk kepada jenis dan kenampakan dan material fisik dari permukaan bumi, contohnya: vegetasi hutan, belukar, danau, dll. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merujuk kepada bentuk pemanfaatan lahan (permukaan bumi) oleh manusia atau wujud nyata dari pengaruh aktivitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi penggunaan lahan lebih terkait dengan fungsi dari sebidang lahan dari perspektif manusia.
2
Terminologi Definisi /Perspektif Remote Sensing Pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat dari jarak jauh, (misalnya dari pesawat, pesawat luar angkasa, satelit, kapal atau alat lain. Contoh dari penginderaan jauh antara lain satelit pengamatan bumi, satelit cuaca, memonitor janin dengan ultrasonik dan wahana luar angkasa yang memantau planet dari orbit. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi berbasis komputer yang mengolah dan menyajikan data-data geografis Data Digital Elevation Model (DEM) SRTM Citra bebentuk raster dengan ukuran piksel 90 meter x 90 meter. Setiap piksel memiliki nilai yang menunjukan ketinggian areal tersebut di atas permukaan laut yang dihasilkan dari pengukuran gelombang radio (microwave) yang dipancarkan dan ditangkap kembali oleh satelit RADAR SRTM. Format Data Spasial Vektor dan Raster Struktur data GIS dan Remote Sensiog terdiri atas dua format yaitu data vektor (Titik, Garis, Poligon) dan Data Raster (pixel). Contoh dari data Raster adalah Citra satelit
3
Terminologi Definisi /Perspektif
Vektor Raster Resolusi Citra Ukuran terkecil obyek di medan yang dapat direkam pada data digital maupun pada citra. Pada data digital, resolusi dinyatakan dengan pixel. Semakin kecil ukuran terkecil yang dapat direkam oleh suatu sistem sensor, berarti sensor itu semakin baik karena dapat menyajikan data dan informasi yang semakin rinci. Resolusi spasial yang baik dikatakan resolusi tinggi atau halus, sedang yang kurang baik berupa resolusi kasar atau rendah. Disamping itu dinyatakan dengan ukuran dalam meter di lap atau dalam meter per pixel pada citra (Rm/pixel), resolusi medan juga dapat dinyatakan dengan ukuran dalam meter di lapa yang dapat digambarkan oleh sepasang garis pada citra atau Rm/Lp (meter per line pairs). Delineasi Proses menentukan (menarik) garis batas antara dua jenis klasifikasi fitur geografis (geographic features) permukaan bumi seperti batas tutupan lahan atau batas antara dua catchment daerah aliran sungai Sistem Klasifikasi Tutupan Lahan Sistem klasifikasi tutupan lahan adalah metode penggolongan jenis tutupan lahan yang dibagi dalam beberapa level, dimana setiap level memberikan perbedaan kedetailan informasi jenis tutupan lahan. Penentuan tipe-tipe tata guna lahan dan tutupan lahan dapat dilakukan dengan cara pengamatan dari citra satelit atau bisa juga dari foto udara, selain itu diperlukan juga pengecekan ke lapangan. (a) Klasifikasi Untuk Citra Resolusi Sedang Terdapat sejumlah sistem klasifikasi tutupan lahan yang digunakan di dunia, beberapa yang cukup banyak digunakan adalah klasifikasi dari FAO, sistem klasifikasi tutupan lahan Anderson et al. (1976). A Standard Classification System for The Mapping of Land Use and Land Cover fom the state of North Carolina (1994), SEMCOG Land Use
4
Terminologi Definisi /Perspektif Land Cover Classification System (2000), dan lain sebagainya. Di Indonesia, terdapat sejumlah lembaga yang mengembangkan klasifikasi penutupan lahan, dua diantaranya yang sering menjadi acuan adalah Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan (Bakosurtanal) dan Badan Planologi Kehutanan (Baplan). Bakosurtanal mengeluarkan klasifikasi penutupan lahan dalam Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dari skala 1:10.000 hingga 1: 250.000, sementara Kementerian Kehutanan melalui Baplan mengeluarkan peta pentupan lahan untuk keperluan penatagunaan kawasan hutan. Meskipun cukup baik untuk mendefinisikan kawasan pedesaan dan urban, namun klasifikasi Bakosurtanal dinilai oleh konsultan kurang detail dalam membagi klasifikasi kawasan hutan, klasifikasi hutan yang lebih baik ditemukan dalam system klasifikasi penutupan lahan dari Badan Planologi Kehutanan yang membagi setidaknya hutan menjadi hutan primer, sekunder dan tanaman serta berdasarkan tipe vegetasi yaitu hutan rawa, hutan mangrove, dan hutan lahan kering. Secara keseluruhan terdapat 24 kelas penutupan lahan yang digunakan oleh Baplan, mulai hutan primer lahan kering sampai kepada lahan terbuka. Sistem klasifikasi ini sedang dalam proses standarisasi di SNI untuk dijadikan system klasifkikasi tutupan lahan standard di Indonesia. Namun demikian, terdapat kelemahan dari sistem klasifikasi Baplan ini, yang paling utama adalah bahwa sistem klasifikasi tidak sepenuhnya menunjukan tipe penutupan lahan. Beberapa kelas masih menunjukan tipe penggunaan lahan dan bukan penutupan lahan seperti: areal transmigrasi, bandara, tambak, dan bandara. Oleh karenanya, sistem kalsifikasi ini cenderung disebut penutupan/penggunaan lahan dan bukan spesifik penutupan lahan. (b) Klasifikasi Untuk Citra Resolusi Tinggi Pada dasarnya, sistem klasifikasi penutupan lahan dari Baplan dikembangkan berdasarkan teknologi interpretasi citra satelit resolusi sedang seperti Landsat dan SPOT yang lazim digunakan untuk analisis kawasan dalam skala yang luas, oleh karenanya untuk
5
Terminologi Definisi /Perspektif klasifikasi berdasarkan citra resolusi tinggi seperti quickbird dan IKONOS, beberapa kelas dapat diperdetail (breakdown) sesuai dengan kemampuan interpreter dan belum ada panduannya secara baku.
6
2. PENDEKATAN UMUM
Pada prinsipnya, proses monitoring dapat diartikan sebagai kegiatan pengumpulan dan analisis informasi guna menentukan kondisi suatu objek atau komponennya, apakah sedang atau telah mengalami perubahan (CIFOR, 2007). Karena ditujukan untuk mendeteksi perubahan maka proses monitoring secara otomatis akan melibatkan data dari dua waktu yang berbeda. Di dalam kesempatan ini, konteks monitoring yang diambil adalah monitoring tutupan lahan di sebuah DAS untuk mengetahui kondisi tutupan hutan dari dua waktu yang berbeda (time series), sehingga diketahui pengurangan atau penambahan luas masing-masing tipe tutupan lahan dari suatu wilayah tertentu. Istilah tutupan lahan (atau landcover dalam Bahasa Inggris) membawa kita membayangkan peta yang menggambarkan material yang menutupi suatu ruang tertentu di permukaan bumi seperti: hutan, lahan pertanian, permukiman, aliran air sungai dan lain sebagainya. Dalam istilah pemetaan, data yang menyangkut ruang di permukaan bumi ini disebut sebagai data spasial (data berbasis ruang/geografis). Data spasial ini menjadi sangat populer saat ini karena sangat membantu kita memvisualisasikan objek permukaan bumi sehingga lebih mudah dipahami dan digunakan dalam pengambilan keputusan. Adanya kebutuhan terhadap data spasial dalam proses monitoring tutupan lahan menyebabkan proses ini memerlukan dukungan pengetahuan, dana dan waktu untuk dapat menghasilkan kesimpulan tentang dinamika objek pengamatan, yang seringkali melebih siklus hidup (life time) sebuah lembaga monitoring itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab mengapa monitoring DAS sering tidak berkesinambungan dan cenderung diskrit. Salah satu alat bantu yang banyak digunakan dalam pemetaan tutupan hutan saat ini adalah teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) baik menggunakan foto udara ataupun citra satelit yang dipadukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Secara umum, langkah yang biasa dilakukan dalam aplikasi penginderaan jarak jauh untuk monitoring tutupan hutan adalah:
7
a. Akuisisi Citra / Foto Udara Akusisi data citra adalah proses memilih dan mendapatkan bahan baku untuk proses analisis remote sensing lanjutan. Penyedia data ini adalah lembaga-lembaga besar baik swasta maupun pemerintah yang memiliki wahana dan sensor yang ditempatkan di orbit bumi. Saat ini, terdapat banyak pilihan sensor yang telah ditempatkan di orbit dengan berbagai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemilihan tipe sensor pada akhirnya diserahkan kepada pemakai dengan mempertimbangkan tujuan analisis dan berbagai keterbatasan yang ada terutama dana dan penguasaan teknologi. Sebagai contoh, sensor yang banyak digunakan dalam pemetaan tutupan lahan hutan skala regional (kecil) adalah sensor dari citra satelit resolusi 1 rendah seperti Landsat TM (Thematic Mapper) dan MODIS. Keuntungan penggunaan landsat adalah biaya yang relatif murah, kemudahan mendapatkan citra dan teknologi pengolahannya yang sudah banyak dikuasai.
1 Resolusi adalah ukuran kekuatan citra untuk mendefinisikan obyek di permukaan bumi. Resolusi ditentukan oleh ukuran piksel yang menjadi sel terkecil dari sebuah data raster. Penyiapan data referensi : (a) Peta-peta Dasar, (b) Sistem Klasifikasi dan Kunci Interpretasi Penutupan Lahan Akuisisi Citra / Foto Udara
Pra Pengolahan Citra Pengolahan Citra : (a) Interpretasi Citra, (b) Analisis Perubahan Tutupan Lahan Layout Peta dan Pelaporan
8
Sebagai alternatif terhadap citra resolusi rendah, untuk tujuan analisis detail tersedia citra satelit resolusi spasial sedang tinggi seperti SPOT (Prancis), Quickbird Tm , IKONOS Tm , Geoeye Tm yang memungkinkan pemetaan tutupan lahan hutan yang lebih rinci. b. Akuisisi Data Referensi Data referensi adalah seluruh data yang dianggap dapat menunjang/ diperlukan dalam pelaksaaan monitoring. Sebagai contoh, data referensi yang penting adalah: peta-peta dasar dari Bakosurtanal; kunci interpretasi; sistem klasifikasi yang dapat menjadi pengetahuan awal guna menghubungkan pola spektral dengan objek spasial. c. Pra-pengolahan citra Tujuan proses pra-pengolahan citra adalah untuk menjamin setiap piksel dari suatu citra yang dipilih merekam pengukuran yang sama di lokasi geografis yang sama. Di dalam studi deteksi perubahan, pra-pengolahan ini sangat penting untuk dilakukan dan terkadang cukup rumit. Dengan pra-pengolahan, perbedaan spektral pada piksel dengan lokasi yang sama akibat noise atau sumber kesalahan lainnya (misalnya kondisi atmosferik saat citra diakuisisi, terrain displacement, dan lain- lain) dapat dihindarkan. Selain koreksi citra yang tersebut di atas, termasuk di dalam kategori pra-pengolahan adalah pembuatan subset, integrasi data, kompresi citra dan sebagainya. d. Ekstraksi informasi Umunya terdapat dua teknik yang digunakan dalam mendeteksi perubahan melalui data citra satelit. Kedua-duanya memiliki dua fase prosedur, fase pemodelan dan fase penyelisihan. Fase pemodelan merupakan tahapan implementasi suatu algoritma guna mendapatkan arti dari nilai spektral di dalam citra. Fase pembandingan adalah tahapan pembandingan citra dari waktu yang berbeda dengan menerapkan map algebra seperti operasi logik (untuk data vektor), pengurangan (selisih/differencing), operasi pembagian (ratioing), dan lain-lain . e. Evaluasi dan pelaporan Tahap selanjutnya yang tidak kalah penting adalah pelaporan. Pada umumnya monitoring jangka panjang, seiring waktu berjalan, seringkali terjadi
9
perubahan penggunaan sensor, kedalaman informasi sampel data referensi, dan teknik analitis yang digunakan. Pelaporan yang detil sangat penting untuk menjamin nilai data dalam jangka panjang dan mengevaluasi informasi awal untuk mengambil kesimpulan tentang situasi (perubahan) termutakhir. Selain itu, pelaporan yang melibatkan algoritma bahkan kode program untuk setiap langkah pra-pengolahan dan pengolahan citra, akan menjamin replikasi prosedur di wilayah lain di dalam /di luar lingkup pengamatan.
10
3. ANALISIS HIDROLOGI
Lokus yang menjadi perhatian (area of interest) dalam modul ini adalah Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebuah DAS umumnya memiliki Sub-sub DAS yang menjadi akumulator air untuk sungai utamanya. Sebagai langkah awal dalam monitoring tutupan hutan di DAS, perlu dilakukan identifikasi sub das yang ada di dalam DAS dengan teknik analisis flow accumulation yang didasarkan kepada data elevasi (Digital Elevation Model) / DEM. Pengolahan dilakukan menggunakan perangkat analisis hidrologi di dalam software ArcGIS. Secara garis besar, langkah untuk mendelineasi sub DAS adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1. Langkah Kerja Delineasi DAS menggunakan analisis hidrologi Data DEM adalah data yang bebentuk raster dengan ukuran piksel tertentu. Setiap piksel memiliki nilai yang menunjukan ketinggian areal tersebut di atas permukaan laut. Dalam modul ini, data DEM yang digunakan adalah DEM dari satelit SRTM dengan ukuran piksel 90 meter x 90 meter yang dihasilkan dari pengukuran gelombang radio (microwave) yang dipancarkan dan ditangkap kembali oleh satelit RADAR SRTM. 2
2 Data DEM 90 meter dapat diresample menjadi data 30 meter x 30 meter untuk memperhalus hasil analisis, dengan catatan hasil resample bersifat modelling dan memiliki kekurangan yang dapat menurunkan akurasi geomteris hasil analisis. Oleh karenanya, jika memungkinkan data citra DEM SRTM ini dapat saja digantikan oleh data lain yang lebih akurat seperti hasil scanning laser (LIDAR), hasil pengukuran topografi di lapangan, citra radar resolusi tinggi, dan lain sebagainya, sepanjang data tersebut tersedia
11
Citra DEM SRTM, yang ditampilkan dalam perangkat ArcGIS versi 9.3 akan menghasilkan kenampakan default pankromatik (hitam putih) seperti dalam gambar di bawah ini. Gradasi dari warna sangat gelap ke warna putih menunjukan perbedaan ketinggian di suatu tempat. Pewarnaan (simbologi) hitam-putih ini bisa saja diubah agar lebih nyaman dilihat dengan menggunakan kombinasi warna lain sesuai keinginan pengguna yang dilakukan melalui pengaturan properties layer DEM tersebut.
Gambar 3.2. DEM SRTM Aceh Tengah dan Bener Meriah
Setelah data DEM SRTM ditampilkan, analisis hidrologi dimulai dengan urutan langkah sebagai berikut:
12
a. Langkah 1: Pembuatan Flow Direction Model Salah satu aspek yang penting dalam analisis hidrologi dari permukaan bumi adalah pemetaan arah aliran air yang dapat dimodelkan menggunakan nilai elevasi dari citra DEM (raster). Pemodelan arah aliran permukaan ini dinamakan fungsi Flow Direction yang menggunakan raster surface (DEM) sebagai input dan menghasilkan output raster yang menunjukan arah aliran keluar (out flow) dari setiap sel. Pembuatan model flow direction tahap pertama akan menjadi bahan untuk menganalisis keberadaan sinkatau cekungan yang dapat memngganggu proses pemodelan hidrologi.
Gambar 3.3. Model Flow Direction dengan depresi
Peta di atas menunjukan hasil klasifikasi ulang piksel-piksel dari citra DEM berdasarkan kemungkinan arah aliran air dari titik piksel tersebut. Hasil model Flow direction ini akan digunakan dalam tahap berikutnya yaitu identifikasi sink dan pembuatan depresionless DEM (DEM tanpa sink). Depresionless DEM itulah
13
yang nantinya menjadi bahan utama delineasi watershed setelah melalui pemodelan akumulasi aliran air permukaan atau flow accumulation (tahap berikutnya) yang di lapangan menyerupai model lebar sungai sesuai dengan akumulasi air yang ditampungnya. b. Langkah kedua: Membuat Depresionless DEM Pembuatan model akumulasi aliran permukaan (flow accumulation) memerlukan input DEM yang halus dan bebas dari depresi (depresionless DEM). Depresi DEM disebabkan adanya cekungan yang memerangkap air (sink), hal ini terbentuk oleh kesalahan pengukuran elevasi oleh sensor ataupun karena morfologi alami di lapangan yang membentuk adanya cekungan. Adanya depresi sink akan mengganggu pemodelan akumulasi aliran sehingga DEM SRTM mentah perlu melalui proses pengisian dengan bantuan fungsi fill dalam perangkat lunak GIS ArcGIS versi 9.3.
Gambar 3.4. Data Depresionless DEM Aceh Tengah dan Bener Meriah
14
Selanjutnya, depresionless DEM tersebut ini akan digunakan untuk membuat model flow direction baru seperti pada langkah sebelumnya, bedanya flow direction yang terakhir ini adalah flow direction yang sudah bebas sink yang akan menjadi bahan untuk pemodelan akumulasi aliran (flow accumulation). c. Langkah ketiga: membuat Flow Accumulation dan Watershed Flow accumulation menggambarkan bobot air yang terkaumulasi di satu titik berdasarkan jumlah piksel sel yang mengarah ke padanya. Sel (piksel) dengan bobot akumulasi besar berarti memiliki banyak sel yang mengarah ke padanya, atau dengan kata lain ada banyak air yang akan mengalir ke titik tersebut sehingga di lapangan biasanya berupa alur sungai. Semakin berat bobotnya maka di lapangan umumnya berupa sungai yang semakin lebar. Hasil analisis flow accumulation akan menyerupai peta alur sungai, semakin terang warnanya (semakin putih) menunjukan semakin besar akumulasi air di titik tersebut atau semakin besar dimensi sungai tersebut di lapangan.
Gambar 3.5. Model Akumulasi Aliran Air Berbasis Raster
15
Langkah terakhir setelah mendapatkan model akumulasi aliran air adalah adalah areal catcment dari masing-masing sub das. Untuk melakukan analisis tersebut, digunakan fasilitas watershed dalam software ArcGIS versi 9.3. Ketika proses watershed dilakukan, diperlukan pendefinisian titik outlet air atau titik tumpah air (pour points) di tempat tertentu yang disengaja dipilih dan dinggap sebagai sebagai outlet sub DAS. Selanjutnya, software akan menghitung piksel- piksel dalam citra yang mensuplai air ke titik pour points tersebut yang dianggap sebagai batas catchment. Berdasarkan proses tersebut, diperoleh delineasi batas Sub Das untuk DAS Peusangan seperti dalam gambar berikut:
Gambar 3.6. Model Sub DAS untuk DAS Peusangan
Pour points Sub DAS
16
17
4. MONITORING TUTUPAN LAHAN DENGAN CITRA RESOLUSI RENDAH - SEDANG
4. 1. Akuisisi ( Penyediaan) Citra A. Citra Resolusi Rendah Dari sejumlah citra resolusi rendah yang tersedia, Citra satelit Landsat adalah salah satu pilihan yang paling banyak digunakan saat ini. Selain kemudahan dalam penanganan (pengolahan) data, akuisisi data juga masih terus berlangsung dan disebarluaskan ke publik dengan gratis melalui internet (website USGS/NASA). Landsat 7 adalah generasi Satelit Landsat paling akhir dari Program Landsat dari Amerika. Secara ringkas, sejarah Satelit Landsat adalah: Landsat 1 (mulanya dinamakan Earth Resources Technology Satellite 1) - diluncurkan 23 Juli 1972, operasi berakhir tahun 1978 Landsat 2 - diluncurkan 22 Januari 1975, berakhir 1981 Landsat 3 - diluncurkan 5 Maret 1978, berakhir 1983 Landsat 4 - diluncurkan 16 Juli 1982, berakhir 1993 Landsat 5 - diluncurkan 1 Maret 1984, masih berfungsi Landsat 6 - diluncurkan 5 Oktober 1993, gagal mencapai orbit Landsat 7 - diluncurkan 15 April 1999, masih berfungsi dengan status SLC- off Saat ini, satelit yang masih beroperasi adalah Landsat 5 dan Landsat 7. Namun demikian, sensor pengambil gambar (citra) yang terpasang pada satelit Landsat 7 ini sejak akhir Mei 2003 mengalami kerusakan sehingga gambar yang dihasilkan memiliki striping (garis hitam) yang berasal dari sebagian baris sensor yang tidak berfungsi lagi. Oleh USGS, citra-citra yang diambil setelah tanggal ini disebut dengan citra yang bersifat SLC-Off atau Scane Line Corrector tidak berfungsi sehingga timbul stripping/ garis hitam pada citra Landsat 7.
18
Citra landsat adalah data spasial yang berbasis raster. Satuan data terkecil dari citra satelit ini adalah piksel yang dinyatakan dalam meter persegi. Setiap piksel memiliki resolusi piksem 30 meter x 30 meter, dengan demikian objek yang memiliki dimensi di bawah 30 meter x 30 meter akan sulit untuk dikenali. Semakin kecil ukuran piksel, maka semakin kuat kemampuan citra tersebut mendefinisikan objek atau memiliki resolusi spasial yang lebih baik.
(a ) Pixel (b ) Resolusi Gambar 4.1. Ilustrasi Konsep piksel dan resolusi spasial data raster Citra Landsat diperoleh dari penelusuran arsip citra dalam website NASA/USGS (http://edcsns17.cr.usgs.gov/NewEarthExplorer/). Citra landsat dan juga sejumlah dataset lainnya tersedia secara gratis untuk seluruh dunia. Di bawah ini langkah umum mengunduh citra landsat dari webiste USGS. Pemilihan lokasi dan range tanggal akuisisi
Gambar 4.2. Website Earth Explorer milik USGS Tools Untuk Pemilihan lokasi Tools Untuk Pemilihan range akuisisi data Tools Untuk Pemilihan Jenis dataset
19
Pemilihan kategori dataset
Gambar 4.3. Pemilihan dataset dalam Website Earth Explorer milik USGS Pengunduhan dataset yang terpilih
Gambar 4.4. Tools dataset dalam Website Earth Explorer milik USGS
Tools untuk pemilihan dataset Tools untuk melihat hasil Tools untuk memilih dan mengunduh dataset yang terpilih
20
Saat pertama didapat, data mentah citra landsat 7 ETM+ berupa sebuah file compress yang ketika di uncompress dengan winrar atau winzip akan menjadi banyak file yang terdiri atas file citra dari masing-masing band dan file-file pendukung. Sebagaimana diketahui, citra landsat 7 ETM+ memiliki delapan kanal (band), dari mulai band satu sampai band delapan yang dikemas di dalam satu bundel data yang dapat diunduh secara gratis dari database USGS. Untuk dapat diolah dan digunakan dalam proses interpretrasi, delapan band citra tersebut harus disatukan terlebih dahulu menjadi sebuah citra komposit dengan bantuan perangkat lunak ArcGIS atau ER Mapper. Untuk menghasilkan citra dengan tampilan spektrum warna tampak mata (true colors), simbologi pada citra komposit diatur sehingga pada palet warna merah (red) digunakan kanal ke lima (band 5), palet warna hijau (green) menggunakan kanal ke empat (band 4), dan palet warna biru (blue) menggunakan kanal ke tiga (band tiga). Proses ini dapat dilakukan dengan alat bantu perangkat lunak pengolahan citra ERMapper versi 7.1 atau dengan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3.1. B. Citra Resolusi Sedang Contoh citra resolusi sedang adalah Satelit SPOT (Systeme Probotoire de IObservation de la Terre) yang merupakan proyek kerjasama antara Prancis, Swedia dan Belgia di bawah koordinasi CBES (Centre dEtudes Spatiales), yaitu badan ruang angkasa Prancis. SPOT-2 diluncurkan tanggal 23 Februari 1986 dari Stasiun Peluncuran Kourou, Guyana Prancis dengan membawa dua sensor identik yang disebut HRV (Houte Resolution Visible, atau resolusi tinggi pada cahaya tampak). Satelit SPOT-5 sebagai kelanjutannya diluncurkan tanggal 3 Mei 2002. Dibanding pendahulunya, SPOT 5 menawarkan kualitas citra yang lebih tinggi dengan resolusi bisa mencapai 5 meter untuk multispektral dan 2,5 meter untuk pankromatik. Citra SPOT masih menggunakan cakupan scene seperti halnya citra landsat. Satu scene atau cakupan citra SPOT memiliki luas 60 x60 km.
21
Karakteristik SPOT 5 1 Tanggal peluncuran 3 Mei 2002 2 Orbit altitude 822 km 3 Orbit inklinasi 98,7 O Sun Syncrhonous Kecepatan 7,4 Km/detik 26.640 Km/jam Waktu melewati equator 22.3 Waktu kembali 101.4 menit Cakupan 60 x 60 km atau 80 km pada nadir Digitasi 8 bit Resolusi Pan : 2,5 m dari 2 x 5 m lembar Pan : 5 m (nadir) MS : 10 m (nadir) SWI : 20 m (nadir)
Akurasi dan kedalaman informasi Citra SPOT 5 memenuhi syarat untuk pemetaan skala 1:50.000, namun demikian sangat disayangkan resolusi yang cukup tinggi tidak diimbangi dengan resolusi temporal yang rendah yaitu 26 hari. Untuk wilayah DAS Peusangan, diperlukan tiga lembar citra SPOT dari tanggal liputan yang tidak terlalu berjauhan. Citra SPOT didapat dari sejumlah reseller resmi citra SPOT yang ada di Indonesia. Pembelian citra SPOT 5 dapat dilakukan sesuai kebutuhan, sehingga jika hanya separuh scene yang kita perlukan, kita bisa memesan citra SPOT tersebut separuh scene. Data SPOT dari reseller biasanya akan dikirimkan dalam bentuk digital dengan format .TIF. Tidak seperti citra landsat yang memiliki 7 band, maka citra SPOT hanya memiliki 3 band (dengan tambahan band Shortwave Infra Red jika diperlukan) dan dapat langusng dibaca oleh banyak perangkat lunak remote sensing atau GIS. 4. 2. Akuisisi Data Referensi Penyiapan peta-peta dasar adalah langkah awal untuk melakukan monitoring tutupan lahan di level DAS. Karena monitirong perubahan tutupan lahan adalah kegiatan yang berbasis spasial (ruang), maka ketersediaan data spasial (peta) yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan proses monitoring. Kualitas data spasial sendiri ditentukan setidaknya oleh kemampuan data tersebut mewakili (merepresentasikan) obyek di permukaan bumi secara akurat dan aktual, dalam
22
pengertian, selain akurat secara geodetis (ketepatan posisi berdasarkan sistem koordinat geodetis), juga memiliki keterkinian (update) isi informasi sehingga dapat digunakan sesuai tujuan. Pembuatan peta dasar tidak dapat dilakukan secara sembarangan, beberapa tema peta dasar mempersyaratkan kewenangan resmi untuk mengeluarkannya seperti peta batas wilayah administrasi, peta garis pantai, peta batas pengelolaan kawasan hutan,dan lain sebagainya; sedangkan beberapa peta lainnya dapat dihasilkan sendiri dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah seperti peta tutupan lahan, peta kelas kemiringan lahan, peta kelas elevasi, peta kontur, dan lain sebagainya. Di bawan ini disajikan beberapa tema peta dasar yang digunakan dalam proses monitoring ini dan sumbernya: Tabel 4.1. Tema (layer) Peta Dasar yang digunakan dalam proses Monitoring No Tema (Layer) Format Kedalam Informasi (skala) Sumber 1 Peta Batas Administrasi Vektor berbasis ArcGIS (SHP) 1:50.000 Pemerintah Provinsi Aceh 2 Peta jaringan jalan Vektor berbasis ArcGIS (SHP) 1:50.000 Bakosurtanal 3 Peta jaringan sungai Vektor berbasis ArcGIS (SHP) 1:50.000 Bakosurtanal 4 Peta Model Elevasi Raster DEM SRTM (TIF) Resolusi 90 meter NASA / USGS 5 Peta lokasi kampong / Desa Vektor berbasis ArcGIS (SHP) 1:50.000 Bakosurtanal 6 Peta Batas DAS / Sub DAS Vektor berbasis ArcGIS (SHP) 1:50.000 Delineasi otomatis dari DEM SRTM
4. 3. Pra Pengolahan Citra a. Koreksi Radiometrik dan Koreksi Geometrik Citra (jika diperlukan) Koreksi radiometrik karena kesalahan pada sistem optik dilakukan dengan pengggunaan band-pass filter atau notch filter (untuk bising periodik/periodic noise), penggunaan data dependent method (untuk bising garis/stripes noise), membuang elemen gambar yang merepresentasikan bising sisir dan menggantinya dengan harga rata-rata tetangganya (untuk bising sisir/spike noise). Koreksi radiometrik karena gangguan energi radiasi pada atmosfer dapat dengan
23
menggunakan model linier dan model kalibrasi bayangan awan. Kesalahan Geometrik terjadi karena jarak wahana dengan objek yang jauh, sehingga menimbulkan distorsi geometrik. Koreksi geometrik dilakukan sesuai dengan jenis atau penyebab kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan random. Adapun koreksi geometrik ini memiliki tiga tujuan, yaitu: o Melakukan rektifikasi (perbaikan) dan restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi. o Registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau multi temporal. o Registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu. b. Pengecekan Akurasi Untuk Koreksi Geometrik Pengecekan akurasi dimaksudkan untuk menguji model transformasi yang digunakan untuk koreksi citra. Jumlah titik kontrol diambil sebanyak mungkin setidaknya lebih dari jumlah parameter yang belum diketahui pada rumus transformasi yang digunakan. Jadi bila dalam proses transformasi affine polinomial orde 1 terdapat n parameter tidak diketahui maka sebaiknya jumlah titik GCP yang dipakai adalah n + 1. Demikian pula untuk penempatan GCP, sebaiknya menyebar di seluruh permukaan citra dan tidak mengelompok. Akurasi koreksi gometrik disajikan dalam bentuk standar deviasi (RMSE, root Mean Square Error). Standar deviasi didefinisikan sebagai kuadrat-akar rata-rata aritmatika jumlah kuadrat error. Kuadrat dari standar deviasi (2) disebut dengan varian atau mean square error dan konsekunsinya, kerapkali disamakan arti dengan Root Mean Square Error (RMSE). Jadi dari pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa:
24
Ketelitian dalam proses koreksi geometrik adalah 1 pixel. Jika data yang dipergunakan adalah citra satelit Landsat maka kesalahan terbesar yang masih diterima adalah 30 m (Purwadhi, 2001). c. Pembuatan peta komposit citra c.1. Komposit Jika Digunakan Landsat Citra landsat 7 ETM+ sejak tahun 2003 memiliki cacat bawaan striping effect (SLC-off), sebagai akibatnya, pada saat ditampilkan, terdapat garis-garis hitam (striping) di hampir seluruh bagian citra. Untuk mengatasinya, citra primer dan sekunder ditampilkan bersama (tumpang tindih) dalam sebuah viewer dengan bantuan perangkat lunak ArcGIS, dan selanjutnya dilakukan modifikasi simbologi dari masing-masing citra agar garis-garis hitam (striping) menjadi transparan dan agar citra sekunder dapat mengisi gap pada citra primer. Di halaman berikutnya disajikan ilustrasi penggabungan dua citra (primer dan sekunder) serta hasil proses gap filling yang akan menjadi bahan untuk proses interpretasi citra. Setelah diperoleh kombinasi citra landsat yang baik dengan tutupan awan rendah (< 10%) dan telah melewati tahap persiapan untuk mendapatkan citra yang telah direduksi dampak strippingnya (gap filling), maka proses delineasi tutupan
25
lahan sudah dapat dilakukan. Teknik interpretasi yang digunakan adalah manual / visual (on screen digitizing) dengan alat bantu perangkat lunak ArcGIS versi 9.3.1.
Gambar 4.5. Kombinasi Citra komposit 29 April 2009 dengan Citra Komposit 26 Februari 2009 yang telah dimodifikasi (band 5-4-3) Citra 29 April 2009 Citra 26 Februari 2009 2009 Gap filling Proses overlay dan gap filling dalam ArcGIS
26
c.2. Komposit Jika Digunakan SPOT Untuk citra resolusi sedang (jika digunakan) diperlukan tiga lembar citra SPOT dari lembar 259-340, 259-341, dan 260-341 seperti yang diilustrasikan dalam gambar di halaman selanjutnya. Citra SPOT 5 yang telah didapat tersebut kemudian ditampilkan dan diproses menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3 untuk menghasilkan sebuah gabungan (Mosaic) citra yang siap untuk diinterpretasi. Proses membuat mosaic secara simple dapat dilakukan di ArcGIS dengan fasilitas (toolbox) create mosaic dalam menu: data management raster raster dataset. Hasil proses mosaic adalah sebuah raster yang merupakan gabungan dari tiga raster sebelumnya. Setelah di dapat sebuah mosaic, bisa dilanjutakan dengan proses clip untuk mendapatkan citra yang terfokus.
Gambar 5.1. Ilustrasi pembuatan mosaic citra SPOT 5 di DAS Peusangan Lembar 260 - 341 Lembar 259 - 340 Lembar 259 - 341 DAS Peusangan
27
4. 4. Interpretasi Citra a. Interpretasi Jika Menggunakan Landsat Secara umum, interprertasi penutupan lahan dilakukan secara manual. Proses umumnya dilakukan dengan mengidentifikasi objek melalui interpretasi langsung oleh interpreter terhadap citra secara visual kemudian dilanjutkan dengan mendelineasi objek tersebut secara manual menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geogerafis (SIG) ArcGIS versi 9.3.. Delineasi secara manual dikenal juga dengan istilah on-screen digitation. Teknik ini membutuhkan interaksi operator dan komputer yang tinggi, dengan kata lain teknik ini membutuhkan waktu dan tenaga yang besar. Beberapa persyaratan dalam menggunakan teknik ini antara lain: memiliki data yang baik untuk klasifikasi memiliki perangkat lunak yang mendukung (memudahkan) proses digitasi memiliki operator yang memahami teknik interpretasi dan mendapatkan pengetahuan awal tentang lokasi yang akan diinterpretasi, memahami dasar- dasar sistem proyeksi peta dan menguasai teknik digitasi dengan menggunakan perangkat lunak yang tersedia. Intepretasi potret udara secara visual terkait dengan liputan lahan dilakukan dengan dasar penggunaan kunci intepretasi yaitu yaitu rona, ukuran, bentuk, tekstur, pola,bayangan dan situs/asosiasi. Kunci interpretasi tersebut didasarkan tingkat kerumitannya dibedakan menjadi empat tingkat yaitu: Kunci interpretasi primer, yaitu : rona dan warna Kunci interpretasi sekunder, yaitu : bentuk, ukuran dan tekstur Kunci interpretasi tersier, yaitu : pola dan bayangan Kunci interpretasi lebih tinggi, yaitu : situs/asosiasi Rona adalah gradasi kecerahan relatif objek pada citra, sedangkan warna adalah perbedaan gradasi warna objek pada citra. Dalam penafsiran perbedaan rona atau warna pada suatu citra dapat dipergunakan untuk menentukan jenis objek tersebut. Objek yang lebih cerah adalah objek yang memiliki nilai albedo (pantulan
28
energi) yang lebih tinggi pada spektrum tertentu. Rona dan warna ini merupakan elemen dasar dari persepsi manusia secara visual. Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali dengan melihat bentuknya. Bentuk dikelompokkan dalam tingkatan sekunder berdasarkan susunan tingkat kerumitannya dalam menginterpretasi citra. Ada dua istilah di dalam bahasa inggris yang artinya bentuk yaitu shape dan form. Shape ialah bentuk luar atau bentuk umum, sedangakan form merupakan susunan atau struktur yang lebih rinci. Ukuran ialah atribut yang merupakan fungsi dari skala, yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi dan volume. Maka dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra maka skala citra harus dipertimbangkan. Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra. Tekstur dihasilkan oleh kumpulan unit kenampakan yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur merupakan hasil gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya. Apabila skala citra diperkecil, maka tekstur pada obyek akan semakin halus. Pola ialah hubungan susunan spasial suatu obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah maupun buatan/bangunan akan memberikan suatu pola yang membantu dalam mengenali obyek tersebut. Pola tingkat kerumitannya setingkat lebih tinggi dari tingkat kerumitan bentuk, ukuran dan tekstur. Bayangan bersifat menyembunyikan detail/obyek yang berada di daerah gelap. Obyek yang terletak di daerah bayangan umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang samar. Meskipun demikian, bayangan sering menjadi kunci pengenalan penting bagi beberapa obyek yang justru lebih tampak dari bayangannya. Situs/asosiasi adalah keterkaitan obyek dengan obyek lainnya. Karena ada keterkaitan tersebut suatu obyek pada citra merupakan petunjuk bagi obyek lainnya. Asosiasinya juga berkaitan dengan letak objek dalam suatu ekologi bentang lahannya.
29
Berdasarkan unsur-unsur tersebut, akan dapat dilakukan Identifikasi dan klasifikasi terhadap kenampakan pada citra dengan melakukan deleniasi. Di samping itu, juga dilakukan penajaman warna (enhancement) berdasarkan pantulan spektral obyek pada citra, memanfaatkan pengetahuan lokal (local knowledge) dan teknis berbasis pengetahuan yaitu formulasi pengetahuan mengenai keterkaitan ekologis antara jenis penutup lahan (land cover), karakteristik dan fungsi penggunaan lahan (knowledge base technique), serta melakukan tumpangsusun (overlay) antara peta satu dengan yang lainnya yang diperlukan. Teknik tersebut digunakan untuk melakukan interpretasi citra untuk mendapatkan peta penggunaan lahan, kemiringan lereng, bentuklahan, aksesibilitas/jalan, pola aliran, dan peta unit lahan. Khusus peta tematik unit lahan diperoleh dari hasil overlay antara peta lereng, penggunaan lahan, dan peta bentuklahan. Berdasarkan prinsip umum tersebut di atas, maka secara lebih khusus peta penggunaan lahan dapat diperoleh dengan prosedur sebagai berikut:
Gambar 4.6. Prosedur umum interpretasi Citra Landsat secara manual
Input citra penginderaan jauh dan mengatur kecerahan penampakan citra guna memperjelas objek yang diamati.
Menentukan kunci interpretasi (menemukan secara visual satuan-satuan objek yang menjadi perhatian). Apabila terdapat data pendukung maka data tersebut harus ditampilkan guna mempercepat proses interpretasi.
Melakukan digitasi pada objek yang telah diidentifikasi melalui proses sebelumnya. Hasil digitasi kemudian disimpan sebagai arsip digital pada media penyimpan.
Memberikan keterangan nama, simbol yang digunakan, dan keterangan waktu pada hasil digitasi sebagai label dan atributnya. Hasil digitasi yang memiliki atribut kembali disimpan sebagai arsip digital.
30
Faktor penting dari klasifikasi secara manual adalah kemampuan visual interpreter untuk membedakan satuan-satuan kelas penutupan lahan berdasarkan kunci interpretasi. Dalam table berikutnya ini disajikan contoh beberapa kelompok kenampakan visual yang mungkin ditemukan menggunakan citra Landsat. Tabel 4.2. Kunci Interpretasi tutupan lahan DAS Peusangan di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah No Kenampakan Visual Deskripsi Interpretasi
Obyek hijau gelap (pada band 543), kelihatan menjadi lebih gelap dengan tekstur kasar yang terbentuk dari pengelompokkan tingkat. Warna gelap bisa kelihatan lebih terang pada dalam area tebing dimana objeknya adalah matahari. Kompak dan tidak adanya tanda-tanda penebangan. Hutan Lahan Kering Primer
Obyek yang berwarna hijau tua (pada band 543), cenderung gelap bertekstur kasar dengan tajuk-tajuk pohon yang kelihatan bergerombol. Terdapat bercak-bercak yang diperkirakan adalah bekas tebangan. Hutan Lahan Kering Sekunder
Kenampakkan obyek ditandai dengan adanya vegetasi rendah dan berstektur halus sampai dengan agak kasar yang mengindikasikan adanya semak belukar. Belukar
Kenampakkan perkebunan/pertanian lahan kering ditandai dengan adanya obyek yang berwarna hijau sangat muda dengan bercak coklat muda kekuningan (pada band 543) cenderung terang dengan tekstur halus. Batas-batas yang berdekatan dengan hutan Mozaik Perkebunan / Pertanian Lahan Kering
Obyek pada band 543 terlihat berwarna keunguan dengan tekstur lebih halus sebagai pantulan dari tanah terbuka dan atap-atap rumah yang berdekatan. Pemukiman / Perkotaan
Objek berwarna biru yang menunjukan adanya air, bercampur kemerahan dari tanah pematang atau tanah kering di sekitarnya. Lokasi umumnya tidak jauh dari pemukiman dan di daerah rendahan dekat sungai. Sawah
31
No Kenampakan Visual Deskripsi Interpretasi
Biasanya meliputi areal yang luas dan belum terlihat adanya kepadatan permukiman. Selang-seling antara antara lahan kering bervegatasi semak (hijau muda) dan lahan yang sepenuhnya terbuka berwarna merah atau berwarna coklat, tergantung pada kandungan material tanahnya. Semak / Lahan Terbuka
Kenampakkan obyek ditandai dengan adanya areal berwarna biru muda, biru keputihan atau hitam (pada kombinasi band 543) meliputi areal cukup luas Badan Air / Danau
b. Interpretasi Jika Mengggunakan SPOT Sebagai citra yang berbasis optis, seperti halnya Landsat, citra Spot tidak lepas dari permasalahan tutupan awan (cloud cover) yang menjadi pembatas interpretasi tutupan lahan. Oleh karenanya pemilihan citra menjadi sangat penting untuk menghasilkan kombinasi citra yang relatif bebas awan.. Setelah diperoleh kombinasi citra yang baik dengan tutupan awan rendah (< 10%) dan telah melewati tahap mosaicing, maka proses delineasi tutupan lahan sudah dapat dilakukan. Terdapat dua pilihan metode interpretasi yaitu teknik interpretasi manual / visual (on screen digitizing) dan semi otomatis. Citra spot yang relatif tidak terganggu oleh striping effect seperti pada landsat 7 menyebabkan interpretasi semi otomatis masih dapat dilakukan. Interpretasi manual dilakukan dengan alat bantu perangkat lunak ArcGIS versi 9.3.1 sementara interpretasi semi otomatis dilakukan dengan alat bantuk perangkat lunak pengolah citra seperti ERMapper, ERDAS Imagine, dan lain sebagainya. Faktor penting dari dua metode klasifikasi tersebut adalah kemampuan visual interpreter untuk membedakan satuan-satuan kelas penutupan lahan yang menjadi kunci interpretasi. Dalam table berikutnya ini disajikan beberapa kelompok kenampakan visual yang menjadi kunci interpretasi SPOT di DAS Peusangan. Jumlah kelas dalam kunci interpretasi Citra Spot tidak banyak berbeda dengan Landsat, setelah kunci interpreatasi dirumuskan, dilakukan validasi untuk menguji dan memastikan kebenaran tabel kunci interpretasi. Vaildasi dilakukan
32
melalui ground checking untuk memastikan bahwa kunci interpretasi dan hasil interpretasi tidak berbeda atau tidak banyak menyimpang dengan kenyataan lapangan. Tabel 4.3. Kunci Interpretasi tutupan lahan DAS Pusangan di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan Citra SPOT No Kenampakan Visual Deskripsi Interpretasi
Obyek hijau dengan tekstur kasar yang terbentuk dari pengelompokkan tingkat vegetasi. Warna gelap bisa kelihatan lebih terang pada dalam area tebing dimana objeknya adalah matahari. Kompak dan tidak adanya tanda-tanda penebangan. Hutan Lahan Kering Primer
Obyek yang berwarna hijau / hijau tua, bertekstur kasar dengan tajuk-tajuk pohon yang kelihatan bergerombol. Terdapat bercak-bercak yang diperkirakan adalah bekas tebangan. Hutan Lahan Kering Sekunder
Kenampakkan hutan pinus ditandai dengan adanya obyek yang berwarna hijau muda yang berselang- seling dengan tanah terbuka. Tekstur cenderung lebih halus dariu hutan sekunder atau primer. Diperlukan informasi awal adanya vegetasi pinus di daerah tersebut. Vegetasi Pinus
Kenampakkan obyek ditandai dengan adanya vegetasi rendah, berwarna terang dan berstektur halus sampai dengan agak kasar yang mengindikasikan adanya semak belukar. Belukar
Kenampakkan perkebunan ditandai dengan adanya obyek yang berwarna hijau dengan tekstur halus. Batas-batas yang berdekatan dengan hutan Perkebunan Tanaman Keras
Obyek terlihat berwarna keunguan dengan tekstur lebih halus sebagai pantulan dari tanah terbuka dan atap-atap rumah yang berdekatan. Pemukiman / Perkotaan
Objek berwarna biru yang menunjukan adanya air, bercampur kemerahan dari tanah pematang atau tanah kering di sekitarnya. Lokasi umumnya tidak jauh dari pemukiman dan di daerah rendahan dekat sungai. Sawah
Biasanya meliputi areal yang luas dan belum terlihat adanya kepadatan permukiman. Selang-seling antara antara lahan kering bervegatasi semak (hijau muda) dan lahan yang sepenuhnya terbuka berwarna merah atau berwarna coklat, tergantung pada kandungan material tanahnya. Semak / Lahan Terbuka
Kenampakkan obyek ditandai dengan adanya areal berwarna biru muda atau hitam dengan meliputi areal cukup luas Badan Air / Danau
33
4. 5. Contoh Pengemasan Hasi l Interpretasi (Dari SPOT) Hasil akhir interpretasi akan didapat dalam bentuk layer peta digital dengan format vektor seperti shapefile (.shp). Informasi tutupan lahan untuk tahun 2005 menggunakan citra SPOT yang telah dikemas dalam layout peta disajikan dalam gambar di halaman selanjutnya. Setiap satuan polygon kelas penutupan lahan dilengkapi atribut nama kelas dan luasannya yang akan digunakan dalam analisis perubahan tutupan lahan (tahap berikutnya). Peta tutupan lahan ini akan diuji lebih jauh melalui pengecekan lapangan untuk mengetahui keakuratan kunci interpretasi dan hasil interpretasi tutupan lahan. Format Rekapitulasi kondisi tutupan hutan di DAS Peusangan Kabupaten Aceh Tengah disajikan dalam tabel di bawah ini: Tabel 4.4. Kondisi Tutupan Lahan DAS Peusangan di Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2005 dengan Citra SPOT No Tutupan Lahan Luas (Ha) % 1 Badan Air
2 Belukar
3 Hutan Pinus
4 Hutan Primer
5 Hutan Sekunder
6 Hutan Sekunder Muda
7 Perkebunan
8 Permukiman
9 Sawah
10 Semak / Tanah Terbuka
34
35
4. 6. Perubahan Tutupan Lahan ( Contoh dengan Landsat) Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan memodifikasi poligon tutupan lahan tahun 2009 menggunakan referensi baru yaitu citra satelit tahun 2011. Interpreter meneliti setiap sudut dan bagian dari pete tutupan lahan DAS Peusangan, dan mengidentifikasi secara visual perbedaan (inkonsistensi) antara informasi peta tutupan lahan tahun 2009 dengan kenampakan dalam citra tahun 2011. Jika ditemukan areal yang tidak konsisten antara kenampakan di citra dengan nilai di atribut poligon, maka dilakukan editting batas poligon tersebut dan tipe tutupan lahan yang baru pun didelineasi serta diberi keterangan baru di tabel atribut dari poligon tutupan lahan tersebut. Contoh dari proses tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi di bawah ini:
Gambar 4.5. Ilustrasi Analisis Perubahan Lahan Dalam gambar di atas, dapat dilihat bahwa secara visual teridentifikasi adanya perubahan lahan dari hutan menjadi non hutan di bagian utara DAS Peusangan Kab. Aceh Tengah. Secara visual terlihat munculnya areal berwarna kemerahan pada citra tahun 2011 (menunjukan ciri lahan yang terbuka) yang tidak ada dalam citra Landsat tahun 2009 (ditunjukan dalam lingkaran kuning dengan garis putus- putus). Jika ditemukan hal yang semacam ini, dilakukan editting poligon dan dibuat delineasi baru seperti ditunjukan oleh garis merah (dalam lingkaran kuning dengan garis putus-putus) dalam ilustrasi di atas. Contoh lain dari perubahan yang teridentifikasi adalah seperti di bawah ini: 2009 2011 Citra 2009
36
Gambar 4.6. Ilustrasi Analisis Perubahan Lahan Setelah dilakukan editting garis poligon dan editting nilai dalam tabel, maka di dalam tabel atribut layer peta akan terjadi perubahan seperti ditunjukan dalam ilustrasi di bawah ini:
Gambar 4.7. Editting pada tabel atribut layer peta Kolom skor_2009 dan skor_2011 digunakan sebagai alat bantu untuk melihat poligon-poligon yang berubah. Setiap tipe tutupan lahan memiliki skor tertentu yang konsisten antara tahunh 2009 dengan 2011 dan jika terjadi perubahan tutupan lahan maka hasil operasi pengurangan pada skor poligon-poligon tersebut tidak sama dengan 0. Berdasarkan proses tersebut, diperoleh contoh hasil seperti dalam tabel di bawah ini: 2009 2011 Citra 2009
37
Tabel 4.5. Perubahan Tutupan Lahan DAS Peusangan Landcover 2009 Landcover 2011 Luas (Ha)
38
40
Lampi ran I Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut Bapl an Kelas-kelas Penutup Lahan Peta Sym Definisi Catatan Interprestasi (1) Hutan Lahan Kering Primer Hp Hutan alam atau hutan yang tumbuh dan berkembang secara alami, stabil dan belum pernah ada gangguan eksploitasi atau gangguan manusia, yang lantai hutan yang tidak terendam air secara terus- menerus atau dalam waktu yang lama Hutan lahan kering menunjukkan obyek hijau gelap (pada berkas 543), kelihatan menjadi lebih gelap dengan tekstur kasar yang terbentuk dari pengelompokkan tingkat. Warna gelap bisa kelihatan lebih terang pada dalam area tebing dimana objeknya adalah matahari. Hutan Lahan Kering Primer menunjukkan tidak adanya tanda-tanda penebangan. (2) Hutan Lahan Kering Skunder Hs Hutan yang tumbuh secara alami setelah terjadinya kerusakan/perubahan pada tumbuhan hutan pertama. Hutan yang telah dieksploitasi oleh manusia sebagaiman terlihat adanya jaringan jalan atau sistem eksploitasi lainnya. Kenampakan kehutanan bekas tebas baker yang ditinggalkan. Bekas kebakaran atau yang tumbuh kembeali dari bekas tanah terdegradasi juga dimasukkan dalam kelas ini Hutaan Lahan Kering ditandai dengan adanya objek yang berwarna hijau tua (pada band 543), cenderung gelap bertekstur kasar dengan tajuk-tajuk pohon yang kelihatan bergerombol. Terdapat bekas tebangan. PAda citra, warna yang cendrung gelap karena posisi objek yang berada pada tebing pegunungan tinggi sehingga cahaya matahari kurang. (3) Hutan Rawa Primer Hrp Hutan untuk lantai yang telah terendam air secara terus menerus atau sepanjang tahun (didaerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut) yang belum menampakkan bekas penebangan Kenampakan objek ditandai dengan adanya hutan rawa yang bertekstur halus, rapat dan berwarna hijau sampai dengan tua hijau (band 543). Tidak ada tanda bekas tebangan. Terdapat sungai dan rawa ditengah area. (4) Hutan Rawa Skunder/Bekas tebangan Hrs Hutan untuk lantai yang telah terendam air secara terus menerus atau sepanjang tahun (didaerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut) yang telah menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan sagu dan hutan rawa bekas terbakar dan sudah mengalami suksesi Pada citra Landsat kombinasi band 543, berwarna hijau segar cenderung agak tua berstektur halus meliputi areal yang luas diselingi dengan garis-garis berwarna hijau sangat muda yang mengindikasikan jalur/jalan terbang (5) Hutan Bakau primer Hmp Hutan yang tumbuh di daerah pantai atau sekitar muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai, yang belum menampakkan bekas penebangan). Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke Kenampakkan obyek ditandai dengan adanya hutan mangrove yang berstektur halus dan berwarna hijau muda (band 543) tidak terdapat bekas tebangan. Pada citra tampak adanya Sungai besar dan Sungai kecil yang
PAGE 41
pedalaman membelah areal hutan mangrove (6) Hutan mangrove sekunder / bekas tebangan Hms Hutan yang tumbuh didaerah pantai dan digambarkan sungai-sungai dan teluk karena pengaruh pasang, dengan tanda-tanda penebangan dan gangguan manusia yang ditandai dengan pemotongan garis, bentuk dan/atau area terbakar. Menunjukkan hal yang sama pada citra hutan rawa tetapip didaerah pantai dengan tekstur halus dan terang hingga warna hijau terang. Biasanya digambarkan dengan sungai- sungai kecil. Hutan-hutan bakau skunder menunjukkan tanda-tanda penebangan atau gangguan oleh manusia. (7) Lahan Kering Tidak Produktif B Hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi) namu belum / tidak optimal, atau lahan kering dengan liputan pohon jarang (alami) atau lahan kering dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kenampakkan ini biasanya tidak menunjukkan lagi adanya bekas / bercak tebangan Kenampakkan obyek ditandai dengan adanya vegetasi rendah dan berstektur halus sampai dengan agak kasar, berwarna hijau muda pada band 543 yang mengindikasikan adanya semak belukar dan terdapat bekas tebangan. Karena pada lahan kering, terdapat areal berwarna merah yang menandakan tanah terbuka atau pemukiman (8) Hutan tanaman Ht Hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi (sudah ditanami), termasuk hutan tanaman untuk reboisasi dan hutan tanaman industri Mempunyai umur seragam, tertata rapi dan mempunyai pola tertentu yang menunjukkan adanya manajemen dalam penanaman maupun pengelolaannya (9) Daerah perkebunan Ht Kebun (perkebunan) adalah lahan bertumbuhan pohon-pohonan yang dibebani hak milik atau hak lainnya dengan penutupan tajuk didominasi pohon buah atau industri Kenampakkan perkebunan coklat ditandai dengan adanya obyek yang berwarna hijau sangat muda dengan bercak coklat muda kekuningan (pada band 543) cenderung terang dengan tekstur halus. Batas-batas yang jelas dan teratur menunjukkan bahwa obyek adalah perkebunan (10) Semak belukar / Hutan Rawa Br Hutan rawa / mangrove yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi) namun belum / tidak optimal, atau bekas hutan rawa / mangrove dengan liputan pohon jarang (alami), atau bekas hutan rawa / mangrove dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kenampakkan ini biasanya tidak menunjukkan lagi adanya bekas / bercak tebangan Kenampakkan obyek ditandai dengan adanya vegetasi rendah dan berstektur halus sampai dengan agak kasar yang mengindikasikan adanya semak belukar dan terlihat adanya genangan air musiman atau permanen (11) Rumput S Hamparan non hutan alami berupa padang rumput, kadang-kadang dengan sedikit semak atau pohon. Kenampakkan ini merupakan kenampakan alami di sebagian Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Kenampakkan obyek ditandai dengan barisan tipis vegetasi yang berstektur sangat halus berwarna hijau lumut (pada band 543). Lapisan berwarna merah
PAGE 42
Timur dan bagian Selatan Papua merupakan tanah terbuka yang merupakan kondisi alami dari wilayah pegunungan yang sangat tinggi di papua. kenampakkan rumput rawa sangat spesifik pada kondisi basah, namun pada kondisi kering cukup sulit dibedakan dengan tanah terbuka karena sama-sama berwarna merah pada band 543 citra Landsat. Oleh karena itu diperlukan data pendukung seperti foto lapangan (12) Pertanian lahan kering Pt Aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan dan ladang Biasanya berada di sekitar permukiman (13) Pertanian lahan kering campur semak Pc Aktivitas pertanian lahan kering dan kebun yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan. Sering muncul pada areal perladangan berpindah, dan rotasi tanam lahan karst. Biasanya meliputi areal yang luas dan belum terlihat adanya kepadatan permukiman dengan prosentase merata atau seimbang antara pertanian lahan kering, kebun dan semak (14) Sawah/persaw ahan Sw Hamparan lahan untuk aktivitas pertanian yang dicirikan oleh pola pematang (di jawa), biasanya di luar jawa tidak menggunakan pola pematang. Yang perlu diperhatikan adalah fase rotasi tanam yang terdiri atas fase penggenangan, fase tanaman muda, fase tanaman tua dan fase bera. Kelas ini juga memasukkan sawah musiman, sawah tadah hujan, dan sawah irigasi. Khusus untuk sawah musiman di daerah rawa disebut sawah sonor, yaitu penanaman padi pada areal rawa yang sedang kering dengan melakukan pembakaran pada awal musim kemarau kemudian menanam pada musim kemarau (dengan penaburan benih) dan memanen padi sebelum lokasi tersebut terbenam air kembali. Berbentuk petak yang teratur (jawa) dan kadang tergenang air atau kering dan mempunyai keseragaman umur tanam dalam satu petak/areal yang tidak dibatasi oleh pematang (15) Tambak Tm Lahan untuk aktivitas perikanan darat (ikan / udang) atau penggaraman yang dicirikan dengan pola pematang (umumnya), serta biasanya tergenang dan berada di sekitar pantai Umumnya berada di sekitar pantai dan atau dekat dengan pantai, membentuk petak-petak tergenang air dan ada yang terlihat kering (16) Settlement Pm Areas that are utilized for settlement, whether urban, rural, industrial, Marked with a group of building patterns which is close in urban settlements and combined with dense road network.
PAGE 43
public facilities, etc. Normally show fine shapes Rural settlements are more sparse and are inter-connected with road networks. (17) Transmigrasi Tr Lahan yang digunakan untuk areal permukiman pedesaan (transmigrasi) beserta pekarangan disekitarnya Kenampakkan transmigrasi ditandai dengan bentuk lahan terbangun dan tanaman pertanian atau tegakan pohon yang teratur dengan batas yang jelas dan pada tampilan citra band 543 terlihat bahwa tegakan tersebut berwarna hijau muda dengan tekstur kasar dan dibatasi oleh lahan terbuka atau pemukiman yang ditandai dengan warna merah muda (18) Tanah Terbuka T Lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, puncak bersalju, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai, endapan sungai), dan lahan terbuka bekas kebakaran. Kenampakan lahan terbuka untuk pertambangan dikelaskan pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas pembersihan lahan- land clearing dimasukkan kelas lahan terbuka. Lahan terbuka dalam kerangka rotasi tanam sawah / tambak tetap dikelaskan sawah / tambak Kenampakkan obyek (pada citra Landsat band 543) ditandai dengan areal berwarna merah muda hingga merah tua, kadang berwarna coklat, tergantung pada kandungan material tanahnya, dan berwarna putih apabila material tersusun dari kapur (19) Pertambangan/ tambang Tb Lahan terbuka yang digunakan untuk aktivitas pertambangan terbuka- open pit (spt: batubara, timah, tembaga dll.), serta lahan pertambangan tertutup skala besar yang dapat diidentifikasikan dari citra berdasar asosiasi kenampakan objeknya, termasuk tailing ground (penimbunan limbah penambangan). Lahan pertambangan tertutup skala kecil atau yang tidak teridentifikasi dikelaskan menurut kenampakan permukaannya Kenampakkan tambang terbuka pada tampilan citra band 543 ditandai dengan warna bervariasi, tergantung kandungan materialnya, seperti pada tanah terbuka, untuk tambang tertutup (minyak) ditandai dengan adanya pola jaringan jalan penghubung antar titik pengeboran atau penimbunan (20) Tubuh air A Perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, dll. Kenampakkan tambak, sawah dan rawa-rawa telah digolongkan tersendiri Kenampakkan obyek ditandai dengan adanya areal berwarna biru muda, biru keputihan atau hitam (pada kombinasi band 543) meliputi areal cukup luas (21) Rawa Rw Lahan rawa yang sudah tidak berhutan (tidak ada vegetasi pohon) Kenampakkan rawa sangat spesifik jika pada kondisi basah, yaitu adanya genangan air yang terkadang meliputi wilayah cukup luas dan dalam yang ditandai dengan warna
PAGE 44
hitam pada kombinasi band 543 citra Landsat. Sedangkan pada kondisi kering genangan tersebut akan terlihat merah atau coklat pada kombinasi band 543 (22) Tertutup Awan Aw Seluruh kenampakkan awan dan bayangan awan yang menutupi lahan suatu kawasan dengan ukuran lebih dari 4 cm2 pada skala penyajian. Jika liputan awan tipis atau adanya haze (kabut) masih memperlihatkan kenampakkan di bawahnya dan memungkinkan ditafsir, maka tetap didelineasi Terlihat dengan warna putih atau biru atau semburat pink dan hitam (bayangan awan) (23) Bandara / Pelabuhan Bdr/Plb Bandara dan pelabuhan yang berukuran besar dan memungkinkan untuk didelineasi tersendiri Terlihat jalur panjang dan lebar dengan ukuran tertentu serta tidak dihubungkan dengan jaringan jalan ke tempat lain (24) Terumbu karang Tk Batuan yang terbentuk dari sedimen kulit kerang/mikroorganisme lainnya yang biasanya terdapat pada laut dangkal, permukaan laut dan menjadi habitat berkembangnya kerang/biota laut lainnya Biasa terdapat di laut dangkal